Prolog
Bagian Prolog disini berjudul “Dari Matras Yoga ke Kampung Kumuh”. Di
prolog ini berisi cerita mengenai si penulis yang ingin melakukan penelitian. Di
awal prolog menceritakan si penulis bertemu seorang pemuda di bus. Keadaan
pemuda tersebut pipinya cekung,kerah baju yang sudah robek dan hampir lepas
dan di sela telinganya terdapat sebatang rokok yang tinggal separuh. Pemuda
tersebut bertanya kepada si penulis dengan agak berteriak “Mau ikut?” lalu si
penulis kembali bertanya “Kemana?”. Awalnya si pemuda mengatakan ke tempat
terbaik di Indonesia namun segera menggantinya dengan mengatakan ke tempat
terbaik di dunia. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak sang penulis. Si penulis
mulai membayangkan apa tempat tersebut seperti pantai pasir putih di Bali atau
hamparan sawah di Tanah Jawa.
Namun sang penulis agak bingung karena si pemuda menjawab jarak tempat
tersebut tidak jauh dari tempat mereka berada. Padahal tempat mereka sekarang
berada di Jakarta, kota berkabut asap yang dipenuhi dengan polusi, kemacetan lalu
lintasnya yang bisa menjebak kota selama berjam-jam,keadaan transportasi umum
yang tidak terawatt serta suara bising kendaraan yang memekakan telinga.
Bahkan jurnalis dan pakar Indonesia Elizabeth Pisani yang tinggal dan
menetap di Jakarta selama bertahun-tahun menggambarkan Jakarta dengan
kekritisan terselubung sebagai kota yang tak gampang untuk dicintai. Sementara
yang lain tanpa ba bi bu mengatakan bahwa Jakarta adalah salah satu kota yang
paling tidak nyaman untuk ditinggali walaupun kota ini menjadi daya tarik buat
kebanyakan pencari kerja di Indonesia.
Karena beberapa hal itulah, Jakarta kerap dijuluki sebagai “The Big Durian”.
Sebuah plesetan dari The Big Apple New York,mengacu kepada buah-buahan
yang paling digemari oleh masyarakat Indonesia tapi sekaligus sebagai buah yang
paling dilarang dibawa ke dalam kendaraan karena baunya yang menyengat.
Para penghuni Bantaran Kali bahkan menyebut diri mereka sebagai pakar
banjir. Alasannya karena mereka telah belajar menemukan jalan-jalan aman untuk
menyelamatkan diri dari banjir baik seperti merentangkan tali dari rumah ke rumah
yang berfungsi sebagai pegangan jika harus menerobos banjir dan melaminating
semua berkas-berkas penting yang ada seperti akte perkawinan maupun
kelahiran,KTP,ijazah sekolah dan lain-lain sebagainya. Mereka juga hanya
menggunakan perabotan dari plastik.
Di bab ini juga menceritakan ketika Tikus membantu si penulis untuk
mendapatkan rumah kontrakan. Rumah kontrakan tersebut memang tak sebagus
yang dibayangkan namun kata pemilik rumah , rumah kontrakan tersebut lebih
gampang dibersihkan kalau habis kebanjiran. Si penulis juga tak ambil pusing.
Mau itu rumahnya rawan banjir atau tidak selama ia mempunyai tempat untuk
tidur, bekerja dan menyimpan barang-barang.
Di bab ini pula menjelaskan fungsi portofon bagi warga kampung Bantaran
Kali. Portofon ini memberikan status sosial yang tinggi bagi siapapun yang
memilikinya. Karena alat tersebut bisa dipakai untuk mendapat informasi tentang
kedatangan banjir. Dengan portofon warga bisa berkomunikasi dengan penjaga
pintu air yang berada di perbukitan di atas Jakarta.
Status yang dimiliki oleh pemilik portofon bukan hanya karena alat tersebut
mampu menangkap informasi melainkan juga karena alat tersebut mereka bisa
gunakan untuk berkomunikasi dengan pegawai pemerintahan. Dengan kata lain
mereka akan memiliki koneksi tersendiri dengan pegawai pemerintahan di kota.
Harga untuk sebuah portofon pun bagi penghuni Bantaran Kali sangatlah
mahal. Bahkan di kampung tersebut hanya 9 orang yang pernah memilikinya,salah
satunya yaitu Yusuf. Yusuf bahkan harus menabung tanpa sepengetahuan istrinya
dan bahkan menjual televisinya serta meminjam kepada tetangganya.
Penduduk kampong ini juga mengaku bahwa mereka juga sudah terbiasa
kehilangan tempat tinggal. Salah satunya yaitu Achmed pendatang dari Jawa yang
mengaku telah sepuluh kali kehilangan tempat tinggal. Baik itu terkena kebakaran
bahkan di buldoser oleh pemerintah.
Sebetulnya di Jakarta tidak ada fasilitas pemukiman untuk orang yang tak
mampu. Pemerintah Indonesia hanya berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi
dengan memberikan perizinan kepada pemilik modal besar untuk mendirikan
berbagai bangunan seperti apartemen, vila, serta kompleks perumahan yang
memiliki fasilitas seperti sekolah , bioskop, toko, dan tempat olahraga atau gym.
Disini diceritakan niat salah satu penduduk Bantaran Kali yaitu Anton dan
istrinya Tina ketika ingin membangun ulang hunian mereka yang terkena
kebakaran. Mereka mengatakan jika pemerintah akan menggusur hunian mereka
maka pemerintah wajib memberikan kompensasi dengan syarat penduduk tersebut
adalah pemilik rumah dan memiliki KTP berdomisili Jakarta saja.
Apalagi jika ada pimpinan mafia setempat atau sebut saja sekelompok
preman yang menguasai rumah-rumah kompleks tersebut dengan cara membelinya
lalu menyewakannya lagi dengan harga yang fantastis membuat penduduk
kawasan kumuh memilih membangun rumah sendiri dibanding menempati rumah
subsidi tersebut.
Cerita tentang rumah susun tersebut sudah banyak diketahui oleh banyak
orang di Jakarta. Oleh karena itu tumbuh rasa antipati mereka terhadap rumah
susun bersubsidi dari pemerintah. Beberapa mengatakan daripada mendapatkan
rumah yang sewanya kemahalan lebih baik mereka mendapatkan kompensasi
berupa uang sebagai ganti rugi. Penulis pun berpikir bahwa penyelesaian seperti ini
tidak bisa dikatakan penyelesaian yang adil.
BAB 3 MENUNGGU ATAU MEMBAYAR
Di bagian ini lebih menceritakan kebiasaan masyarakat Indonesia yaitu
menginginkan imbalan ketika melakukan sesuatu. Sesuai judulnya yaitu menunggu
atau membayar, disini diceritakan bahwa masyarakat Indonesia tidak suka
menunggu lama dalam mengurus sesuatu. Sebagai gantinya mereka akan
mengeluarkan uang berapa pun itu demi kelancaran urusannya.
Ia paham gelagat dari orang Indonesia. Hal itu dilihat dari pengalamannya
ketika ia ditilang oleh polisi dan seorang politikus yang hendak memberinya
hadiah jika si penulis mengaku akan memilih si politikus tersebut di pemilihan. Si
penulis mengaku dimatanya, membayar untuk jasa yang resminya diberikan secara
gratis adalah sesuatu yang tak adil.
Uang dipandang sebagai pelicin dalam setiap urusan di Indonesia dan juga
sebagai pemererat hubungan pribadi antara sesama.
BAB 4 JANGAN PERNAH PERCAYA DOKTER
Di bagian ini menceritakan ketika si penulis yang telah tinggal di Bantaran
Kali selama lima bulan jatuh sakit. Ia terkena demam tinggi. Si penulis
menganggap bahwa kejadian ini cukup ajaib dikarenakan kondisi lingkungannya
yang jauh dari kata higienis.
Ketika berniat ingin ke dokter, para warga Bantaran Kali mengatakan tak
usah pergi ke dokter. Mereka cukup menggunakan obat-obatan tradisional berupa
rempah-rempah atau tanaman lainnya. Selain itu mereka menyembuhkan penyakit
dengan cara dipijit atau yang mereka biasa sebut dengan kerokan yang berfungsi
meredakan masuk angin. Semua hal ini biasa dilakukan oleh orang-orang zaman
dahulu.
Selain cara diatas penduduk Bantaran Kali juga menggunakan terapi lilin.
Terapi ini ialah pengobatan alternatif dari India menggunakan lilin khusus yang
dibuat dari bahan linen dan lilin dari sarang lebah dengan tujuan untuk
mengeluarkan kotoran, relaksasi, dan menstimulasi tubuh.
Hal ini merupakan hal yang lumrah menurut saya di Indonesia. Dikarenakan
pihak rumah sakit menganggap bahwa mereka tidak akan mampu membayar biaya
perawatan. Beberapa dari penduduk Bantaran Kali mengatakan ketika mereka
berobat ke rumah sakit mereka akan disuruh menunggu terus-menerus bahkan
tidak ditangani sekalipun. Inilah yang membuat mereka mengatakan bahwa rumah
sakit itu berbahaya dan dokter tak dapat dipercaya.
BAB 5
MANGGA, CABE MERAH DAN PEMBANGKIT GAIRAH
LAINNYA
Di bab ini menurut saya penulis menceritakan pengalamannya dengan sangat
frontal. Bagaimana tidak,dari judulnya saja pasti dibenak kita dibagian ini penulis
pasti menceritakan kisah pribadinya.
Adapun kasus yang terjadi pada tahun 2010 ketika seorang penyanyi rock
terkenal berusia 28 tahun ditangkap dikarenakan laptopnya dicuri dan di dalam
laptop tersebut berisikan video seksnya dengan dua orang perempuan yang
kemudian beredar di internet. Jaksa menuntut 12 tahun penjara berdasarkan
Undang-Undang Anti Pornografi.
Adapun strategi menabung lain yang diterapkan oleh warga kawasan kumuh
yaitu dengan cara membeli barang dengan mencicil, mengikuti arisan dan cara
terakhir yaitu “bertukar” uang. Maksudnya ketika pergi ke suatu acara seperti
sunatan para tamu akan memberi amplop kepada pemilik acara lalu selanjutnya
jika si tamu tadi mengadakan acara juga maka pemilik acara tadi juga membawa
amplop dengan nominal uang yang sama.