Anda di halaman 1dari 15

Review Buku

JUDUL : TEMPAT TERBAIK DI DUNIA : Pengalaman Seorang

Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta

PENULIS : ROANNE VAN VOORST

Prolog
Bagian Prolog disini berjudul “Dari Matras Yoga ke Kampung Kumuh”. Di
prolog ini berisi cerita mengenai si penulis yang ingin melakukan penelitian. Di
awal prolog menceritakan si penulis bertemu seorang pemuda di bus. Keadaan
pemuda tersebut pipinya cekung,kerah baju yang sudah robek dan hampir lepas
dan di sela telinganya terdapat sebatang rokok yang tinggal separuh. Pemuda
tersebut bertanya kepada si penulis dengan agak berteriak “Mau ikut?” lalu si
penulis kembali bertanya “Kemana?”. Awalnya si pemuda mengatakan ke tempat
terbaik di Indonesia namun segera menggantinya dengan mengatakan ke tempat
terbaik di dunia. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak sang penulis. Si penulis
mulai membayangkan apa tempat tersebut seperti pantai pasir putih di Bali atau
hamparan sawah di Tanah Jawa.

Namun sang penulis agak bingung karena si pemuda menjawab jarak tempat
tersebut tidak jauh dari tempat mereka berada. Padahal tempat mereka sekarang
berada di Jakarta, kota berkabut asap yang dipenuhi dengan polusi, kemacetan lalu
lintasnya yang bisa menjebak kota selama berjam-jam,keadaan transportasi umum
yang tidak terawatt serta suara bising kendaraan yang memekakan telinga.

Bahkan jurnalis dan pakar Indonesia Elizabeth Pisani yang tinggal dan
menetap di Jakarta selama bertahun-tahun menggambarkan Jakarta dengan
kekritisan terselubung sebagai kota yang tak gampang untuk dicintai. Sementara
yang lain tanpa ba bi bu mengatakan bahwa Jakarta adalah salah satu kota yang
paling tidak nyaman untuk ditinggali walaupun kota ini menjadi daya tarik buat
kebanyakan pencari kerja di Indonesia.

Karena beberapa hal itulah, Jakarta kerap dijuluki sebagai “The Big Durian”.
Sebuah plesetan dari The Big Apple New York,mengacu kepada buah-buahan
yang paling digemari oleh masyarakat Indonesia tapi sekaligus sebagai buah yang
paling dilarang dibawa ke dalam kendaraan karena baunya yang menyengat.

Dibagian ini penulis juga menceritakan pengalamannya di dalam bus. Orang


yang berdesak-desakan yang dipenuhi peluh keringat yang membasahi sekujur
tubuh. Perokok di dalam bus pun mengangkat puntungnya tinggi-tinggi supaya
tidak menyundut sesame penumpang. Bahkan jika ingin mengepulkan asapnya
mereka harus berjinjit tinggi-tinggi. Didalam bus sudah tak ada lagi ruang untuk
penumpang baru. Tetapi masih ada saja penumpang yang ingin naik walaupun
harus bergelantungan di luar bus. Pokoknya keadaan di dalam bus luar binasa
panasnya sampai-sampai sang penulis iri dengan orang-orang diluar yang
bergelantungan.

Setelah berdesak-desakan di bus, si penulis kemudian turun mengikuti


pemuda yang menanyainya tadi. Si pemuda mengatakan bahwa di tempat terbaik
di dunia tersebut kita bisa melakukan segala yang kita mau dan apapun yang kita
ingin miliki.

Si penulis kemudian mengikuti pemuda tersebut dengan rencana yang cukup


sederhana. Penulis berniat ingin melakukan penelitian tentang perilaku masyarakat
dalam menghadapi banjir. Ia akan tinggal di salah satu kampung kumuh yang
berada di bantaran sungai terbesar di Jakarta dimana durasi tinggalnya paling
sedikit satu tahun agar mampu mengobservasi cara penduduk setempat melawan
banjir dalam kurun waktu yang cukup panjang seiring makin kerap dan besarnya
banjir dating di tahun-tahun terakhir.

Dibagian ini penulis juga mengingat malam-malam terakhir ia di


Belanda,kampong halamannya. Ketika ia berada di sebuah studio yang trendi
melakukan yoga di matras khusus yoga. Saat itu ia menantikan keberangkatan nya
ke Jakarta namun sekaligus gelisah memikirkannya. Di sekeliling penulis ekspresi
dan posisi orang-orang sama, terlihat tenang dan damai bahkan ada yang
menyunggingkan senyum kecil. Berbeda dengan si penulis yang menatap guru
yoganya dengan nyalang dan rahang yang terkatup kaku. Sang penulis sulit untuk
rileks karena memikirkan keberangkatannya ke Jakarta. Untuk mengatasi hal
tersebut ia mengikuti saran guru yoganya yaitu dengan coba memusatkan perhatian
dan mengosongkan pikiran.
Sang penulis mengaku bahwa salah satu hal yang tidak ia khawatirkan yaitu
mencari lokasi rawan banjir yang cocok dengan penelitian si penulis. Karena
Jakarta sudah lama bermasalah dengan banjir. Jika sungai-sungai menguap maka
jalanan di seputar kota akan berubah menjadi sungai dengan kedalaman 1,5 meter
dan tidak ada kendaraan yang dapat melintas. Namun bencana banjir lebih terasa di
sekitar kawasan termiskin dan kumuh di Jakarta. Seringnya air sungai meluap dan
ketinggian airnya bisa melebihi tiga sampai lima meter serta arus airnya lebih
kencang dibandingkan dengan kawasan yang jauh dari sungai.

Bahkan puluhan warga di kawasan kumuh tersebut tenggelam saat terjadi


banjir atau meninggal tersengat listrik dikarenakan tiang-tiang listrik yang roboh
karena arus air yang kencang dan kabelnya jatuh ke dalam air. Selain itu penghuni
kawasan tersebut juga meninggal beberapa hari atau beberapa minggu setelah
banjir karena terjangkit wabah penyakit akibat air kotor.

Namun mencari kawasan tersebut tidaklah mudah seperti yang dibayangkan


si penulis. Ia selalu ditolak untuk melakukan penelitian di kawasan yang
disinggahinya. Berbagai cara yang dilakukannya baik secara formal maupun tidak,
reaksi yang didapatnya masih sama. Karena pembuat kebijakan disana malu akan
kehadiran beberapa kawasan kumuh yang ada. Si penulis kemudian mengubah
taktiknya dengan cara mencari sendiri lokasi penelitian yang cocok. Setelah
tertolak untuk sekian kalinya ia pun bertemu dengan Tikus, sang pemuda
pengamen yang ia temui di bus. Pemuda tersebut membawa si penulis ke kampung
kumuh yang dinamai Bantaran kali.
BAB 1 TIDUR BERSAMA PORTOFON
Di bab ini penulis bercerita kesehariannya di kampung kumuh Bantaran kali.
Saat itu si penulis telah menyelesaikan wawancara ketiganya. Keseharian Roanne
dimulai pukul empat pagi dimana ia terbangun oleh suara adzan subuh dari masjid,
lalu sejam kemudian ia akan membeli bubur ikan di pinggir jalan pasar. Ia juga
bercerita bahwa ketika hari pertama, beberapa anak berseragam yang lewat
disekitar penjual bubur tersebut sempat terkejut melihat wajahnya yang bule.

Selepas makan biasanya Roanne jalan-jalan berkeliling kampung untuk


bertemu dan bercakap-cakap dengan warga kampung. Terkadang si penulis juga
mengikuti kegiatan-kegiatan di kampung tersebut seperti pengajian, sunatan, pesta
ulang tahun dan pesta perkawinan.

Dari beberapa warga yang diwawancarainya, penulis menceritakan di bab ini


bahwa beberapa warga akan mempersiapkan diri dari banjir dengan segera mereka
akan berlari menuju toko untuk membeli baterai agar senter mereka berfungsi.
Mereka juga mempersiapkan beberapa botol mineral, beberapa bungkus mi instan
bahkan mereka menyiapkan kartu remi untuk dimainkan sewaktu-waktu mereka
bosan menunggu banjir surut. Mereka juga memindahkan kasur ke atap rumah
karena selama banjir warga-warga kampung tersebut tinggal di atap rumah masing-
masing.

Selain banjir, warga-warga Bantaran Kali juga mengalami berbagai kesulitan


hidup yang mereka hadapi seperti selalu kekurangan uang, perawatan medis yang
tidak terjangkau, serta beberapa preman yang memeras mereka baik di jalan
maupun ketika berjualan. Namun mereka semua mengaku bahwa hal tersebut
sudah terbiasa dalam kehidupan mereka.

Para penghuni Bantaran Kali bahkan menyebut diri mereka sebagai pakar
banjir. Alasannya karena mereka telah belajar menemukan jalan-jalan aman untuk
menyelamatkan diri dari banjir baik seperti merentangkan tali dari rumah ke rumah
yang berfungsi sebagai pegangan jika harus menerobos banjir dan melaminating
semua berkas-berkas penting yang ada seperti akte perkawinan maupun
kelahiran,KTP,ijazah sekolah dan lain-lain sebagainya. Mereka juga hanya
menggunakan perabotan dari plastik.
Di bab ini juga menceritakan ketika Tikus membantu si penulis untuk
mendapatkan rumah kontrakan. Rumah kontrakan tersebut memang tak sebagus
yang dibayangkan namun kata pemilik rumah , rumah kontrakan tersebut lebih
gampang dibersihkan kalau habis kebanjiran. Si penulis juga tak ambil pusing.
Mau itu rumahnya rawan banjir atau tidak selama ia mempunyai tempat untuk
tidur, bekerja dan menyimpan barang-barang.

Di bab ini pula menjelaskan fungsi portofon bagi warga kampung Bantaran
Kali. Portofon ini memberikan status sosial yang tinggi bagi siapapun yang
memilikinya. Karena alat tersebut bisa dipakai untuk mendapat informasi tentang
kedatangan banjir. Dengan portofon warga bisa berkomunikasi dengan penjaga
pintu air yang berada di perbukitan di atas Jakarta.

Sayangnya pemerintah menolak menyediakan fasilitas sistem peringatan dini


di kampung kumuh. Karena menurut mereka banjir bukanlah masalah besarnya
melainkan penduduk perkampungan kumuhlah yang merupakan masalah besar. Itu
diakibatkan penduduk berpenghasilan rendah yang tidak mampu memiliki hunian
yang layak di kota memilih untuk membangun hunian di sekitar daerah aliran
sungai yang kemudian mengakibatkan palung sungai semakin menyempit.

Status yang dimiliki oleh pemilik portofon bukan hanya karena alat tersebut
mampu menangkap informasi melainkan juga karena alat tersebut mereka bisa
gunakan untuk berkomunikasi dengan pegawai pemerintahan. Dengan kata lain
mereka akan memiliki koneksi tersendiri dengan pegawai pemerintahan di kota.

Harga untuk sebuah portofon pun bagi penghuni Bantaran Kali sangatlah
mahal. Bahkan di kampung tersebut hanya 9 orang yang pernah memilikinya,salah
satunya yaitu Yusuf. Yusuf bahkan harus menabung tanpa sepengetahuan istrinya
dan bahkan menjual televisinya serta meminjam kepada tetangganya.

Namun karena memiliki portofon, Yusuf pun hanya duduk sambil


mendengarkan portofonnya dan hal itulah membuat istrinya pusing memikirkan
bagaimana keluarga mereka memiliki penghasilan yang lebih. Bahkan Yusuf pun
tidur bersama portofonnya. Sebenarnya Yusuf memiliki pekerjaan namun bosnya
sering memergokinya tidak bekerja malah fokus dengan portofonnya. Hal itulah
yang membuat ia dipecat oleh bosnya.
Tapi dibalik itu semua ternyata Yusuf mengaku bahwa portofon tersebut
sangat menyusahkan daripada menguntungkan. Bahkan orang-orang lainnya yang
pernah memiliki alat ini mengaku bahwa setiap harinya mereka pusing
dikarenakan setiap hari harus meletakkan telinga di sebuah kotak dengan harapan
menangkap sesuatu yang berguna.

Ketika si penulis bertanya kepada mereka kenapa portofonnya tidak dijual


saja lalu biarkan orang lain yang melakukan tugas tersebut agar mereka bisa punya
waktu luang untuk keluarga dan lainnya, jawaban mereka semua relatif sama.
Mereka semua mengatakan bahwa tanpa alat ini kita tak akan tahu kapan banjir
akan datang.

Mereka juga mengatakan bahwa membeli dan menggunakan portofon


merupakan suatu kewajiban. Namun lain halnya dengan Yusuf, ia semata-mata
membeli portofon tesebut agar status sosialnya naik. Mereka juga terpaksa untuk
membeli alat tersebut karena pemerintah tidak menyediakan sistem peringatan dini
untuk kawasan kumuh. Keamanan kampung ini bergantung pada strategi jitu yang
dimiliki oleh penduduk di kampung tersebut.
BAB 2 KETIKA ADA KABEL LISTRIK PUTUS
Di bab ini menceritakan masalah lainnya yang dimiliki oleh penduduk
kampung yang ditempati oleh si penulis yaitu kebakaran dikarenakan ada kabel
listrik yang putus kemudian terjadi kosleting listrik. Ketiadaan prasarana jaringan
listrik legal dari pemerintah dikawasan tersebut mendorong penduduk untuk
memasang instalasi listrik sendiri atau menyewa dari perusahaan yang tidak jelas
serta kadang mencuri aliran listrik dari jaringan legal. Kualitas dari kabel listriknya
pun jauh dari kata baik.

Di bab ini juga menceritakan bagaimana penduduk kampung Bantaran Kali


harus kehilangan tempat tinggal dikarenakan kebakaran. Ada lima belas rumah
yang hangus terbakar. Dan menurut Tikus rumah- rumah tersebut dihuni oleh lima
kali lipat dugaan si penulis yang awalnya mengatakan sekitar sembilan puluh
orang.

Penduduk kampong ini juga mengaku bahwa mereka juga sudah terbiasa
kehilangan tempat tinggal. Salah satunya yaitu Achmed pendatang dari Jawa yang
mengaku telah sepuluh kali kehilangan tempat tinggal. Baik itu terkena kebakaran
bahkan di buldoser oleh pemerintah.

Pembongkaran pemukiman kumuh seperti ini kebanyakan terjadi atas


instruksi pemerintah. Umumnya di Indonesia perkampungan kumuh tersebut
dianggap illegal karena dibangun tanpa izin. Adapun hukum yang berlaku bahwa
penghuni hunian yang digusur oleh pemerintah tidak memiliki izin resmi untuk
membangun tempat tinggal di lahan yang bukan milik mereka.

Sebetulnya di Jakarta tidak ada fasilitas pemukiman untuk orang yang tak
mampu. Pemerintah Indonesia hanya berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi
dengan memberikan perizinan kepada pemilik modal besar untuk mendirikan
berbagai bangunan seperti apartemen, vila, serta kompleks perumahan yang
memiliki fasilitas seperti sekolah , bioskop, toko, dan tempat olahraga atau gym.

Walaupun baru-baru ini pemerintah DKI Jakarta memerintahkan


pembangunan lebih banyak pembangunan rumah susun murah di kota tetapi bagi
Tikus dan penduduk kampung kumuh seperti di Bantaran Kali , upaya tersebut
masih jauh dari cukup untuk dapat tinggal di pemukiman tersebut.
Ketika si penulis berpikir mengenai keadaan penduduk yang kehilangan
tempat tinggalnya akibat kebakaran, ia terheran ketika melihat puluhan orang
mendorong kereta sorong yang dipenuhi dengan kayu dan batu bata. Bahkan anak-
anak pun turut serta mengangkut bahan-bahan seperti ember yang berisi dengan
semen. Si penulis terdiam dan kesulitan memahami situasi tersebut. Dia bingung
mengapa penduduk kampung Bantaran kali tetap membangun rumah lagi padahal
nantinya akan dirobohkan oleh pemerintah. Lama berpikir kemudian ia menyadari
bahwa mungkin di Jakarta tak ada tempat lagi untuk mereka dan tak ada jalan lain
lagi selain membangun ulang tempat tinggal setidaknya melindungi mereka dari
lebatnya hujan dan teriknya matahari.

Di bagian ini juga menceritakan bagaimana pemerintah menjanjikan kepada


penduduk yang kehilangan tempat tinggal akan mendapatkan kompensasi baik itu
berupa hunian baru atau berupa uang ganti rugi.

Disini diceritakan niat salah satu penduduk Bantaran Kali yaitu Anton dan
istrinya Tina ketika ingin membangun ulang hunian mereka yang terkena
kebakaran. Mereka mengatakan jika pemerintah akan menggusur hunian mereka
maka pemerintah wajib memberikan kompensasi dengan syarat penduduk tersebut
adalah pemilik rumah dan memiliki KTP berdomisili Jakarta saja.

Hal ini seturut dengan pendapat si penulis karena si penulis sempat


membaca di beberapa artikel bahwa yayasan pembela hak-hak asasi manusia
internasional seperti UNHABITAT yang tahun sebelumnya sempat melaporkan
berbagai berita mengkhawatirkan tentang pengambilan lahan secara paksa di
Jakarta.

Di buku ini juga mengatakan meskipun pemerintah provinsi membangun


rumah subsidi berupa rumah susun bagi penduduk kawasan kumuh seperti
Bantaran Kali kelak takkan mencukupi kebutuhan tempat tinggal bagi mereka
semua. Semua penduduk pasti tak akan tertampung semua di rumah subsidi
tersebut.

Apalagi jika ada pimpinan mafia setempat atau sebut saja sekelompok
preman yang menguasai rumah-rumah kompleks tersebut dengan cara membelinya
lalu menyewakannya lagi dengan harga yang fantastis membuat penduduk
kawasan kumuh memilih membangun rumah sendiri dibanding menempati rumah
subsidi tersebut.

Cerita tentang rumah susun tersebut sudah banyak diketahui oleh banyak
orang di Jakarta. Oleh karena itu tumbuh rasa antipati mereka terhadap rumah
susun bersubsidi dari pemerintah. Beberapa mengatakan daripada mendapatkan
rumah yang sewanya kemahalan lebih baik mereka mendapatkan kompensasi
berupa uang sebagai ganti rugi. Penulis pun berpikir bahwa penyelesaian seperti ini
tidak bisa dikatakan penyelesaian yang adil.
BAB 3 MENUNGGU ATAU MEMBAYAR
Di bagian ini lebih menceritakan kebiasaan masyarakat Indonesia yaitu
menginginkan imbalan ketika melakukan sesuatu. Sesuai judulnya yaitu menunggu
atau membayar, disini diceritakan bahwa masyarakat Indonesia tidak suka
menunggu lama dalam mengurus sesuatu. Sebagai gantinya mereka akan
mengeluarkan uang berapa pun itu demi kelancaran urusannya.

Di bab ini menceritakan pengalaman penulis ketika ia hendak mengurus visa


penelitian. Berminggu-minggu ia bolak-balik ke loket sebuah gedung abu-abu di
daerah Jakarta Selatan. Si penulis juga harus rela antre berlama-lama demi
menyelesaikan visa penelitiannya. Setelah harus menunggu lagi untuk menerima
visanya tersebut seorang laki-laki muncul di pintunya yang mengaku sebagai
tukang pos untuk mengantarkan berkasnya tersebut.

Namun ketika si penulis meminta paketnya, si tukang pos tersebut


mengubah raut wajahnya dari yang ramah menjadi mengerutkan dahi. Ketika si
penulis bertanya mengapa si tukang pos tersebut tidak langsung menyerahkan
berkas tersebut namun gelagatnya yang terus memperhatikan dompet si penulis. Si
penulis pun mengerti.

Ia paham gelagat dari orang Indonesia. Hal itu dilihat dari pengalamannya
ketika ia ditilang oleh polisi dan seorang politikus yang hendak memberinya
hadiah jika si penulis mengaku akan memilih si politikus tersebut di pemilihan. Si
penulis mengaku dimatanya, membayar untuk jasa yang resminya diberikan secara
gratis adalah sesuatu yang tak adil.

Di bagian ini juga menceritakan bagaimana pelanggaran-pelanggaran yang


juga dilakukan oleh banyak orang bahkan penegak hukum sekalipun bebas dari
hukuman dikarenakan adanya uang pelicin ini.

Namun kebanyakan di Indonesia juga memberi sedikit uang kepada orang


yang memberi bantuan atau yang kemungkinan di masa depan bisa membantu,
tidak selalu dilihat sebagai kecurangan melainkan kesepakatan tersebut dianggap
semacam sesuatu yang berguna.

Uang dipandang sebagai pelicin dalam setiap urusan di Indonesia dan juga
sebagai pemererat hubungan pribadi antara sesama.
BAB 4 JANGAN PERNAH PERCAYA DOKTER
Di bagian ini menceritakan ketika si penulis yang telah tinggal di Bantaran
Kali selama lima bulan jatuh sakit. Ia terkena demam tinggi. Si penulis
menganggap bahwa kejadian ini cukup ajaib dikarenakan kondisi lingkungannya
yang jauh dari kata higienis.

Ketika berniat ingin ke dokter, para warga Bantaran Kali mengatakan tak
usah pergi ke dokter. Mereka cukup menggunakan obat-obatan tradisional berupa
rempah-rempah atau tanaman lainnya. Selain itu mereka menyembuhkan penyakit
dengan cara dipijit atau yang mereka biasa sebut dengan kerokan yang berfungsi
meredakan masuk angin. Semua hal ini biasa dilakukan oleh orang-orang zaman
dahulu.

Selain cara diatas penduduk Bantaran Kali juga menggunakan terapi lilin.
Terapi ini ialah pengobatan alternatif dari India menggunakan lilin khusus yang
dibuat dari bahan linen dan lilin dari sarang lebah dengan tujuan untuk
mengeluarkan kotoran, relaksasi, dan menstimulasi tubuh.

Menurut mereka terapi ini mampu mengatasi berbagai macam penyakit


seperti telinga berdenging, sakit kepala, vertigo,stress sampai insomnia. Sementara
menurut peneliti kesehatan yang skeptis, terapi ini berbahaya karena bisa
membawa banyak macam komplikasi seperti pecahnya gendang
telinga,infeksi,luka bakar,dan tersumbatnya rongga telinga.

Ada beberapa alasan mengapa penduduk kawasan kumuh seperti mereka


lebih memilih obat-obatan tradisional dibanding harus ke rumah sakit. Ternyata
beberapa penduduk tersebut memiliki pengalaman pahit yang berkaitan dengan
rumah sakit. Mereka didiskriminasi oleh pihak rumah sakit hanya karena mereka
miskin.

Hal ini merupakan hal yang lumrah menurut saya di Indonesia. Dikarenakan
pihak rumah sakit menganggap bahwa mereka tidak akan mampu membayar biaya
perawatan. Beberapa dari penduduk Bantaran Kali mengatakan ketika mereka
berobat ke rumah sakit mereka akan disuruh menunggu terus-menerus bahkan
tidak ditangani sekalipun. Inilah yang membuat mereka mengatakan bahwa rumah
sakit itu berbahaya dan dokter tak dapat dipercaya.
BAB 5
MANGGA, CABE MERAH DAN PEMBANGKIT GAIRAH
LAINNYA
Di bab ini menurut saya penulis menceritakan pengalamannya dengan sangat
frontal. Bagaimana tidak,dari judulnya saja pasti dibenak kita dibagian ini penulis
pasti menceritakan kisah pribadinya.

Di bagian ini penulis bercerita mengenai perbincangan dirinya dengan dua


orang wanita yang telah dianggapnya sahabat yaitu Enin seorang janda dan Neneng
seorang pekerja seks. Mereka berbincang mengenai hal-hal privasi wanita. Bahkan
mereka menyarankan si penulis untuk datang ke sebuah spa perawatan.

Si penulis juga mengaku bahwa tidak semua tentang dirinya ia katakan


kepada penduduk Bantaran Kali. Dia mengaku kepada penduduk Bantaran Kali
bahwa ia beragama Kristen Katholik padahal ia sebenarnya tidak beragama. Ia
hanya menceritakan sedikit kehidupannya di Belanda. Si penulis memperlihatkan
foto apartemennya, pacar, orang tua bahkan sapi-sapi yang ada di pedesaan
Belanda.

Si penulis juga bercerita di bab ini bahwa ia melakukan wawancara kepada


penduduk. Bahkan beberapa perempuan mengajukan pertanyaan mengenai
kemampuan seks laki-laki Belanda kepada di penulis. Ia pun menjawab karena ia
tak pernah seranjang dengan laki-laki di Indonesia jadi ia menjawab bahwa ia yak
punya bahan perbandingan untuk itu.

Di bab ini penulis juga menuangkan mengenai Undang-undang di Indonesia


mengenai Anti Pornografi. Dimana pada tahun 2008 DPR RI mengesahkan
Undang-Undang Anti Pornografi, versi yang lebih ringan dari Undang-Undang
sebelumnya yakni pada tahun 2006 yang sangat keras dan ketika itu mendapatkan
banyak kritikan dari kalangan liberal di Indonesia.

Adapun kasus yang terjadi pada tahun 2010 ketika seorang penyanyi rock
terkenal berusia 28 tahun ditangkap dikarenakan laptopnya dicuri dan di dalam
laptop tersebut berisikan video seksnya dengan dua orang perempuan yang
kemudian beredar di internet. Jaksa menuntut 12 tahun penjara berdasarkan
Undang-Undang Anti Pornografi.

Pada 2014 pula, pemerintah Indonesia melakukan pelarangan terhadap


saluran video Vimeo dan Youtube dikarenakan didalamnya terdapat banyak
tayangan pornografi.

Dan yang membuat salut si penulis kepada temannya yaitu penjelasan


Neneng mengenai bagaimana cara ia terhindar dari hukum semacam itu. Ia
mengatakan bahwa di Undang-undang tersebut tidak disebutkan ada larangan
menerima hadiah dari kekasih jadi walaupun ia memiliki banyak teman kencan ia
takkan bisa dituntut katanya.
BAB 6
MENABUNG UNTUK BELI TELEVISI RUSAK
Di bab ini bercerita mengenai Pinter yaitu warga Bantaran Kali yang
berperan sebagai bankir dan mengelola bank keliling.Menurut mereka tanpa Pinter
mereka takkan mampu menabung dan meminjam uang dikarenakan peluang untuk
menjadi nasabah bank resmi tertutup bagi mereka. Bukan hanya setoran awal yang
tidak mampu mereka bayar namun mereka juga tak memiliki harta yang bisa
dijadikan jaminan ketika ingin melakukan pinjaman.

Pinter digambarkan sebagai orang yang teliti dan ulet. Kesehariannya ia


pergi menarik uang tabungan ke nasabahnya dengan berkeliling dan mendatangi
rumah warga satu persatu sambil membawa buku kasnya. Ketika ada nasabahnya
yang sudah hampir mendekati jumlah yang diinginkan, maka ia akan memberi
tanda bintang dibelakang nama si pemilik rekening lalu membawakan sepiring nasi
kuning sebagai hadiah. Ia juga melambangkan bahwa warna kuning dari nasi
tersebut melambangkan warna keemasan. Selain itu Pinter punya strategi lain
untuk kemajuan usahanya yaitu dengan menerapkan bunga yang dikenakan ke
pinjaman yang ia berikan dan hal tersebut merupakan sumber penghasilan
terbesarnya.

Adapun strategi menabung lain yang diterapkan oleh warga kawasan kumuh
yaitu dengan cara membeli barang dengan mencicil, mengikuti arisan dan cara
terakhir yaitu “bertukar” uang. Maksudnya ketika pergi ke suatu acara seperti
sunatan para tamu akan memberi amplop kepada pemilik acara lalu selanjutnya
jika si tamu tadi mengadakan acara juga maka pemilik acara tadi juga membawa
amplop dengan nominal uang yang sama.

Selain itu di bab ini bercerita mengenai kesungguhan Tikus melakukan


apapun yang ingin ia lakukan. Awalnya ia berniat ingin membeli televisi rusak lalu
menjalankan usahanya dengan memperbaiki televisi tersebut lalu menjualnya
dengan harga yang lebih tinggi namun ia berpikir bahwa hal itu sia-sia jadi ia
berpikir bahwa ia ingin membuka usaha pusat kebugaran dan spa. Ia berniat
membangun pusat kebugaran tersebut menggunakan barang-barang bekas. Ia juga
bahkan membuat Jacuzzi dari sebuah bak mandi bekas berkarat. Menurut saya
sikap Tikus ini patut dicontoh walaupun ia bukanlah orang yang terpandang namun
ia mampu menciptakan mimpinya jadi kenyataan.

BAB 7 : SELALU BERSAMA-SAMA

Anda mungkin juga menyukai