Anda di halaman 1dari 4

LEMBAR KERJA SISWA

Kompetensi Dasar 3.1


3.1 Mengidentifikasi teks laporan hasil observasi yang dipresentasikan dengan lisan dan tulis.

3.16 Mengidentifikasi suasana, tema, dan makna beberapa puisi yang terkandung dalam antologi
puisi yang diperdengarkan atau dibaca.

TEKS I
Bacalah teks puisi di bawah ini dan pahamilah isinya baik-baik!
Tuhan Sembilan Senti
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang
tak merokok.
Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur
hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.
Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat
bagi orang yang tak merokok.
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.
Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.
….
Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan
berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada
tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan
sesajen asap tuhan-tuhan ini.
Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
(Taufiq Ismail)

TEKS II

Bacalah teks cerita di bawah ini dan pahamiah isinya baik-baik!

Sepasang burung bangau melayang meniti angin berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun
mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan
panjang. Air. Kedua unggas itu telah melayang beratusratus kilometer mencari genangan air. Telah lama
mereka merindukan amparan lumpur tempat mereka mencari mangsa; katak, ikan, udang atau serangga
air lainnya.

Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan
kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak
kaki. Sawah berubah menjadi padang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi
bercak-bercak hijau di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik.
Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.

Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha mempertahankan nyawanya. Dia terbang
bagai batu lepas dari katapel sambil menjerit sejadi-jadinya. Di belakangnya, seekor alap-alap mengejar
dengan kecepatan berlebih. Udara yang ditempuh kedua binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit
kecil itu terdengar ketika paruh alap-alap menggigit kepalanya. Bulu-bulu halus beterbangan.
Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk.
….

Dari tempatnya yang tinggi kedua burung bangau itu melihat Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumbul
kecil di tengah padang yang amat luas. Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya
dihubungkan oleh jaringan pematang sawah, hampir due kilometer panjangnya. Dukuh Paruk, kecil dan
menyendiri. Dukuh Paruk yang menciptakan kehidupannya sendiri.

Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan. Konon, moyang
semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah
paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki
Secamenggala menitipkan darah dagingnya.

Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, dahulu menjadi musuh kehidupan
masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di
tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan
kubur Ki Secamenggala membuktikan polah-tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana.

Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah-payah mencabut sebatang singkong. Namun
ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalahkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam
tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu tetap tegak di
tempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak
menemukan akal.
“Cari sebatang cungkil,” kata Rasus kepada dua temannya. “Tanpa cungkil mustahil
kita dapat mencabut singkong sialan ini.”
“Percuma. Hanya sebatang linggis dapat menembus tanah sekeras ini,” ujar Warta.
“Atau lebih baik kita mencari air. Kita siram pangkal batang singkong kurang ajar ini.
Pasti nanti kita mudah mencabutnya.”
“Air?” ejek Darsun, anak yang ketiga. “Di mana kau dapat menemukan air?”
…..
(Ronggeng Dukuh Paruk: Ahmad Tohari)

TEKS III

Bacalah teks berita di bawah ini dan pahamilah isinya baik-baik!

Sejumlah warga asyik berbincang di sebuah taman di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin pekan
lalu. Sebagian lain menikmati berbagai jajanan gerobak yang mangkal di ruang publik, di tepi jalan
raya ke arah Depok, Jawa Barat, tersebut. Sementara itu, beberapa ibu muda bercengkerama
dengan anak-anaknya yang bermain odong-odong.

Aktivitas warga itu sejenak terhenti ketika sebuah sepeda motor berwarna putih mendekat ke arah
taman. Semua mata tertuju ke arah sesosok wanita yang membonceng sepeda motor tersebut. “Itu
kan Bu Lurah Susan,” ujar seorang warga.

Wanita berseragam pegawai negeri sipil itu turun dari sepeda motor dan menyapa mereka.
Sejumlah ibu berbisik satu sama lain. Beberapa lainnya menghambur ke arah lurah berparas cantik
yang namanya mencuat gara-gara didemo warga lantaran beragama Kristen itu. Mereka mengajak
anak-anak bersalaman.

Tidak hanya berbincang, dari blusukan sore itu, Lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli, juga
me nerima berbagai masukan. Dari keluhan soal lampu taman yang sudah lama padam sampai soal
rumah warga di bantaran sungai yang terancam longsor.

Seorang warga, Arpiah, mengaku senang dengan upaya Susan turun ke lapangan dan
mendengarkan keluhan, terlebih kalau keluhan itu dijawab dengan perbaikan. “Saya kagak peduli
agamanya apa, yang penting kerjanya bagus,” kata ibu satu anak itu.

Sejak tiga bulan lalu menjadi lurah hasil lelang jabatan yang digelar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
Susan diakui membawa perubahan. Arena permainan anak di taman itu, misalnya, yang sebelumnya
kusam, kini dicat warna-warni menggunakan dana kelurahan. Padahal area itu merupakan tanggung
jawab Suku Dinas Pertamanan Kota Madya Jakarta Selatan. Susan juga berjanji akan mempercantik
taman dengan bantuan sponsor. Wanita berusia 43 tahun itu juga mengaktifkan kegiatan kerja
bakti. Bahkan tak jarang ia ikut dalam kegiatan bersih-bersih bersama warga.

Tapi semua upaya itu ternyata tak selalu mendapatkan respons positif dari warga Lenteng Agung.
Sejak menjabat lurah, sudah tiga kali ia didemo. Mereka, yang tergabung dalam Forum Warga
Lenteng Agung,
menolak Susan menjadi lurah lantaran ia beragama Kristen.

Mereka juga meminta Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo memindahkan Susan dari wilayah yang
mayoritas
penduduknya muslim itu. Unjuk rasa pertama dilakukan pada 26 Agustus lalu di Balai Kota Jakarta.
Disusul pada 28 Agustus dan 25 September di depan kantor kelurahan.
Koordinator unjuk rasa, Naser Nasrullah, mengklaim demo menolak Lurah Susan didukung oleh
sebagian besar warga, termasuk sesepuh dan tokoh masyarakat, ustad, serta kiai. “Ada yang enggak
mendukung, tapi bisa kami hitung,” ucapnya saat ditemui majalah detik pada Rabu pekan lalu.
….
(Majalah Detik, edisi 7-13 Oktober 2013)

Kegiatan I

Bacalah ketiga teks tersebut secara bergantian lalu tentukan jawaban atas pertanyaan atau perintah di
bawah ini!

(1) Apakah terdapat tanda-tanda bahwa penulis melakukan observasi sebelum atau pada waktu
menulis wacana (I, II, III) di atas? Jelaskan!
(2) Kemukakan fakta-fakta dan opini-opini yang dikemukakan pada masing-masing teks di atas!
(3) Dapatkah Anda rumuskan kembali ciri-ciri laporan hasil observasi
(4) Simpulkan! Apa yang dmaksud laporan observasi!
(5) Apakah ketiganya dapat dikatakan sebagai laporan hasil observasi? Jelaskan!
(6) Kesamaan Teks I, Teks II, dan Teks III:
(7) Perbedaan Teks I, Teks II, dan Teks III dari segi isi, bahasa, dan struktur teksnya:

Kegiatan II

(1) Carilah sebuah puisi yang dibuat berdasarkan hasil observasi atau melakukan pengamatan! (dari
buku kumpulan puisi, dari majalah, dari surat kabar, atau dari internet)
(2) Catatlah beberapa kata yang bermakna konotasi dalam puisi tersebut dan tentukan maknanya!
(3) Latihlah pembacaan dengan suara yang lantang disertai nada dan intonasi yang baik!
(4) Secara bergantian Anda akan dinilai untuk membaca puisi tersebut!

Anda mungkin juga menyukai