Anda di halaman 1dari 3

Menafsir Pandangan Pengarang dalam Novel

Menafsirkan pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel dapat didefinisikan


sebagai upaya menangkap maksud, mengartikan, dan menjelaskan konsep yang dimiliki
pengarang dalam menanggapi dan menerangkan masalah-masalah dalam kehidupan yang
terdapat dalam novel.
Hal ini sesuai dengan pandapat yang mengatakan bahwa karya sastra merupakan tiruan atau
penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Sastra merupakan cermin kehidupan
masyarakat, karya sastra mempresentasikan dunia nyata, karya sastra merupakan tanggapan
seseorang pengarang terhadap situasi di sekelilingnya.

Agar lebih jelas perhatikan contoh-contoh berikut:

Contoh 1

…Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan,
namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya
dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai
sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Sering aku merasa ngeri membayangkan
perjalanannya. (Novel Laskar Pelangi- Andrea Hirata)

pandangan pengarang tentang kehidupan:


Dalam pendidikan seseorang harus menempuh dengan kesungguhan, tidak boleh mudah
menyerah pada keadaan (seperti tokoh Lintang)

contoh 2
“Pulau Belitung yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatra yang membujur
dan di sana mengalir kebudayaan Melayu tua. Pada abad ke-19, ketika korporasi secara
tersistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan yang bersahaja itu mulai hidup dalam
karakteristik sosiologi tertentu yang atribut –atributnya mencerminkan perbedaan sangat
mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta” (Hirata, 2008:41).

Pandangan pengarang:
Berdasarkan data di atas, pengarang ingin menyatakan perasaan kelompok masyarakat bawah
yang kecewa terhadap PN Timah karena keberadaan perusahaan tersebut tidak mampu
mengurangi kemiskinan di Belitung. Sebaliknya, hadirnya PN Timah di Belitung justru telah
menciptakan kondisi sosial masyarakat yang berkasta-kasta

Contoh 3
“Jimbron adalah seorang yang membuat kami takjub dengan tiga macam keheranan. Pertama,
kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya beliau adalah
seorang pastor karena beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovany.
Rupanya setelah sebatang kara seperti Arai ia menjadi anak asuh sang pendeta. Namun, pendeta
berdarah Itali itu tak sedikit pun bermaksud mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak
pernah telat jika mengantarkan Jimbron mengaji ke masjid” (SP, 61)

Pandangan pengarang:
Pengarang menghadirkan tokoh Jimbron dalam novel Sang Pemimpi mencerminkan tokoh
yang taat beragama dengan mengaji setiap harinya, walaupun dia hidup di lingkungan agama
yang berbeda, yaitu agama Katolik. Kemudian pengarang juga menghadirkan cerminan
toleransi dan jiwa sosial melalui tokoh pendeta.Melalui tokoh Jimron pengarang memberikan
gambaran kehidupan religius walaupun hidup berbeda agama dan pengarang juga memberikan
gambaran cerminan toleransi dan jiwa sosial melalui tokoh pendeta.

PENUGASAN

Baca kutipan berikut dengan saksama, kemudian jawablah pertanyaannya dengan benar!

Kutipan 1

Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang- orang
seketurunan. Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang
bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan
riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan
darah dagingnya.

Semua orang Dukuh Paruk tahu Ki Secamenggala, moyang mereka, dahulu menjadi
musuh kehidupan masyarakat. Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang
terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan
kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala
membuktikan polah-tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana.

Jelaskan pandangan pengarang tentang kehidupan beragama yang tercermin dalam kutipan di
atas!

Jawab:

Kutipan 2

Di tepi kampung, tiga orang anak laki- laki sedang bersusah-payah mencabut
sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalahkan
cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu.
Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu tetap tegak ditempatnya.
Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak
menemukan akal.

"Cari sebatang cungkil," kata Rasus kepada dua temannya. "Tanpa cungkil mustahil
kita dapat mencabut singkong sialan ini'

"Percuma. Hanya sebatang linggis dapat menembus tanah sekeras ini," ujar Warta.
"Atau lebih baik kita mencari air. Kita siram pangkal batang singkong kurang ajar ini.
Pasti nanti kita mudah mencabutnya"
''Air?" ejek Darsun, anak yang ketiga. "Di mana kau dapat menemukan air.?"

Kemudian Rasus, Warta, dan Darsun berpandangan. Ketiganya mengusap telapak


tangan masing-masing. Dengan tekad terakhir mereka mencoba mencabut batang
singkong itu kembali.

Urat-urat kecil di tangan dan di punggung menegang. Ditolaknya bumi dengan


hentakan kaki sekuat mungkin. Serabut-serabut halus terputus. Perlahan tanah
merekah. Ketika akar terakhir putus ketiga anak Dukuh Paruk itu jatuh terduduk. Tetapi
sorak-sorai segera terhambur. Singkong dengan umbi-umbinya yang hanya sebesar jari
tercabut.

Adat Dukuh Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga anak laki-laki itu harus
berhenti di sini. Rasus, Warta, dan Darsun kini harus saling adu tenaga memperebutkan
umbi singkong yang barn mereka cabut.

Rasus dan Warta mendapat dua buah, Darsun hanya satu. Tak ada prates. Ketiganya
kemudian sibuk mengupasi bagiannya dengan gigi masing- masing, dan langsung
mengunyahnya. Asinnya tanah.

Jelaskan pandangan pengarang tentang kehidupan sosial yang tercermin dalam kutipan di
atas!

Jawab:

Kutipan 3

Udara kemarau makin malam makin dingin. Pagelaran alam yang ramah
bagi anak-anak. Halaman yang kering sangat menyenangkan untuk arena bermain.
Cahaya bulan mencipta keakraban antara manusia dengan lingkup fitriyahnya. Anak-
anak, makhluk kecil yang masih lugu, layak hadir di halaman yang berhias cahaya
bulan. Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa
kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang. (Ronggeng Dukuh Paruk, him 7-9).

Jelaskan pandangan pengarang tentang kehidupan budaya yang tercermin dalam kutipan di
atas!

Jawab:

Anda mungkin juga menyukai