Anda di halaman 1dari 140

Ahmad Tohari

KEMARAU di kawasan Banyum as, Jawa Tengah, pada m asa kini


m ungkin t idak lagi sedahsyat akibat nya dibanding m asa lalu, ket ika
hutan- hut an j at i di daerah Jat ilawang m engering, t anah pecah- pecah,
penduduk m erana kelaparan. Dulu, sepert i dit unj ukkan Ahm ad Tohari
( 57) , penulis yang pernah m enghasilkan novelRongge ng D uk uh
Paruk , hut an m enyala m enj adi korban kebakaran akibat pert ikaian
polit ik yang m enyusup sam pai ke desa- desa pada m asa sebelum
1965.

Ahm ad Tohari dilahirkan di desa Tinggarj aya, Kecam at an Jat ilawang,


Banyum as t anggal 13 Juni 1948. Pendidikan form alnya hanya sam pai
SMAN I I Purwokert o. Nam un dem ikian beberapa fakult as sepert i
ekonom i, sospol, dan kedokt eran pernah dij elaj ahinya. Sem uanya t ak
ada yang ditekuninya. Ahmad Tohari tidak pernah melepaskan diri dari
pengalam an hidup kedesaannya yang m ewarnai seluruh karya
sastranya.

Lewat t rilogi Ronggeng Dukuh Paruk ( dua yang lainnyaLintang


Ke m uk u s D iniha r i danJe nt e r a Bia ngla la ) , ia t elah m engangkat
kehidupan berikut cara pandang orang- orang dari lingkungan dekatnya
ke pelat aran sast raI ndonesia . Sesuai t ahun- t ahun penerbit annya,
karya Ahm ad Tohari adalahKubah ( novel, 1980) ,Ron gge ng D uk u h
Paruk ( novel, 1982) Lint a ng Ke m uk us D iniha r i (novel,
1984),Je nt e r a Bia ngla la ( novel, 1985) ,Di Ka k i Bu k it Ciba la k
( novel, 1989) , Senyum Karyam in ( kum pulan cerpen, 1990) ,Lingkar
Ta na h Lingk a r Air ( novel, 1993) ,Be k isa r M e r a h ( novel, 1993) ,Mas
Mantri Gugat (kumpulan kolom, 1994).

Karya- karya Ahm ad Tohari t elah dit erbit kan dalam bahasa Jepang,
Cina, Belanda dan Jerm an. Edisi bahasa I nggrisnya sedang disiapkan
penerbitannya.

1
Ronggeng Dukuh Paruk
Bagian Pertama

Sepasang burung bangau m elayang m enit i angin berput ar- putar


t inggi di langit . Tanpa sekali pun m engepak sayap, m ereka
m engapung berj am - jam lam anya. Suaranya m elengking sepert i
keluhan panj ang. Air. Kedua unggas it u t elah m elayang berat us- ratus
kilom et er m encari genangan air. Telah lam a m ereka m erindukan
am paran lum pur t em pat m ereka m encari m angsa; kat ak, ikan, udang
atau serangga air lainnya.

Nam un kem arau belum usai. Ribuan hekt ar sawah yang m engelilingi
Dukuh Paruk t elah t uj uh bulan keront ang. Sepasang burung bangau
it u t akkan m enem ukan genangan air m eski hanya selebar t elapak
kaki. Sawah berubah m enj adipadang kering berwarna kelabu. Segala
j enis rum put , m at i. Yang m enj adi bercak- bercak hij au di sana- sini
adalah kerokot , saj ian alam bagi berbagai j enis belalang dan j angkrik.
Tum buhan j enis kakt us ini j ust ru hanya m uncul di sawah sewakt u
kemarau berjaya.

Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha


mempertahankan nyawanya. Dia terbang bagai batu lepas dari katapel
sam bil m enj erit sej adi- j adinya. Di belakangnya, seekor alap- alap
m engej ar dengan kecepat an berlebih. Udara yang dit em puh kedua
binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu terdengar ketika
paruh alap- alap m enggigit kepalanya. Bulu- bulu halus bet erbangan.
Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk.
Angin t enggara bert iup. Kering. Pucuk- pucuk pohon di pedukuhan
sem pit it u bergoyang. Daun kuning sert a rant ing kering j at uh.
Gemersik rumpun bambu. Berderit baling- baling bambu yang dipasang
anak gem bala di t epian Dukuh Paruk. Layang- layang yang t erbuat dari
daun gadung m eluncur naik. Kicau beranj angan m endaulat
kelengangan langit di atas Dukuh Paruk.

Udara panas berbulan- bulan m engeringkan berj enis bij i- bij ian. Buah
randu t elah m enghit am kulit nya, pecah m enj adi t iga j uring. Bersam a
t iupan angin t erburai gum palan- gum palan kapuk. Set iap gum pal
kapuk m engandung bij i m asak yang siap t um buh pada t em pat ia
hinggap di bum i. Dem ikian kearifan alam m engat ur agar pohon randu
baru tidak tumbuh berdekatan dengan biangnya.

2
Pohon dadap m em ilih cara yang ham pir sam a bagi penyebaran
j enisnya. Bij i dadap yang t elah t ua m enggunakan kulit polongnya
untuk t erbang sebagai baling- baling. Bila angin berem bus, t am pak
sepert i rat usan kupu t erbang m enurut i arah angin m eninggalkan
pohon dadap. Kalau t idak t erganggu oleh anak- anak Dukuh Paruk, bij i
dadap it u akan t um buh di t em pat yang j auh dari induknya. Begit u
perintah alam.
Dari t em pat nya yang t inggi kedua burung bangau it u m elihat Dukuh
Paruk sebagai sebuah gerumbul kecil di tengahpadang yang amat luas.
Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan
oleh j aringan pem at ang sawah, ham pir dua kilom et er panj angnya.
Dukuh Paruk, kecil dan m enyendiri. Dukuh Paruk yang m encipt akan
kehidupannya sendiri.

Dua puluh t iga rum ah berada di pedukuhan it u, dihuni oleh orang-


orang seket urunan. Konon, m oyang sem ua orang Dukuh Paruk adalah
Ki Secam enggala, seorang brom ocorah yang sengaj a m encari daerah
paling sunyi sebagai t em pat m enghabiskan riwayat keberandalannya.
Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secam enggala m enit ipkan darah
dagingnya.

Sem ua orang Dukuh Paruk t ahu Ki Secam enggala, m oyang m ereka,


dahulu m enj adi m usuh kehidupan m asyarakat . Tet api m ereka
m em uj anya. Kubur Ki Secam enggala yang t erlet ak di punggung bukit
kecil di t engah Dukuh Paruk m enj adi kiblat kehidupan kebat inan
m ereka. Gum palan abu kem enyan pada nisan kubur Ki Secam enggala
m em bukt ikan polah- t ingkah kebat inan orang Dukuh Paruk berpusat
disana .

Di t epi kam pung, t iga orang anak laki- laki sedang bersusah- payah
m encabut sebat ang singkong. Nam un ket iganya m asih t erlam pau
lem ah unt uk m engalahkan cengkeram an akar ket ela yang t erpendam
dalam t anah kapur. Kering dan m em bat u. Mereka t erengah- engah,
nam un bat ang singkong it u t et ap t egak di t em pat nya. Ket iganya
ham pir berput us asa seandainya salah seorang anak di ant ara m ereka
tidak menemukan akal.

“ Cari sebat ang cungkil,” kat a Rasus kepada dua t em annya. “ Tanpa
cungkil mustahil kita dapat mencabut singkong sialan ini.”
“ Percum a. Hanya sebat ang linggis dapat m enem bus t anah sekeras
ini,” uj arWart a . “ At au lebih baik kit a m encari air. Kit a siram pangkal

3
bat ang singkong kurang aj ar ini. Past i nant i kit a mudah
mencabutnya.”
“ Air?” ej ek Darsun, anak yang ket iga. “ Di m ana kau dapat
menemukan air?”

“ Sudah, sudah. Kalian t olol,” uj ar Rasus t ak sabar. “ Kit a kencingi


beramai- ram ai pangkal bat ang singkong ini. Kalau gagal j uga,
sungguh bajingan.”

Tiga uj ung kulup t erarah pada t it ik yang sam a. Currrr. Kem udian
Rasus,Wart a dan Darsun berpandangan. Ket iganya m engusap t elapak
t angan m asing- m asing. Dengan t ekad t erakhir m ereka m encoba
mencabut batang singkong itu kembali.

Urat- urat kecil di t angan dan di punggung m enegang. Dit olaknya


bum i dengan hent akan kaki sekuat m ungkin. Serabut - serabut halus
t erput us. Perlahan t anah m erekah. Ket ika akar t erakhir put us ket iga
anak Dukuh Paruk it u j at uh t erduduk. Tet api sorak- sorai segera
t erham bur. Singkong dengan um bi- um binya yang hanya sebesar j ari
tercabut.
Adat Dukuh Paruk m engaj arkan, kerj a sam a ant ara ket iga anak laki-
laki it u harus berhent i di sini. Rasus,Wart a dan Darsun kini harus
saling adu t enaga m em perebut kan um bi singkong yang baru m ereka
cabut . Rasus danWart a m endapat dua buah, Darsun hanya sat u. Tak
ada prot es. Ket iganya kem udian sibuk m engupasi bagiannya dengan
gigi m asing- m asing, dan langsung m engunyahnya. Asinnya t anah.
Sengaknya kencing sendiri.

Sam bil m em bersihkan m ulut nya dengan punggung lengan, Rasus


m engaj ak kedua t em annya m elihat kam bing- kam bing yang sedang
m ereka gem balakan. Yakin bahwa binat ang gem balaan m ereka t idak
m erusak t anam an orang, ket iganya berj alan ke sebuah t em pat di
m ana m ereka sering berm ain. Di bawah pohon nangka it u m ereka
melihat Srint il sedang asyik berm ain seorang diri. Perawan kecil it u
sedang m erangkai daun nangka dengan sebat ang lidi unt uk dij adikan
sebuah mahkota.

Duduk bersim puh di t anah sam bil m eneruskan pekerj aannya, Srint il
berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya m engenal dua iram a.
Orang- orang t ua bert em bang kidung, dan anak- anak m enyanyikan
lagu- lagu ronggeng. Dengan suara kekanak- kanakannya, Srint il
m endendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot t im bane
rante, tiwas ngegot ning ora suwe.

4
Lagu erot ik. Srint il, perawan yang baru sebelas t ahun,
m enyanyikannya dengan sungguh- sungguh. Boleh j adi Srint il belum
faham benar m akna lirik lagu it u. Nam un sam a saj a. Dukuh Paruk
t idak akan bersusah hat i bila ada anak kecil m enyanyikan lagu yang
paling cabul sekalipun.
Bet apa asyik Srint il dengan dendangnya, t erbukt i dia t idak m enyadari
ada t iga anak laki- laki sudah berdiri di belakangnya. Srint il baru sadar
ket ika sedang m encoba m em asang m ahkot a daun nangka ke at as
kepalanya.

“ Terlalu besar,” uj ar Rasus m engej ut kan Srint il. Perawan kecil it u


mengangkat muka.

“ Aku bersedia m em buat kan badongan unt ukm u,” sam bung Rasus
menawarkan jasa.

“Tak usah. Kalau mau, ambilkan aku daun bacang. Nanti badongan ini
lebih baik,” jawab Srintil.

Rasus t ersenyum . Baginya, m em enuhi perm int aan Srint il selalu


m enyenangkan. Maka dia berbalik, m enoleh kiri- kanan m encari
sebat ang pohon bacang. Set elah didapat , Rasus m em anj at . Cepat
sepert i seekor m onyet . Dipet iknya beberapa lem bar daun bacang yang
lebar. Pikir Rasus, dengan daun it u m ahkot a di kepala Srint il akan
bertambah manis.
Dengan bant uan ket iga anak laki- laki it u Srint il dapat m enyelesaikan
mahkota daunnya. Ukurannya tepat.

“ Bagus sekali,” kat a Rasus set elah m elihat badongan daun nangka it u
menghias kepala Srintil.
“ Sungguh?” balas Srintil meyakinkan.
“Aku tidak bohong. Bukankah begitu,Warta ? Darsun?”
“Ya, benar. Engkau cantik sekali sekarang,” ujarWarta .
“Seperti seorang ronggeng?” tanya Srintil lagi. Gayanya manja.
“Betul.”
“ Ah, t idak,” pot ong Darsun. “ Kecuali engkau m au m enari sepert i
ronggeng.”
Srint il diam . Dipandangnya ket iga anak laki- laki di hadapannya.
Dalam hat i Srint il m erasa penasaran. Apakah kalian m enyangka aku
tak bisa menari seperti seorang ronggeng? tanya Srintil.
“ Baik, aku akan m enari. Kalian harus m engiringi t arianku.
Bagaimana?” tantang Srintil.

5
“ Wah, j adi kalau begit u,” j awab Rasus cepat . “ Aku akan m enirukan
bunyi gendang.Wart a m enirukan calung dan Darsun m enirukan gong
tiup. Hayo!”
Di pelat aran yang m em bat u di bawah pohon nangka. Ket ika angin
tenggara bertiup dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar
di m usim kem arau. Ket ika sinar m at ahari m ulai m eredup di langit
barat . Srint il m enari dan bert em bang. Gendang, gong dan calung
m ulut m engiringinya. Rasus bersila, m enepak- nepak lut ut
m enirukangaya seorang penggendang.Wart a m engayunkan t angan ke
kiri- kanan, seakan ada perangkat calung di hadapannya. Darsun
membusungkan kedua pipinya. Suaranya berat menirukan bunyi gong.
Siapa yang akan percaya, t ak seorang pun pernah m engaj ari Srint il
m enari dan bert em bang. Siapa yang akan percaya belum sekali pun
Srint il pernah m elihat pent as ronggeng. Ronggeng t erakhir di Dukuh
Paruk m at i ket ika Srint il m asih bayi. Tet api di depan Rasus,Wart a dan
Darsun, Srintil menari dengan baiknya.
Mim ik penagih birahi yang selalu dit am pilkan oleh seorang ronggeng
yang sebenarnya, j uga diperbuat oleh Srint il saat it u. Lenggok
lehernya, lirik m at anya, bahkan cara Srint il m enggoyangkan pundak
akan m em ukau laki- laki dewasa m anapun yang m elihat nya. Seorang
gadis kencur sepert i Srint il t elah m am pu m enirukan dengan
baiknyagaya seorang ronggeng. Dan orang Dukuh Paruk t idak bakal
heran.
Di pedukuhan it u ada kepercayaan kuat , seorang ronggeng sej at i
bukan hasil pengaj aran. Bagaim anapun diaj ari, seorang perawan t ak
bisa m enj adi ronggeng kecuali roh indang t elah m erasuk t ubuhnya.
indang adalah sem acam wangsit yang dim uliakan di dunia
peronggengan.

Dem ikian, sore it u Srint il m enari dengan m at a set engah t ert ut up, j ari
t angannya m elent ik kenes. Ket iga anak laki- laki yang m engiringinya
m enyaksikan bet apa Srint il t elah m am pu m enyanyikan banyak lagu-
lagu ronggeng.
Mulut Rasus dan kedua t em annya pegal sudah. Nam un t erus
m elenggang dan m elenggok. Alunan t em bangnya t erus m engalir
seperti pancuran di musim hujan.
Bet apapun, akhirnya Srint il berhent i karena m ulut ket iga
pengiringnya bungkam . Tidak t am pak t anda Srint il lelah. Bahkan
kepada ketiga kawannya, Srintil masih menuntut.
“Wah, lagi, ya!” desaknya.
“Mengaso dulu. Mulutku pegal,” jawab Rasus.
“ Ya, kit a berhent i dulu. Kit a hanya akan berm ain lagi kalau Srint il
berjanji akan memberi kami upah,” kataWarta
“Baik, baik. Kalian minta upah apa?”

6
Warta diam. Rasus tersenyum sambil memandang Darsun.
“ Kalian m int a upah apa?” ulang Srint il. Berkat a dem ikian Srint il
m elangkah ke arah Rasus. Dekat sekali. Tanpa bisa m engelak, Rasus
m enerim a cium di pipi.Wart a dan Darsun m asing- m asing m endapat
giliran kem udian. Sebelum ket iga anak laki- laki it u sem pat berbuat
sesuatu, Srintil menagih janji.

“ Nah. Kalian t elah m enerim a upah. Sekarang aku m enari. Kalian


harus mengiringi lagi.”

Ket iganya pat uh. Ceria di bawah pohon nangka it u berlanj ut sam pai
m at ahari m enyent uh garis cakrawala. Sesungguhnya Srint il belum
hendak berhent i m enari. Nam un Rasus berkeberat an karena ia harus
m enggiring t iga ekor kam bingnya pulang ke kandang. Pada akhir
perm ainan, Rasus,Wart a dan Darsun m int a upah. Kali ini m ereka yang
berebut m encium i pipi Srint il. Perawan kecil it u m elayani bagaim ana
laiknya seorang ronggeng. Sebelum berlari pulang, Srint il m int a
jaminan besok hari Rasus dan dua t em annya akan bersedia kem bali
bermain bersama.

Karena let ak Dukuh Paruk di t engah am paran sawah yang sangat


luas, t enggelam nya m at ahari t am pak dengan j elas darisana . Angin
bert iup ringan. Nam un cukup m eluruhkan dedaunan dari t angkainya.
Gum palan rum put kering m enggelinding dan berhent i karena
terhalang pematang.

Hilangnya cahaya m at ahari t elah dinant i oleh kelelawar dan kalong.


Satu- sat u m ereka keluar dari sarang, di lubang- lubang kayu, ket iak
daun kelapa at au kuncup daun pisang yang m asih m enggulung.
Kem arau t idak disukai oleh bangsa binat ang m engirap it u. Buah-
buahan t idak m ereka t em ukan. Serangga pun sepert i lenyap dari
udara. Pada saat dem ikian kam pret harus m au m elalap daun waru
agar kehidupan jenisnya lestari.

7
Pelita- pelit a kecil dinyalakan. Kelap- kelip di kej auhan m em bukt ikan di
Dukuh Paruk yang sunyi ada kehidupan m anusia. Bulan yang lonj ong
ham pir m encapai puncak langit . Cahayanya m em buat bayangan
t em aram di at as t anah kapur Dukuh Paruk. Kehadirannya di angkasa
t idak t erhalang awan. Langit bening. Udara kem arau m akin m alam
makin dingin.

Pagelaran alam yang ram ah bagi anak- anak. Halam an yang kering
sangat m enyenangkan unt uk arena berm ain. Cahaya bulan m encipt a
keakraban ant ara m anusia dengan lingkup fit riyahnya. Anak- anak,
m akhluk kecil yang m asih lugu, layak hadir di halam an yang berhias
cahaya bulan. Mereka pant as berkej aran, berm ain dan bert em bang.
Mereka sebaiknya t ahu m asa kanak- kanak adalah surga yang hanya
sekali datang.
Tidak, t idak. Awal m alam yang ceria it u t idak berbias lengking anak-
anak Dukuh Paruk. Kem arau t erlam pau panj ang t ahun ini. Dua bulan
t erakhir t iada lagi padi t ersim pan di rum ah orang Dukuh Paruk.
Mereka m akan gaplek. Anak- anak m akan nasi gaplek. Karbohidrat
yang t erkandung dalam singkong kering it u banyak rusak. Anak- anak
tidak berbekal cukup kalori untuk bermain siang malam.
Jadi pada m alam yang bening it u, t ak ada anak Dukuh Paruk keluar
halam an. Set elah m enghabiskan sepiring nasi gaplek m ereka lebih
senang bergulung dalam kain sarung, t idur di at as balai- balai bam bu.
Mereka akan bangun besok pagi bila sinar m at ahari m enerobos celah
dinding dan menyengat kulit mereka.
Orang- orang dewasa t elah bekerj a keras di siang hari. Tanam an
musim kemarau berupa sayuran, tembakau dan palawija harus disiram
dengan air sumur yang khusus mereka gali. Bila malam tiba, keinginan
m ereka t idak berlebihan; duduk berist irahat sam bil m enggulung
tembakau dengan daun pisang atau kulit jagung kering. Sedikit tengah
m alam m ereka akan naik t idur. Pada saat kem arau panj ang sepert i it u
mustahil ada perempuan Dukuh Paruk hamil.
Menj elang t engah m alam barangkali hanya Sakarya yang m asih
t erm angu di bawah lam pu m inyak yang bersinar redup. Sakarya,
kam it ua di pedukuhan t erpencil it u m asih m erenungi ulah cucunya
sore t adi. Dengan diam - diam Sakarya m engikut i gerak- gerik Srint il
ket ika cucunya it u m enari di bawah pohon nangka. Sedikit pun
Sakarya tidak ragu, Srintil telah kerasukan indang ronggeng.
Sakarya t ersenyum . Sudah lam a pem angku ket urunan Ki
Secamenggala it u m erasakan ham barnya Dukuh Paruk karena t idak
t erlahirnya seorang ronggeng disana . “ Dukuh Paruk t anpa ronggeng,
bukanlah Dukuh Paruk. Srint il, cucuku sendiri, akan m engem balikan

8
cit ra sebenarnya pedukuhan ini,” kat a Sakarya kepada dirinya sendiri.
Sakarya percaya, arwah Ki Secam enggala akan t erbahak di kuburnya
bila kelak tahu ada ronggeng di Dukuh Paruk.
Tak seorang pun m enyalahkan pikiran Sakarya. Dukuh Paruk hanya
lengkap bila disana ada keram at Ki Secam enggala, ada seloroh cabul,
ada sum pah- serapah dan ada ronggeng bersam a perangkat
calungnya. Gam baran t ent ang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan
orang luar yang senang berkat a m isalnya, “ Jangan m engabadikan
kem elarat an sepert i orang Dukuh Paruk.” At au, “ Hai, anak- anak,
pergilah m andi. Kalau t idak nant i kupingm u m engalir nanah, kakim u
kena kudis seperti anak- anak Dukuh Paruk!”

Keesokan harinya Sakarya m enem ui Kart arej a. Laki- laki yang ham pir
sebaya ini secara t urun- t em urun m enj adi dukun ronggeng di Dukuh
Paruk. Pagi it u Kart arej a m endapat kabar gem bira. Dia pun sudah
bertahun- t ahun m enunggu kedat angan seorang calon ronggeng unt uk
diasuhnya. Belasan t ahun sudah perangkat calungnya t ersim pan di
para- para di at as dapur. Dengan laporan Sakarya t ent ang Srint il,
dukun ronggeng it u berharap bunyi calung akan kem bali t erdengar
semarak di Dukuh Paruk.
“ Kalau benar t ut urm u, Kang, kit a akan t et ap bet ah t inggal di
pedukuhan ini,” kata Kartareja menanggapi laporan Sakarya.
“ Eh, sam pean lihat sendiri nant i,” j awab Sakarya. “ Srint il akan
langsung menari dengan kenesnya bila mendengar suara calungmu.”
Kart arej a m engangguk- angguk. Bibirnya yang m erah kehit am an oleh
kapur sirih bergoyang ke kiri- kanan. Lalu disem prot kannya sisa
tembakau yang tertinggal di mulutnya.
“ Ah, Kang Sakarya. Aku t ak lagi diperlukan kalau begit u. Bukankah
Srint il sudah m enj adi ronggeng sej ak lahir?” kat a Kart arej a t awar. Dia
sedikit t ersinggung. Keahliannya m engasuh ronggeng m erasa
disepelekan.
“ Eh, sam pean salah t angkap. Maksudku, Srint il benar- benar t elah
mendapat indang. Masakan sampean tidak menangkap maksudku ini.”
“Oh, begitu.”
“ Ya. Dan t ent u sam pean perlu m em perhalus t arian Srint il. Cucuku
t am paknya belum pint ar m elem par sam pur. Nah, ada lagi yang
penting; masalah 'rangkap' tentu saja. Itu urusanmu, bukan?”
Kart arej a t erkekeh. Dia m erasa t idak perlu berkat a apa- apa.
“ Rangkap” yang dim aksud oleh Sakarya t ent ulah soal guna- guna,
pekasih, susuk dan t et ek- bengek lainnya yang akan m em buat seorang
ronggeng laris. Kartareja dan istrinya sangat ahli dalam urusan ini.
“ Pokoknya Dukuh Paruk akan kem bali m em punyai ronggeng.
Bukankah begitu, Kang?”

9
“ Eh, ya. Mem ang begit u. Kit a yang t ua- t ua di pedukuhan ini t ak ingin
m at i sebelum m elihat Dukuh Paruk kem bali sepert i aslinya dulu.
Bahkan aku t akut arwah Ki Secam enggala akan m enolakku di kubur
bila aku tidak melestarikan ronggeng di pedukuhan ini.”
“ Bukan hanya it u, Kang. Bukankah ronggeng bisa m em buat kit a bet ah
hidup?”

Kedua kakek it u t ert awa bersam a. Di ant ara gelaknya Sakarya


m engeluh m engapa dia t idak bisa m engundurkan usianya dari t uj uh
puluh menjadi dua puluh tahun.
Beberapa hari kem udian Sakarya dan Kart arej a selalu m engint ip
Srint il m enari di bawah pohon nangka. Kedua laki- laki t ua it u sengaj a
m em biarkan Srint il m enari sepuas hat inya diiringi calung m ulut oleh
Rasus dan kedua kawannya. Kart arej a percaya akan cerit era Sakarya.
Srintil telah kemasukan indang ronggeng.
Pada hari baik, Srint il diserahkan oleh kakeknya, Sakarya kepada
Kart arej a. I t u hukum Dukuh Paruk yang m engat ur perihal seorang
calon ronggeng. Keluarga calon harus m enyerahkannya kepada dukun
ronggeng, menjadi anak akuan.
Dua belas tahun sejak kematian ronggeng Dukuh Paruk yang terakhir.
Selam a it u Dukuh Paruk t anpa suara calung. Perangkat gam elan
bam bu it u t elah t ert ut up lapisan debu cam pur j elaga di para- para
dapur keluarga Kart arej a. Tali ij uk yang m erent eng t iap m at a calung
telah putus oleh gigitan tikus atau ngengat.
Untung Serangga bubuk dan anai- anai t ak m erapuhkan gam elan
bam bu it u. Unt ung pula, Kyai Com blang, gendang pusaka m ilik
keluarga Kart arej a t et ap disim pan dengan perawat an ist im ewa.
Perkakas itu siap pakai meski telah istirahat dalam waktu lama.

Kesulit an pert am a yang dihadapi Kart arej a bukan m asalah bagaim ana
m em perbaiki alat m usiknya, m elainkan bagaim ana dia m endapat para
penabuh. Penabuh gendang yang disayanginya m eninggal pada
m alapet aka paceklik dua t ahun lalu. Seorang lagi yang biasa m elayani
calung penerus, lenyap ent ah ke m ana. Tet api bagaim anapun
Kart arej a berunt ung. Dia berhasil m enem ukan kem bali Sakum , laki-
laki dengan sepasang m at a keropos nam un punya keahlian ist im ewa
dalam memukul calung besar.
Sakum , dengan m at a but a m am pu m engikut i secara seksam a
pagelaran ronggeng. Sepert i seorang awas, Sakum dapat
m engeluarkan seruan cabul t epat pada saat ronggeng m enggerakkan
pinggul ke depan dan ke belakang. Pada det ik ronggeng m em buat
gerak birahi, m ulut Sakum m eruncing, lalu keluar suaranya yang
t erkenal; Cessss! Orang m engat akan, t anpa Sakum set iap pent as
ronggeng tawar rasanya.

10
Kem arau m asih m engulur wakt u. Kart arej a m enem ukan hari dan
malam cerah buat mulai mengasuh Srintil.
Senj a yang t elah dit unggu sem ua warga Dukuh Paruk. Kart arej a
m enyuruh orang m em bersihkan halam annya. Em pat helai t ikar
pandan digelar di t engah t anah kering berpasir it u. Set elah hari gelap,
sebuah lam pu m inyak besar dinyalakan. Terang, sebab pada sum bu-
lam pu m inyak it u dipasang sebuah cincin penerang. Suasana dem ikian
m engundang anak- anak. Mereka bergerom bol m em perhat ikan orang-
orang bekerja. Semuanya telah tahu, malam itu Srintil akan menari.

Di dalam rum ah, Nyai Kart arej a sedang m erias Srint il. Tubuhnya yang
kecil dan masih lurus tertutup kain sampai ke dada. Angkinnya kuning.
Di pinggang kiri kanan ada sam pur berwarna m erah saga. Srint il
didandani sepert i laiknya seorang ronggeng dewasa. Kulit nya t erang
karena Nyai Kart arej a t elah m elum urinya dengan t epung bercam pur
air kunyit . I st ri dukun ronggeng it u j uga t elah m enyuruh Srint il
mengunyah sirih. Bibir yang masih sangat muda itu merah.
Banyak perem puan dan anak- anak m em enuhi rum ah Kart arej a.
Mereka ingin m elihat Srint il dirias. Sepanj ang usianya yang sebelas
t ahun, baru pert am a kali Srint il m enj adi perhat ian orang. Dia t ersipu.
Terkadang t ert awa kecil bila dia m endengar orang berbisik m em uj i
kecant ikannya. Mulut nya m ungil. Cam bang t ipis di pipinya m enj adi
nyat a set elah Srint il dibedaki. Alis yang diperj elas dengan j elaga
bercampur getah pepaya membuatnya kelihatan seperti boneka.

Sat u hal disem bunyikan oleh Nyai Kart arej a t erhadap siapa pun. I t u,
ket ika dia m eniupkan m ant ra pekasih ke ubun- ubun Srint il. Mant ra
yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih
cantik dari yang sebenarnya;

uluk- uluk perkutut manggung


teka saka ngendi,
teka saka tanah sabrang
pakanmu apa,
pakanku madu tawon
manis madu tawon,
ora manis kaya putuku, Srintil.

Konon bukan hanya itu.


Beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh Srintil.
Orang- orang yang sudah berkum pul hendak m elihat Srint il m enari
m ulai gelisah. Mereka sudah begit u rindu akan suara calung. Belasan
t ahun lam anya m ereka t idak m elihat pagelaran ronggeng. Maka bukan

11
m ain senang hat i m ereka ket ika m endengar Kart arej a bersuara;
pertunjukan akan dimulai.

Lingkaran yang terdiri atas warga Dukuh Paruk segera terbentuk. Tiga
penabuh duduk bersila m enghadapi perangkat pengiring; sebuah
gendang, dua calung dan sebuah gong t iup yang t erbuat dari seruas
bam bu besar. Sehelai t ikar t ersedia bagi t em pat Srint il m enari. Sakum
yang m enghadapi calung besar cepat m enj adi perhat ian orang.
Tam paknya dia t idak m engut uk m at anya yang but a. Sakum hanya
t ersenyum . Cengar- cengir. Kedua t angannya m em egang pem ukul
calung, siap menunggu aba- aba gendang.
Ket ika Srint il m uncul dit unt un Nyai Kart arej a, sem ua m at a t erarah
kepadanya. Rasus yang berdiri di lapisan penont on paling depan
ternganga. Dia tak percaya dirinya telah mencium Srintil beberapa hari
yang lalu. Srint il didudukkan di t engah t ikar. Tidak bergerak, bahkan
dia t idak m enggulirkan bola m at anya. Kart arej a m uncul dengan
pedupaan yang dibawanya berkeliling arena. Tungku kecil yang
m engepulkan asap kem enyan it u kem udian dilet akannya dekat
gendang.

Hening, Tanggapan hanya berupa bisik- bisik lirih. Seorang perempuan


m enggam it lengan t em an di sebelahnya, m em uj i kecant ikan Srint il.
Rasus Wart a dan Darsun m em andang boneka di t engah t ikar it u t anpa
kedipan m at a. Srint il, yang sering m enari di bawah pohon nangka kini
tampil di tengah pentas.
Kepada t ukang gendang, Kart arej a m em beri isyarat . Det ik berikut nya
bergem alah iram a calung yang dikem bari t epuk t angan ham pir sem ua
warga Dukuh Paruk. Sakum m ulai bert ingkah. Dengan lenggang-
lenggok j enaka ia m em ainkan calungnya. Sat u- dua seruan cabul m ulai
m eluncur dari m ulut nya. Set iap kali berseru, Sakum m endapat t epuk
tangan yang riuh.
Penont on m enunda kedipan m at a ket ika Srint il bangkit . Hanya
dit unt un oleh nalurinya, Srint il m ulai m enari. Mat anya set engah
t erpej am . Sakarya yang berdiri di sam ping Kart arej a m em perhat ikan
ulah cucunya dengan seksam a. Dia ingin m em bukt ikan kat a- katanya,
bahwa dalam t ubuh Srint il t elah bersem ayam indang ronggeng. Dan
Kartareja, sang dukun ronggeng mendapat kenyataan seperti itu.
Ket ika Srint il m enyanyikan lagu yang sulit - sulit , yang past i dia belum
pernah m em pelaj arinya, bulat lah hat i Kart arej a. Dia harus percaya
bahwa Srint il m endapat indang. Kart arej a percaya penuh, Srint il
dilahirkan di Dukuh Paruk at as rest u arwah Ki Secam enegala dengan
t ugas m enj adi ronggeng. Penam pilan Srint il yang pert am a, m em buat
Kart arej a m engangguk dan m engangguk. “ Sakarya t idak berlebihan
dengan kata- katanya beberapa hari yang lalu,” pikir Kartareja.

12
Selam a m enari waj ah Srint it dingin. Pesonanya m encekam set iap
penont on. Banyak orang t erharu dan kagum m elihat bagaim ana Srint il
melempar sampur. Bahkan Srintil mampu melentikkan jari- jari tangan,
sebuah gerakan yang paling sulit dilakukan oleh seorang ronggeng.
Penam pilan Srint il m asih dibum bui dengan ulah Sakum lest ari kocak
dan cabul. Suara “ cesss” t ak pernah luput pada saat Srint il
menggoyang pinggul.

Sat u babak t elah usai. Calung berhent i, dan Srint il kem bali duduk.
Gum am penont on t erdengar. Seorang perem puan m engisak. Rasa
harunya set elah m elihat Srint il m enari m enyebabkan air m at anya
menetes.

“ Tak kusangka Srint il bisa m enari sebagus it u,” kat anya. “ Kalau boleh
aku ingin m enggendongnya, m em buainya sam pai dia lelap di
pangkuanku.”
“ Yah, aku pun ingin m encuci pakaiannya. Aku akan m em andikannya
besok pagi,” kata perempuan lainnya.
“ Eh, kalian dengar. Srint il bukan m ilik orang per orang. Bukan hanya
kalian yang ingin m em anj akan Srint il. Sehabis pert unj ukan nant i aku
mau minta ijin kepada Nyai Kartareja.”
“Engkau mau apa?”
“Mem ij at Srint il. Bocah ayu it u past i lelah nant i. Dia akan kubelai
sebelum tidur.”
“ Yah, Srint il. Bocah kenes, bocah kewes. Andaikat a dia lahir dari
perut ku! ” kat a perem puan lainnya lagi. Berkat a dem ikian, perem puan
it u m engusap m at anya sendiri. Kem udian m em bersihkan air m at a
yang menetes dari hidung.

Rasus yang sej ak sem ula berdiri t ak bergerak di t em pat nya


m endengar segala pergunj ingan it u. Anak laki- laki berusia t iga belas
t ahun it u m erasa ada sesuat u yang t erlangkahi di hat inya. I a m erasa
Srint il t elah m enj adi m ilik sem ua orang Dukuh Paruk. Rasus cem as
t idak bisa lagi berm ain sepuasnya dengan Srint il di bawah pohon
nangka. Tet api Rasus t ak berkat a apa pun. Dia t et ap t erpaku di
tempatnya sampai pentas itu berakhir hampir tengah malam.
Orang- orang Dukuh Paruk pulang ke rum ah m asing- m asing. Mereka,
baik lelaki m aupun perem puan, m em bawa kenangan yang dalam .
Malam it u kenangan at as Srint il m eliput i sem ua orang Dukuh Paruk.
Penam pilan Srint il m alam it u m engingat kan kem bali bencana yang
menimpa Dukuh Paruk sebelas tahun yang lalu.
Srint il adalah seorang yat im piat u- sisa sebuah m alapet aka, yang
membuat banyak anak Dukuh Paruk kehilangan ayah- ibu.

13
Sebelas t ahun yang lalu ket ika Srint il m asih bayi. Dukuh Paruk yang
kecil basah kuyup t ersiram huj an lebat . Dalam kegelapan yang pekat ,
pemukiman terpencil itu lengang, amat lengang.
Hanya t angis bayi dan lam pu kecil berkelip m enandakan pedukuhan
it u berpenghuni. Tak ada suara kecuali suara kodok. Bangsa rept il it u
berpest a pora, bert unggangan dan kawin. Besok pagi, hasil pest a
m ereka akan t am pak. Kodok bet ina m eninggalkan unt aian t elur yang
panj ang. Kat ak hij au m enghim pun t elurnya dalam kelom pok yang
t erapung di perm ukaan air. Kat ak daun m enyim pan t elurnya pada
gumpalan busa yang melekat pada ranting semak- semak.
Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia
dapat m engira- ngira saat it u ham pir pukul dua belas t engah m alam ,
t ahun 1946. Sem ua penghuni pedukuhan it u t elah t idur pulas, kecuali
Santayib, ayah Srintil. Dia sedang mengakhiri pekerjaannya malam ini.
Bungkil am pas m inyak kelapa yang t elah dit um buk halus dibilas dalam
air. Set elah dit unt as kem udian dikukus. Turun dari t ungku, bahan ini
dirat akan dalam sebuah t am pah besar dan dit aburi ragi bila sudah
dingin. Besok hari pada bungkil ampas minyak kelapa itu akan tumbuh
jamur- j am ur halus. Jadilaht em pe bongkrek. Sudah sej ak lam a
Santayib memenuhi kebutuhan orang Dukuh Paruk akantempe itu.

Selesai dengan pekerj aan m alam it u, Sant ayib berangkat t idur. Sepi.
Dukuh Paruk dengan sem ua penghuninya larut bersam a m alam yang
dingin dan lem bab. Srint il yang m asih bayi acap kali t erj aga bila
popoknya basah. Bila kainnya sudah digant i Srint il lelap kem bali di
ketiak ibunya.
Tetes- t et es air yang t ersisa di pucuk- pucuk daun j at uh ke bawah.
Bunyi kelet ak- kelet ik t erdengar bila but ir air it u m enim pa daun pisang
at au daun keladi. Seekor burung celepuk hinggap t enang pada sebuah
dahan yang rendah. Mat anya yang awas m enat ap ke perm ukaan air di
kubangan. Bila m elihat kat ak, burung m alam it u m enukik t anpa suara,
hinggap di dahan lagi dengan korban di m ulut nya. Perburuan baru
akan berhent i bila t em bolok burung celepuk it u t elah penuh daging
segar. Pert anda t elah kenyang, dia akan m engeluarkan suara berat :
guk- guk- guk, hrrrrr. Suara hant u. Suara yang m em buat set iap anak
yang mendengarnya segera mencari selangkangan ibunya.

Sinar bulan t idak m am pu m enem bus t irai awan. Di langit t im ur bulan


hanya m em buat rona kuning. Kilat acap kali m em buat benderang
sesaat , m eninggalkan garis kem ilau yang pat ah- pat ah. Gem a guruh
berkepanj angan. Hilang gaungnya, Dukuh Paruk kem bali didaulat

14
suara bangsa kodok. Huj an yang kem udian t urun kem bali m em buat
Dukuh Paruk semakin kecil dan beku.
Tak seorang pun di Dukuh Paruk tahu.
Segumpal cahaya kemerahan datang dari langit menuju Dukuh Paruk.
Sam pai di at as pedukuhan cahaya it u pecah, m enyebar ke segala
arah. Seandainya ada m anusia Dukuh Paruk yang m elihat nya, dia
akan bert eriak sekeras- kerasnya. “ Ant u t awa. Ant u t awa. Awas ada
antu tawa! Tutup semua tempayan! Tutup semua makanan!”

Namun sem ua orang t et ap t idur nyenyak. Cahaya alarm yang


dipercaya sebagai pem bawa pet aka dat ang t anpa seorang pun
m elawannya dengan t olak bala. Kecuali kam bing- kam bing yang
m engem bik di kandang. Kecuali keribut an kecil di kurungan ayam .
Dan burung hant u yang m endadak berbunyi bersahut an. Dari rim bun
beringin di at as m akam Ki Secam enggala it u burung- burung hant u
meneriakkan gema berwibawa.
Beku dan kebisuan berj alan sam pai faj ar m enj elang. Makin sering
t erdengar suara t angis bayi. Juga em bik kam bing yang m ulai lapar.
Hujan yang tinggal rinai gerimis menciptakan bianglala di timur. Hanya
suara kodok yang sej ak sore hari t et ap ram ai. Kokok ayam dan cericit
tikus busuk yang mencari sarangnya di balik batu- batu besar.

Meski Santayib orang yang paling akhir pergi tidur, namun dia pulalah
yang pert am a kali t erj aga di Dukuh Paruk. Disusul kem udian oleh
ist rinya. Srint il, bayi yang m anis. Dia biasa t ergolek sendiri m eskipun
kedua orang t uanya m ulai sibuk bekerj a. Suam i- ist ri Sant ayib
m enyiapkan dagangannya; t em pe bongkrek. Sebelum m at ahari t erbit
akan dat ang para t et angga yang akan m em beli bongkrek. Kecuali hari
pasaran Santayib hanya menjual dagangannya kepada para tetangga.

Hari m ulai t erang. Di halam an rum ah Sant ayib seekor kodok


m elom pat sat u- dua m encari t em pat nya yang gelap di kolong balai-
balai. Sekelom pok lainnya m asih berenang dan kawin di kubangan.
Kam pret dan kalong berebut m asuk ke sarangnya kem bali. Boleh j adi
m ereka m asih lapar karena huj an m engacau perburuan m ereka.
Nam un binat ang m engirap it u t aat kepada alam . At au m ereka akan
dikejar dan dimangsa burung gagak bila pulang terlambat.
Beberapa anak t elah t urun dari balai- balai, lari ke depan pint u bam bu
dan kencing disana . At au lari ke kakus t erbuka di belakang rum ah.
Lalat berham buran. Seekor burung sikat an m encecet m enyam bar
m akanannya, lalat hij au. Sesekali burung kecil yang gesit it u t erbang
menyambar agas yang berputar- putar di atas kepala si bocah.

15
Liang kum bang t ahi ada di m ana- m ana di sekit ar kakus. Serangga
kot or ini m em punyai cara yang aneh bila hendak m em bawa t inj a ke
liangnya. Ia berjalan mundur sambil menolak bulatan kotoran manusia
sebesar buah j arak dengan kaki- kaki belakangnya. Alam yang
bij aksana, t elah m engaj ari bangsa kum bang t ahi. Walaupun ia
berjalan mundur, lintasan jalannya akan berakhir persis di mulut liang.
Disana gum palan t inj a it u dit olak ke dalam t anah. Disana pula bangsa
kumbang tahi menaruh telur bagi kelangsungan hidup jenisnya.
Satu- dua orang t elah dat ang m em beli bongkrek. I st ri Sant ayib
m elayani m ereka. Celot eh ant ar- perem puan t erdengar akrab.
Kemanisan pergaulan kampung yang lugu.
“Srintil belum bangun?”
“ Belum ,” j awab ist ri Sant ayib. “ Srint il bayi yang t ahu diri. Rupanya
dia tahu aku harus melayani sampean setiap pagi.”
“ Ah, sungguh berunt ung kalian m em punyai seorang bayi yang
anteng.”
“Betul. Kalau tidak, wah, sungguh repot kami.”
“Bongkrekmu tidak dicampur dedak, bukan?”
“ Oalah, t idak. Kem arin Kang Sant ayib m endapat bungkil yang baik.
Kering dan harum. Cobalah, bongkrekku manis sekali hari ini.”
“ Syukur. Pagi ini kam i seisi rum ah m akan nasi padi bengawan.
Sim panan t erakhir buat benih kam i t um buk. Apa boleh buat , kam i
sudah sebulan makan nasi gaplek. Hari ini kami menanak nasi.”
“ Wah. Sayur bongkrek cam pur t oge dengan nasi padi bengawan.
Hidangkan ket ika m asih hangat . Boleh aku m akan di rum ahm u?”
seloroh istri Santayib.
“Pasti boleh. Ayolah.”
“Terima kasih. Aku hanya berolok- olok.”

Dukuh Paruk m ulai hidup. Dent um lesung berisi gaplek yang


dit um buk. Bunyi m inyak panas di waj an yang dikenai adonan t epung
pembungkust em pe bongkrek. At au gem erencing keliningan di leher
anak kam bing yang m enyusu t et ek induknya yang m erekah. Seekor
induk ayam berkot ek keras- keras karena burung elang m enyam bar
seekor anaknya. Anak- anak m erengek m int a m akan. Seorang
perem puan di dapur m enghardik anaknya yang t idak sabar m enunggu
nasi gaplek masak ditanak.
Bila anak- anak Dukuh Paruk sudah lari ke luar dan m enyobek sehelai
daun pisang, berart i sarapan pagi t elah siap. Hanya beberapa di
ant ara m ereka yang biasa m enggunakan piring. Mereka m akan di
em per rum ah, di am bang pint u at au di m ana pun m ereka suka.
Sem ua m akanan enak sebab perut anak- anak Dukuh Paruk t idak
pernah benar- benar kenyang

16
Mat ahari naik. Panasnya m ulai m enyengat . Panas yang t elah
m engubah warna ram but orang dan anak Dukuh Paruk m enj adi
m erah. Kulit kehit am an bersisik. Dukuh Paruk yang t adi m alam basah
kuyup kini t erj erang. Panas dan lem bab. Nam un selam anya Dukuh
Paruk m enurut pada alam . Orang- orang dewasa t et ap bekeria di
ladang at au sawah. Anak- anak pergi dengan binat ang gembalaannya.
Hari itu tak terjadi kelainan di pemukiman terpencil itu.

Namun semuanya berubah menjelang tengah hari.

Seorang anak berlari- lari dari sawah sam bil m em egangi perut . Di
depan pint u rum ahnya dia m unt ah, t erhuyung dan j at uh pingsan.
I bunya yang sudah m ulai m erasakan sakit m enyengat kepalanya,
m enj erit dan m em anggil para t et angga. Sebelum para t et angga
dat ang, anak it u t elah m eregang nyawa. Bahkan ibunya pun j at uh t ak
sadarkan diri dengan rona biru di waj ahnya. I bu dan anak t erkulai di
tanah. Jerit dari rumah pertama memulai kepanikan di Dukuh Paruk.

Orang- orang yang bekerj a di luar rum ah bergegas pulang. Mereka


mendengar suara jerit minta tolong. Atau mereka sendiri mulai merasa
dunia berputar- putar. Seorang lelaki bahkan digendong oleh temannya
karena dia t idak lagi m am pu berj alan. Di perkam pungan, suara m int a
t olong t erdengar dari set iap rum ah. Pada akhirnya set iap keluarga
t erlibat dalam hiruk- pikuknya sendiri, kengeriannya sendiri. Tolong-
m enolong ant ar keluarga t ak m ungkin dilakukan. Bahkan sem ent ara
ibu harus m elihat anak at au suam inya m enggeliat m em pert ahankan
nyawa t anpa bisa berbuat apa pun karena dirinya sendiri berada
antara hidup dan mati.

Kebodohan m em ang pusaka khas Dukuh Paruk. Nam un set idaknya


orang- orang disana bisa berfikir m encari sebab m alapat eka hari it u.
Tidak sem ua warga Dukuh Paruk pusing, m unt ah lalu t erkulai.Ada
sem ent ara m ereka yang t et ap segar. Dan m ereka adalah orang- orang
yang tidak makantempe bongkrek buatan Santayib.

17
Jadi dalam haru- biru kepanikan it u kat a- kat a “ wuru bongkrek” m ulai
dit eriakkan orang. Keracunant em pe bongkrek. Sant ayib,
pem buat t em pe bongkrek it u, sudah m endengar t eriakan dem ikian.
Hat inya ingin dengan sengit m em bant ahnya. Nam un nuraninya j uga
berbicara, “ Sant ayib, bongkrekm u akan m em bunuh banyak orang di
Dukuh Paruk ini.”

Pergulat an berkecam uk sendiri di hat i ayah Srint il it u. Karena


ket egangan j iwa, t ubuh Sant ayib gem et ar. Bibir m em ucat dan nafas
m em buru. I st rinya yang m ulai dirayapi perasaan sam a, m alah m ulai
m enangis ket akut an. Suam i ist ri it u m em ang t idak ikut m akant em pe
buatan sendiri karena sudah bosan. Istri Santayib mendekati suaminya
yang sedang duduk gelisah di atas lincak.
“ Kang, orang- orang it u geger. Banyak t et angga yang sakit dan
pingsan. Ini bagaimana, Kang?”
Sant ayib m em bisu. Ket egangannya m akin m enj adi- j adi. Melihat laki-
laki itu diam, istrinya berseru lagi.
“ Kang, apa t idak kaudengar orang- orang m engat akan m ereka
keracunan t em pe bongkrek? Bongkrek yang kit a buat ? I ni bagaim ana,
Kang?”
Sekali ini pun Sant ayib t et ap m em beku. Hanya dadanya t urun- naik
lebih cepat . Perang ant ara suara hat i dan suara nuraninya sem akin
seru. Fit rahnya sebagai m anusia ingin m enolak keburukan yang akan
dat ang m enim panya. Sant ayib m engert i kenyat aan yang dihadapi
ham pir m ust ahil t erbant ah. Dia akan dit unt ut t anggung j awab sebagai
pem buat bongkrek yang m endat angkan pet aka. Nuraninya sendiri
akan menuntut demikian pula.
Di t engah kebim bangan dem ikian, m uncullah Sakarya, ayah Sant ayib
sendiri. Di belakang Sakarya m enyusul t iga orang laki- laki lain.
Ketiganya dengan wajah berang.

“ Oalah! Oalah! Sant ayib, anakku. Orang- orang it u m abuk keracunan


bongkrek. Bongkrekmu mengandung racun.”
Berkata demikian, Sakarya hendak berjalan ke dalam rumah anaknya,
ingin m elihat bongkrek yang t ersisa. Tiba- t iba Sant ayib berdiri. Perang
ant ara perasaan m enolak dan m enerim a t uduhan bert anggung j awab
m uncul m enj adi m om en m urka. Sant ayib t egak pada kedua kakinya
yang berget ar. Suara lant ang dit uj ukan kepada em pat laki- laki di
hadapannya.

18
“ Tidak! Bongkrekku t idak m ungkin beracun. Bahannya bungkil yang
kering. Tidak bercam pur apa pun. Ayah, engkau j angan m engaj ak
orang menuduh anakmu sendiri dengan keji!”
“ He, Sant ayib. Bukt i yang berbicara. Lihat , anakku, ist riku, em akku,
sem ua t ergelet ak. Mereka m akan bongkrekm u pagi ini,” bent ak
seorang laki- laki di belakang Sakarya.
“ Tidak bisa! Siapa t ahu kej adian ini adalah pageblug. Siapa t ahu
kej adian ini karena kut uk roh Ki Secam enggala yang t elah lam a t idak
diberi sesaji. Siapa tahu!”
“ He, barangkali engkau m eram bang bungkil dengan bokor t em baga,”
seru laki- laki lainnya. Sehabis bertanya demikian laki- laki itu berlari ke
sum ur. Benar. Disana dia m enem ukan sebuah bokor t em baga.Ada
lapisan membiru, warna asam tembaga. Bokor ini dibawanya ke depan
orang banyak. Dia berteriak bagai orang gila.

“ Sant ayib. Engkau anj ing! Asu bunt ung. Lihat , bokor ini biru karena
beracun. Asu bunt ung. Engkau t elah m em bunuh sem ua orang.
Engkau... engkau aaasssu... ”

Laki- laki yang hendak m elem par Sant ayib dengan bokor it u t ak kuasa
m eneruskan niat nya. Kepalanya berput ar. Ususnya t erasa m elilit .
Waj ah dan dadanya t erasa panas. Gem et ar dan j at uh t erj erem bab.
Kepanikan m asih dit am bah dengan m unculnya seorang perem puan
yang berlari sam bil m engangkat kain t inggi- t inggi. Tudingan jari
telunjuknya mengarah lurus ke arah bola mata Santayib.

“ Oalaaah, Sant ayib. Dua orang cucuku t ergelet ak karena m akan


bongkrekm u. Mereka akan segera m at i. Hayo, bagaim ana Sant ayib!
Aku m int a t anggung j awab. Engkau hut ang nyawa padaku. Tolong
cucu- cucuku sekarang. Hayo!”

Rasa get ir, kelu, dan bim bang m encekam hat i Sant ayib. Dia bingung,
am at bingung. Kekacauan hat inya t ergam bar pada rom an m uka yang
t idak m enent u. I st ri Sant ayib berlari hilir- m udik, m enangis dan
memeluk Srintil. Seperti mengerti segalanya, Srintil pun ikut menangis
keras- keras. Boleh j adi kesadaran Sant ayib hanya t inggal sebagian

19
ket ika dia lari m asuk ke dalam . Keluar lagi dengan seonggok bongkrek
di kedua t angannya. Lengking suaranya m em buat siapa pun
meremang bulu kuduk.

“ Baj ingan! Kalian sem ua baj ingan t engik! Bet apapun bongkrekku t ak
bersangkut- paut dengan m alapet aka ini. Lihat ! Akan kut elan bongkrek
ini banyak- banyak. Kalau benar ada racun, past i aku akan segera
sekarat!”

Secara m enyolok Sant ayib m em asukkan bongkrek ke dalam


m ulut nya. Tanpa m engunyah, m akanan it u cepat dit elannya. Pada
m ulanya, ist ri Sant ayib t erpana. Tet api rasa set ia kawan m enyuruhnya
segera bert indak. Sam bil m em bopong Srint il, perem puan it u ikut
mengambil bongkrek dari tangan Santayib dan langsung menelannya.

Sej enak Sakarya t erbelalak. Di depan m at anya sendiri Sakarya


m elihat anak dan m enant unya m enent ang racun. Tergagap laki- laki
tua itu meratap.

“ Jangan. Oalah, Sant ayib, j angan. Engkau anakku, j angan m enant ang
kematian. Jangan!”

Sakarya hendak m elom pat ke depan. I ngin dit episkannya t angan


Sant ayib yang m enggenggam bongkrek. Malah ingin dikoreknya m ulut
anak dan m enant unya agar m akanan beracun it u keluar kem bali. I t u
kehendak Sakarya. Tet api am bang pint u rum ah Sant ayib lain
kem auannya. Sakarya yang ingin bergerak secepat nya t ersandung
am bang pint u, j at uh dengan kepala m em bent ur t iang kayu. Tubuhnya
t erj aj ar bersam a laki- laki pert am a yang gagal m elem par Sant ayib
dengan bokor tembaga.

20
Dua t ubuh laki- laki t erkapar. Sat u di ant aranya adalah Sakarya, ayah
Sant ayib sendiri. Laki- laki pert am a lunglai oleh racunt em pe bongkrek,
dan yang kedua pingsan karena kepalanya t erbent ur t iang kayu. Dua
laki- laki lainnya berlalu m eninggalkan rum ah Sant ayib. Mereka t ent u
m em punyai kenangan berkesan at as dua t ubuh yang t ergolek di t anah
dan sepasang suami- istri yang sengaja menelantempe beracun.

Gum palan bongkrek t erakhir sudah lewat m elalui kerongkongan


Sant ayib. Dia m enoleh ist rinya yang sem ula berdiri di sam pingnya ikut
m engunyah bongkrek. Tet api perem puan it u t elah m enghilang ke
dalam bilik sambil membopong Srintil.

Kebekuan yang m encekam m eliput i rum ah Sant ayib. Dia t erm angu.
Dia tidak berbuat apa pun terhadap dua tubuh laki- laki yang melingkar
di t anah. Tidak. Sant ayib pun m em biarkan ayah kandungnya dalam
keadaan tak sadarkan diri.

Apa yang t erj adi kem udian hanya bisa diperbuat oleh orang t idak
waras. Sant ayib t ert awa t erbahak- bahak lalu berlari ke luar rum ah.
Sam bil berj alan m elom pat - lom pat , dicacinya sem ua orang dengan
ucapan yang paling kasar dan cabul. Dukuh Paruk dikelilinginya.
Sant ayib t idak peduli at as kepanikan luar biasa yang sedang m elanda
para tetangga. Tatapan matanya jalang. Teriakannya membabi buta.

“ Kalian, orang Dukuh Paruk. Buka m at am u, ini Sant ayib! Aku t elah
m enelan seraupt em pe bongkrek yang kalian kat akan beracun. Dasar
kalian sem ua, asu bunt ung! Aku t et ap segar- bugar m eski perut ku
penuht em pe bongkrek. Kalian m au m am pus, m am puslah. Jangan
kat akan t em peku m engandung racun. Kalian t erkena kut uk Ki
Secam enggala, bukan t erm akan racun. Kalian m em ang asu bunt ung
yang sepantasnya mampus!”

Lelah bert eriak- t eriak, Sant ayib pulang. Di depan rum ahnya dia
berpapasan dengan beberapa orang yang m enggot ong laki- laki yang

21
t adi hendak m elem par Sant ayib dengan bokor t em baga. Sakarya
masih pingsan, terkulai dekat ambang pintu.

Sej enak Sant ayib t ert egun. Digoyangnya t ubuh Sakarya yang t et ap
pingsan. Kem udian Sant ayib berlalu. Tet api kepalanya serasa
m elayang ket ika dia bangkit . Kelap- kelip seribu kunang- kunang di
matanya. Sengatan pertama terasa menusuk lambungnya.

Sant ayib t erus m elangkah m enuj u bilik t idurnya. Derit daun pint u
bam bu. Tam pak ist rinya t idur t engadah dengan keringat m em basahi
badannya. Waj ahnya pucat kebiruan. Terkadang perem puan it u
meringis bila merasa urat- urat di perutnya menegang.

Tetapi Srintil berceloteh lucu sekali di samping tubuh ibunya.

Meskipun t erasa rum ah berayun- ayun, ist ri Sant ayib t ahu suam inya
dat ang. Dengan m enggigil perem puan it u berusaha duduk di bibir
balai- balai.

Suami- ist ri saling pandang. Mereka, dua m anusia yang t elah


m enerim a sasm it a dari pencipt a Dukuh Paruk. Keduanya
berpandangan dengan cara aneh. Keduanya m em bisu. Bayangan
Sant ayib dit erim a oleh lensa m at a ist rinya, kem udian dij abarkan
secara kacau- balau oleh syaraf mata. Maka istri Santayib tidak melihat
sosok suam inya, m elainkan sebuah bayangan bergerak yang am at
menakutkan.

Waj ah ist ri Sant ayib sem akin pucat . Rona kengerian. Kelopak
m at anya m em buka lebar- lebar sehingga ret ina hanya berupa t it ik
hit am di t engah bulat an put ih. Mulut nya t ernganga sepert i dia hendak
berteriak keras.

22
Sant ayib pun dem ikian. Sesungguhnya gendang t elinganya
m enangkap suara celot eh Srint il yang lucu m enawan. Tet api Sant ayib
m endengarnya sebagai hiruk- pikuk suara ribuan m onyet di pekuburan
Dukuh Paruk. Sant ayib j uga m elihat berat us- rat us m ayat bangkit ,
dengan kacau- balau m em ukuli calung sam pai t ulang- t ulang m ereka
ront ok. Mat a Sant ayib t erbeliak dengan m ulut t ernganga. Ket ika
Sant ayib m elihat bayangan Ki Secam enggala m enj ulurkan t angan
hendak m encekik lehernya, dia hendak bert eriak. Nam un sem ua urat
di lehernya kaku.

Beku yang m encekam . Sant ayib sudah berdiri goyah. I st rinya duduk
m enggigil. Keduanya t idak saling pandang. Hanya daya m anusiawi
terakhir m em ungkinkan suam i- ist ri it u m asih sem pat berbicara. Suara
mereka terdengar dari tenggorokan yang hampir tertutup.

“Kang,” kata istri Santayib dengan mata terbeliak lurus ke depan.

“Hhh?”

“Srintil, Kang, Bersama siapakah nanti anak kita, Kang?”

“Hhhh?”

“Aku tak tega meninggalkannya, Kang.”

Sant ayib hanya kuasa m enelan ludah. Sem ent ara it u Srint il m eront a
m anj a di at as t ikar. Sant ayib ingin m em andangnya. Tet api
penglihat annya t elah baur. Srint il yang bergerak lucu hanya t ampak

23
sebagai hant u yang m enakut kan. Sant ayib m enikm at i kesadarannya
yang t erakhir ket ika m elihat ist rinya roboh ke belakang. Dia pun
segera t erkulai set elah dari m ulut nya keluar um pat an; “ bongkrek asu
bunt ung. “ I st ri Sant ayib m eninggal ket ika dia berusaha memiringkan
badannya hendak memeluk Srintil.

Bau kem at ian t elah t ercium oleh burung- burung gagak. Unggas buruk
yang serba hit am it u t erbang berput ar- put ar di ant ara pepohonan di
Dukuh Paruk. Suaranya yang serak hanya mendatangkan benci. Tetapi
hari it u burung- burung gagak bersuka- ria di Dukuh Paruk. Mereka
berteriak- teriak dari siang sampai malam tiba.

Maut bekerj a dengan sabar dan past i. Maut t elah berpengalam an


dalam pekerj aannya sej ak kem at ian yang pert am a. Tanpa t erganggu
oleh j erit dan rat ap t angis, m aut t erus m enj em put orang- orang Dukuh
Paruk. Hari it u sem bilan orang dewasa m eninggal. Dua di ant aranya
adalah suam i- ist ri Sant ayib. Juga sebelas anak- anak t idak t ert olong.
Jum lah it u m erupakan lebih dari separo anak di pedukuhan it u.
Belasan anak lainnya menjadi yatim- piatu pada hari yang sama.

Meski Sant ayib dan ist rinya m eninggal ket ika hari m asih siang, m ayat
m ereka t idak segera dit anam . Sem ua orang di Dukuh Paruk sibuk
dengan m ayat keluarga m asing- m asing. At au m erawat orang- orang
yang m asih bert ahan hidup. Orang- orang Dukuh Paruk m em punyai
cara sederhana m enolong orang t erm akan racun. Air kelapa
bercam pur garam m enj adi pencahar yang lum ayan m uj arab. Juga air
yang bercam pur abu dapur. Kalau orang keracunan bisa m unt ah
set elah m inum pencahar ini, ada harapan hidup baginya. Celakanya,
penggunaan pencahar yang t ak t erkendali sering pula m em bawa
kem at ian. Orang Dukuh Paruk sendiri t ak t ahu, banyak t em an m ereka
bukan m at i oleh racun bongkrek, m elainkan karena kekurangan cairan
pada tubuh mereka, akibat terlalu banyak muntah.

Malam hari, Sakarya bersam a ist rinya m enunggui m ayat anak


m ereka; Sant ayib suam i- ist ri. Srint il sering m enangis. Bayi it u belum
m erasakan sedih. Srint il m enangis karena air susu t ak lagi

24
diperolehnya. Oleh Nyai Sakarya, Srint il diberi hidup dengan air t aj in.
Walaupun sedang m enunggu m ayat anak dan m enant unya, t engah
m alam Sakarya keluar m enuj u m akam Ki Secam enggala. Laki- laki it u
m enangis seorang diri disana . Dalam kesedihannya yang am at
sangat , Sakarya m engadukan m alapet aka yang t erj adi kepada
m oyang orang Dukuh Paruk. Sakarya t idak lupa, dirinya m enj adi
kamitua di pedukuhan itu.

Keluar dari pekuburan Sakarya berkeliling pedukuhan. Dij enguknya


set iap rum ah. Set iap kali m em buka pint u Sakarya m endapat
kesedihan. Bahkan t idak j arang Sakarya m endapat perlakuan yang
t idak enak. Seolah- olah dia harus ikut bert anggung j awab at as dosa
anaknya, Santayib. Meskipun demikian tak sebuah rumah dilewati oleh
Sakarya.

Selesai berkunj ung ke set iap rum ah, Sakarya kem bali m engelilingi
pedukuhan. Kali ini dia berj alan di t epian kam pung. Di kaki bukit kecil
di pekuburan Dukuh Paruk, Sakarya berdiri bersilang t angan. Dalam
keheningan yang m encekam , laki- laki t ua it u m encoba
m enghubungkan bat innya dengan ruh Ki Secam enggala at au siapa
saj a yang m enguasai alam Dukuh Paruk. Sarana yang diaj arkan oleh
nenek m oyangnya adalah sebuah kidung yang dinyanyikan oleh
Sakarya dengan segenap perasaannya;

Ana kidung rumeksa ing wengi

Teguh ayu luputing lara

Luputa bilahi kabeh

Jin setan datan purun

Paneluhan datan ana wani

Miwah penggawe ala

Gunaning wong luput

25
Geni atemahan tirta

Maling adoh tan ana ngarah mring mami

Guna duduk pan sirna...

Adalah git a penj aga sang m alam . Tet aplah selam at , lepas dari segala
petaka. Luput lah segala m ara bencana. Jin dan set an t akkan
mengharu- biru, t eluh t akkan m engena. Sert a segala perilaku j ahat ,
ilm u para m anusia sesat . Padam sepert i api t ersiram air. Pencuri
t akkan m em buat ku m enj adi sasaran. Guna- guna sert a penyakit akan
sirna...

Alam m em bisu m endengar rat ap Sakarya. Dukuh Paruk bungkam .


Hanya kadang t erdengar keluh sakit . At au t angis orang- orang yang
m enyaksikan saudara m eregang nyawa. Bau bunga sedap m alam
dikalahkan oleh asap kem enyan yang m engepul dari sem ua rum ah di
Dukuh Paruk, pedukuhan yang berduka ket ika Srint il genap
berusialima bulan.

Malapet aka it u m asih diingat benar oleh sem ua orang Dukuh Paruk.
Seorang nenek t elah belasan kali m encerit erakannya kepada Rasus,
cucunya, Tentu saja nenek itu adalah nenekku sendiri karena di Dukuh
Paruk hanya ada seorang bernama Rasus yaitu diriku.

Sayang.

Dukuh Paruk dengan segala isinya t erm asuk cerit era Nenek it u hanya
bisa kurekam set elah aku dewasa. Apa yang kualam i sej ak kanak-
kanak kusim pan dalam ingat an yang serba sederhana. Dengan

26
kem am puan seorang anak pula, kurangkaikan cerit era sepot ong-
sepot ong yang kudengar dari kiri- kanan. Baru set elah aku m enginj ak
usia dua puluh t ahun, aku m am pu m enyusunnya m enj adi sebuah
cat at an. Mem ang m enyedihkan. Cat at an ini t idak lebih daripada
sebuah evaluasi perj alanan hidup seorang anak Dukuh Paruk. Bahkan
hal it u pun m ust ahil kulaksanakan sebelum aku m elewat i liku- liku
panj ang sam pai aku m enem ukan diriku sendiri. I barat m enit i sebuah
t it ian panj ang dan berbahaya, aku hanya bisa m encerit erakannya
kembali, mengulas serta merekamnya setelah aku sampai di seberang.

Sebagian cerit era Nenek kupercayai sebagai kebenaran. Sebagian lagi


kuanggap sebagai bagian legenda khas Dukuh Paruk. Lainnya lagi
m enj adi kisah yang m alah m em buat ku selalu t idak puas. Legenda
khas Dukuh Paruk m isalnya kisah Nenek t ent ang fenom ena di
pekuburan Dukuh Paruk m alam hari ket ika t erj adi bencana it u. Nenek
mengatakan banyak obor terlihat di atas kerimbunan pohon beringin di
at as m akam Ki Secam enggala. Dari pekuburan it u t erdengar suara
t angis bersahut an. Nenek j uga m engat akan bayangan Ki
Secam enggala keluar, m endat angi set iap m ayat yang m alam it u
belum satu pun sempat dikubur.

Bahkan Sakarya m endengar Ki Secam enggala m engat akan kem at ian


delapan belas warga Dukuh Paruk adalah kehendaknya. Selam a
hidupnya m enj adi brom ocorah, Ki Secam enggala berut ang nyawa
sebanyak itu, maka nyawa keturunannya dipakai sebagai tebusan.

Beberapa hari sebelum t erj adi m alapet aka it u t elah t erlihat berbagai
pertanda. Pancuran di Dukuh Paruk m engeluarkan air berbau busuk.
Pohon- pohon puring di pekuburan m elayu, t et api pohon sem boj a
m alah berbunga. Meskipun belum wakt unya, anj ing- anjing
berdat angan ke Dukuh Paruk. Anj ing- anj ing j ant an berebut bet ina
dalam kegaduhan yang m engerikan. Burung kedasih berbunyi sej ak
malam tiba sampai terbit fajar.

I t u kisah t et ek- bengek yang begit u diyakini oleh set iap orang Dukuh
Paruk. Siapa pun t akkan berhasil m engubah keyakinan it u. Juga orang

27
t ak perlu m engut uk warga Dukuh Paruk yang percaya penuh bahwa
asam t em baga adalah sat u- sat unya penyebab bencana. Di kem udian
hari aku diberi t ahu asam t em baga benar racun. Nam un sepanj ang
m enyangkut m alapet akat em pe bongkrek, asam t em baga t ak t erbukt i
berperan. Kesalahan harus dit im pakan kepada bakt eria j enis
pseudom onas coccovenenans yang ikut t um buh pada bongkrek dalam
peragian. Bakt eria it u m enghasilkan racun kuat yang m enj adi cikal-
bakal kematian orang yang makantempe bongkrek.

Tet api orang akan sia- sia m enyam paikan penget ahuan ini ke Dukuh
Paruk. Disana orang begit u yakin asam t em baga adalah sat u- satunya
penyebab racun bongkrek. Dem ikian, dengan m enghindarkan
perkakas t em baga orang Dukuh Paruk m asih m em buat t em pe
bongkrek. Jadi pet aka yang t erj adi ket ika Srint il bayi ( kat a Nenek aku
berusia t iga t ahun saat it u) bukan m usibah pert am a, bukan pula yang
terakhir.

Aku sendiri, kat a Nenek, selam at secara kebet ulan. Selagi Ayah dan
Em ak baru m erasa pusing di kepala, aku sudah j at uh pingsan. Tanpa
ada yang m em beri pet unj uk, Nenek m enggali t anah berpasir di
sam ping rum ah. Aku dit anam nya dalam posisi berdiri, hanya dengan
kepala berada di atas permukaan tanah. Sebenarnya, inilah cara orang
Dukuh Paruk m engobat i orang keracunan j engkol. Aneh, dengan cara
ini pula aku selamat dari racuntempe bongkrek.

Setelah dewasa, sekali aku pernah mencoba memikirkan hal ini. Boleh
j adi dengan cara dit anam sepert i it u keringat ku yang past i
m engandung racun cepat t erserap oleh t anah dari sem uapori di kulit
t ubuhku. Dengan dem ikian kekuat an racun cepat berkurang. Ah,
t et api t eori dem ikian sangat t idak pat ut dan hanya akan m engundang
t awa orang- orang pandai. Maka lebih baik kuikut i keyakinan Nenek,
bahwa aku selam at karena roh Ki Secam enggala belum m enghendaki
kematianku.

Cerit era Nenek yang paling m em buat ku penasaran adalah yang


m enyangkut Em ak. Bersam a Ayah, Em ak j uga t erm akan racun. Bila

28
Ayah langsung m eninggal pada hari pert am a, t idak dem ikian halnya
dengan Em ak. Dia m asih hidup sam pai seorang m ant ri dat ang pada
hari ket iga. Mant ri yang berkum is dan bert opi gabus it u m enolong
para korban yang m asih bernyawa dengan cara m enghardik; m engapa
m ereka m akant em pe bongkrek, m akanan yang bahkan t idak pant as
untuk anjing.

Oleh Pak Mant ri, Em ak bersam alim a orang lainnya dibawa ke


poliklinik di sebuahkot a kawedanan. Beberapa hari kem udian seorang
kem bali ke Dukuh Paruk dalam keadaan hidup, dan t iga lainnya sudah
menjadi mayat. Emak tidak ada di antara mereka.

Nenek selalu m enghent ikan cerit eranya di sini. Aku m erasa past i.
Nenek m enget ahui bet ul apa yang t erj adi pada Em ak selanj ut nya.
Nam un sepert i sem ua orang Dukuh Paruk, Nenek selalu berusaba
menutupi kenyataan yang berlaku atas diri Emak.

Sampai usia empat belas tahun, ketika Srintil mulai menjadi ronggeng
it u, aku berhasil m endapat sedikit ket erangan t ent ang diri Em ak.Ada
orang yang secara t ak sengaj a m engat akan Em ak m em ang m eninggal
di polikiinikkot a kawedanan it u. Nam un m ayat nya dibawa kekot a
kabupat en, disana m ayat Em ak diiris- iris oleh para dokt er. Mereka
ingin t ahu lebih banyak m engenai racunt em pe bongkrek. Dengan
dem ikian m ayat Em ak t idak pernah sam pai kem bali ke Dukuh Paruk.
Di m ana Em ak dikubur t ak seorang Dukuh Paruk pun yang
mengetahuinya.

Adapula orang m engat akan Em ak bisa diselam at kan. Nam un sam pai
beherapa hari Em ak t idak boleh m eninggalkan poliklinik. Kat a orang
it u, set elah Em ak sehat benar dia pergi dari poliklinik it u. Bukan
pulang ke Dukuh Paruk, m elainkan ent ah ke m ana bersam a m ant ri
yang merawatnya.

29
Jadi ada dua versi kisah t ent ang Em ak. Mana yang layak kupercaya
aku sendiri selalu ragu. Nam un set idaknya aku berharap, versi
pert am alah yang benar. Art inya m em ang Em ak m eninggal. Mayat nya
lalu dicincang unt uk kepent ingan penyelidikan. Pikiran durhaka
sem acam ini sengaj a kudat angkan ke kepalaku. Kuharap orang akan
m engert i andaikat a versi it u benar, hakekat nya lebih baik daripada
kebenaran versi kedua. Sayang, kedua- duanya t inggal m enj adi
ket idakpast ian yang m em buat ku lebih m erana daripada seorang
yatim- piatu.

Selama bertahun- tahun aku hanya bisa berandai- andai tentang Emak.
Andaikan benar Em ak dij adikan bahan penyelidikan racunt em pe
bongkrek; m aka m ayat Em ak dibedah. Organ pencernaannya
dikeluarkan. Juga j ant ung, bahkan past i j uga ot aknya. Orang- orang
pandai t ent u ingin t ahu pengaruh racun bongkrek t erhadap j aringan
ot ot j ant ung, sel- sel ot ak sert a bagaim ana racun m em bunuh but ir-
butir sel darah merah.

Darah Em ak diperiksa unt uk m enget ahui sam pai kadar berapa racun
bongkrek yang t erkandung cukup m em at ikan. Kubayangkan ham pir
sem ua bagian organ t ubuh Em ak dicincang- cincang. Lalu dit aruh di
bawah lensa m ikroskop at au diperiksa dalam berbagai perkakas
laborat orium yang rum it . Terakhir, m ayat Em ak yang sudah
berant akan dan berbau form alin dit anam . Ent ah di m ana, ent ah di
m ana. Orang- orang pandai it u, siapa pun dia, m erasa berhak
m enyem bunyikan kubur Em ak. Aku yang pernah sem bilan bulan
bersemayam dalam rahim Emak tidak perlu mengetahuinya.

Dalam m em bayangkan pencincangan t erhadap m ayat Em ak, aku


t idak m erasakan kengerian. I ni pengakuanku yang j uj ur. Sebab
bayangan dem ikian m asih lebih baik bagiku daripada bayangan lain
yang j uga m engusik angan- anganku. I t u andaikan Em ak t idak
meninggal melainkan pergi bersama si Mantri entah ke mana.

Boleh j adi Em ak hidup senang. Di luar Dukuh Paruk kehidupan selalu


lebih baik; dem ikian keyakinanku sepanj ang usia. Mant ri yang selalu

30
bert opi gabus, berpakaian put ih- put ih dengan kum is panj ang it u
m engawini Em ak. Mereka beranak- pinak. Tent ulah anak m ereka
berkulit bersih dengan bet is m ont ok dan selalu beralas kaki pula.
Set iap hari m ereka m akan nasi put ih dengan lauk yang enak. Anak-
anak it u, yang hanya hidup dalam angan- anganku, past i m enganggap
aneh kehidupan di Dukuh Paruk. Em ak sendiri m ungkin m erasa m alu
m encerit erakan perihal kam pung halam annya kepada anaknya yang
baru.

Suat u saat kubayangkan Em ak ingin pulang ke Dukuh Paruk, karena


aku yakin dia perem puan yang baik. Nam un aku yakin pula m ant riku
it u past i m elarangnya. At au Em ak t ak m ungkin bisa kem bali karena
bersam a m ant ri it u m ereka t elah pergi ke Deli, t em pat paling j auh
yang pernah diceriterakan Nenek kepadaku.

Ah, ent ahlah. Akhirnya kubiarkan Em ak hidup abadi dalam alam


angan- anganku. Terkadang Em ak dat ang sebagai angan- angan get ir.
Terkadang pula dia hadir m em beri kesej ukan padaku: Rasus, anak
Dukuh Paruk sej at i. Bagaim anapun aku t ak m eragukan keberadaan
Em ak, seorang perem puan yang m engandung, m elahirkan kem udian
menyusuiku. Itu sudah cukup.

Lebih baik sekarang kuhadapi hal yang lebih nyat a. Srint il sudah
m enj adi ronggeng di dukuhku, Dukuh Paruk. Usianya sebelas t ahun.
Aku em pat belas t ahun. Kini Srint il m enj adi boneka. Sem ua orang
ingin m enim angnya, ingin m em anj akannya. Aka t ahu sendiri
perem puan Dukuh Paruk bergant i- gant i m encucikan pakaian Srint il.
Mereka m em andikannya dan m enyediakan arang gagang padi buat
keramas.

Siapa yang m enebang pisang akan m enyediakan sesisir yang t erbaik


buat Srint il. Kalau ada ayam dipot ong karena sakit ( orang Dukuh
Paruk t akkan pernah sengaj a m em ot ong ayam ) , Srint il selalu
m endapat bagian. Tem an- t em anku sebaya,Wart a dan Darsun, rela
m enem puh sarang sem ut burangrang di at as pohon asalkan m ereka
dapat m encuri m angga at au j am bu. Dengan buah- buahan it uWart a
dan Darsun ikut memanjakan Srintil.

Sem ua it u t ak m engapa. Yang m erisaukanku adalah ulah suam i- istri


Sakarya. Mereka m elarang Srint il keluar berm ain- m ain di t epi

31
kam pung at au di bawah pohon nangka. Bila ingin m elihat nya, aku
harus dat ang ke rum ah Sakarya. At au m engint ip Srint il selagi dia
m andi di pancuran. Aku m engert i m aksud Sakarya m em ingit cucunya.
Dalam wakt u sebulan t elah t erlihat perubahan pada diri Srint il.
Ram but nya yang t idak lagi t erj erang t erik m at ahari m enj adi hit am
pekat dan lebat . Kulit nya bersih dan hidup. Sisik- sisik halus t elah
hilang. Pipinya bening sehingga aku dapat m elihat j aringan halus urat -
urat berwarna kebiruan. Debu yang m engendap, m enj adi daki, lenyap
dari betis Srintil. Dan yang kuanggap luar biasa; Nyai Sakarya berhasil
m engusir bau busuk yang dulu sering m enguap dari lubang t elinga
Srintil.

Pokoknya, pada usia em pat belas t ahun aku berani m engat akan
Srint il cant ik. Boleh j adi ukuran yang kupakai buat m enilai Srint il
hanya patut bagi selera Dukuh Paruk. Namun setidaknya pengakuanku
it u sebuah kej uj uran. Maka pengakuan ini berkelanj ut an dan aku t idak
m erasa bersalah t elah bersikap sem acam it u. Art inya, aku m ulai
m erasa benci t erhadap siapa saj a yang m enganggap Srint il adalah
wewenangnya, t erut am a suam i- ist ri Sakarya. Terut am a pula kepada
pemuda- pem uda yang m em asukkan uang ke dada Srint il bila
ronggeng itu menari tole- tole.

Perempuan- perem puan Dukuh Paruk begit u m em anj akan Srint il


sehingga dia seakan t idak lagi m em erlukan t em an berm ain.
Tam paknya Srint il t idak m erasa perlu m em beri perhat ian kepadaku
at au kepada siapa pun karena sem ua orang t elah m em perhat ikannya.
Ah. Perhatian Srintil itulah yang terasa hilang di hatiku.

Sekali aku m enem ukan cara licik unt uk m em peroleh kem bali
perhat ian ronggeng Dukuh Paruk it u. Sebuah pepaya kucuri dari
ladang orang. Pada saat yang baik, ket ika Srint il seorang diri di
pancuran, buah curian it u kuberikan kepadanya. Tak kukira aku akan
memperoleh ucapan terima kasih yang menyakitkan.

“ Sesungguhnya saya m enginginkan j eruk keprok,” kat a Srint il dingin.


“Tetapi buah pepaya pun tak mengapa.”

32
Aku diam karena kecewa, dan sedikit m alu. Nam un aku m endapat
akal unt uk m enolong keadaan. Pikiran it u m endadak m uncul set elah
kulihat gigi Srintil telah berubah.

“ Aku t ahu engkau ingin j eruk keprok. Nam un buah it u t ak baik buat
gigim u yang habis dipangur. Engkau akan dibuat nya m erasa sangat
ngilu.”

“ Wah, kau benar, Rasus. Seharusnya aku t idak m elupakan hal it u.


Unt ung kau m engingat kan aku,” j awab Srint il. Mat anya m enat apku
dengan sungguh- sungguh. Ket ika kem udian Srint il t ersenyum , sinar
lem but m em ancar dari gigi t aringnya yang t elah berlapis em as. Siapa
pun yang berselera Dukuh Paruk akan t erpacu j ant ungnya bila
menerima senyum dengan kilatan cahaya emas semacam itu.

Aku t ak bisa berkat a- kat a. Bahkan dalam beradu pandang dengan


Srint il, aku kalah. Kurang aj ar. Dasar ronggeng, pandangan matanya
t ak dapat kut ant ang. Anehnya cara Srint il m em andang m em buat ku
senang. Nam un sepert i sudah kukat akan, Srint il sudah t idak
m em but uhkan lagi t em an sebaya. Maka t anpa canggung sedikit pun
kemudian dia berkata,

“ Aku m au m andi sekarang, Rasus. Sebaiknya engkau pulang. Kalau


mau kau bisa menonton nanti malam. Aku akan menari lagi.”

“ Oh, j adi kau m au m enari lagi nant i m alam ?” t anyaku dem i m enut upi
kejengkelan.

“Ya, benar. Sekarang pulanglah!”

33
Pulanglah!

Kat a it u berulang- ulang t erdengar di t elingaku. Karena diusir dengan


halus aku pun pulang. Dalam hat i aku m engum pat ; baj ingan! Ah,
sesaat kem udian aku sadar, sebenarnya aku t idak m engut uk Srint il,
m elainkan diriku sendiri. Soalnya aku lahir m enj adi orang yang layak
diusir oleh ronggeng Dukuh Paruk itu.

Bet apapun aku t idak suka m enerim a perlakuan Srint il, t et api aku
berlalu. Bukan pulang. Aku hanya m enyingkir t idak berapa j auh. Di
atas sebuah tonggak kayu aku duduk. Dari tempat itu pandanganku ke
arah pancuran itu hanya terhalang perdu kenanga.

Jadi, Srint il yang sedang m em buka pakaiannya dapat kulihat dengan


nyat a. Kem udian dat ang t iga orang perem puan. Seorang di ant aranya
m em bawa arang bat ang padi unt uk m engeram asi cucu Sakarya it u.
Perkara m andi, Srint il sungguh t idak usah repot . Ket iga perem puan it u
berebut m elayaninya. Srint il hanya perlu t ert awa at au m em ekik m anj a
bila ada tangan yang mencubit bagian dadanya.

Perempuan- perem puan Dukuh Paruk it u! Kelak, sesudah aku t ahu


t ent ang perem puan luar kam pung, aku bisa m engat akan perem puan
Dukuh Paruk m em ang hebat . Dalam urusan ini aku bersyukur karena
Em ak t elah lam a lenyap dari pedukuhan it u. Kalau t idak, kukira Em ak
j uga berbuat sepert i sem ua perem puan Dukuh Paruk. Mereka bersaing
dengan sesamanya melalui cara yang aneh.

Ket ika m enont on Srint il m enari aku pernah m endengar percakapan


perempuan- perem puan yang berdiri di t epi arena. Percakapan m ereka
akan m em buat para suam i m erasa t idak m enyesal t elah hidup dalam
kungkungan rumah tangga.

34
“Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-
laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan.

“ Jangan besar cakap,” kat a yang lain. “ Pilihan seorang ronggeng akan
j at uh pert am a pada lelaki yang m em berinya uang paling banyak.
Dalam hal ini suamiku tak bakal dikalahkan.”

“ Tet api suam im u sudah pikun. Baru sat u babak m enari pinggangnya
akan terkena encok.”

“Aku yang lebih tahu tenaga suamiku, tahu?”

“ Tet api j angan som bong dulu. Aku bisa m enj ual kam bing agar
suam iku m em punyai cukup uang. Aku t et ap yakin, suam iku akan
menjadi lelaki pertama yang mencium Srintil.”

“ Tunggulah sam pai saat nya t iba. Suam i siapa yang bakal m enang.
Suamiku atau suamimu.”

Demikian. Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi


bahan percem buruan bagi perem puan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya.
Makin lam a seorang suam i bert ayub dengan ronggeng, m akin bangga
pula ist rinya. Perem puan sem acam it u puas karena diket ahui um um
bahwa suam inya seorang lelaki j ant an, baik dalam art i uangnya
maupun birahinya.

35
Sej ak perist iwa pem berian pepaya it u, aku m erasa Srint il m akin
m enj auh. Sering kusum pahi diriku m engapa aku j adi m erasa t ersiksa
karenanya. Kuaj ari diriku; kecant ikan Srint il bukan m ilikku, m elainkan
miliknya. Cambang halus di pipinya yang makin enak dipandang bukan
m ilikku, m elainkan m iliknya j uga. Kalau Srint il t ersenyum sam bil
m enari aku dibuat nya gem et ar. Tet api Srint il t ersenyum bukan
unt ukku, m elainkan unt uk sem ua orang. Meskipun dem ikian
pengaj aran dem ikian t idak m enolongku. Aku t et ap kecewa karena aku
tidak lagi bisa bermain bersama Srintil.

Boleh j adi karena m erasa begit u t ersiksa m aka kut em ukan j alan
unt uk m em peroleh kem bali perhat ian Srint il. Acap kali kudengar orang
bercelot eh bila Srint il habis m enarikan t ari Baladewa. Kat a m ereka,
t ubuh Srint il m asih t erlam pau kecil bagi kerisnya yang t erselip di
punggung. Celot eh sem acam ini m em buka j alan karena di rum ahku
ada sebuah keris kecil tinggalan ayah.

Lam a aku berfikir t ent ang keris it u.Ada keraguan unt uk


m enyerahkannya kepada Srint il. Aku t ahu Nenek past i akan
m enent ang kehendakku. Unt ung, roh- roh j ahat m engaj ariku
bagaim ana m enipu nenekku yang pikun. Suat u hari kukat akan kepada
Nenek,

" Nek, t adi m alam aku berm im pi bert em u Ayah. Dalam m im piku it u
Ayah berpesan yang wanti- want i harus kulaksanakan,” kat aku dengan
hati- hati.

“ Apa pesan ayahm u?” j awab Nenek yang m ulai t erpancing


kebohonganku.

“ Soal keris it u, Nek. Kat a Ayah keris it u harus kuberikan kepada siapa
saja yang menjadi ronggeng di pedukuhan ini. Demikian wangsit Ayah,
Nek.”

36
Wajah Nertek makin berkerut- kerut. Buruk bukan main. Aku berharap
m eski perem puan t ua it u yang m elahirkan Em ak, kej elekan waj ahnya
t idak dit urunkan. Nam un pikiran durhaka t idak lam a berada di
benakku. Segera kusadari, Neneklah yang dengan sabar
m em besarkanku dengan susah payah. Bila Nenek m em buruh
m enum buk padi, nasi yang dicat ukan baginya t idak dim akan, agar di
rumah aku tidak kelaparan.

“ Apakah karena kit a kurang raj in m erawat nya m aka keris it u harus
diserahkan kepada orang lain?” tanya Nenek.

“Boleh jadi demikian, Nek,” jawabku mantap.

Aku percaya t ipuanku m engena. Orang Dukuh Paruk, siapa pun dia,
m enganggap wangsit sebagai bagian dari hukum yang pant ang
dilanggar. Maka dengan m enyebut kat a wangsit it u aku berhasil
menipu Nenek secara sempurna.

Keris bekas m ilik ayah t idak lebih dari dua j engkal t anganku.
Sarungnya berlapis kuningan at au suasa. Tangkainya t erbuat dari
kayu walikukun, berbent uk aneh. Bila diperhat ikan benar, t angkai
keris it u m irip kem aluan laki- laki. Meskipun aku bernam a Rasus yang
lahir di Dukuh Paruk, aku t idak t ahu- m enahu t ent ang keris. Aku t idak
t ahu kegunaannya. Maka t idak sedikit pun aku m erasa sayang
m enyerahkannya kepada Srint il. Yang kuperlukan sekarang adalah
waktu yang baik untuk melakukan penyerahan itu.

Set iap hari bila m at ahari sudah naik, suam i- ist ri Sakarya pergi ke
ladang m ereka. Pada saat sepert i it u Srint il seorang diri di rum ah.
Mencari kut u dengan perem puan- perem puan dewasa, at au t idur pulas
bila m alam sebelum nya Srint il habis m enari. Yang kupilih adalah saat
dem ikian. Aku m asuk dari pint u belakang, m engendap- endap sam pai

37
ke bilik Srint il. Rum ah Sakarya am at lengang. Srint il t ergelet ak di at as
balai- balai, pulas. Di dekat bant alnya t ercecer banyak uang logam .
Menj engkelkan bila m engingat bagaim ana uang logam it u dim asukkan
ke dada Srint il oleh para perj aka. Aku t ahu past i, t angan para perj aka
it u bukan sekedar m em asukkan uang. Dada Srint il yang m asih sangat
muda itu pasti diperlakukan secara tidak senonoh.

Aku t et ap berdiri m em perhat ikan Srint il yang t ert idur nyenyak. Sudah
kukat akan usiaku t iga belas at au ham pir em pat belas t ahun saat it u.
Penget ahuanku t ent ang perem puan, baik sebagai pribadi m aupun
sebagai lem baga, sungguh t ak berart i. Nam un dengan daya tangkap
yang m asih sederhana aku dapat m engat akan ada perbedaan kesan
antara perempuan terjaga dan perempuan tertidur.

Lebih dam ai. Lebih t eduh. Sepasang m at a yang t ert ut up, lenyapnya
garis- garis ekspresi m em buat waj ah Srint il m akin enak dipandang.
Bibir yang t am pil dengan segala kej uj urannya sert a t arikan nafas yang
lam bat dan t erat ur, m em buat aku m erasa berhadapan dengan cit ra
seorang perem puan yang sebenarnya. Kelak aku m enget ahui banyak
orang berusaha m elukiskan cit ra sej at i seorang perem puan. Mereka
m enggunakan sarana seni lukis, seni pat ung at au seni sast ra. Aku
percaya para senim an it u keliru. Bila m ereka m enghendaki lukisan
seorang perem puan dengan segala keasliannya, seharusnya m ereka
melukiskan perempuan yang sedang tidur nyenyak.

Jadi aku t idak ingin m em bangunkan Srint il. Mem ang aku gagal
m encegah t anganku unt uk t idak m engelus cam bang halus di t epian
pipi ronggeng it u. Dan m em egang dengan hat i- hat i pucuk hidungnya.
Pada saat it u aku t eringat ulah kam bing- kam bingku sebelum m ereka
birahi. Teringat j uga akan burung t ekukur yang saling gigit paruh
sebelum m ereka kawin. Aku ingin m enirukan binat ang- binat ang it u.
Namun batal, khawatir Srintil akan terbangun atau aku sebenarnya tak
rela dipersamakan dengan kambing atau burung.

Keris yang kubawa dari rum ah m asih kuselipkan di ket iakku, rapi
t ergulung dalam baj u. Aku m erasa lebih baik m enyerahkan benda it u

38
kepada Srint il selagi dia t ert idur. Ternyat a kesan penyerahan
sem acam it u, dalam . Sangat dalam . Aku sam a sekali t idak m erasa
menyerahkan sebilah keris kepada seorang ronggeng kecil. Tidak.
Yang kuserahi keris it u adalah perem puan sej at i, perem puan yang
hanya hidup dalam alam angan- angan yang t erwuj ud dalam diri Srint il
yang sedang t idur. Tent u saj a perem puan yang kum aksud adalah
lem baga yang j uga m ewakili Em ak, walau aku t idak pernah t ahu di
mana dia berada.

Tangan Srint il kut at a supaya keris yang kulet akkan dekat bant al
berada dalam pelukannya. Baj uku m asih m em bungkus benda it u.
Nant i bila Srint il t erbangun dia akan t ahu siapa yang t elah m elet akkan
keris it u di dekat nya. Sebelum berlalu sekali lagi aku m enat ap Srint il.
Aku ingin lebih yakin, dalam tidurnya ronggeng itu malah lebih cantik.

Kambing- kam bing t idak lagi m enarik perhat ianku. Mereka boleh
berkeliaran sesuka hat i. Mereka boleh m em asuki ladang orang, dan
aku rela binat ang gem balaanku it u dibant ai oleh pet ani yang m arah.
Aku ingin duduk sepuas hat i di bawah pohon nangka. Tem pat it u
m asih m em beri ket eduhan m eski aku sudah lam a t idak berm ain
bersam a Srint il disana . Di t em pat ini aku duduk seorang diri;
merenung.

Di sebelah kiriku, agak j auh ke barat , t am pak pekuburan Dukuh


Paruk. Tonggak- t onggak nisan kelihat an dari t em pat ku duduk. Hal
yang m engecewakan, m akam Em ak t idak ada disana . Aku heran
m engapa orang Dukuh Paruk t idak m em buat kesepakat an, dan
bersama- sam a m enipuku. Kalau m ereka m engat akan m akam Em ak
ada di ant ara m akam - m akam di pekuburan Dukuh Paruk, past i aku
percaya. I t u lebih baik daripada aku harus m engkhayal ant ara percaya
dan t idak kisah t ent ang diri Em ak. Apakah Em ak m asih hidup dan lari
bersam a m ant ri yang m erawat nya, at au sudah m at i dan m ayat nya
dipotong- potong oleh para dokter.

Ah, sebaiknya kukhayalkan Em ak sudah m at i. Ket ika hidup dia


secant ik Srint il. Bila sedang t idur, t am pillah Em ak sebagai cit ra

39
perem puan sej at i. Ayu, t eduh, dan m enj adi sum ber segala kesalehan,
sepert i Srint il yang saat it u m asih t elap m em eluk keris kecil yang
kuletakkan di sampingnya.

Atau, Srintil sudah terjaga. Dia heran ketika menemukan sebilah keris
ada di dekat nya. Nam un Srint il harus m engenal baj u yang m enj adi
bungkus keris it u. Srint il harus m engenal baj uku. Jadi ronggeng it u
harus t ahu siapa yang t elah m elet akkan keris it u di sam pingnya.
Perhit unganku bukan khayalan kosong. Bukt i kebenarannya t erbukt i
kemudian.

Sepasang t angan m enut up m at aku dari belakang. Sej enak aku t idak
bisa m enebak siapa yang dat ang. Nam un ket ika t ercium bau bunga
kenanga, sert a kuraba kulit t angan yang halus, aku segera
memastikan Srintil- lah orangnya.

“ Kau m elam un di sini, Rasus?” t anya Srint il sam bil duduk di


sampingku.

“Ah, tidak...”

“Katakan, ya!”

“Aku sedang...”

“ Sudahlah. Jangan m encari alasan yang bukan- bukan. Aku t ahu kau
sedang m elam un karena kehilangan sehelai baj u. Nah, ini dia.
Pakailah!”

40
Srint il bukan hanya m enyerahkan baj u bekas pem bungkus keris it u
kepadaku. Dia langsung m em asangkannya pada t ubuhku, sert a
m engancingnya sekalian. Punggung t angan it u put ih. Uj ung j arinya
m erah karena Srint il m ulai m engunyah sirih. Jant ungku berdenyut
lebih cepat.

“ Rasus, coba kat akan padaku t ent ang keris it u. Dan m engapa engkau
m elet akkannya di sam pingku ket ika aku sedang t idur,” kat a Srint il
dekat sekali dengan telingaku.

Aku tidak bisa segera menjawab.

Aku juga tidak berani mengangkat muka menatap wajah Srintil.

“Katakan, Rasus. Katakan.”

“ Keris it u unt ukm u, Srin,” j awabku lirih, t anpa m elihat lawan


bicaraku.

“ Ya, Rasus. Tet api m engapa hal it u kaulakukan? Engkau senang


padaku?”

Lagi, aku t ak bisa m enj awab. Nam un ket ika beberapa kali didesak,
aku menjawab,

41
“ Keris it u kecil, j adi cocok unt ukm u. Keris yang selam a ini kaupakai
t erlalu besar. Dengan keris pem berianku it u, kau akan bert am bah
cantik bila sedang menari Baladewa.”

“Jadi engkau senang bila aku kelihatan bertambah cantik?”

Aku mengangguk.

“ Tet api apakah kau m engert i t ent ang keris yang kauberikan padaku
itu?”

“Tidak. Aku tak tahu- menahu tentang keris,” jawabku.

“Oh, dengar. Kakek dan Kartareja telah tahu tentang keris itu.”

“ Apa? Kau j uga m engat akan aku yang t elah m em bawanya ke dalam
bilikmu?”

“ Tidak begit u. Mereka t idak kuberi t ahu siapa yang m em bawa keris
itu kepadaku. Aku merahasiakan hal itu kepada mereka.”

“Lalu?”

“ Mereka m engat akan keris it u bernam a Kyai Jaran Guyang, pusaka


Dukuh Paruk yang t elah lam a lenyap. I t u keris pekasih yang dulu
selalu m enj adi j im at para ronggeng. Mereka j uga m engat akan hanya
karena keberunt unganku m aka keris it u sam pai ke t anganku. Rasus,

42
dengan keris itu aku akan menjadi ronggeng tenar. Itu kata Kakek dan
juga kata Kartareja.”

“ Dengan keris pem berianku it u kau akan m enj adi ronggeng t enar?”
kataku mengulang.

“Begitu kata mereka.”

“Jadi kau senang dengan pemberianku itu?”

“Oh tentu, Rasus.”

Kemudian Srint il m erangkulku. Aku t ahu dia sedang m engucapkan


t erim a kasih. Ulahnya t idak kucegah. Juga aku t et ap diam ket ika
Srint il m ulai m encium i pipiku. Tak kuduga sam a sekali dalam
m elakukan t indakan it u Srint il t ak sedikit pun m erasa canggung.
Tam paknya dia sudah t erbiasa. Dalam hat i aku bert anya kapankah
Srint il belaj ar cium - m encium ? At au begit ukah seharusnya seorang
ronggeng? Meski dia baru berusia sebelas tahun?/bp/

***

Sudah dua bulan Srint il m enj adi ronggeng. Nam un adat Dukuh Paruk
mengat akan m asih ada dua t ahapan yang harus dilaluinya sebelum
Srint il berhak m enyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya.

43
Salah sat u di ant aranya adalah upacara perm andian yang secara
turun- temurun dilakukan di depan cungkup makam Ki Secamenggala.

Pagi it u Dukuh Paruk berhiaskan bunga bungur. Warna ungu yang


semarak menghias hampir semua sudut pedukuhan sempit itu.

Mat ahari m ulai kem bali pada lint asannya di garis kat ulist iwa. Angin
t enggara t idak lagi bert iup. Langit yang selalu m em biru di m usim
kem arau m ulai bernodakan gum palan- gum palan awan. Kem arau
sedang menjelang masa akhirnya.

Pagi yang lengang. Sinar m at ahari dalam berkas- berkas kecil


m enem bus kerindangan pekuburan Dukuh Paruk. Tet es- t et es em bun
di pucuk daun m enangkap sinar it u dan m em biaskannya m enj adi
pelangi lem but yang berpendar- pendar. Seekor t upai m eluncur t urun
dari atas pohon. Binatang itu bergerak dalam lintasan yang berupa ulir
hingga m encapai t anah. Dengan m at a waspada t upai it u m elom pat -
lom pat di at as t anah, lalu naik lagi dengan seekor si kaki seribu
tergigit di mulutnya.

Dalam kerim bunan t um buhan benalu, sepasang burung m adu


berkej aran. Jant an yang berwarna m erah saga m engej ar bet inanya.
Set elah t ert angkap keduanya bergulat sej enak lalu m enj at uhkan diri
bersama sam bil bersenggam a. Pasangan it u baru saling m elepaskan
diri sat u det ik sebelum t ubuh m ereka m enyent uh t anah. Perint ah alam
selesai m ereka laksanakan. Si j ant an t erbang dengan penuh
kepuasan, kem bali t erbang dan hinggap di kerim bunan benalu.
Selesailah hidupnya karena seekor ular hijau langsung menangkap dan
memangsanya disana .

Pohon beringin besar yang m enj adi m ahkot a pekuburan Dukuh Paruk
m enj adi ist ana para burung. Pada sebuah dahannya yang t ersem bunyi
hinggap seekor burung celepuk. I a sedang t erkant uk set elah
m enghabiskan m alam nya dengan berburu t ikus, ikan at au kat ak.

44
Hanya burung kucica yang kecil berani m engusik raj a burung m alam
it u. Burung- burung seling yang hit am pekat dan burung kat ik yang
hij au, hinggap dalam kelom pok- kelom pok. Mereka m em bisu sam bil
berj em ur m enant i hangat nya udara pagi sebelum t erbang m encari
makanan di tempat lain.

Hari it u t ak ada kegiat an kerj a di Dukuh Paruk. Upacara m em andikan


seorang ronggeng adalah perist iwa yang pent ing bagi orang di
pedukuhan it u, lagipula am at j arang t erj adi. Maka t ak seorang pun
yang ingin t ert inggal. Maka pagi- pagi warga Dukuh Paruk, t iada
kecualinya, sudah berkum pul di halam an rum ah Kart arej a. Mereka
akan m engiring Srint il dari rum ah it u sam pai ke m akam Ki
Secamenggala. Disana Srintil akan dipermandikan.

Srint il didandan dengan pakaian kebesaran seorang ronggeng. Aku


m elihat keris kecil yang kuberikan kepada Srint il t erselip di pinggang
ronggeng it u. Serasi benar ukurannya dengan badan Srint il. I t u bukan
hanya penilaianku. Kudengar beberapa orang berkom ent ar, “ Srint il
m engenakan keris baru yang lebih kecil dan bagus. Alangkah
pantasnya. Alangkah kenesnya.”

Aku yakin puj ian it u t erdengar oleh Srint il. Kut unggu t anggapannya.
Srint il t idak m enoleh kepada orang yang m engucapkan puj ian it u. Dia
m enolehku lalu t ersenyum . Sayang, aku t ak dapat m em balas senyum
Srint il karena j ant ungku berdenyut t erlam pau cepat . Boleh j adi orang-
orang bert anya- t anya. Tet api aku percaya kecuali Srint il dan nenekku
yang t elah pikun, orang lain t ak t ahu t ent ang keris yang dipakai Srint il
pagi it u. At au bila ada orang t ahu bahwa akulah yang m em berikan
keris kecil kepada Srint il, aku t idak peduli. Dengan m em berikan
pusaka it u kepada Srint il, aku t elah m em peroleh im balan yang cukup;
Srint il kem bali m em perhat ikan diriku. I ni berart i ada seorang
perem puan dalam hidupku, suat u hal yang t elah bert ahun- tahun
kudambakan.

Tidak bisa kupast ikan yang kurindukan adalah seorang perem puan
sebagai kecint aan at au seorang perem puan sebagai cit ra seorang

45
em ak. Em akku. At au kedua- duanya. Tet api j elas, penam pilan Srint il
m em bant uku m ewuj udkan angan- anganku t ent ang pribadi perem puan
yang t elah m elahirkanku. Bahkan j uga bent uk lahirnya. Jadi sudah
kuanggap past i, Em ak m em punyai senyum yang bagus sepert i Srint il.
Suaranya lem but , sej uk, suara seorang perem puan sej at i. Tet api aku
t idak bisa m em ast ikan apakah Em ak m em punyai cam bang halus di
kedua pipinya sepert i halnya Srint il. At au, apakah j uga ada lesung
pipit pada pipi kiri Em ak. Srint il bert am bah m anis dengan lekuk kecil
di pipi kirinya, bila ia sedang t ert awa. Hanya secara um um Em ak m irip
Srint il. Sudah kukat akan aku belum pernah at au t akkan pernah
m elihat Em ak. Persam aan it u kubangun sendiri sedikit dem i sedikit .
Lama- lam a hal yang kureka sendiri it u kuj adikan kepast ian dalam
hidupku.

Di halam an rum ah Kart arej a ronggeng berm ain sat u babak. Tidak
sepert i biasa, pent as kali ini t anpa nyanyi at au t arian erot ik. Mulut
Sakum bungkam . Si but a it u t idak m engeluarkan seruan- seruan cabul.
Sem ua orang t ahu perm ainan kali ini bukan pent as ronggeng biasa.
Tet api m erupakan bagian dari upacara sakral yang dipersem bahkan
kepada leluhur Dukuh Paruk.

Selesai berm ain sat u babak, rom bongan ronggeng bergerak m enuj u
pekuburan Dukuh Paruk. Kart arej a berj alan paling depan m em bawa
pedupaan. Srint il di belakangnya. Menyusul para penabuh. Sakum
dit unt un oleh seorang penabuh lainnya. Di belakang m ereka m enyusul
segenap warga Dukuh Paruk, dari anak- anak sam pai yang t ua- tua.
Bayi- bayi digendong, anak kecil dit unt un. Mereka m em buat barisan
panjang, berarak menuju makam Ki Secamenggala.

Sam pai di t uj uan, Kart arej a m elet akkan pedupaan di am bang pint u
cungkup leluhur Dukuh Paruk. Dua orang laki- laki m em bawa
t em payan berisi air kem bang. Dengan air it u nant i Srint il akan
dim andikan. Nyai Kart arej a m enunt un Srint il. Dilindungi oleh beberapa
perem puan t ua lainnya, pakaian Srint il dibuka, hanya t inggal selem bar
kain yang menutupi tubuh perawan itu.

46
Mantera- m ant era dibacakan oleh Nyai Kart arej a, dit iupkan ke ubun-
ubun Srint il. Kem udian t ubuh perawan it u m ulai diguyur air kem bang,
gayung dem i gayung. Sem ent ara it u orang- orang dukuh Paruk lainnya
hanya m enont on. Srint il m enj adi pusat perhat ian. Rom bongan
penabuh m em persiapkan diri. Mereka m enat a perkakas m asing-
masing, duduk bersila di atas tanah.

Srint il selesai dim andikan. Nyai Kart arej a m engeringkan ram but
ronggeng it u dengan sehelai kain. Tiga orang perem puan m em bant u
Nyai Kart arej a m endandani Srint il kem bali. Mereka m enyisir, m em beri
bedak dan m em bant u Srint il m engenakan kain sert a m engikatkan
sam pur di pinggang. Sem uanya sudah beres. Ram but Srint il sudah
disanggul. Kem udian ronggeng it u dit unt un ke depan pint u cungkup.
Disana Srint il m enyem bah dengan t akj im , lalu bangkit dan berj alan ke
hadapan lingkaran para penabuh.

Tiba giliran bagi Kart arej a. Set elah kom at - kam it sebent ar, laki- laki it u
m em beri aba- aba kepada pem ukul gendang. Kelengangan pekuburan
Dukuh Paruk pecah. Suara gendang dan calung m enggem a bersam a
dalam irama khas.

Berpuluh- puluh burung serent ak t erbang m eninggalkan pepohonan di


pekuburan it u. Tidak sepert i sem ua orang Dukuh Paruk, burung-
burung it u t ak m enyukai iram a calung. Tidak sepert i aku yang sedang
t ak berkedip m elihat pengej awant ahan Em ak pada diri Srint il, burung-
burung itu tak menyukai ronggeng.

Pada saat sepert i it u orang- orang Dukuh Paruk percaya sem ua roh di
pekuburan it u bangkit m elihat pert unj ukan. Mereka j uga yakin arwah
Ki Secam enggala berdiri di am bang pint u cungkup dan m elihat Srint il
berj oget . Oleh karena it u t ak seorang pun berdiri di depan cungkup it u
karena tak ingin menghalangi pandangan mata roh Ki Secamenggala.

47
Aku berdiri di bagian depan. Seandainya ada orang Dukuh Paruk
m am pu berbicara m asalah apresiasi, m aka alangkah baik bila
diadakan pengukuran. Apresiasi siapakah yang paling dalam at as
pert unj ukan ronggeng Srint il di pekuburan it u. Secara angkuh aku
dapat memastikan apresiasikulah yang paling dalam. Aku bukan hanya
sekedar m elihat Srint il m eronggeng, m elenggang lenggok dan
bert em bang. Aku t idak hanya m endengar keserasian bunyi calung,
gendang dan gong t iup yang m enghasilkan iram a indah. Juga aku
bukan hanya t erkesan oleh lent uk leher Srint il, goyang pundaknya
at au lent ik j em arinya. Lebih dari it u. Karena aku m elihat Srint il lebih
daripada seorang perawan kecil yang m enj adi ronggeng. Pada saat
sepert i it u kerinduanku akan kehadiran Em ak t erobat i. Pada saat
sepert i it u hilang angan- angan apakah Em ak m elarikan diri bersam a
m ant ri it u. At au m at i dan m ayat nya dicincang- cincang. Yang
m em enuhi j iwaku adalah kenyat aan Srint il sedang m enari, t ersenyum
kepadaku. Hal it u sudah cukup m elenyapkan, m eski hanya sesaat ,
penderitaanku yang tak pernah melihat Emak.

Konon sem asa hidupnya Ki Secam enggala sangat m enyukai lagu Sari
Gunung. Maka dalam rangkaian upacara m em perm andikan Srint il it u
lagu Sari Gunung- lah yang pert am a kali dinyanyikan oleh Srint il,
secara berulang- ulang. Sepert i pada awal upacara di rum ah Kart arej a,
pent as di pekuburan it u m eniadakan lagu- lagu cabul. Sakum diam .
Tet api m enj elang babak ket iga t erj adi kegaduhan. Kej adian it u t akkan
pernah kulupakan buat selama- lamanya.

Dalam berdirinya, t iba- t iba Kart arej a m enggigil t egang. Mat a dukun
ronggeng itu terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat dan basah oleh
keringat . Sesaat kem udian t ubuh Kart arej a m engej ang. Dia
melangkah t erhuyung- huyung, dan m at anya m enj adi set engah
terpejam.

Sem ua orang t erkesim a. Calung berhent i. Srint il m enghent ikan


t ariannya karena calung dan gendang pun bungkam . Kart arej a t erus
m elangkah. Sam pai di t engah arena laki- laki t ua bangka it u m ulai
menari sambil bertembang irama gandrung.

48
Hanya Sakarya yang cepat t anggap. Kakek Srint il it u percaya penuh
roh Ki Secam enggala t elah m em asuki t ubuh Kart arej a dan ingin
bertayub. Maka Sakarya cepat berseru,

“ Pukul kem bali gendang dan calung. Ki Secam enggala ingin bert ayub.
Srintil, ayo menari lagi. Layani Ki Secamenggala.”

I ram a calung kem bali m enggem a. Tet api suasana j adi m encekam .
Sem ua orang percaya akan kat a Sakarya bahwa Kart arej a sedang
dirasuki arwah leluhur. Maka mereka mundur dalam suasana tegang.

Calung dit abuh dalam iram a t ayub. Kesahduan upacara sakral it u


hilang. Lagu- lagu pem ancing birahi disuarakan. Sakum t idak pernah
lupa akan t ugasnya. Mem oncongkan m ulut lalu m enghem buskan
seruan cabul pada saat Srintil menggoyang pinggul. Cesss... cessss.

Kart arej a m enari m akin m enj adi- j adi. Berj oget dan m elangkah m akin
m endekat i Srint il. Tangan kirinya m elingkari pinggang Srint il.
Menyusul t angannya yang kanan. Tiba- t iba dengan kekuat an yang
m engherankan Kart arej a m engangkat t ubuh Srint il t inggi- tinggi.
Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh birahi.

Penont on bersorak. Mereka bert epuk t angan dengan gem bira. Tet api
aku diam t erpaku. Jant ungku berdebar. Aku m elihat t ont onan it u
t anpa perasaan apa pun kecuali kebencian dan kem arahan. Tak t erasa
tanganku mengepal. Hanya itu, karena aku tak bertindak apa- apa. Tak
berani berbuat apa- apa. Dan Kart arej a t erus m encium i Srint il t anpa
peduli puluhan pasang mata melihatnya.

Tak kuduga sorak- sorai orang Dukuh Paruk berhent i seket ika.
Mereka, j uga aku sendiri, kem udian m elihat Kart arej a m endekap

49
Srintil begitu kuat sehingga perawan kecil itu tersengal- sengal. Bahkan
akhirnya Srint il m erint ih kesakit an. Seakan dia m erasa t ulang- tulang
rusuknya patah oleh himpitan lengan Kartareja yang kuat.

Terj adi ket egangan. Tet api belum ada orang yang bert indak. Kecuali
Sakarya yang tiba- tiba melompat ke depan sambil berseru,

“Hentikan calung. Hentikan calung!”

Sakarya m endekat i Kart arej a yang t et ap m endekap Srint il kuat- kuat.


Sakarya m elihat m at a cucunya t erbeliak karena sukar bernapas.
Terbata- bata kakek Srintil itu meratap.

“ Lepaskan cucum u, Eyang Secam enggala. Aku m em ohon lepaskan


Srint il. Kasihani dia, Eyang. Srint il adalah ket urunanm u sendiri,” rat ap
Sakarya berulang- ulang.

Sehabis berkat a dem ikian Sakarya berbalik m engam bil pedupaan.


Dikibas- kibaskannya asap kem enyan it u ke arah Kart arej a yang
dipercayainya sedang kem asukan arwah Ki Secam enggala. Nyai
Kart arej a m engam bil segayung air kem bang dan disiram kannya ke
kepala suaminya. “Eling, Kang. Eling,” kata Nyai Kartareja.

“ Jangan panggil dengan sebut an Kang! Panggil dia dengan kat a


Eyang. Kau t ak t ahu suam im u sedang kesurupan?” bent ak Sakarya
kepada Nyai Kartareja.

Ent ah oleh siram an air kem bang at au oleh kepulan asap pedupaan,
perlahan- lahan Kart arej a m engendorkan dekapannya at as diri Srint il.
Kedua t angannya t erkulai. Dukun ronggeng it u m ulai berdiri goyah,

50
dan akhirnya roboh ke t anah. Tangan dan kaki Kart arej a kej ang.
Matanya kelihatan mengerikan karena hanya kelihatan bagiannya yang
putih.

Aku maju ke depan. Aku ingin menjadi orang pertama yang menolong
Srintil dari ketakutannya. Kurangkul pada pundaknya.

“Kau tidak apa- apa, Srin?” tanyaku.

Srint il hanya m enggeleng. Dingin t erasa t ubuhnya. Tangannya


gemetar.

Tinggal Kart arej a yang m enj adi perhat ian orang. Dia m asih t erkapar.
Tet api perlahan- lahan dia m enggeliat , kem udian m elenguh. Mat anya
t erbuka. Masih t ert idur di t anah, Kart arej a m enoleh kiri- kanan, lalu
duduk. Dukun ronggeng itu masih kelihatan bingung.

“Syukur- syukur,” ujar Sakarya. “Sampean sudah sadar, Kang?”

“ Lho, ada apa? Kenapa badanku basah begini? Mengapa calung


berhent i?” t anya Kart arej a bim bang. Dipandangnya orang- orang yang
mengelilinginya, kemudian Kartareja bangkit berdiri.

“Adaapa ini?” ulang Kartareja.

“He- he. Eyang Secam enggala baru saj a hadir. Beliau bert ayub
bersama Srintil,” ujar Sakarya menerangkan.

51
“Eyang Secamenggala?”

“ Benar, Kang. Rohnya m em asuki t ubuh sam pean dan t ent u saj a
sampean tidak sadar. Hal ini berarti persembahan kita pagi ini diterima
olehnya. Srintil direstuinya menjadi ronggeng.”

Percakapan selanj ut nya ant ara Sakarya dan Kart arej a t idak lagi
kudengar. Aku j uga t idak lagi m endengar celot eh sert a gum am orang-
orang Dukuh Paruk t ent ang perist iwa yang baru t erj adi. Apa pun t ak
kuinginkan kecuali segera m em bawa Srint il m enyingkir. Kugandeng
t angannya m enuruni bukit kecil pekuburan. Srint il t idak kuant ar
pulang ke rum ahnya, m elainkan kubawa ke rum ahku. Suat u
keberanian yang t ak pernah t erbayangkan dapat kulakukan. Anehnya,
Srintil menurut. Bukan main besar rasa hatiku.

“ Rasus, bila kau t ahu bet apa ngeri hat iku t adi,” uj ar Srint il yang
kududukkan di atas lincak.

“ Kart arej a m em ang baj ingan. Baj ul bunt ung,” j awabku m engum pat
dukun ronggeng itu.

“ Eh, Rasus. Jangan berkat a begit u. Kaudengar t adi kat a kakekku,


bukan? Kartareja hanya kesurupan arwah Ki Secamenggala.”

“ Tidak peduli. Yang pent ing kakek t ua bangka it u berbuat ket erlaluan.
Kau didekapnya. Bila tak tertolong kau pasti mati tercekik.”

“ Apakah engkau akan bersedih bila aku m at i?” t anya Srint il.
Pertanyaan itu membuat mulutku terbungkam.

52
Ah. Srintil tak bersalah bila dia tak mengerti apa

art i dirinya bagiku. Dia t akkan m engert i bahwa bagiku, dirinya adalah
sebuah cerm in di m ana aku dapat m encoba m encari bayangan Em ak.
Srint il t akkan m engert i hal it u. Dan sekali lagi kukat akan Srint il t ak
bersalah. Maka untuk sekedar menjawab pertanyaan, kukatakan,

“Srin, kau dan aku sama- sama menjadi anak Dukuh Paruk yang yatim
piat u sej ak kanak- kanak. Kit a senasib. Maka aku t ak senang bila
m elihat kau celaka. Bila kau m at i aku m erasa kehilangan seorang
teman. Kau mengerti?”

Bagian Ketiga

Aku m engira upacara perm andian di pekuburan it u adalah syarat


t erakhir sebelum seorang gadis sah m enj adi ronggeng. Ternyat a aku
salah. Orang- orang Dukuh Paruk m engat akan bahwa Srint il m asih
harus m enyelesaikan sat u syarat lagi. Sebelum hal it u t erlaksana,
Srintil tak mungkin naik pentas dengan memungut bayaran.

Dari orang- orang Dukuh Paruk pula aku t ahu syarat t erakhir yang
harus dipenuhi oleh Srint il bernam a bukak- klam bu. Berdiri bulu
kudukku set elah m enget ahui m acam apa persyarat an it u. Bukak-
klam bu adalah sem acam sayem bara, t erbuka bagi laki- laki m ana pun.
Yang disayem barakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki- laki
yang dapat m enyerahkan sej um lah uang yang dit ent ukan oleh dukun
ronggeng, berhak menikmati virginitas itu.

Keperawanan Srint il disayem barakan. Baj ingan! Baj ul bunt ung!


pikirku.

53
Aku bukan hanya cem buru. Bukan pula sakit hat i karena aku t idak
m ungkin m em enangkan sayem bara akibat kem elarat anku sert a usiaku
yang baru em pat belas t ahun. Lebih dari it u. Mem ang Srint il t elah
dilahirkan unt uk m enj adi ronggeng, perem puan m ilik sem ua laki- laki.
Tet api m endengar keperawanannya disayem barakan, hat iku panas
bukan m ain. Celaka lagi, bukak- klam bu yang harus dialam i oleh Srint il
sudah m erupakan hukum past i di Dukuh Paruk. Siapa pun t ak bisa
m engubahnya, apa pula aku yang bernam a Rasus. Jadi dengan
perasaan perih aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi.

Jauh- j auh hari Kart arej a sudah m enent ukan m alam hari Srint il harus
kehilangan keperawanannya. Unt uk it u Kart arej a sendiri harus
m engeluarkan biaya. Tiga ekor kam bing t elah dij ualnya ke pasar.
Dengan uang hasil penj ualan it u dibelinya sebuah t em pat t idur baru,
lengkap dengan kasur bant al dan kelam bu. Dalam t em pat t idur ini
kelak Srint il akan diwisuda oleh laki- laki yang m em enangkan
sayembara.

Sement ara wakt u suara calung lenyap dari Dukuh Paruk. Kart arej a
sedang giat m em buat persiapan pelaksanaan m alam bukak- klambu
it u. Dukun ronggeng it u raj in keluar Dukuh Paruk unt uk m enyebarkan
berit a. Hanya dalam beberapa hari t elah t ersiar kabar t ent ang m alam
bukak- klam bu bagi ronggeng Srint il. Orang- orang segera t ahu pula,
Kart arej a m enent ukan syarat sekeping uang ringgit em as bagi laki- laki
yang ingin menjadi pemenang.

“ Saat nya t elah saya t ent ukan pada Sabt u m alam yang akan dat ang,”
kata Kartareja pada suatu pagi di hadapan banyak laki- laki di pasar.

“Dan sampean meminta sekeping ringgit emas?”

54
“Ya. Kukira itu harga yang patut,” jawab Kartareja.

“Ah,” lenguh laki- laki yang bertanya tadi.

“ E... Kenapa? Terlalu m ahal? I ngat baik- baik. Pernahkah ada


ronggeng secantik Srintil?”

“ I t u benar. Srint il m em ang ayu dan kenes. Tet api siapa yang m em iliki
sebuah ringgit emas di Dukuh Paruk,”

“ Oh, saya t ak pernah berm im pi seorang laki- laki Dukuh Paruk akan
m em enangkan sayem bara. Jangankan ringgit em as, sebuah rupiah
perak pun t ak dim iliki oleh laki- laki Dukuh Paruk. Aku t idak berharap
mereka mengikuti sayembara.”

Berit a t ent ang m alam birahi it u cepat m enyebar ke m ana- m ana, j auh
ke kam pung- kam pung di luar Dukuh Paruk. Banyak perj aka at au
suam i yang t ergugah sem angat nya. Tet api sebagian besar segera
m em adam kan keinginannya set elah m engert i apa syarat unt uk t idur
bersam a Srint il pada m alam bukak- klam bu. Sebuah ringgit em as
senilai dengan harga seekor kerbau yang paling besar. Hanya
beberapa pem uda yang m erasa dirinya sanggup m engalahkan
tantangan itu.

Tiga hari sebelum Sabt u m alam . Sebuah lam pu m inyak yang t erang
t elah dinyalakan di rum ah Kart arej a. Pint u sebuah kam ar sengaj a
dibiarkannya t erbuka. Dengan dem ikian sebuah t em pat t idur
berkelam bu yang m asih baru bisa dilihat orang dari luar. Tut up
kasurnya put ih bersih dem ikian pula bant alnya. Bagi sem ua orang
Dukuh Paruk yang biasa t idur di at as pelupuh bam bu, pem andangan
sepert i it u sungguh luar biasa. Sore it u banyak perem puan dan anak-

55
anak Dukuh Paruk dat ang ke rum ah Kart arej a hanya dengan t uj uan
melihat tempat tidur itu.

Aku sendiri ada disana . Tidak m asuk ke dalam rum ah, karena dari
t em pat ku berdiri di sudut halam an sudah dapat kulihat t em pat t idur
berkelam bu it u. Bila orang- orang m em andangnya dengan kagum , aku
melihat tempat tidur itu dengan masygul. Muak bercampur marah.

Bagiku, t em pat t idur yang akan m enj adi t em pat bagi Srint il
m elaksanakan m alam bukak- klam bu , t idak lebih dari sebuah t em pat
pem bant aian. At au lebih m enj ij ikkan lagi. Disana dua hari lagi akan
berlangsung penghancuran dan penj agalan. Aku sam a sekali t idak
berbicara atas kepentingan birahi atau sebangsanya. Disana , di dalam
kurung kelam bu yang t am pak dari t em pat ku berdiri, akan t erj adi
pem usnahan m ust ika yang selam a ini am at kuhargai. Sesudah
berlangsung m alam bukak- klam bu, Srint il t idak suci lagi. Soal dia
kehilangan keperawanannya, t idak begit u berat kurasakan. Tet api
Srint il sebagai cerm in t em pat aku m encari bayangan Em ak m enj adi
baur dan bahkan hancur berkeping.

Mem bayangkan bagaim ana Srint il t idur bersam a seorang laki- laki,
sam a m enj ij ikkannya dengan m em bayangkan Em ak m elarikan diri
bersam a m ant ri it u. Aku m uak. Aku t idak rela hal sem acam it u t erj adi.
Tet api lagi- lagi t erbukt i seorang anak dari Dukuh Paruk bernam a
Rasus t erlalu lem ah unt uk m enolak hal buruk yang am at dibencinya.
Jadi aku hanya bisa m engum pat dalam hat i dan m eludah. Asu
buntung!

Masih dari tempatku berdiri, aku melihat Srintil keluar. Merah bibirnya
karena Srint il m akan sirih. Ram but nya yang kelim is t erj urai m enut upi
sebagian pundaknya yang m ulai berisi. Perem puan- perem puan sert a
anak- anak segera m engelilinginya di balai- balai. Gum am puj ian m ulai
didengungkan oleh para perem puan it u. Kulihat Srint il t ert awa riang.
Apa yang salah bila gadis sebesar Srint il bersenang hat i m endengar
segala macam pujian.

56
Melihat bagaim ana cara para perem puan Dukuh Paruk m em uj i Srint il
m aka aku yakin set iap diri m ereka berharap kiranya anak perem puan
m ereka kelak sepert i Srint il. Menj adi ronggeng. At au para perem puan
it u m enyesal m engapa kaki m ereka pengkor, at au pipi m ereka
t am bun, at au bibir m ereka seburuk bibir kerbau sehingga t ak bakal
layak menjadi ronggeng. Tak tahulah!

Boleh j adi aku akan t et ap m elam un berang bila gerim is t idak turun.
Tak kuduga gerim is kali ini m engunt ungkan.Para perem puan dan
anak- anak yang m erubung Srint il segera bangkit bergegas pulang ke
rum ah m asing- m asing. Aku sendiri hanya m aj u beberapa langkah dan
bert eduh di em per rum ah Kart arej a. Srint il baru m elihat ku set elah aku
berada di bawah naungan emper itu.

“He? Engkau di situ, Rasus?” tanya Srintil. Nadanya bersukacita.

“Ya.”

“Sudah lama?”

“Sejak sebelum gerimis.”

" Mari m asuk. Tem ani aku. Kart arej a dan ist rinya sedang pergi ke
rumah kakekku, Sakarya. Aku seorang diri sekarang.”

Srintil menarik tanganku.

57
Aku menurut. Kami duduk berdua di atas lincak. Srintil terus bergerak
sepert i kanak- kanak. Ah, dia m em ang m asih kanak- kanak. Usianya
sebelas at au dua belas t ahun. Meski begit u Srint il m enangkap suasana
yang lesu pada diriku.

“ He, kau sepert i m alas bercakap- cakap. Kau segan m enem aniku di
sini?”

“Tidak. Sama sekali tidak.”

“Tapi kau hanya berkata bila kutanya. Kenapa?”

“Tutup pintu kamar itu dulu.”

“Lho, kenapa?”

“ Aku t ak ingin m elihat t em pat t idur it u m eski Kart arej a


memamerkannya buat semua orang,” kataku agak ketus.

Srint il t erm angu sej enak. Tak usah lam a berfikir rupanya Srint il
m enget ahui j uga m engapa aku berkat a dem ikian. Naluri seorang
perem puan. Lam a kunant i t anggapan Srint il. Tet api m ulut nya yang
m ungil dan m erah m asih t erkat up. Dia hanya bangkit m em enuhi
perm int aanku m enut up pint u kam ar it u. Derit pint u bam bu dan lenyap
dari pandanganku t em pat t idur yang akan m enj adi aj ang Srintil
melepaskan keperawanannya.

58
“ Ya, Rasus aku t ahu. Kau t ak usah berkat a banyak aku sudah t ahu
mengapa kau membenci tempat tidur itu.”

“Hm?”

“Dan engkau tahu bahwa aku senang menjadi ronggeng, bukan?”

“He- eh.”

“Lalu?”

“ Yah, aku hanya ingin bert anya padam u; bagaim ana perasaanm u
menghadapi saat Sabtu malam itu?”

Aku t idak segera m endapat j awaban. Kulihat seorang gadis kecil


sedang berfikir tentang sesuatu yang baru baginya. Bukan hanya baru,
m elainkan j uga sesuat u yang m enj adi salah sat u t onggak sej arah
biologisnya. Mungkin selam a ini Srint il hanya t erpukau oleh j anj i
Kart arej a bahwa sebuah ringgit em as yang diberikan oleh laki- laki
pem enang akan m enj adi m iliknya. Kem am puan pikirannya hanya
sampai di situ.

“Bagaimana?” tanyaku mengulang.

“ Ent ahlah, Rasus. Aku t ak m engert i,” j awab Srint il sam bil
menundukkan kepala.

59
“ Tent u kau senang karena kau akan m em iliki sebuah ringgit em as.
Kikira begitu.”

“ Aku t ak m engert i, Rasus. Yang j elas aku seorang ronggeng. Siapa


pun yang akan m enj adi ronggeng harus m engalam i m alam bukak-
klambu. Kau sudah tahu itu, bukan?”

“He- eh.”

“Atau begini, Rasus. Bukankah kau telah disunat?”

“Sudah tiga tahun. Kenapa?”

Srint il diam . Dikibaskannya ram but nya ke belakang. Waj ahnya


menunduk. Kemudian tanpa melihatku ronggeng itu berkata.

“ Misalnya, Rasus. Misalnya. Engkau m em punyai sekeping ringgit


emas.”

“ Selam anya aku t akkan pernah m em punyai sebuah ringgit em as,”


j awabku cepat . “ Aku hanya m em punyai sebuah keris kecil warisan
Ayah, dan sat u- sat unya m ilikku yang berharga it u t elah kuserahkan
padam u. Kini engkau past i t ahu aku t ak m em punyai apa- apa lagi. Kau
harus tahu hal itu, Srintil.”

Mat a Srint il t erarah lurus kepadaku. Tak lebih dari sepasang m at a


anak- anak. Aneh j uga. Dari pem ilik sepasang m at a it u aku m engharap

60
t erlalu banyak. Tet api aku t ak m erasa bersalah. Tidak. Karena pada
saat it u m isalnya, ket ika Srint il m enat apku t aj am , aku t eringat Em ak.
Em akku yang m at i dan m ayat nya dicincang. At au Em akku yang lari
bersam a m ant ri keparat it u, dan sekarang barangkali berada di Deli,
negeri khayali yang berada di batas langit.

Kut oleh Srint il. Dia m asih m enat apku dengan cara seorang bodoh.
Padahal yang kuharapkan waktu itu adalah pernyataan Srintil bahwa ia
t idak akan m enem puh m alam bukak- klam bu karena dia t elah
m em ut uskan t idak akan m enj adi ronggeng. Ah, keinginan gila yang
mustahil terlaksana. Lucunya, aku menyadari hal itu sebaik- baiknya.

Suasana yang bisu m em buat ku t ak bet ah. Srint il pun kulihat gelisah
di t em pat nya. Aku t ak t ahu apalagi yang pat ut kuperbuat , at au layak
kukat akan kepada Srint il. j adi aku bangkit t anpa berucap barang
sepatah kata dan berjalan ke arah pintu.

“Engkau mau ke mana, Rasus?” kata Srintil.

“Pulang.”

“Jadi engkau mau pulang?”

“Ya.”

“ Jadi engkau m au pulang, Rasus? Di luar m asih gerim is,” uj ar Srint il


di belakangku.

61
Aku terus berjalan. Lepas di halaman, kain sarung kututupkan ke atas
kepala. Ket ika m em balikkan badan kulihat Srint il m asih berdiri di
bawah at ap em per. Sebenarnya aku t idak m eninggalkannya dengan
sepenuh hat i. Tet api aku t erus berj alan. Sam pai di rum ah aku
langsung merebahkan diri ke atas lincak.

Huj an t urun m akin lebat . Alam m enghiburku dengan t iris lem but
menyapu t ubuhku yang t ergulung kain sarung. Aku t idur m elingkar
sepert i t renggiling. Dengan dem ikian panas t ubuhku agak t erkendali.
Tidur di at as pelupuh, kala hari huj an. Kenangan yang t ak t erlupakan
bagi anak- anak Dukuh Paruk. Aku t erlena, larut dalam perj alanan
alam pedukuhan kecil itu.

Jumat malam.

Kem arau sungguh- sungguh t elah berakhir. Siang hari huj an t urun
am at lebat . Lapisan lum pur yang t elah berbulan- bulan m engeras
sepert i bat u, kini t erendam air. Sawah luas yang m engelilingi Dukuh
Paruk t ergenang. Dukuh Paruk m enj adi pulau. Hanya j aringan
pem at ang t am pak m em bent uk kot ak- kot ak persegi yang sangat
banyak. Tetapi tanah pematang rapuh dan longsor bila terinjak kaki.

Burung bluwak, kunt ul dan t rint il m uncul kem bali. Selam a kem arau
mereka m engungsi di t anah- t anah paya di m uara Cit anduy. Sebent ar
rumpun- rum pun bam bu di Dukuh Paruk akan ram ai oleh berbagai
burung air. Mereka berkem bang- biak di sana sepert i dilakukan oleh
nenek moyang mereka entah sejak berapa abad yang lalu.

Dukuh Paruk akan m elewat i bulan- bulan yang lem bab. Lum ut akan
t um buh pada dinding bam bu at au t iang kayu yang basah. Jam ur akan
t um buh pada kayu m at i at au dahan yang lapuk. Cacing m enj alar di
emper- em per. Orong- orong m em buat galur- galur di bawah t anah,
m enerobos bawah dinding dan berakhir di bawah balai- balai. Kut u air
dan kudis akan kem bali m eraj alela pada kaki dan t angan anak- anak

62
Dukuh Paruk. Dan orang- orang di sana akan m enerim anya sebagai
kebiasaan alami.

Selagi Dukuh Paruk berhiaskan genangan air di m ana- m ana,


m enj elang senj a kelihat an seorang pem uda sedang bergegas ke sana.
Dower, pem uda it u, t idak m em pedulikan pem at ang panj ang yang
becek. Dia t erus berj alan. Cekat - ceket bunyi t elapak kakinya ket ika
diangkat dari lum pur. Kain sarung t idak dipakainya m elainkan
disilangkannya di pundak. Bila dipakai kain sarung Dower past i akan
belepotan.

Hanya sat u hal yang m em enuhi benak Dower. Segera sam pai ke
Dukuh Paruk dan m enget uk pint u rum ah Kart arej a. Makin dekat ke
pedukuhan it u Dower m akin t erbayang akan sebuah t em pat t idur
berkelam bu. Put ih bersih dengan kasur dan bant al yang baru. Dan
yang paling pent ing; seorang perawan kencur yang t erbaring di
dalamnya.

Mem enangkan sayem bara bukak- klam bu bukan hanya m enyangkut


renj ana birahi. Bukan pula hanya m enyangkut sukacit a m ewisuda
seorang perawan, m elainkan j uga kebanggaan. Dower sungguh-
sungguh berharap kelak orang akan bergunj ing, “ Tenyat a Dower
bukan pem uda sem barang. Dialah orangnya yang m em enangkan
sayembara bukak- klambu bagi ronggeng Srintil.”

Menginj ak t anah Dukuh Paruk, hat i Dower m akin kacau. Hari sudah
benar- benar gelap. Lam pu- lam pu t elah dinyalakan. Langit pekat m eski
huj an belum lagi t urun. Selagi t anah basah, j engkerik dan gangsir
m alas berbunyi. Orong- orong m enggant ikannya. Serangga t anah it u
m engget arkan sayapnya yang m enim bulkan suara buruk dan berat .
Kat ak dahan bert eriak- t eriak. Tidak sepert i kodok at au kat ak hij au,
katak dahan bersuara dengan selang waktu yang jarang.

63
Ada sebuah gardu ronda di perem pat an j alan kecil di Dukuh Paruk.
Dower m endengar gum am beberapa pem uda dari dalam gardu it u.
Seandainya Dower t ahu. Pem uda- pem uda dalam gardu it u sam a
sepert i dirinya, dat ang dari luar Dukuh Paruk dalam kait annya dengan
sayem bara bukak- klam bu. Nam un m ereka hanya ingin m elihat
perkembangan apakah t elah ada seorang pem uda dat ang m em enuhi
perm int aan Kart arej a akan sebuah ringgit em as. Mereka sendiri t idak
m em punyai uang sebanyak it u. Nam un kesem pat an m ereka m ungkin
t erbuka bila t idak ada pem uda yang sanggup m em enuhi syarat yang
dit ent ukan oleh Kart arej a. Dalam hal t erj adi dem ikian, diharapkan
Kartareja akan menurunkan tarifnya.

Tidak sepert i m alam - m alam sebelum nya, rum ah Kart arej a sudah sepi
sej ak sore. Dukun ronggeng it u t elah m engusir anak- anak yang
dat ang. Tet api orang- orang t ua t idak perlu kena usir. Mereka, orang-
orang Dukuh Paruk, t elah m aklum Kart arej a sedang m enghadapi haj at
penting, dan tidak ingin mengganggunya.

Sinar lam pu m engenai t ubuh Dower ket ika dia m encapai halam an
rum ah Kart arej a. Pem uda it u berhent i sej enak. Dari sana Dower dapat
m elihat Kart arej a sedang duduk seorang diri, m engepul- ngepulkan
asap rokoknya. Di sam ping m akan sirih, kakek it u j uga perokok yang
kuat.

Sesungguhnya Kartareja sedang gelisah. Namun perasaan itu tertutup


oleh ket enangannya. Sudah Jum at m alam . Seorang pem uda pun
belum j uga dat ang m em enuhi harapannya, m enyerahkan sekeping
ringgit em as bagi keperawanan Srint il. “ Alangkah m alu bila sayem bara
bukak- klam bu yang kuselenggarakan t idak berhasil. Sia- sialah t iga
ekor kam bing yang t elah kuj ual,” pikir Kart arej a seorang diri. Tet api
lamunan dukun ronggeng itu terhenti ketika pintu depan berderit.

“Kula nuwun,” Dower mengucapkan salam.

64
“ Mangga,” j awab Kart arej a. Dij ulurkannya lehernya sam bil
m enyipit kan m at a. Sinar lam pu m em buat m at anya silau. “ Oh, m ari
masuk.”

Dower m elangkah di bawah t at apan Kart arej a. Lalu duduk. Berderit


bunyi pelupuh lincak yang didudukinya. Kart arej a segera t ahu
t am unya dat ang dari j auh karena m endengar nafas Dower yang
terengah- engah.

“ Engkau kelihat an lelah. Dari m ana engkau dat ang, Nak?” t anya
Kartareja membuka percakapan.

“Dari Pecikalan, Kek. Namaku Dower.”

“Wah, Pecikalan? Alangkah jauh.”

“ Yah, Kek. I t ulah, j auh- j auh saya dat ang karena saya m endengar
kabar.”

“Tentang bukak- klambu, bukan?”

“Benar, Kek.”

“ Wakt unya besok m alam . Engkau sudah t ahu akan syarat yang
kuminta, bukan?” tanya Kartareja tanpa melihat tamunya.

65
“Saya sudah tahu. Sebuah ringgit emas,” jawab Dower datar.

“Betul. Apakah sekarang kau telah membawanya?”

Dower t ersipu. Dia t idak berani m engangkat m uka. Kart arej a m elepas
napas panj ang. Dalam hat i dia m engeluh, karena belum j uga m uncul
sebuah ringgit emas yang diinginkannya.

“ Wah, Kek,” kat a Dower akhirnya. “ Pada saya baru ada dua buah
rupiah perak. Saya berm aksud m enyerahkannya kepadam u sebagai
panj ar. Masih ada wakt u sat u hari lagi. Barangkali besok bisa
kuperoleh seringgit emas.”

Kart arej a t idak segera m em beri t anggapan. Kecewa dia. Diisapnya


rokoknya dalam - dalam . Asap dihem buskannya j adi desah panj ang.
Nam un Kart arej a berfikir, dua buah uang rupiah perak adalah j um lah
paling banyak yang disanggupi oleh seorang calon sam pai pada saat
itu.

“Jadi begitulah maksudmu, Nak?”

“Ya, Kek.”

“ Baiklah. Uang panj arm u bisa kut erim a. Tet api besok m alam kau
harus dat ang m em bawa sebuah ringgit em as. Kalau t idak, apa boleh
buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?”

66
“ Kalau aku gagal m em peroleh sebuah ringgit em as m aka uang
panjarku hilang?” tanya Dower.

“ Ya! ” Jawab Kart arej a singkat . Rona kelicikan m ewarnai waj ahnya.
Dower termangu, tampak berfikir keras.

“ Kalau engkau berkeberat an, m aka t erserah. Silakan berfikir. At au


segera pulang ke Pecikalan selagi m alam belum larut . Aku akan
menunggu pemuda lain, beberapa orang yang akan segera tiba.”

Gert akan halus Kart arej a m engena. Bukt inya, Dower m enj adi gelisah,
lalu berkata,

“Baik, baik, Kek. Kuterima syarat itu. Nah, inilah uang panjar itu.”

Dower berdiri agar mudah merogoh saku celananya. Sesaat kemudian


t erdengar kem erencing. Dua buah uang rupiah perak t ergelet ak di
at as m ej a, berkilat - kilat t erkena sinar lam pu. Kart arej a m eraupnya,
lalu dim asukkannya ke dalam saku di ikat pinggangnya. Pada saat it u
m uncul Srint il m em bawa baki berisi t eko dan dua buah cangkir. Di
piring ada goreng ubi. Ket ika m elet akkan hidangan it u Srint il
m enggigit bibir. Sekali pun dia t idak m engangkat m uka ke arah
Dower, m em buat hat i pem uda dari Pecikalan it u m alah penasaran.
Kartareja tersenyum melihat Dower resah dalam duduknya.

Aku m engenal dengan sem purna set iap sudut t ersem bunyi di Dukuh
Paruk. Ket ika Kart arej a bercakap- cakap dengan Dower aku
m endengarnya dari balik rum pun pisang di luar rum ah. Jadi saat it u
sudah kuperoleh gam baran pert am a Dower- lah yang akan
m em enangkan m alam bukak- klam bu. Aku belum m engenal perj aka
Pecikalan itu. Tetapi kebencianku kepadanya langsung melangit.

67
Segera t erbayang olehku Dower m em perlakukan Srint il secara t idak
senonoh dalam t em pat t idur berkelam bu it u. Past i, sangat pasti,
Dower t idak sepert i aku yang selalu bersikap horm at kepada ronggeng
it u. Bert ahun- t ahun lam anya aku m enyusun gam baran sedikit - demi
sedikit , sehingga t erbent uk gam baran Em ak secara ham pir lengkap
pada diri Srint il. Maka Srint il m endapat t em pat yang m ulia dalam
hidupku.

Sedangkan Dower t idak dem ikian. Dia akan m erasa t elah m em beli
Srint il. Dalam wakt u sat u m alam Srint il akan m enj adi barang yang
sudah t erbeli. Dower akan m em perlakukannya sebagaim ana dia suka.
Bajingan tengik!

Dan aku meludah sengit.

Di langit t ak sebuah bint ang pun kelihat an. Secercah warna t erang
t am pak di langit sebelah barat . Past ilah bulan berada di balik sana.
Kerem angan yang dibuat nya m am pu m em perlihat kan bayangan
seekor kalong yang t erbang perlahan ke selat an. Kirapnya m alas,
namun pasti. Lepas dari bayangan bulan, kalong itu lenyap.

Perhat ianku kem bali kepada Dower ket ika pint u depan rum ah
Kartareja berderit. Perjaka Pecikalan itu keluar. Kukira dia akan segera
berusaha m enepat i j anj i yang diucapkannya di depan dukun ronggeng
it u, m encari sekeping ringgit em as sam pai dapat . At au dia akan
kehilangan dua buah rupiah perak bila usahanya gagal.

Aku t ak m engert i m engapa t iba- t iba aku m em ut uskan keluar dari


t em pat persem bunyian lalu dengan diam - diam m engikut i Dower dari
belakang. Sam bil berj alan berj ingkat agar t ak diket ahui oleh Dower,
aku sudah berkhayal t ent ang perkelahian. Bagaim ana seandainya
Dower langsung kut inj u t engkuknya. At au kut endang pinggangnya

68
sehat t enaga. Pokoknya aku ingin m elum at perj aka Pecikalan yang
akan menggagahi Srintil itu.

Tak kusangka keinginanku m enyakit i Dower dapat t erlaksana. Sam pai


dekat gardu Dower berhent i, kem udian sum pah serapah keluar dari
mulutnya. Aku tahu kemudian tiga orang pemuda yang tadi berkumpul
di gardu ronda melempar Dower dengan gumpalan lumpur.

“Bajingan tengik! Siapa berani melempari aku?” seru Dower marah.

Tak ada j awaban. Bahkan lem paran- lem paran berikut nya m enyusul,
t epat m engenai punggung Dower. Baj u dan kainnya belepot an.
Kemarahan pemuda Pecikalan itu makin menjadi- jadi. Dia berbalik dan
bert olak pinggang. Kini Dower m enghadap ke arahku kira- kira sepuluh
langkah di depan.

“ He! Kam u asu bunt ung. Kalau ingin berkelahi, ayo keluar! Ayo
hadapi aku; Dower dari Pecikalan!”

Masih belum ada j awaban. Aku bergerak ke sam ping, m enghindar


dari pandangan Dower. Rasa ingin ikut m enyakit i Dow er m uncul di
hat iku. Maka aku m enekuk kedua kaki dem i m encari sesuat u unt uk
kulem parkan kepadanya. Tanganku m eraba sesuat u yang
m engonggok. Tahi sapi. Kot oran it u kuraup dengan t angan kanan,
langsung kulem parkan kepada Dower. Kudengar perj aka Pecikalan it u
m engut uk habis- habisan. Dia hendak m elangkah ke depan. Tet api
bat al karena dari arah belakang m eluncur gum palan- gumpalan
lum pur, m akin lam a m akin seru. Akhirnya Dower t ak bisa berbuat lain
kecuali m enut up m uka dengan kedua t angan agar m at anya t erhindar
dari hujan lumpur.

69
Tidak t ahan m enghadapi serangan gelap it u akhirnya Dower lari.
Bukan m ain sakit hat inya ket ika dia m endengar beberapa pem uda
terbahak- bahak. Dower berbelok ingin m engej ar para penyergapnya.
Tet api dia belum m em aham i lorong- lorong di Dukuh Paruk. Dower
kehilangan j ej ak. Hanya t erdorong ingin m em balas dendam m aka
Dower t erus berlari dalam gelap. Akhirnya, byur! Dower t erj erum us
masuk ke dalam sebuah kubangan yang dalam . Sekali lagi t erdengar
suara gelak t awa t iga orang pem uda. Sebaliknya Dower bert eriak-
teriak seperti orang kesurupan.

Tak ada yang peduli pada Dower yang m enggapai- gapaikan


t angannya dari dalam kubangan it u. Ket ika akhirnya ia berhasil naik,
seluruh t ubuhnya basah kuyup dan kot or. Perj aka Pecikalan m asih
bert am bah sakit hat i karena dia m endengar para penyerang
menertawakannya.

Suara yang m enghinakannya it u m akin lam a t erdengar m akin j auh.


Dower t idak pernah t ahu aku m asih berada di dekat nya. Maka aku
masih sempat mendengar Dower mengeluh. “Bajingan! Asu buntung!”

Hari Sabt u t iba. Hari yang sangat m engesankan karena bat inku
t ernist a luar biasa. Kukira aku t akkan pernah berhasil m elukiskan
pengalam an bat inku secara m em adai. Hal ini m ungkin karena aku t ak
m em punyai cukup kefasihan. At au karena orang t akkan bisa percaya
akan penderit aan bat in seorang anak Dukuh Paruk yang bernam a
Rasus, yang dalam hidupnya m em punyai em ak hanya dalam angan-
angan. Srint il, yang ent ah bagaim ana dalam banyak hal kuanggap
sebagai j elm aan Em ak, sore nant i akan dirusak. Kukat akan begit u
m eski sesungguhnya t idak dem ikian. Bagiku, set elah Srint il dij ual
dengan harga sebuah ringgit em as, dia bukan Srint il lagi, m elainkan
seorang ronggeng Dukuh Paruk. Tidak lebih. Hanya seorang ronggeng
Dukuh Paruk takkan dapat kuandaikan sebagai diri Emak.

Serasa aku akan kehilangan em ak buat kali kedua. Andaikan ada


orang percaya akan keget iran yang m elanda hat iku. At au andaikan
ada orang yang m au kuaj ak berbicara t ent ang m asalah ini, boleh j adi

70
kesedihanku bisa t erbagi. Tet api hanya dirikulah yang t ahu dan
m erasakan segalanya. Bahkan aku begit u yakin Srint il t idak t ahu
persis kem alangan apa yang kurasakan bila dia sudah t erbeli dengan
sebuah ringgit em as. Sepert i pernah dikat akannya kepadaku, Srint il
lahir di Dukuh Paruk unt uk m enj adi ronggeng. Maka dengan rela hat i
dia akan m enj alani m alam bukak- klam bu, apa pula dengan
kemungkinan baginya memiliki ringgit emas.

Kat akanlah pagi it u sepert i biasa aku keluar m elepaskan kam bing-
kam bing. Tet api sesungguhnya binat ang- binat ang it u t elah lam a
kut elant arkan. Pagi it u pun aku t ak peduli kam bing- kambingku
m em asuki ladang orang. Aku sendiri duduk di pinggir kam pung
memandang amparan sawah yang penuh air.

Di atasku, pada pucuk pohon sengon, hinggap tiga ekor burung keket.
Sat u j ant an, sat u bet ina dan anak m ereka yang selalu m engibas-
ngibaskan sayap m int a m akan. Salah seekor induk burung it u segera
m enukik ke bawah bila m elihat capung at au belalang t erbang,
kem udian hinggap lagi di t em pat sem ula. Serangga t angkapan
dihancurkannya bukan unt uk dirinya sendiri, m elainkan unt uk anak
mereka. Citra sebuah keluarga yang utuh.

Kukira Em ak pun akan berlaku sepert i induk burung keket it u. Dia


akan m elindungiku, m encarikan m akan selagi aku m asih kanak- kanak.
Bersam a Ayah, Em ak akan m engaj akku bercengkeram a sepert i
keluarga burung keket it u. Nah, hal it u hanya t erj adi dalam angan-
angan. Sepert i belasan anak Dukuh Paruk lainnya, aku t elah yat im -
piatu sejak anak- anak. Keparat, malapetaka tempe bongkrek itu.

Kukira kicau burung keket sert a bunyi air yang t um pah lewat
punggung pem at ang akan t erus m em bawaku m elam un bila Wart a
tidak datang mengusik.

71
“ Nah. Kulihat kau lam a sekali t erm enung di sit u. Nenekm u t idak
m enanak gaplek pagi ini?” uj ar Wart a. “ Misalnya dem ikian apa
salahnya kita mencari talas dan kita bakar di sini?”

“Aku tak ingin makan,” jawabku tak peduli.

“Jadi?”

“Pergilah. Jangan ganggu aku.”

" Baru kali ini kudengar engkau m engusirku, Rasus. Aku ingin t ahu
apa yang sebenarnya sedang kaupikirkan.”

“ I t u urusanku. Misalkan kuberi t ahu, kau t akkan dapat m enolongku.


Tapi aku t akkan m engat akan apa- apa kepadam u. Jadi, baik urusi
kambingmu.”

“ Wah, kalau begit u aku bisa m enebak. Rasus, kau t ak perlu m ungkir.
Kau sedang t erm akan pekasih yang dipasang oleh Nyai Kart arej a pada
diri Srint il, bukan? Hayo, baik m engaku! Kepadaku kau akan sia- sia
menyimpan rahasia.”

Aku t ert awa m eskipun t erdengar t awar. Tengik bet ul, Warta
m enebakku dengan j it u. Melihat ulahku Wart a t ahu aku t elah
mengaku. Tawanya terdengar keras sekali.

“ Oh kasihan kawanku ini. Kau senang akan Srint il, t et api nant i m alam
ronggeng itu dikangkangi orang. Wah...”

72
“Bangsat engkau, Warta.”

“ Bagaimana? Bukankah aku berkata tentang kebenaran?”

“Ya. Tetapi kau jangan menambah sakit hatiku.”

“ Rasus, kau boleh sakit hat i. Kau boleh cem buru. Tet api selagi kau
tak mempunyai sebuah ringgit emas, semuanya menjadi sia- sia.”

“Ya, kawan. Namun sesungguhnya kau dapat memberi sedikit hiburan


padaku. Bertembanglah. Seperti biasa.”

Tidak sulit m em buat Wart a m au bert em bang bila orang m au


m enyediakan set um puk kat a puj ian baginya. Di ant ara sesam a anak
Dukuh Paruk, Wart a dikenal m em punyai suara paling bagus. Tem bang
kegem arannya j uga m enj adi kegem aran set iap anak di pedukuhan it u,
sebuah lagu duka bagi para yat im - piat u. Orang t akkan m enem ukan
siapa penggubah lagu it u yang m am pu m ewakili nest apa anak- anak
yang di dunia tanpa ayah dan emak.

Lagu yang m enj adi t erkenal di Dukuh Paruk sem enj ak belasan anak
kehilangan kedua orang t ua akibat racun t em pe bongkrek sebelas
tahun yang lalu.

Bedug tiga datan arsa guling

Padang bulan kekencar ing latar

73
Thenguk- thenguk lungguh dhewe

Angine ngidid mangidul

Saya nggreges rasaning ati

Rumasa yen wus lola

Tanpa bapa biyung

Tanpa sanak tanpa kadang

Urip sengsara tansah nandhang prihatin

Duh nyawa gondelana...

Pukul t iga dinihari, aku belum m au t erlena. Bulan m enabur cahaya di


halam an, selagi aku t erm angu seorang diri. Angin yang berem bus ke
selat an m em buat hat i sem akin m erana. Beginilah awak yang t elah
sebat ang kara. Tiada ayah- bunda, t iada sanak- saudara. Hidupku yang
papa selalu dirundung derita. Oh, nyawa bertahanlah kau di badan...

Wart a sudah berat us kali m enem bangkan lagu it u. Dia t idak lagi
t ert arik akan m akna liriknya. Hanya iram a lagu it u yang kiranya akan
t inggal abadi di hat i Wart a dan anak- anak lain di Dukuh Paruk. Selesai
m enem bangkan lagu it u Wart a m enoleh kepadaku. Dia m elihat aku
menggigit bibir, dan mungkin mataku berkaca- kaca.

“Lho?” ujar Warta tak mengerti. “Apa pula arti semua ini?”

“ Tidak apa- apa, Wart a. Percayalah, sahabat ku, t ak ada yang salah
pada diriku. Aku t erharu. Suaram u m em ang bisa m em buat siapa pun
merasa begitu terharu.”

74
“ Hanya it u? Bagaim ana dengan Srint il yang akan diperkosa nant i
malam?”

Jangkrik!

Meski aku m enanggapi kat a- kat a Wart a dengan senyum , nam un


sesungguhnya hat iku dibuat nya perih, sangat perih. Sehingga aku t ak
bisa berkat a- kat a lagi. Hanya um pat ku dalam hat i, “ Wart a, kam u
bangsat ! Kau kat akan Srint il akan diperkosa nant i m alam ? Mem ang
betul. Tetapi mengapa kaukatakan hal itu kepadaku?”

Kukira Wart a m em andangku dari belakang ket ika aku berj alan
m eninggalkannya. Aku t ak peduli dan t erus berj alan sepem bawa
kakiku. Perj alanan yang t anpa t uj uan m em bawaku sam pai ke lorong
yang m enuj u pekuburan Dukuh Paruk. Seharusnya aku t erus
m elangkah bila t idak kulihat seseorang berj alan m erunduk- runduk di
ant ara batang- bat ang puring. Srint il! Aku t ak m ungkin salah, dialah
orangnya.

Tak m enget ahui aku m em bunt ut inya, Srint il t erus berj alan.
Langkahnya berkelok m enghindari t onggak- t onggak nisan, at au pohon
kem boj a yang t um buh rapat . Set elah berbelok ke kiri, langkah Srint il
lurus m enuj u cungkup m akam Ki Secam enggala. Kulihat Srint il
j ongkok, m enaruh sesaj i di depan pint u m akam . Ket ika bangkit dan
berbalik, ronggeng it u t erperanj at . Aku berdiri hanya dua langkah di
depannya.

“He, kau, Rasus?”

“Aku mengikutimu.”

75
“ Aku disuruh Nyai Kart arej a m enaruh sesaj i it u. Bukankah m alam
nanti...”

“ Cukup! Aku sudah t ahu m alam nant i kau harus m enem puh bukak-
klam bu,” aku m em ot ong cepat . Habis berkat a dem ikian aku
melangkah pergi. Tetapi Srintil menarik bajuku.

“Rasus, hendak ke mana kau?”

“Pulang.”

" Jangan dulu. Jangan m eraj uk sepert i it u. Kit a bisa duduk- duduk
sebentar di sini.”

Ternyat a aku t ak m enolak ket ika Srint il m em bim bingku duduk di at as


akar beringin. Tetapi baik Srintil maupun aku lebih suka membungkam
m ulut . Mest ilah ronggeng kecil it u m erasa sedang m enghadapi
seorang anak laki- laki yang akan m engalam i kekecewaan. Srint il past i
t ahu aku m enyukainya. Jadi dia t ahu pula bahwa m alam bukak-
klam bu baginya m enj adi sesuat u yang sangat kubenci. Hanya it u.
At au, apakah aku harus m engat akan secara j uj ur bahwa Srint il lebih
kuhorm at i daripada seorang kecint aan? Tidak. Aku t ak m em punyai
keberanian m engat akan hal it u kepadanya. Maka biarlah, Srint il t et ap
pada pengert iannya t ent ang diriku secara t idak lengkap. Seekor
serangga kecil akhirnya m em buka j alan bagi perm ulaan percakapan
kam i. Nyam uk belirik hinggap di pipi Srint il. Perut nya m enggant ung
penuh darah.

“Srin, tepuk pipimu yang kanan. Ada nyamuk.”

76
“Aku tak dapat melihatnya.”

“Tentu saja. Tetapi tepuklah pipi kananmu agak ke atas pasti kena.”

“Tidak mau. Engkau yang harus menepuknya.”

“Tanganku kotor.”

“Tidak mengapa. Hayo tepuklah!”

Aku pat uh. Tangan kuayunkan. Meski dengan gerak gam ang, nyam uk
yang menjadi lamban karena terlalu banyak mengisap darah itu kena.

Telapak t angan kut ekan pada pipi Srint il. Ket ika kubuka t ergores
setitik darah. Ada noda merah pada pipi yang putih.

Sunyi dan sepi. Sepotong ranting kecil runtuh. Bunyi keletik terdengar
ket ika rant ing it u m enim pa selem bar daun. Seekor bengkarung
m uncul di hadapanku, dan berlari cepat m engej ar capung yang
hinggap di t anah. Kelengangan berlanj ut karena aku dan Srint il
m em bisu kem bali. Angin bert iup lam bat . Suara belalang kerik
menyambutnya dari lereng sempit di sebelah selatan pekuburan.

Ent ah Srint il. Tet api aku dalam kelengangan pekuburan Dukuh Paruk
m erasa m enj adi sekedar seonggok benda alam . Tiada beda dengan
batu- bat u berlum ut di hadapanku, at au dengan berpuluh nisan cadas

77
yang t erpaku m at i dan t erserak m em enuhi pekuburan it u. Boleh j adi
pada saat itu akal- budiku berhenti. Kehendak alami menggantikannya.

Aku t ak bergerak sedikit pun ket ika Srint il m erangkulku, m encium iku.
Napasnya t erdengar cepat . Kurasakan t elapak t angannya berkeringat .
Ket ika m enoleh ke sam ping kulihat waj ah Srint il t egang. Ah,
sesungguhnya aku t idak m enyukai Srint il dengan keadaan sepert i it u.
Meski aku t idak berpengalam an, t et api dapat kuduga Srint il sedang
dicekam renj ana birahi. Tanpa m elepas lingkaran t angannya di
pundakku, Srint il m enoleh sekeliling. Dia was- was ada orang lain di
sekit ar t em pat it u. Sebenarnya Srint il t ak usah t erlalu curiga. Pohon-
pohon puring dan kem boj a yang m engelilingi pekuburan Dukuh Paruk
menjadi pagar yang sangat rapat.

Srint il m elepaskan rangkulannya. Kem udian aku m engert i perbuat an


it u dilakukannya agar Srint il dapat m em buka pakaiannya dengan
mudah.

Aku sering m elihat perem puan m andi t elanj ang di pancuran. Jadi aku
sudah t ahu beda t ubuh laki- laki dan t ubuh perem puan. Tet api yang
kulihat saat it u adalah gam baran perem puan yang ut uh. Hanya t idak
seperti perempuan dewasa, dada Srintil rata, pinggangnya rata.

Bahwa Srint il m engharap aku j uga akan m em buka pakaian, sudah


kum engert i. Andaikat a aku adalah Darsun at au Wart a, sem uanya
sudah kulakukan. Malah aku m enj adi pihak pert am a yang m engam bil
prakarsa. Nah, aku bukan Darsun, bukan pula Wart a. Aku Rasus, anak
yang m erasa paling m alang karena Em ak lenyap t anpa kepast ian.
Em ak m at i oleh racun t em pe bongkrek kem udian m ayat nya dicincang,
at au em ak m asih hidup dan m eninggalkan aku, lari bersam a m ant ri
keparat it u. Tidak past i m ana yang benar. Dan ket idakpast ian it u
selalu membuatku hampir gila.

78
Rasanya, sebagai anak laki- laki t ak ada yang salah pada t ubuhku.
Melihat Srint il t elanj ang bulat di hadapanku, aku t eringat kam bing
j ant anku bila sedang birahi. Jant ung m em om pa darahku ke segala
penj uru. Pada bagian organ t ert ent u, art eri begit u padat berisi darah
hingga m enggem bung dan m enegang. Kehendak alam t erasa begitu
perkasa menuntutku bertindak.

Srintil menarik tanganku.

Kupandangi waj ahnya yang m erona m erah. Kupandangi m at anya


yang berkilat - kilat . Kupandangi pucuk hidungnya dengan bint ik- bintik
keringat di pucuknya. Kem udian perlahan sem ua yang t ertangkap oleh
lensa m at aku bergoyang, lalu m em baur. Bayangan sosok Srint il
melenyap. Yang muncul menggantikannya adalah halimun.

Aku percaya; hanya aku yang sej ak anak- anak m engkhayalkan


dem ikian dalam nya t ent ang seorang em ak karena aku sangat ingin
m elihat nya. Khayalan dem ikian yang ham pir sepanj ang usia, akhirnya
m am pu m endat angkan ilusi; bahwa yang berdiri t elanj ang di depanku
bukan Srint il, bukan pula ronggeng Dukuh Paruk, m elainkan
perem puan khayali yang m elahirkan diriku sendiri. Disana , di bagian
dada kulihat sepasang put ing di m ana aku m enet ek ham pir selam a
dua t ahun. Disana , di balik pusar, aku pernah bersem ayam selam a
sem bilan bulan dalam rahim nya. Dan ket ika aku m elihat j alan yang
kulewat i ket ika lahir, m at aku berkunang- kunang. Badanku basah oleh
keringat dingin. Kem udian aku t ak bisa berbuat lain kecuali m enut up
muka dengan dua telapak tangan.

“ Rasus, kau t ak m au?” t anya Srint il dengan suara ham pir t ak


kudengar. “Takkan ada orang melihat kita di sini.”

“ Srin, ini t anah pekuburan. Dekat dengan m akam Ki Secam enggala


pula. Kit a bisa kualat nant i,” j awabku. Dalih yang sangat gem ilang
mendadak muncul di otakku.

79
Kulihat Srint il t erm angu. Napasnya m asih m em buru. Rona waj ahnya
berubah. Terkesan rasa kecewa. Ronggeng Dukuh Paruk it u tetap
berdiri seperti batu- batu nisan di belakangnya. Tanpa gerak.

“ Kit a t ak bisa berbuat sem brono di t em pat ini,” kat aku sam bil
membenahi pakaian Srintil.

“Ya, tetapi kau sungguh bangsat.”

“ Maafkan aku, Srin. Sungguh! Aku m int a engkau j angan m arah


kepadaku,” kat aku m enirukan cara seorang kacung yang m int a belas-
kasihan kepada majikannya.

Dengan sabar kut unggu sam pai Srint il t enang kem bali. Mukanya yang
tegang perlahan- lahan kembali seperti biasa.

“Ya, Rasus. Aku tidak marah.”

“Begitulah seharusnya. Apalagi bila kita mengingat ceritera itu.”

“ Kau benar. Unt ung kau m em peringat kan aku. Kalau t idak, ent ah
apalah jadinya.”

Ceritera yang kumaksud adalah sebagian dongeng yang hanya dimiliki


oleh Dukuh Paruk. Konon m enurut dongeng t ersebut pernah t erj adi

80
sepasang m anusia m at i di pekuburan it u dalam keadaan t idak
senonoh. Mereka kena kut uk set elah berj inah di at as m akam Ki
Secam enggala. Sem ua orang Dukuh Paruk percaya penuh akan
kebenaran cerit era it u. Kecuali aku yang m eragukannya dan
m encurigainya hanya sebagai salah sat u usaha m elest arikan
keangkeran makam moyang orang Dukuh Paruk itu.

Tak kusadari bet ul berapa lam a aku berdua Srint il berada di dalam
kelengangan pekuburan Dukuh Paruk. Dari t em pat ku duduk aku t ak
m elihat m at ahari. Kerim bunan beringin m enghalanginya. Meski t ak
t ahu hendak berbuat apa, kukira kam i m asih akan t inggal lam a di
pekuburan it u. Tet api aku m endengar sayup- sayup orang m em anggil.
Aku tak lupa, itulah suara Nyai Kartareja.

“Aku harus pulang, Rasus. Nyai Kartareja memanggilku. Sudah terlalu


lama aku pergi.”

Hanya anggukan kepala yang bisa kuberikan sebagai t anggapan.


Srint il bangkit , kem udian berj alan berkelok- kelok m enghindari
tonggak- t onggak nisan. Rum pun- rum pun puring bergoyang tersibak
oleh Srint il yang berj alan cepat . Kupu- kupu bert erbangan dari pohon
kem boj a yang sedang berbunga. Aku berdiri m em andang Srint il yang
t am pak dan hilang t erhalang pepohonan. Sam pai di t em pat t erbuka
t am paklah ronggeng it u berlari. Ram but nya t erburai ke belakang. Ada
sesuatu terasa lenyap dari hatiku, dan aku tak tahu benar apakah itu.

Sore hari paling get ir yang pernah kualam i. Pulang dari pekuburan
aku t idak m asuk ke rum ah. Nenek yang m em anggil- m anggil karena
hidangan bagiku t erbengkalai sej ak siang t ak kuhiraukan. Aku duduk
dekat kandang kam bing m em perhat ikan burung- burung bluwak yang
pulang ke pucuk- pucuk bam bu di Dukuh Paruk. At au lengkung
bianglala di langit sebelah barat . Pagelaran alam yang dam ai dan
indah. Tet api aku t idak bisa m enikm at inya. Sebuah sisi di hat iku yang
m am pu m enangkap bent uk- bent uk keindahan t ert ut up oleh rasa
gelisah karena beberapa jam mendatang Srintil bukan lagi Srintil.

81
Aku sadar bet ul diriku t erlalu kecil bagi alam , bahkan bagi Dukuh
Paruk yang sem pit it u. Maka segalanya berj alan sepert i biasa.
Kusaksikan m at ahari t enggelam . Puluhan ekor kam pret dan kalong
kcluar m endaulat langit Dukuh Paruk m enggant ikan burung layang-
layang dan burung- burung lainnya. Pelit a- pelit a kecil m ulai dinyalakan
m enerangi beranda- beranda yang berbat as dinding bam bu. Nyam uk
dan agas t erbang berput ar- put ar m engelilingiku. Hari benar- benar
telah menjadi gelap, dan aku bergerak masuk ke rumah.

Dukuh Paruk sepert i hendak berangkat t idur. Anak- anak t ak sat u pun
kelihat an. Bahkan suara m ereka t iada lagi t erdengar. Hanya sesekali
t erdengar keribut an kecil di kandang kam bing. Mereka gelisah oleh
sengat an nyam uk. At au m ereka m elihat sepasang m at a yang berkilau
kebiru- biruan dalam gelap; mata seekor kucing liar.

Kedua puluh t iga rum ah di Dukuh Paruk sudah kelihat an sepi, kecuali
rum ah Kart arej a. Di rum ah dukun ronggeng it u sudah beberapa
m alam lam pu besar dinyalakan. Nyai Kart arej a t elah selesai
m endandani Srint il dengan kain dan baj u baru. Ram but nya disanggul.
Kart arej a m enyalakan pedupaan, yang dilet akkannya di sudut
halam an. Sebuah gayung dengan t angkainya yang t ert anam di dalam
t anah j uga ada di sana. Celana kolor bekas, kut ang bekas sert a
pakaian dalam lainnya dilem parkan ke at as gent ing. Selesai dengan
pekerj aan it u, Kart arej a berdiri di t engah halam an dengan waj ah
m enat ap langit . Dukun ronggeng it u sedang m elakukan rit us
penangkal hujan.

Aku sedang duduk di at as lincak di beranda. Gelap, karena aku m alas


m enyalakan lam pu. Dari j alan sem pit yang m enuj u rum ah Kart arej a
kudengar lenguh seekor kerbau. Malam hari ada orang m enunt un
kerbau, adalah hal yang t idak biasa t erj adi di Dukuh Paruk. Apalagi di
pedukuhan it u t ak seorang pun m am pu m em elihara t ernak t ersebut .
Ket ika m elewat i depan sebuah rum ah iring- iringan it u t am pak j elas.
Kukenali bet ul siapa penunt un kerbau it u: Dower. Seorang perj aka
dari kam pung Pecikalan m enunt un seekor kerbau m enuj u rum ah
Kart arej a. Segera kuduga hal ini bersangkut - paut dengan acara

82
bukak- klam bu m alam ini. Kain sarung kusam bar dari sam piran, lalu
aku berj alan m engendap ke rum ah dukun ronggeng it u dari arah
belakang. Sam pai di sana kulihat t ernak besar it u t elah t ert am bat di
sam ping rum ah Kart arej a. Sepert i m alam kem arin, aku ingin
m endengarkan percakapan ant ara Kart arej a dan Dower. Maka aku
berjingkat ke emper samping. Dari celah dinding bambu aku mengintip
ke dalam . Dower dengan baj unya yang baru duduk di hadapan t uan
rum ah. Srint il t idak kelihat an. Nam un aku m endengar bisik- bisik
antara Nyai Kartareja dengan ronggeng itu.

Sam bil m engusap waj ahnya yang berkeringat , Dower m em buka


pembicaraan.

“ Aku dat ang lagi, Kek. Meski bukan sekeping ringgit em as yang
kubawa, kuharap engkau mau menerimanya.”

“Lho. Bukan sebuah ringgit emas?” tanya Kartareja.

“Bukan, Kek.”

“Apa? Ringgit timah?”

“ Seekor kerbau bet ina yang besar. Binat ang it u paling t idak bernilai
sama dengan sebuah ringgit emas,” kata Dower menerangkan. Namun
Kart arej a m enyam but nya dengan senyum kecut , bahkan
menyepelekan. Dower menjadi gelisah dalam duduknya.

“Tetapi ringgit em as bisa m asuk saku celana. Bagus, t idak kot or dan
aku t akkan disusahkannya dengan urusan kandang, rum put sert a bau
busuk,” ujar Kartareja sambil membuang muka.

83
“ Kau m em ang benar, Kek. Tet api bila dua buah rupiah perak yang
kuj adikan panj ar m enj adi m ilikm u, kukira pem berianku cukup, lebih
dari cukup. Bagaimana?”

Kart arej a t idak m engubah rom an m uka m eski dalam hat i dia m erasa
m enang. Seekor kerbau bet ina yang besar dit am bah dengan dua
keping rupiah perak. Dukun ronggeng it u t erbahak dalam hat i. Hanya
karena Kart arej a sudah am at berpengalam an m aka dia dapat
mengendalikan perasaannya.

“ Tet api bagaim ana j uga kau t ak bisa kuanggap t elah m encukupi
syarat yang kut ent ukan. Seekor kerbau dan dua buah rupiah perak
tidak sama dengan sebuah ringgit emas.”

“Jadi engkau menolak, Kek?” tanya Dower gelisah.

“Ya. Kecuali...”

“Kecuali apa?” potong Dower cepat.

“ Kecuali kau m au hanya m enj adi cadangan. Bila sam pai t engah
m alam nant i t ak ada orang lain m em bawa ringgit em as kepadaku,
m aka kaulah pem enangnya. Kalau kau m enolak, silakan t erim a
kembali dua rupiah perak ini. Bawalah pula kerbaumu itu.”

Dower t idak m enyangka Kart arej a akan m enolak dengan kat a- kata
sekeras it u. Perj aka Pecikalan t ergagap. Bukan m ain kecewa hat inya.

84
Dower m erasa t elah m elakukan segala usaha agar bisa m em enangkan
sayem bara bukak- klam bu, t idur sem alam - m alam an di at as t em pat
t idur em puk bersam a ronggeng Dukuh Paruk yang m asih perawan.
Teringat kem bali oleh Dower bagaim ana dia m endongkel lem ari m ilik
orang t uanya unt uk m encuri uang rupiah perak it u. Tent u Dower
t eringat pula pengalam an siang t adi. Dengan gem ilang dia berhasil
m engecoh ayahnya. Dari sawah kerbau m ilik ayahnya yang paling
besar dit unt un pulang. Bukan dim asukkannya ke dalam kandang,
melainkan terus dibawanya ke Dukuh Paruk. Kini Dower merasa segala
akal busuknya belum t ent u m em buahkan hasil. Bahkan bayangan
kegagalan m uncul di depan m at anya. Dalam hat i, Dower m engut uk
Kartareja dengan sengit. “Si Tua Bangka ini sungguh- sungguh tengik!”

Dari t em pat gelap di balik dinding aku bisa m erasakan kekakuan


ant ara Dower dan Kart arej a. Di ant ara keduanya t idak t erj adi
percakapan lebih lanj ut . Dower m erasa berat m enerim a syarat baru
yang dikat akan oleh Kart arej a. Sebaliknya dukun ronggeng it u t idak
hendak mundur dari pendiriannya.

Kebekuan di beranda rum ah Kart arej a berakhir. Di halam an kelihat an


seorang m uda dat ang dengan sepeda bert erom ol. Dower langsung
tahu siapa pemuda itu. Dari suara sepedanya Dower telah memastikan
kedat angan Sulam . Hat i pem uda Pecikalan resah karena dia t ahu
seorang saingan t angguh t elah dat ang. Sebaliknya, Kart arej a
t ersenyum . Dia j uga kenal siapa Sulam adanya; anak seorang lurah
kaya dari seberang kampung. Meski masih sangat muda Sulam dikenal
sebagai penj udi dan berandal. Seorang sepert i Kart arej a t idak m erasa
perlu mencari orang- orang alim. Dia hanya memerlukan sebuah ringgit
emas sebagai nilai keperawanan Srintil.

Sulam m elangkahi am bang pint u dengan caranya sendiri. Ucapan


salam t ak perlu baginya. Kebanggaan m enj adi anak seorang lurah
dibawanya ke m ana- m ana. Tet api Sulam berhent i dan t ert egun
sej enak ket ika dilihat nya seorang pem uda lain sudah duduk di
hadapan Kart arej a. Saling t at ap ant ara Dower dan Sulam t erj adi
sejenak. Melalui sorot mata masing- masing mereka saling mengejek.

85
“ Ada anak Pecikalan di sini?” kat a Sulam angkuh. Sebelum t uan
rumah menjawab, Dower menyahut lebih dahulu.

“ Ya! Mengapa? Aku t elah m enyerahkan seekor kerbau dan dua buah
uang rupiah perak. Sem ua it u bernilai lebih dari pada sebuah ringgit
em as,” kat a Dower bangga. Ket erangan ini m em buat Sulam
penasaran. Dia tidak percaya.

“ Bet ul kat a anak Pecikalan ini, Kek?” t anya Sulam kepada Kart arej a.
Kakek it u t idak segera m em beri j awaban. Tanpa m elihat kepada
Sulam maupun Dower, kemudian Kartareja berkata.

“ Dower t idak berbohong. Tet api duduklah dulu. Kau belum


mengatakan maksud kedatanganmu ke rumah ini.”

“ Lho. Kau m enyelenggarakan bukak- klam bu m alam ini, bukan?”


tanya Sulam masih dengan caranya yang angkuh.

“Betul.”

“ Nah, m engapa kau bert anya m aksud kedat anganku. Kaukira aku
akan datang kemari bila kau tidak menjamuku dengan ronggeng itu?”

“ Baiklah. Bila dem ikian kat am u, past i kau sudah siap dengan sebuah
ringgit emas,” ujar Kartareja.

86
“ Sebuah pert anyaan yang m enghina, kecuali engkau belum
mengenalku. Tentu saja aku membawa sebuah ringgit emas itu. Bukan
rupiah perak, apalagi seekor kerbau sepert i anak Pecikalan ini,” uj ar
Sulam sambil melirik ke arah Dower. Yang dilirik tersengat hatinya lalu
membalas keras.

“ Sulam ! Kau boleh pongah kepada siapa pun t et api j angan kepadaku.
Yang hendak kuserahkan kepada Kart arej a lebih m ahal daripada
sekedar sebuah ringgit em as. Dan kau Kart arej a! Alangkah dungu bila
kau menolak pemberianku dan menerima pemberian Sulam.”

“ Eh? Engkau m arah? Kaulah yang dungu! Kart arej a hanya m em int a
ini sebagai syarat , bukan yang lain- lain, apa pun bent uknya,” uj ar
Sulam sam bil m em bant ingkan uang logam kuning ke at as m ej a.
Kemilau cahayanya.

“Berilah lebih banyak bila kau memang kaya,” tantang Dower.

“ Bila sej ak sem ula Kart arej a m enghendaki lebih banyak, dua ringgit
em as m isalnya, past i kupenuhi. Kau anak Pecikalan j angan banyak
cakap. Pulanglah! Gembalakan kerbaumu di sawah.”

“Sulam. Jangkrik kamu!”

Dua pem uda it u bangkit dan saling pandang dengan sinar m at a


kem erahan. Baik Sulam m aupun Dower sudah m engepalkan t inj u.
Tetapi Kartareja tetap tenang. Dia hanya melepaskan rokok dari bibir.

“ Sabarlah, Anak m uda. Duduklah di t em pat m asing- masing. Kit a akan


berbicara baik- baik.”

87
“ Aku hanya m au duduk kem bali set elah anak Pecikalan ini enyah dari
sini,” seru Sulam keras.

“ Jangan suruh aku duduk kecuali kau sudah m engakui pem berianku
lebih banyak daripada pem berian Sulam . Kart arej a, kau j angan
bodoh!”

Melihat ket egangan sem akin m enj adi- j adi, Kart arej a bangkit dan
berdiri di ant ara kedua t am unya. Nyai Kart arej a keluar. Srint il m uncul
sebent ar di pint u lalu surut kem bali. Kedua pem uda yang sedang
bersit egang sem pat m elihat nya. Aneh. Set elah m elihat Srint il
kemarahan Dower dan Sulam mereda.

“ Oh, kalian bocah bagus,” kat a Nyai Kart arej a. “ Jangan bert engkar di
sini. Aku khawatir tetangga nanti datang karena mendengar keributan.
Ayo bocah bagus, duduklah. Kalau kalian t erus berselisih, past i Srint il
m erasa t akut . Bagaim ana bila nant i dia t idak bersedia m enj alani
bukak- klambu?”

Oleh caranya yang khas gaya seorang m ucikari, Nyai Kart arej a dapat
m enenangkan Sulam dan Dower. Keduanya duduk kem bali, m asing-
m asing dengan waj ah kecut . Hening. Kart arej a duduk t erm angu.
Dahinya berkerut - kerut , m em bukt ikan ada sesuat u yang sedang
dipikirkannya. Kem udian kakek it u bangkit berdiri. Kat a- katanya
terdengar pelan penuh wibawa.

“ Kalian dat ang m em bawa persoalan ke rum ah ini. Kalau kalian t idak
ingin aku m em bat alkan rencana, beri kam i kesem pat an m em ecahkan
persoalan itu. Hendaknya kalian mau diam sebentar di tempat masing-
m asing. Jangan m encoba bert engkar kem bali. Aku hendak
bermusyawarah sebentar di dalam.”

88
“ Ya, kalian harus m enurut . I ngat , Srint il m asih sangat m uda. Dia
tidak biasa mendengar keributan,” sambung Nyai Kartareja.

Kakek dan nenek it u m asuk ke dalam m eninggalkan kedua t am unya


yang m asih m em bisu di at as lincak. Ant ara keduanya sering t erj adi
saling curi pandang. Tidak lebih. Mereka t erm akan oleh gert ak
Kartareja yang mengancam akan membatalkan malam bukak- klambu.

Di ruang dalam suam i- ist ri it u t idak m elihat Srint il. Tet api m ereka
t idak berpikir j auh. Paling- paling Srint il sedang t ert elungkup di dalam
biliknya dengan hat i berdebar- debar. Bila dem ikian Nyai Kart arej a
dapat memahami perasaan gadis itu. Dia masih perawan.

“Ambil dua cangkir,” perintah Kartareja kepada istrinya.

“Kau mau apa?”

“Lihatlah nanti.”

Kart arej a m engeluarkan bot ol- bot ol dari lem ari. Sebuah m asih penuh
berisi ciu. Sebuah lagi hanya berisi seperem pat nya. I si bot ol yang
kedua ini dit am bah dengan air t em payan hingga penuh. Kepada
ist rinya yang dat ang m em bawa dua buah cangkir, Kart arej a
m em erint ahkan m enghidangkan m inum an keras it u kepada Sulam dan
Dower.

89
“ Jangan keliru! Yang asli buat Sulam . Lainnya buat Dower,” kat a
Kartareja. Istrinya tersenyum.

Walaupun t idak selicik Kart arej a, nam un perem puan it u sudah dapat
menduga ke mana maksud tindakan suaminya.

Bau alkohol t ercium oleh Sulam dan Dower. Kegelisahan dan


m inum an keras. Dua hal yang dit em ui m enj adi sahabat di m ana-
m ana. Baik Sulam m aupun Dower ingin secepat nya m ereguk isi bot ol
yang disodorkan oleh Nyai Kart arej a. Apalagi set elah perem puan it u
berkat a m enant ang. “ Bocah bagus yang paling gagah adalah siapa
yang lebih dulu menghabiskan minuman keras ini.”

“ He, Nyai. Tet api m engapa kau hanya m enyediakan sebot ol buat ku?
Tam bah lagi barang dua- t iga bot ol. Kau j angan harap akan ada sisa
minuman di hadapanku nanti.”

Tidak berbeda gairahnya dengan Sulam , Dower m enarik cangkir dan


bot ol yang t ersedia baginya. Bet apapun pem uda Pecikalan ini t ak ingin
disebut sebagai bocah bagus kedua. Dalam hat i Dower berkat a,
dirinya bukan anak kecil yang akan m unt ah bila kerongkongan
tersiram minuman keras.

Sulam telah mereguk isi cangkir pertama. Tanpa memperdulikan urat-


urat t ekaknya yang m engerut , dia m eneguk pula isi cangkir kedua.
Dan set erusnya. Hanya dalam beberapa saat sebot ol ciu keras sudah
m engendap dalam lam bungnya. Mula- m ula Sulam m erasa kulit
waj ahnya t erj erang. Panas. Telinga berdenging. Badan t erasa ringan.
Pandangan m at a m em baur. Lam a- kelam aan dunia j ungkir- balik di
hadapannya. Tet api Sulam m erasa t enaganya bert am bah berlipat
ganda.

90
Bersam a suam i- ist ri Kart arej a, Dower yang sam a sekali t idak m abuk
ikut m enyaksikan Sulam yang m ulai m engigau. Dalam dunia
khayalnya Sulam m elihat beribu bint ang j at uh dari langit . Telinganya
m endengar suara t em bang asm ara. Di hadapannya m uncul Srint il
m engaj aknya bert ayub. Bau ciu yang m enguap dari m ulut sendiri
dirasakannya sebagai wewangian yang dikenakan oleh ronggeng
Dukuh Paruk it u. Tergugah birahi Sulam . Terhuyung- huyung dia
bangkit . Di t engah beranda dia m ulai berj oget . Nyai Kart arej a yang
berdiri di dekat nya t idak t am pak oleh Sulam sebagai seorang nenek-
nenek. Perem puan t ua it u kelihat an oleh Sulam sebagai Srint il yang
sedang mengajaknya bertayub.

Oleh suam inya Nyai Kart arej a disuruh m elayani Sulam yang sedang
hilang ingat an. Soal bert ayub t ak usah dit anyakan kepada ist ri dukun
ronggeng it u. Dia sangat berpengalam an. Jadilah. Teringat m asa
m udanya, m aka Nyai Kart arej a m elayani Sulam dengan sepenuh hat i.
Dia membiarkan dirinya dibawa berjoget, bahkan diciumi oleh Sulam.

Renj ana yang m enguasai Sulam t idak berlangsung lam a. Ciu t elah
mutlak menguasai semua organ tubuhnya. Gerakannya makin lamban,
m akin goyah. Ucapan cabul m asih sem pat keluar dari m ulut Sulam
sebelum kedua lut ut nya t erlipat , roboh dalam pelukan Nyai Kart arej a.
Oleh dukun ronggeng yang dibant u Dower, Sulam diangkat dan
dibaringkan di at as lincak. Seekor kam bing j ant an t elah dikalahkan
oleh ciu dan tipu daya.

“Beres,” kata Nyai Kartareja dengan napas tersengal- sengal.

“Ya, Nyai. Sekarang sudah beres,” jawab Kartareja.

“Engkau tidak mabuk, bukan?” tanya Nyai Kartareja kepada Dower.

91
“Tidak, Nek. Tidak.”

“Nah! Tunggu apa pula engkau ini?”

“Ah, apa maksudmu?” tanya Dower bingung.

“ Si Dungu dari Pecikalan. Engkau t ak m engert i aku bersusah payah


membuat Sulam mabuk? Sekarang kau kumenangkan.”

“Jadi? Jadi?”

“ Ya. Kau boleh t idur bersam a Srint il sekarang. Tet api wakt u t erbat as
sampai Sulam tersadar. Tahu?”

“Ya, ya. Aku sudah tahu.”

Terdengar suara derit ket ika Dower m enut up pint u bilik yang berisi
tempat tidur berkelambu itu. Sepi. Suami- istri Kartareja masuk ke bilik
m ereka sendiri. Di sana pasangan t ua it u bergurau. Sebuah ringgit
em as, dua rupiah perak dan seekor kerbau sudah ham pir di
tangan./bp/

***

92
Siapa yang akan m enyalahkan Kart arej a bila dukun ronggeng it u
m erasa t elah m enang secara gem ilang. Siapa pula yang akan
m enyalahkan Dower bila dia kelak bert eriak- t eriak bahwa dirinyalah
yang t elah m ewisuda ronggeng Srint il. Sesuat u t elah t erj adi di
belakang rum ah Kart arej a sebelum Dower m enyiapkan kelam bu yang
m engurung Srint il. Hanya aku dan ronggeng it u yang m enget ahui
segalanya.

Wakt u it u aku m asih m engint ip di em per sam ping ket ika t erdengar
pert engkaran m ulut ant ara Dower dan Sulam . Sesaat kem udian aku
m elihat seseorang keluar dari pint u belakang lalu j ongkok di bawah
pohon pisang. Dari sosok t ubuhnya yang kecil aku m em ast ikan Srint il-
lah yang keluar. Dengan berjalan berjingkat kudekati dia.

“ Srint il?” t egurku dengan suara berbisik. “ Jangan t erkej ut . Aku


Rasus.”

“ Oh! ” seru Srint il t ert ahan. Dia cepat bangkit m erangkulku sekuat
t enaga. “ Rasus. Dengar, m ereka bert engkar di luar. Aku t akut , sangat
takut. Aku ingin kencing!”

“Sudah kencing?”

“ Sudah. Tet api aku t akut . Rasus, kau sungguh baik. Kau ada di sini
ketika aku sedang diperjual- belikan.”

“Ya.”

93
Masih m erangkulku kuat - kuat Srint il m engisak. Kubiarkan dia karena
aku pun t ak t ahu apa yang harus kuperbuat . Kurasakan t ubuh Srint il
hangat dan gemetar.

“Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padam u. Rasus, sekarang kau
t ak boleh m enolak sepert i kaulakukan t adi siang. Di sini bukan
pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”

Sepatahpun aku tak bisa menjawab. Kerongkonganku terasa tersekat.


Karena gelap aku t ak dapat m elihat dengan j elas. Nam un aku
m erasakan Srint il m elepaskan rangkulan, kem udian sibuk m elepaskan
pakaian.

Tidak beda dengan pengalam an t adi siang di pekuburan Dukuh Paruk.


Hanya ini segalanya berlaku dalam gelap. Aku t idak dapat m elihat
sosok t ubuh Srint il dengan j elas, m eski aku yakin saat it u dia sudah
telanjang bulat.

Aku percaya, suasana gelap dapat m engubah nilai yang berlaku pada
pribadi- pribadi. Orang berpikir lebih prim it if dalam suasana t anpa
cahaya. Dan sebuah perilaku prim it if m em ang t erj adi kem udian ant ara
aku dan Srint il. I lusi akan hadirnya Em ak saat it u t ak m uncul di
hat iku. Segalanya t erj adi. Alam sendiri yang t urun t angan
m engguruiku dan Srint il. Boleh j adi Srint il m erasakan sesuat u yang
m enyenangkan. Tet api ent ahlah, karena aku hanya m erasa t elah
memperoleh sebuah pengalaman yang aneh.

Tidak lam a. Kubant u Srint il m engenakan kem bali pakaiannya.


Kem udian dia kuant ar sam pai ke pint u. Dengan m engint ip lewat celah
dinding dapat kulihat Srint il m em buka klam bu dan rebah t ert idur di
sana. Aku sendiri pulang dengan berbagai perasaan bercam pur- aduk
di hati.

94
Kelak Srint il bercerit era kepadaku bahwa dia segera t erj aga kem bali
ket ika Dower m em bangunkannya dengan dengus napas lem bu j ant an.
Srint il t idak m engat akan apa yang dialam inya kem udian sebagai suat u
perkosaan. Dia hanya berkat a, sungguh t idak m udah m enem puh
syarat menjadi seorang ronggeng di Dukuh Paruk.

Set elah Dower keluar Srint il m endengar Nyai Kart arej a berkat a
kepada pemuda Pecikalan itu.

“ Kau t elah m em peroleh hadiah sayem bara bukak- klam bu. Dua rupiah
perak serta kerbau itu sah menjadi milik kami. Engkau puas, bukan?”

Dower hanya t ersenyum . Tercapai sudah keinginannya m em peroleh


sebut an sebagai pem uda yang m ewisuda ronggeng Srint il. Virgin at au
tidak virgin ronggeng yang ditidurinya, menjadi naif Dower.

“Nek, aku mau pulang sekarang,” katanya kemudian.

“ Pulang? Nant i dulu! ” j awab Nyai Kart arej a. “ Bila nant i Sulam t erj aga
dan tidak melihatmu lagi di sini, dia akan merasa curiga. Tahu?”

“Ya. Oh rupanya kalian pasangan t ua bangka yang licik dan t engik.


Baiklah, aku mau tidur di sini. Aku pun telah lelah dan ngantuk.”

Suasana di rum ah Kart arej a sunyi kem bali m eskipun suam i- istri
dukun ronggeng it u t idak t idur. Srint il sendiri t erbaring gelisah.
Pelupuh lincak berderit - derit karena Dower belum dapat m em ej am kan
m at a. Tet api t ak berapa lam a kem udian segalanya diam . Dower yang
lelah dan lemas segera pulas.

95
Tengah m alam Nyai Kart arej a m asuk ke bilik Srint il. Kelam bu dibuka.
Dengan sinar pelit a di t angannya perem puan it u m elihat m at a Srint il
yang m asih t erbuka. Dengan gaya m em anj akan, Nyai Kart arej a
membelai rambut Srintil.

" Dua keping rupiah perak dan seekor kerbau besar t elah m enj adi
m ilikm u. Kau sudah m enj adi anak yang kaya. Engkau m erasa senang,
bukan?” Srintil mengangguk walaupun perutnya terasa sakit.

“ Dan engkau m asih akan m enerim a sebuah ringgit em as. Mau,


bukan? Nanti bila Sulam terjaga, dia akan masuk kemari.”

Mat a Srint il t erbuka lebar- lebar. Suaranya serak ket ika dia bert anya
kepada Nyai Kartareja.

“Jadi aku harus melayani Sulam pula?”

“ Tak m engapa, bukan? Engkau akan m enj adi sat u- sat unya anak yang
memiliki ringgit emas di Dukuh Paruk ini.”

“Tetapi perutku sakit, Nek. Amat sakit.”

“ Aku pernah m engalam i hal sepert i it u. Bocah ayu, percayalah


padaku. Sem uanya t ak m engapa kaulakukan. I ngat , sebuah ringgit
emas! Istirahatlah sekarang selagi Sulam masih mendengkur.”

96
Srint il m engisak seorang diri. Baginya alangkah lam bat wakt u
berj alan. Dia ingin hari segera m enj elang pagi. Dia ingin segera
m enem ukan dirinya t elah selesai m enj alankan bukak- klam bu. Tak
t erpikirkan lagi soal ringgit em as at au lainnya. Yang dirasakannya
sekarang adalah perut nya yang bagai t eriris- iris. Ronggeng it u t ak
akan menghentikan tangis karena binatang jantan lainnya akan segera
datang menyingkap kelambu dan mendengus.

Di luar gerim is t urun. Sesungguhnya Srint il ham pir t erlena bila t idak
m endengar derit lincak di beranda. Sulam m enggeliat lalu m elenguh.
Sem ula Sulam akan kem bali m em ej am kan m at a. Tet api t iba- tiba mata
pem uda it u t erbuka selebar- lebarnya, lalu bangkit . Dia duduk
termangu seperti orang sedang bingung.

Nyai Kartareja keluar dari biliknya, melangkah mendekati Sulam.

“ Oh, bocah bagus. Engkau sudah bangun?” t anya Nyai Kart arej a
semanis seorang ibu.

“ Jam berapa sekarang, Nek?” kat a Sulam sam bil m enggosok m at a


dengan punggung tangan.

“Ah, masih sore,” tipu perempuan itu pula.

Ket ika Sulam sadar bet ul apa t uj uannya dat ang ke Dukuh Paruk, dia
berkata sambil bangkit berdiri.

“Jadi bagaimana ini. Bagaimana urusan tadi?”

97
“ Oh t enanglah, Bocah bagus. Lihat , anak Pecikalan it u m asih t ert idur
nyenyak. Engkau jadi pemenang. Srintil menunggumu sekarang.”

“Ha? Di mana Srintil?” tanya Sulam bersemangat.

“ Lho! Dia di dalam kelam bu. Ayo, cepat . Jangan m enunggu Dower
terbangun.”

“Oh ya. Ya. Tetapi nanti dulu, Nek. Aku ingin kencing.”

Ent ah sam pai kapan pem ukim an sem pit dan t erpencil it u bernam a
Dukuh Paruk. Kem elarat annya, ket erbelakangannya, penghuninya
yang kurus dan sakit sert a sum pah- serapah cabul m enj adi bagiannya
yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit kecil di tengah
Dukuh Paruk seakan m enj adi pengawal abadi at as segala kekurangan
di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi am paran sawah berbat as kaki
langit , t ak seorang pun penduduknya m em iliki lum bung padi m eski
yang paling kecil sekali pun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya
tak pernah menolak nasib yang diberikan alam.

Yang Mahaperkasa m encipt a diriku dari int isari t anah Dukuh Paruk.
Ket ika aku m ulai m engert i bahwa diriku hidup, di dekat ku ada seorang
nenek, sebuah kandang berisi t iga ekor kam bing dan sekeranj ang
gaplek di sudut rumah kecil. Anak- anak sebaya memanggil perempuan
yang t erdekat dengan sebut an em ak. Tet api perem puan t ua yang
paling dekat denganku m enolak bila kusebut dem ikian. “ Panggil aku
nenek,” kat anya. Pernyat aan it u adalah t anda- t anya besar pert am a
yang m enindih hat iku. Unt ung, di Dukuh Paruk ada sekian belas anak
yang sepert i aku. Wart a dan Darsun bahkan aku kem udian t ahu pula,
Srint il j uga t idak m em punyai em ak. Ayah j uga t ak pernah kulihat
sej ak aku lahir. Tet api aku t idak begit u m erisaukannya. Jangan

98
salahkan diriku karena aku t ak t ahu m engapa t erj adi perasaan
demikian.

Cerit era t ent ang m alapet aka t em pe bongkrek it u m ulai t erekam di


hat iku sej ak usiaku lim a at au enam t ahun. Nenek dan orang- orang
lainnya bercerit era sebagian- sebagian, sehingga bila kusam bung akan
t ersusun kisah sebuah perist iwa kem at ian m assal secara lengkap.
Term asuk di dalam nya ket erangan yang sepot ong- sepot ong t ent ang
Em ak. Ah, aku t akkan m engulanginya lagi. Ket erangan t ent ang Em ak
hanya berbekas sebagai deraan batin yang berkepanjangan.

Dalam hat iku ada sebuah sisi yang kosong. Seharusnya ada Em ak di
sana. Aku yang m engharuskannya dem ikian, nam un t idak pernah
m enj adi kenyat aan. Kekosongan yang berkem bang bersam a
pert um buhanku sej ak m asa kanak- kanak, m encipt akan kegersangan
dan kegelisahan. Kehausan m elihat sert a m em iliki Em ak t elah
membuat noda dalam hidupku.

Tet api Dukuh Paruk dan orang- orangnya disana t ak ada yang
m engert i diriku yang sakit . Mem ang Dukuh Paruk m em beri
kesem pat an kepadaku m engisi bagian hat i yang kosong dengan
seorang perawan kecil bernam a Srint il. Tidak lam a, sebab sej ak
perist iwa m alam bukak- klam bu it u Srint il diseret ke luar dari dalam
hat iku, Dukuh Paruk bert indak sem ena- m ena kepadaku. Aku
bersumpah takkan memaafkannya.

Jadi ket ika Dukuh Paruk bergem bira- ria dengan suara calung dan
j oget Srint il yang t elah resm i m enj adi ronggeng, aku m alah m ulai
m em bencinya. Pengikat yang m em buat ku m encint ai Dukuh Paruk
t elah direnggut kem bali. Aku t idak lagi m em punyai cerm in t em pat aku
m encari bayang- bayang Em ak. Sakit ku t erasa lebih perih daripada
saat aku belum mengenal Srintil.

99
Salah seekor kam bing kut unt un ke luar Dukuh Paruk pada suat u pagi.
Sebelum berangkat aku berkat a kepada Nenek, aku akan m encari
pam an di luar kam pung dan m ungkin t idak kem bali lagi. Nenek
menangis. Terbata- bata Nenek meminta agar aku tetap tinggal. “Siapa
yang akan mengurusiku bila aku sakit dan mati,” katanya.

Nenek m enj adi korban balas dendam ku t erhadap Dukuh Paruk. Dia
kut inggalkan bersam a beberapa ekor kam bing. Biarlah. Nenek adalah
milik Dukuh Paruk. Kukira Dukuh Paruk tetap mengakui Nenek sebagai
warga sampai dia bergabung dengan Ki Secamenggala di pekuburan.

Kam bing kuj ual di pasar. Dengan uang penj ualan it u aku hidup
beberapa hari di warung- warung. Perpindahanku dari warung sat u ke
warung lainnya t erj adi bila kudengar seorang pengunj ung bercerit era
t ent ang m alam bukak- klam bu yang baru diselenggarakan di Dukuh
Paruk.

Perkenalanku dengan pedagang singkong di pasar memungkinkan aku


m endapat upah. Di Dukuh Paruk set iap anak berkenalan dengan
singkong sej ak lahir. Maka pedagang it u t erkesan bet apa cepat aku
m engupasi barang dagangannya. Selain m endapat upah buat m akan
sehari- hari, aku m enem ukan sebuah t em pat yang t eduh unt uk
m enggelar karung- karung. I t ulah t em pat t idur yang kupakai selam a
berbulan- bulan.

Dawuan, t em pat ku m enyingkir dari Dukuh Paruk, t erlet ak di sebelah


kot a kecam at an. Akan t erbukt i nant i, pasar Dawuan m erupakan
tempat melarikan diri yang tepat. Di sana aku dapat melihat kehadiran
orang- orang dari perkam pungan dalam wilayah kecam at an it u. Tak
t erkecuali orang- orang dari Dukuh Paruk. Pasar Dawuan m enj adi
t em pat kabar m eram bat dari m ulut ke t elinga, dari t elinga ke m ulut
dan set erusnya. Berit a yang t erj adi di pelosok yang paling t erpencil
bisa didengar di pasar itu.

100
Jadi aku seperti masih tinggal di Dukuh Paruk laiknya.

Aku m endengar segala hal yang t erj adi di pedukuhan it u, t anpa


kehadiranku di sana. Dukuh Paruk t elah m enem ukan kem bali
keasliannya, dengan m unculnya kelom pok ronggeng di bawah asuhan
dukunnya yang t erkenal, Kart arej a. Keinginan Sakarya maupun
Kart arej a agar Srint il m enj adi ronggeng t enar, t elah t erlaksana. Boleh
j adi benar kat a kedua orang t ua it u, keris kecil yang kuberikan kepada
Srintil ikut andil dalam ketenaran Srintil. Entahlah.

Di pasar Dawuan pula suat u kali aku dapat m elihat Srint il yang
dat ang berbelanj a dengan Nyai Kart arej a. Sebelum ronggeng it u
m endekat aku t elah t ahu kehadirannya dari celot eh orang- orang di
pasar itu.

“Itu dia, ronggeng Dukuh Paruk. Srintil memang cantik.”

“ He! Bet ulkah di Dukuh Paruk ada gadis dengan kulit bersih, bet is
montok tanpa kurap?”

“Srintil itulah buktinya. Wah, alangkah cepat besar dia.”

“ Ah, j angan bodoh. Bau keringat laki- laki m em buat set iap anak
perempuan menjadi cepat dewasa.”

“ Lihat . Baru beberapa bulan m enj adi ronggeng sudah ada gelang
em as di t angan Srint il. Bandul kalungnya sebuah ringgit em as pula,”
kata seorang perempuan penjual sirih.

101
“ Kau sudah t ahu dari m ana ronggeng it u m em peroleh bandul kalung
seberat dua puluh lim a gram . Tet api kau past i belum t ahu siapa yang
memberi Srintil sebuah kalung,” ujar perempuan lainnya.

“Dari lurah Pecikalan yang menggendaknya?”

“ Salah. Lurah Pecikalan t elah m enggant i at ap ilalang rum ah Sakarya


dengan seng. Dia tidak memberi kalung kepada ronggeng itu.”

“Jadi siapa?”

“ Le Hian! I t u Cina yang m em punyai kilang ciu t ersem bunyi di t engah


kebun pisang. Lihat lah, sebent ar lagi Srint il akan m em akai subang
berlian. Atau akan memakai gelang rangkap.”

“Ah, kau seperti tahu segala urusannya?”

“ Mengapa t idak. Ada seorang siren wedana sedang m enggendaknya.


Bahkan kudengar ist ri sit en it u sudah m enunt ut cerai kepada
suaminya.”

“ Alangkah am puh pekasih suam i- ist ri Kart arej a. Engkau harus


mempercayainya sekarang,” ujar tukang sirih itu pula.

“ Ah, t anpa pekasih pun orang akan senang t idur bersam a Srint il.
Maka aku bisa m em aham i bila Sulam rela kehilangan sebuah ringgit

102
em as unt uk m em peroleh keperawanan ronggeng it u,” kat a orang laki-
laki penjual tikar dari tempatnya.

Aku t erperanj at m endengar kat a- kat a lelaki it u. Orang lain


m engat akan Sulam - lah orangnya yang m ewisuda Srint il. Aku yakin
pula Dower dengan caranya sendiri m enyat akan sebagai orang
pert am a yang t idur bersam a ronggeng Dukuh Paruk. Rupanya rahasia
belum lagi bocor; hanya aku berdua Srint il yang m enget ahui
segalanya. Tet api kej adian di belakang rum ah Kart arej a it u t idak
m em beriku kesan yang indah. Aku m elakukannya sebagai t indakan
spontanitas belaka.

Srintil sudah memasuki arena pasar.

Aku bersem bunyi di balik onggokan singkong dan karung- karung.


Sem ua pedagang di pasar m em perlakukan Srint il sebagai orang
ist im ewa. Penj ual pakaian m enawarkan baj u m erah saga dengan
harga luar biasa t inggi. Kalau t idak dicegah oleh pengiringnya, Nyai
Kart arej a, Srint il akan m em bayarnya. Tanpa m enawar. Penj ual benda
manik- m anik m engangkat dagangannya. Sebuah cerm in
dit awarkannya kepada Srint il. Kali ini Nyai Kart arej a t idak
m enghalangi ronggeng it u m em beli kaca it u bersam a beberapa
bungkus pupur dan minyak wangi.

Seorang perem puan t ua berlari- lari dari arah belakang. Kepada Srint il
disodorkannya sehelai kutang.

“Aduh, wong ayu. Pakai kutang ini. Dadamu sudah kelihatan montok.”

“Berapa harganya, Nek?” tanya Srintil.

103
“ Aku t ak ingin berj ualan kepadam u. Silakan pakai. Aku set iap saat
berdiri di pinggir arena bila kau sedang m enari. Engkau past i t idak
tahu, bukan?”

Srint il m em balasnya dengan t awa yang m anj a. Dipilihnya sebuah


kut ang berwarna kuning m enyolok, lalu diberikannya kepada Nyai
Kart arej a unt uk dibawa. Bukan hanya penj ual kut ang it u yang
m em berikan dagangannya dengan cum a- cum a kepada Srint il. Masih
banyak lagi. Seorang perem puan penj ual buah m em berikan m angga-
m angga yang m asak dengan pengant ar, “ unt uk penyegar bagim u
yang t erlalu banyak m elek di m alam hari.” Tukang j am u cepat - cepat
m eram u dagangannya. “ Supaya ot ot - ot ot m u t et ap kenyal. Laki- laki
memang kurang ajar. Dia membenci apa- apa yang kendur!”

Bila para perem puan kelihat an t ulus ikhlas m em anj akan Srint il, t idak
dem ikian dengan para lelaki. Pak Sim bar, penj ual sabun di pasar
Dawuan berkat a dengan m at a bersinar- sinar kepada Srint il. “ Eh, wong
kenes, wong kewes. Aku t ahu di Dukuh Paruk orang m enggosok-
gosokkan bat u ke badan bila sedang m andi. Tet api engkau t ak pant as
m elakukannya. Mandilah dengan sabun m andiku. Tak usah bayar bila
m alam nant i kaubukakan pint u bilikm u bagiku. Nah, kem arilah.”
Berkata demikian, tangan Pak Simbar menjulur ke arah pinggul Srintil.
Aku melihat dengan pasti, Srintil tidak menepiskan tangan laki- laki itu.
Bangsat!

Babah Pincang yang duduk ham pir t enggelam di t engah dagangannya


ikut berbicara. Juga dengan wajah beringas dan mata berkilat.

“ Nah. Aku punya sandal kulit . Mulah. Balang baik. Na, kam u olang
t ida pant as belt elanj ang kaki. Bet ism u bagus. Bayal sandalku. Nanti
aku juga mau bayal kalau aku tidul di Dukuh Paluk.”

104
Sepert i j uga Pak Sim bar, Babah Pincang j uga gat al t angan. Bukan
pinggul Srint il yang digam it nya, m elainkan pipinya. Kali ini pun Srint il
tak berusaha menolak. Bangsat lagi!

Onggokan singkong dan karung- karung t et ap m enyem bunyikan diriku


dari pandangan Srint il sam pai ronggeng it u keluar dari pasar. Di
belakangnya, Nyai Kart arej a m em bawa keranj ang yang sarat dengan
barang belanj aan. Mat a sem ua laki- laki m em andang ke sana: ke
pinggul at au bet is Srint il. At au t engkuknya yang put ih di bawah
ram but hit am yang t ersanggul halus. Seruan cabul t erdengar dari
sudut- sudut pasat Dawuan. Terkadang Srint il m enoleh ke belakang
dengan lirikan yang m engundang birahi. Sem ent ara para perem puan
bergum am sam bil berpura- pura sibuk dengan dagangan m asing-
masing.

Terdengar bunyi lonceng sado dan derap kaki kuda. Srint il bersam a
Nyai Kart arej a m eninggalkan pasar Dawuan. Sado akan m engant arkan
m ereka sam pai ke uj ung pem at ang. Srint il dan pengiringnya akan
berjalan di at as pem at ang it u sam pai ke Dukuh Paruk. Selam a
set engah j am keduanya akan disiram t erik m at ahari t anpa sebat ang
pohon pun meneduhi.

Di sarangku di balik onggokan singkong it u, aku m asih


m engenangkan Srint il. Bukan dalam kenangan yang ut uh dan
m elam bung indah, m elainkan dalam gam baran yang m ulai pudar.
Srint il t elah m enj adi dirinya sendiri, dalam kedaulat an yang sulit
kugugat . Dia dengan sadar dan bangga m enj adi ronggeng dan sundal,
dua predikat yang t iada beda. Aku t ahu bet ul Srint il berhak m encari
sebut an apa pun yang dia sukai. Apalagi Dukuh Paruk akan ham bar
tanpa calung dan ronggeng.

Mem ang dengan penam pilan Srint il yang sekarang, aku m ulai
m endapat kesulit an m em peroleh secuil gam baran Em ak pada dirinya.
Em ak m em ang perem puan Dukuh Paruk. Sekali pun aku t ak pernah
m em bayangkan Em ak bukan m enj adi bagian pedukuhan t erpencil it u.
Jadi Em ak, sepert i para perem puan Dukuh Paruk, t idak

105
m engharam kan persundalan. Dia, m eski hanya hidup dalam angan-
anganku, bukan perem puan suci sepert i yang kelak kubaca dalam
buku- buku dongeng. Tet api dem i rahim yang pernah m em bungkusku,
aku t ak t ega m em bayangkan Em ak sebagai perem puan yang selalu
ramah terhadap semua laki- laki. Yang tak pernah menepis tangan laki-
laki yang m enggerayanginya. Tidak. Bet apapun aku t ak m am pu
berkhayal demikian.

Pasar Dawuan sedikit dem i sedikit m erenggangkan hubunganku


dengan Srint il. Bukan hanya dalam art i lahir, t erlebih- lebih dalam art i
bat iniah. Pasar Dawuan j uga t ernyat a m em berikan cakrawala luas
padaku t ent ang banyak hal. Dulu, dunia bagiku adalah Dukuh Paruk
dengan sum pah serapahnya, dengan kem elarat annya dan dengan
kecabulannya yang sah. Sam pai hari- hari pert am a aku m enghuni
pasar Dawuan, aku m enganggap nilai- nilai yang kubawa dari Dukuh
Paruk secara umum berlaku pula di semua tempat.

Ternyat a t idak dem ikian. Pengalam anku dengan Sit i akan


m em bukt ikannya. Lebih dari it u, karena Sit i secara t idak langsung
m engaj ariku bahwa dunia perem puan t akkan t erwakili oleh Srint il
seorang.

Sit i, seorang gadis seusia Srint il. Set iap pagi dia m em beli singkong di
pasar Dawuan. I bunya m enj adi penj ual berj enis- j enis m akanan yang
t erbuat dari um bi akar t ersebut . I bu Sit i t idak berj ualan di pasar it u.
Tet api di pasar Dawuan, orang dengan m udah m endapat segala
macam keterangan. Demikian, maka aku tahu banyak tentang Siti dan
ibunya.

Karena set iap pagi aku m elayani Sit i, m aka aku m ulai
m enyenanginya. Sikapnya yang m alu- m alu dan ham pir m enut up diri
sering m erangsang diriku unt uk m enggodanya. Sekali wakt u aku t ak
berhasil m encegah t anganku yang lancang. Kerudung yang selalu
m enut upi kepala Sit i kusingkapkan. Put ih pipinya dan keindahan
tengkuknya tak bertirai lagi. Tak ayal tanganku bergerak mencubit pipi
putih itu.

106
Sedikit pun aku t ak m erasa bersalah berbuat dem ikian. Dukuh Paruk
sepanj ang usiaku m engat akan perkara m encubit pipi sam a sekali t idak
t abu, apalagi dosa. Kat a ‘dosa’ sendiri baru kudengar set elah aku
m eninggalkan Dukuh Paruk. Tet api karena kelancangan t angan it u aku
m endapat pengalam an baru yang get ir. Set elah kucubit pipinya, Sit i
m em beliakkan m at a. Pipinya m erah rona. Gadis it u t erpaku sej enak
dengan t at apan m at a m enghunj am j ant ungku. Mula- m ula aku senang
karena dengan pipi m erah it u Sit i bert am bah cant ik. Nam un aku j adi
t erkej ut ket ika Sit i berlari dengan m elem parkan singkong yang t elah
dibelinya.

Kej adian it u m em ancing t awa orang- orang di sekelilingku. Aku


t erpaku karena heran dan t erkej ut . Hanya m encubit pipi. Apa yang
luar biasa dalam perilaku sepele it u? Bukankah di Dukuh Paruk aku
sudah m encium pipi Srint il dan dia sam a sekali t idak m arah, bahkan
tertawa manja?

“ He, j angan sam akan Sit i dengan gadis- gadis Dukuh Paruk. Dia
m arah karena m enganggap kau m em perlakukannya secara t idak
senonoh,” kat a seseorang, ent ah siapa karena aku t ak berani
mengangkat muka.

“Lihat- lihat lah bila hendak m enggoda seorang gadis, Rasus! ” kat a
seorang lainnya. “ Di sini m em ang pasar. Perem puan yang dat ang
berbelanj a kem ari t idak sem ua berasal dari Dukuh Paruk. Seorang
sundal pun, bila dia bukan perem puan Dukuh Paruk, akan m arah bila
t ersent uh pipinya di depan orang banyak. Meski hanya berpura- pura,
namun demikianiah adanya.”

Masih banyak celot eh lain yang kudengar. Tet api aku t ak bisa
m em perhat ikan sem uanya. Aku sedang t erlanda m asuknya nilai baru
ke dalam hat i, bahwa soal m encubit pipi di luar Dukuh Paruk bisa
m endat angkan urusan. Lain benar keadaannya dengan Dukuh Paruk.

107
Di sana, seorang suam i m isalnya, t idak perlu berkelahi bila suat u saat
m enangkap basah ist rinya sedang t idur bersam a laki- laki t et angga.
Suam i t ersebut t elah t ahu cara bert indak yang lebih prakt is;
m endat angi ist ri t et angga it u dan m enidurinya. Habis segala urusan!
Tanah airku yang kecil it u hanya m engaj arkan pengert ian m oral t anpa
tetek- bengek. Bukt inya, siapa anak siapa t idak pernah m enj adi nilai
yang kaku dan past i, oleh karenanya t idak pernah m enim bulkan
urusan. Di sana, di Dukuh Paruk, aku j uga t ahu ada obat bagi
perempuan- perem puan m andul. Obat it u bernam a lingga; kependekan
dua kat a - yang berart i penis t et angga. Dan obat it u, dem i arwah Ki
Secam enggala, bukan barang t abu apalagi aneh. Tet api m engapa
hanya karena aku mencubit pipi Siti, orang- orang menertawakanku?

Ah. Biarlah, bagaim ana j uga aku yang harus m engalah, dengan m ulai
belaj ar m enerim a kenyat aan, bahwa di luar t anah airku yang kecil
berlaku nilai- nilai yang lain. Banyak sekali. Misalnya kat a um pat an
“ asu bunt ung” , yang bisa didengar set iap m enit di Dukuh Paruk t anpa
akibat apa pun, m erupakan kat a penghinaan paling nist a di luar
pedukuhan itu.

Pengalam an m alam hari dengan perempuan- perem puan pasar


Dawuan j uga m em perluas cakrawalaku. Gadis- gadis warung di
sekeliling pasar Dawuan kebanyakan senang bergurau dengan para
lelaki. Ulahnya t idak j auh berbeda dengan perem puan Dukuh Paruk.
Beberapa di ant aranya m au m enerim a uangku dan t idak berkeberat an
kubawa pergi.

Tokh t idak sem uanya dem ikian. Yang t ercant ik di ant ara m ereka
selalu m enut up diri di sam ping ayahnya. Dia bersem bahyang, sesuat u
yang baru kulihat di luar Dukuh Paruk. Gadis- gadis lain berbisik
kepadaku agar j angan m encoba m enggoda si alim it u. Kat a m ereka,
hanya laki- laki bersem bahyang pula bisa berharap pada suat u saat
bisa m enj am ahnya. I t u pun bila t elah t erj adi ikat an perkawinan yang
sah. Pelanggaran at as ket ent uan it u adalah dosa besar. Nah, Rasus
dari Dukuh Paruk belum m am pu m em aham i sem uanya. Perkawinan
yang sah, dosa besar, m erupakan ungkapan yang baru kudengar.
Terserah pada sejarahku nanti apakah aku bisa menghayati pengertian

108
it u at au aku akan t et ap didikt e oleh nilai- nilai yang kukenal sej ak di
Dukuh Paruk.

Makin lam a t inggal di luar t anah airku yang kecil, aku m akin m am pu
m enilai kehidupan di pedukuhan it u secara krit is. Kem elarat an di sana
t erpelihara secara lest ari karena kebodohan dan kem alasan
penghuninya. Mereka hanya puas m enj adi buruh t ani. At au berladang
singkong kecil- kecilan. Bila ada sedikit panen, m inum an keras
m em asuki set iap pint u rum ah. Suara calung dan t em bang ronggeng
menina- bobokkan Dukuh Paruk. Maka benar kat a Sakarya, bagi orang
Dukuh Paruk kehidupan t anpa calung dan ronggeng t erasa hambar.
Calung dan ronggeng pula yang m em beri kesem pat an m ereka
bertayub dan minum ciu sepuas- puasnya.

Pengenalanku at as dunia perem puan di luar Srint il j uga m em bawa


perubahan. Kedudukannya sebagai idola sert a cerm in di m ana aku
m encari bayangan Em ak lama- lam a surut dan akhirnya lenyap sam a
sekali.

Sosok Em ak yang kulukis dalam angan- angan selam a bert ahun-


t ahun, dengan berat hat i harus kum usnahkan. Dulu aku begit u yakin
Em ak m em punyai cam bang halus di pipi sepert i Srint il. At au lesung
pipit di pipi kiri. Suaranya lem but dan sej uk dengan senyum yang
m enawarkan duka seorang anak yang selalu m erindukannya. Kulit nya
put ih, dadanya subur di m ana selam a dua t ahun aku bergant ung
menetek dan bermanja.

Sungguh. Meski berat sekalipun gam baran t ent ang diri Em ak harus
kuhancurkan dan m enggant ikannya dengan cit ra yang lain. Maka
dalam pikiranku sudah kunyalakan api pada set um puk kayu bakar.
Kubayangkan seorang perem puan kulem parkan dengan t anganku
sendiri ke at as kobaran api it u. Perem puan yang m em punyai segala
gambaran keagungan itu hangus dan lenyap dimakan api.

109
Sebagai gant inya m uncul perem puan lain dengan ciri- ciri khas Dukuh
Paruk. Ram but kusut dengan uj ung kem erahan. Waj ah lesu dan pucat
karena sehari- hari t idak cukup m akan. Sepasang t et ek dengan put ing
hit am , hanya subur pada wakt u panen. Sepasang t elapak kaki yang
lebar dengan endapan daki m elapisinya. Kat a- kat anya kasar dengan
selingan serapah cabul. I t ulah gam bar seorang perem puan Dukuh
Paruk, gam baran yang lebih m asuk akal. Aku harus m ulai belajar
m enerim a kenyat aan bahwa sebagai perem puan Dukuh Paruk Em ak
m em iliki ciri- ciri sepert i it u pula. Seorang m ant ri yang m au m em bawa
lari perem puan sepert i it u past ilah ada kelainan pada dirinya. Kalau
tidak sinting pastilah dia seorang laki- laki bajul buntung!

Nah, aku sudah m ulai m em punyai gam baran seorang em ak. Meski
buruk, t et api bayangannya m udah kuperoleh pada ham pir sem ua
perem puan Dukuh Paruk. At au sem ua perem puan yang berbelanj a
at au berj ualan di pasar Dawuan. Mem ang, Srint il t et ap t ak bisa
kulupakan. Kenangan bersam anya karena aku m engenalnya sej ak
m asa kanak- kanak, t idak m ungkin hilang dengan m udah. Tet api
kedudukannya dalam j iwaku, sedikit dem i sedikit bergeser ke t em pat
yang lebih waj ar. Boleh j adi kelak pada suat u saat aku
merindukannya, kem udian m encarinya at as panggilan birahi. Siapa
t ahu pada suat u saat ada uang dalam j um lah cukup dalam sakuku.
Tidak pernah kudengar seorang ronggeng m enolak kehendak laki- laki
yang akan memberinya uang, apalagi dalam jumlah banyak.

Bagaim ana aku t elah berhasil m endudukkan Srint il dalam


kehidupanku secara sem est inya t erbukt i ket ika beberapa bulan
kem udian aku bert em u kem bali di pasar Dawuan. Sikap orang- orang
pasar m asih biasa. Ronggeng m em ang seorang perem puan m ilik
um um t erut am a bagi laki- laki. Bila Pak Sim bar at au Babah Pincang
berani m enggoda Srint il m engapa aku t idak. Aku t idak m alu diket ahui
oleh Srint il sebagai penj aga singkong m ilik orang lain. Tangan dan
baj uku kot or. Di pasar aku t idak pernah m andi kecuali kalau aku
sedang tidak malas pergi ke sungai.

Maka ket ika orang- orang m enyam but kedat angan ronggeng Dukuh
Paruk it u, aku pun m endekat . Tanpa canggung sedikit pun Srint il

110
kubim bing ke t em pat yang lebih longgar. Tak kupedulikan seruan
maupun tatapan orang orang sekeliling.

“Kau tidak lupa padaku, Srin?”

“Heh! Tentu kau masih bernama Rasus.”

“ Kau j uga t idak lupa kej adian pada suat u m alam di belakang rum ah
Kartareja?”

“ Jangkrik! Jangan keras- keras. Ya, aku t ak m elupakan ulahm u yang


tolol dan konyol itu.”

“He- he. Tetapi aku ingin mengulanginya.”

“ Kam pret , j angan keras- keras. At au kalau kau ingin m em bual


banyak- banyak, mari kita beli cendol. Di warung itu kelihatan sepi.”

“ Nah, ayolah. Bersam a seorang ronggeng, perut akan t erj am in


bukan?”

“Sudahlah. Kau jangan nyinyir seperti Nyai Kartareja.”

Beberapa orang berseru m acam - m acam ket ika m elihat aku


m enggandeng Srint il ke luar pasar m enuj u warung cendol. Sem ua

111
t idak kuam bil peduli. Apalagi Srint il sendiri yang m em bungkam m ulut -
mulut usil itu.

“ Kalian orang- orang pasar, j angan iri hat i. Rasus adalah t em an lam a
dari Dukuh Paruk. At au bila kalian t et ap m erasa iri, t unggulah di sini.
Nanti kalian akan mendapat giliran.”

Srintil pernah menyerahkan diri kepadaku di tempat gelap di belakang


rum ah Kart arej a. Bagiku kej adian it u ham pir t ak berkesan. Karena
wakt u it u Srint il bukan hanya sekedar seorang ronggeng. Lagipula
wakt u it u kuanggap penyerahan Srint il sebagai im balan penyerahan
keris kecil yang kulakukan kepadanya.

Di warung cendol it u t erbukt i pengert ianku salah. Dari cara Srint il


berbicara, dari caranya duduk di sam pingku dan dari sorot m at anya,
aku t ahu Srint il m encat at kej adian di belakang rum ah Kart arej a it u
secara khusus dalam hat inya. Maka aku t erpaksa percaya akan kat a-
kat a orang bahwa perist iwa penyerahan virginit as oleh seorang gadis
t idak akan dilupakannya sepanj ang usia. Juga aku j adi percaya akan
kata- kat a yang pernah kudengar bahwa bet apapun ronggeng adalah
seorang perem puan. Dia m engharapkan seorang kecint aan. Laki- laki
yang datang tidak perlu mengeluarkan uang bila dia menjadi kecintaan
sang ronggeng.

“ Rasus, kau m enghilang dari Dukuh Paruk sej ak kej adian m alam hari
di belakang rum ah Kart arej a. Jangkrik! Aku sungguh t ak m engert i
mengapa kau bertindak demikian.”

Jika Srint il m engaj ukan pert anyaan sepert i it u beberapa bulan yang
lalu, aku akan sulit m encari j awabnya. Kalaupun aku m enem ukannya,
past ilah m uluk, karena aku m asih m enghubungkan Em ak dengan diri
Srintil. Tetapi di warung cendol itu mulutku dengan lancar memberikan
jawaban kepada Srintil.

112
“ Karena engkau t elah sah m enj adi ronggeng. Selam anya aku t ak
ingin bertemu lagi denganmu kecuali aku mempunyai uang.”

“Jadi begitukah rupanya, Rasus?”

“Ya, mengapa?”

“Apakah waktu itu aku juga minta uang kepadamu?”

Srint il m enundukkan kepala ket ika m engucapkan kat a- kat a it u.


Sebelum aku bisa m em buka m ulut , Srint il bangkit m eninggalkanku.
Aku t erpana dan hanya m am pu m elihat dia m engangkat keranj ang
belanj aannya ke at as sado. Ket ika sais m em bunyikan cam buk buat
melarikan kuda, hatiku yang terlecut.

Aneh, t ernyat a selam a set ahun penuh aku belum j uga m enginj akkan
kaki ke Dukuh Paruk. Bagiku, bila m endengar Nenek m asih m engiris-
iris singkong unt uk dibuat gaplek sert a pergi ke t anah kosong buat
m enggem bala kam bing, it u sudah cukup. Pasar Dawuan selam a sat u
t ahun it u sekali- sekali m enj adi t em pat pert em uanku dengan Srint il.
Terkadang Srint il m engaj akku ke sebuah rum ah t idak j auh dari pasar
Dawuan. Meskipun Srint il selalu m arah bila disebut sundal, t et api dia
t ahu bet ul set iap rum ah yang bisa disewa unt uk perbuat an cabul. Dia
m em bukt ikan kat a- kat anya bahwa dariku dia t idak m engharapkan
uang. Bahkan suat u ket ika dia m ulai bercelot eh t ent ang bayi, t ent ang
perkawinan.

Lucu.

113
Seorang ronggeng bercelot eh t ent ang perkawinan, t ent ang seorang
bayi. Sebagai anak Dukuh Paruk sej at i, aku langsung bisa
m encurigainya. Aku t ahu benar perkawinan di Dukuh Paruk bukan
barang m uluk, apalagi kudus, m aka para perem puan di sana t ak perlu
m em uj anya. Perkawinan dalam urusannya dengan kepent ingan hayat i
bisa didapat dengan m udah, apalagi bagi Srilit il yang cant ik. Bila
Srint il m enginginkan seorang bayi, m engapa dia cem as? Bukankah
berpuluh lelaki telah menabur benih?

Orang- orang di luar Dukuh Paruk t idak m engert i di m ana let ak


persoalannya. Bet apapun perem puan Dukuh Paruk hidup dalam
dunianya yang t ersendiri, naluri m ereka yang ingin beroleh ket urunan
sam a dengan perem puan- perem puan lain. Mereka m em benci
kambing- kam bing yang t ak bisa beranak, apapula t erhadap diri yang
m andul. Mereka m erasa m engem ban am anat suci Ki Secam enggala
agar ket urunan m oyang orang Dukuh Paruk it u t idak punah t erm akan
m alapet aka m aupun kem elarat an. Hal ini berart i: bayi. Aku m enduga
keras Srint il m ulai dihant ui kesadaran bahwa Nyai Kart arej a t elah
memijit hingga mati indung telurnya, peranakannya. Suami- istri dukun
ronggeng it u m erasa perlu berbuat dem ikian sebab hukum Dukuh
Paruk m engat akan karir seorang ronggeng t erhent i sej ak
keham ilannya yang pert am a. Kukira Srint il m ulai sadar kem andulan
adalah hant u m engerikan yang akan m enj elang pada hari t ua. At au
Srint il t elah m endengar riwayat para ronggeng yang t ak pernah
m encapai hari t ua karena keburu dim akan raj asinga at au penyakit
kotor lainnya.

Entahlah.

Yang j elas celot eh Srint il t ent ang bayi dan perkawinan hanya
kuanggap sebagai ungkapan perasaan secara em osional, t anpa suat u
alasan yang m endukungnya. Lagipula aku m erasa rendah diri karena
Srint il t elah m enj adi ronggeng yang benar- benar kaya. Nam un
seandainya benar keinginan Srint il m em peroleh seorang bayi
t erdorong ket akut annya m enghadapi hari t ua, aku t ak bisa berbuat
lain kecuali iba. Sangat iba!

114
Tahun 1960 wilayah kecam at an Dawuan t idak am an. Peram pokan
dengan kekerasan senj at a sering t erj adi. Tidak j arang para peram pok
m em bakar rum ah korbannya. Aku yang selalu t idur di sudut pasar
Dawuan m ulai m erasa t akut . Mulai t erpikir olehku apakah sudah t iba
saatnya bagiku kembali ke Dukuh Paruk? Aku berharap para perampok
t idak t ert arik pada pedukuhan it u karena let aknya yang berada di
t engah sawah. Menurut perhit unganku, andaikat a t erj adi peram pokan
di sana polisi gampang mengepungnya.

Ternyata hingga dua tahun berikutnya aku belum juga datang melihat
Dukuh Paruk. Bahkan aku m eninggalkan pasar Dawuan, berpindah
dari sat u t em pat ke t em pat lain, bersam a sekelom pok t ent ara di
bawah pimpinan Sersan Slamet.

Kelak akan t erbukt i nasib m engubah kehidupanku secara aj aib.


Dim ulai pada suat u sore di depan pasar Dawuan. Pasar begit u sepi.
Apalagi peram pokan m akin hari m akin sering t erj adi. Sebuah t ruk
penuh t ent ara berhent i. Kira- kira dua puluh orang t ent ara t urun,
masing- m asing dengan t opi baj a dan bedil. Banyak anak- anak
m enyingkir m elihat kedat angan para t ent ara it u. Mereka t erut am a
takut kepada bedil.

Aku sendiri berdiri dan memandang dari jauh di depan gerbang pasar.
Kulihat seorang t ent ara, yang kem udian kukenal sebagai Sersan
Slam et , m encari seseorang unt uk m em bant u m enurunkan pet i- peti
sert a barang- barang lainnya. Dia t idak m elihat seorang pun kecuali
aku. Jadi lambaian tangannya kemudian diarahkannya kepadaku.

Tak ada anak Dukuh Paruk yang t idak gem et ar m enerim a panggilan
seorang tentara. Aku hampir melangkah surut bila Sersan Slamet tidak
m engulangi lam baiannya. Bahkan kulihat senyum nya yang kem udian
mengurangi ketakutanku.

115
“Siapa namamu?” tanya Sersan Slamet. Gayanya ramah kebapakan.

“Rasus.”

“Bila tidak sedang sibuk kuminta kau mau membantu kami.”

“ Tidak. Aku t idak m em punyai kerj a saat ini,” kat aku m asih dengan
rasa takut tersisa di hati.

“Jadi kau mau membantu kami?”

Aku mengangguk.

“ Baik Marilah m ulai. Angkut pet i- pet i it u ke rum ah sana. Nant i ada
upah tersedia bagimu.”

Pekerj aan kum ulai. Pet i- pet i logam sert a barang berat lainnya
kuangkat di at as pundak dan kubawa ke sebuah rum ah bat u yang
t ernyat a t elah dipersiapkan sebagai m arkas t ent ara. Dari rasa t akut
lambat laun berubah menjadi rasa bangga. Seorang anak Dukuh Paruk
bekerj a dalam kelom pok t ent ara. Meski pakaianku t idak seragam
dengan m ereka, t et api aku berj alan beriring dengan m ereka. Bahkan
aku sudah berbicara dengan pem im pin m ereka, Sersan Slam et . Aku
telah berkenalan dengan seorang tentara.

Karena m erasa bangga bekerj a dengan sekelom pok t ent ara m aka aku
m am pu m engeluarkan t enaga lebih dari biasanya. Bila m ereka

116
m engangkat pet i it u sat u- sat u, aku m engangkat nya sekaligus dua
buah di pundakku. Dalam wakt u sekian m enit m ereka hanya bisa
m em bawa sebuah barang dari t ruk ke m arkas. Tet api dalam wakt u
sam a aku t elah dua kali hilir- m udik. Rupanya Sersan Slam et m encat at
hal ini.

Set elah sem ua barang selesai dibawa ke m arkas it u, aku m int a diri
hendak pulang ke sarangku di pasar Dawuan. Sersan Slam et
m enahanku. Aku dim int anya lebih lam a m em bant unya. Maka rum ah
kosong yang hendak j adi m arkas it u kusapu. Ket ika aku sedang
bekerj a Sersan St am et m em beriku sepasang pakaian t ent ara bekas.
Aku diminta segera mengenakannya. Jadilah aku berseragam hijau.

Aku m engira sepasang pakaian bekas yang sudah bert isik di sana- sini
it u adalah upah yang dij anj ikan Sersan Slam et sesaat aku m ulai
bekerj a. Rupanya t idak dem ikian. Sersan it u t elah m enj erat ku agar
aku m au bekerj a m enj adi kacung yang harus m elayani diri sert a
seluruh anggot a pasukannya. Unt ung, aku t idak bersangkut - paut
dengan para gerom bolan yang sering m engacau wilayah Dawuan.
Bayangkan bila aku seorang anggot a gerom bolan, at au set idaknya
seorang m at a- m at a m ereka yang kuket ahui banyak di ant ara
penduduk, m aka keput usan Sersan Slam et m engangkat ku m enj adi
pelayannya sungguh suatu kesalahan besar.

Menj elang sore sem ua yang harus kukerj akan t elah beres. Sersan
Slam et m enyuruhku duduk. Di hadapan beberapa t ent ara lain, sersan
itu menanyaiku.

“ Rasus, dengan pakaian it u engkau t elah pant as m enj adi seorang


t obang. Kam i m em erlukan seseorang unt uk m elayani kam i dalam
t ugas. Tent u saj a bila kau bersedia m em ikul t ugas it u kelak kau akan
menerima gaji. Bagaimana?”

117
Jawaban apa pun t idak bisa segera kuberikan. Tet api dalam hat i aku
bersorak- sorai. Bila t awaran it u kut erim a, m aka past i aku akan
menjadi anak Dukuh Paruk pert am a yang berseragam hij au, berbicara
dalam bahasa I ndonesia, lagipula m enerim a gaj i. Bukan m ain hebat !
Srint il akan m elihat seorang yang pernah dikenalnya bernam a Rasus
berseragam t ent ara, m eski t anpa pangkat . Sakarya dan Kart arej a
yang t elah m encipt akan Srint il m enj adi seorang ronggeng sehingga
aku kehilangan bayangan Em ak, akan t erbat a- bat a bila suat u saat
kudatangi. Rasakan dia.

“Lho. Engkau tetap diam, Rasus. Engkau menolak atau hanya bingung
memikirkan tawaranku?” tanya Sersan Slamet.

“ Tidak dem ikian, Pak. Aku hanya m erasa sangsi apakah aku dapat
m em enuhi syarat unt uk m em ikul t ugas yang akan kut erim a it u,”
kataku merendah.

“ Siapa saj a yang m em punyai cukup t enaga sert a kej uj uran, dapat
m elaksanakan t ugas sebagai t obang. Tent ang t enaga, aku sudah
m erasa past i engkau m em ilikinya dengan cukup. Kej uj uranm u sudah
t erpancar dari waj ah dan sinar m at am u sendiri. Jadi aku m erasa past i
pula engkau mampu menjadi seorang tobang.”

“ Kalau dem ikian penilaian Sersan, m aka aku hanya m enurut ,”


jawabku tanpa mengangkat muka.

“ Kat akan; ya! Kam i t ent ara. Kam i m em erlukan ket egasan dalam
set iap sikap,” kat a Sersan Slam et t egas. Tet api dari nadanya aku t ak
menangkap kekerasan.

“Ya. Tawaran itu kuterima!”

118
“Bagus. Engkau mulai berbicara seperti seorang tentara.”

“Tetapi...”

“ Tet api? Tent ara t ak pernah berbicara ‘t et api’ bila keput usan t elah
diambil.”

“Singkong- singkong yang selam a ini kuj aga harus secara t egas dan
past i kuserahkan kem bali kepada pem iliknya. Sepert i t ent ara, seorang
tobang harus tegas!”

Pada hari- hari pert am a m enj adi t obang, banyak hal baru yang
kurasakan. Siang hari aku m encuci pakaian- pakaian t ent ara, m elap
sepatu- sepat u. Urusan dapur m enj adi bagianku pula. Aku m elakukan
bagian ini dengan senang hat i karena di sam ping m em asak aku
berkesem pat an pergi berbelanj a ke pasar Dawuan. Di sana aku pam er
dengan baju seragam. Semua orang yang pernah mengenalku di pasar
it u m em uj iku. Bahkan pem ilik singkong yang pernah beberapa belas
bulan m enj adi m aj ikanku, t ak berani m em anggilku dengan nam a,
m elainkan dengan sebut an “ m as t obang” . Aku berharap Srint il
secepat nya m enget ahui perubahan diriku lalu dat ang berbelanj a ke
pasar Dawuan. Sayang belum sat u pun orang Dukuh Paruk kuj um pai
di pasar itu.

Sebulan sej ak kedat angan pasukan t ent ara t ak t erdengar perist iwa
peram pokan di wilayah Dawuan. Meskipun t ent ara t et ap siaga dan
berpat roli di m alam hari, t et api set idaknya aku m erasakan suasana
yang t enang di ant ara m ereka. Hubunganku dengan Sersan Slamet
lebih dapat dikat akan sebagai hubungan pribadi daripada sebagai
hubungan ant ara seorang t obang dan seorang sersan. Dia banyak
bert anya t ent ang diriku, asal- usulku bahkan sekolahku. Dia
m engaj ariku m enulis dan m em baca set elah m enget ahui aku t ak

119
pernah bersekolah. Berbagai kisah dicerit erakan kepadaku. Tet api
yang kusenangi adalah kisah seorang t ent ara pelaj ar yang karena
keberaniannya dapat m em bunuh t iga serdadu m usuh dalam suat u
pert em puran. Pada um um nya Sersan Slam et bersikap lem but
kepadaku. Tet api j iwa t ent aranya harus m uncul j uga. Misalnya
beberapa hari set elah aku bergabung dengan pasukannya, dia pernah
berkat a. “ Sebagai seorang t obang segala sesuat u yang kauket ahui di
sini m enj adi rahasia pent ing. Kau harus m enj aganya sekuat t enaga.
Dengan orang luar kau hanya dibenarkan berbicara seperlunya. Kalau
kuket ahui kau m elakukan kesalahan, aku sendiri yang akan
menghukummu. Bila perlu dengan pestolku!”

Berbagai penget ahuan t akkan pernah kudapat bila aku t ak


berkesempatan mengenal Sersan Slamet. Hanya dua bulan aku belajar
m em baca dan m enulis. Sesudah it u aku m ulai berkenalan dengan
buku- buku, dari buku cerit era wayang, buku sej arah sam pai buku-
buku yang berisi penget ahuan um um . Seluk- beluk senj at a j uga
kuperoleh dari sersan yang baik it u. Dari nam anya sepert i Piet ro
Beretta, Parabellum, Lee Enfield, Thomson dan sebagainya.

Cara bongkar pasang dan penggunaannya pun diaj arkan oleh Sersan
Slam et kepadaku. “ Siapa t ahu pada saat yang krit is kau harus ikut
m em egang senj at a dalam pert em puran,” kat a sersan it u sam bil
t ersenyum . Boleh j adi Sersan Slam et t idak t ahu hat iku m elam bung
sam pai ke langit karena m endengar ucapannya. Andaikat a Em ak
mendengar kata- kata itu!

Suat u pagi kudengar Sersan Slam et berkat a kepada bawahannya.


Bahkan aku pun dipanggilnya mendekat.

“ Sam pai hari ini kirim an bahan m akanan belum j uga t iba. Padahal
persediaan sudah m enipis. Kit a m em but uhkan daging segar. Terus-
m enerus m em akan daging dan m akanan kaleng t idak baik unt uk
lam bung kit a. Jat ah unt uk pem beli daging segar sudah habis. Kit a
putuskan berburu babi atau kijang di hutan.”

120
“Berita bagus,” kata kopral Pujo, “aku ikut.”

“Tidak. Kopral tinggal di sini dan kuserahi tanggung jawab. Aku hanya
memerlukan dua orang serta Rasus sebagai penunjuk jalan.”

Bila Kopral Puj o bersuka- ria m endengar berit a it u, apalagi aku yang
bahkan akan diaj aknya sert a. Berburu bersam a t iga orang t ent ara ke
hutan. Orang kampung akan melihat Rasus berjalan beriringan dengan
t ent ara. Mereka akan m elihat Rasus m engenakan baj u hij au. Pasti
m ereka akan bergum am . Anak Dukuh Paruk yang sat u it u m em ang
luar biasa, dapat m enj adi t ent ara. Apalagi bila aku dapat dipercaya
m em anggul bedil. Past i akan berlipat kekagum an orang kam pung
padaku. Dalam perj alanan pulang aku akan m em anggul sendiri hasil
buruan. Babi atau kijang.

Tak pernah kuim pikan sebelum nya bahwa suat u pengalam an yang
am at luar biasa kuperoleh dalam kesem pat an berburu it u. Bukan
dengan binat ang buruan, bukan pula dengan gerom bolan peram pok
yang bersembunyi di hutan.

Kira- kira j am delapan kam i berangkat dan Dawuan. Di punggungku


ada ransel berisi perbekalan. Di pinggangku yang sebelah kiri
t ergant ung t erm os dan pinggang kanan t erselip pisau belat i bersirung.
Aku m erasa diriku luar biasa gagah saat it u. Benar, sepanj ang
perjalanan ke hut an sem ua orang yang kebet ulan berpapasan
denganku bersam a t iga orang t ent ara berdiri sesaat hanya unt uk
m engagum i seorang anak Dukuh Paruk. Anak- anak kecil segera
bersembunyi, meski mereka kupanggil dengan bahasa ibu.

Sam pai di hut an, perburuan langsung dim ulai. Dalam hal ini aku
kecewa karena t iga orang t ent ara yang kuiringkan sam a sekali t ak
berpengalam an dalam hal berburu. Celeng sam a sekali t ak t erlihat

121
barang seekor. Kij ang m em ang t erlihat t et api Sersan Slam et yang
m enj adi algoj o gagal m enem bak sasarannya. Sam pai sore hari ket ika
perburuan dihent ikan, para pem buru hanya kehilangan dua peluru.
Sat u unruk m enem bak kij ang yang t ernyat a t ak m engena. Sat u lagi
unt uk m enem bak seekor ular sanca sebesar paha yang bergelung di
atas pohon.

Jadi di t engah hut an it u aku m em punyai pekerj aan m engulit i seekor


ular besar, memotonginya pendek- pendek, kemudian memasukkannya
dalam t iga buah ransel. Sesungguhnya aku t ak m enyukai pekerj aan
sem acam it u. Tet api dem i Sersan Slam et segalanya kulakukan, m eski
beberapa kali aku ham pir m unt ah. Bau anyir dan sengak m enggelit ik
lambung dan mengaduk- aduk isinya.

“ Selesaikan pekerj aanm u,” kat a Sersan Slam et . “ Aku m au t idur


barang sebent ar. Cepat bangunkan aku bila kau m elihat sesuat u yang
mencurigakan.”

“ Celeng at au kij ang?” uj arku bergurau. Sersan Slam et hanya


t ersenyum lalu m erebahkan diri di bawah pohon. Kedua t ent ara lain
malah sudah tak bergerak- gerak lagi, tertidur pulas.

Sesungguhnya aku sangat ahli dalam hal m engupas singkong. Tet api
perkara m engulit i seekor ular yang ham pir em pat m et er panj angnya
baru sekali it u kulakukan. Unt ung, sebelum pergi t idur Sersan Slam et
m em berikan pet unj uknya. Kepala ular kuikat dengan t ali. Uj ung t ali
yang lain kuikat kan pada sebat ang pohon. Pada lehernya kubuat irisan
m elingkar. Dari irisan it u kulit ular kukupas ke belakang. Tenagaku
ham pir t erkuras habis unt uk m enarik kulit ular it u. Hasilnya adalah
sebuah kant ung panj ang yang t erbalik. Pekerj aan selanj ut nya t idak
m em eras banyak t enaga. Ternyat a banyak daging ular yang harus
kubuang. Dua buah ransel sudah penuh. Ransel ket iga unt uk diisi
dengan kulit binatang itu.

122
Semuanya selesai sudah.

Aku bangkit berdiri unt uk m em ut ar t ulang punggung. Sepi. Sersan


Slam et dan dua orang anggot anya m asih t erlelap. Aku t idak
m em punyai keberanian m em bangunkan ket iga anggot a t ent ara it u.
Maka aku hanya duduk berdiam diri dalam kelengangan hut an yang
terasa bertambah hening tanpa kehadiran angin. Setiap kali kutoleh ke
belakang t am pak t iga sosok t ubuh yang t et ap nyenyak. Heran. Dalam
keadaan tidur sedikit pun tak tampak keperkasaan seorang tentara.

Ket ika kupandangi t iga pucuk bedil yang dibiarkan t ersandar oleh
m aj ikannya, t iba- t iba m uncul ilham gem ilang. Sam pai kapan pun aku
t ak bisa m engert i m engapa ilham it u dat ang pada saat nya yang am at
sangat t epat . Kedat angannya akan t erbukt i nant i m am pu m engakhiri
derita panjang yang menista hidupku selama bertahun- tahun.

Ket iga bedil it u m asih t ersandar di t em pat nya. Selagi Sersan Slam et
bersam a dua rekannya pulas, aku bisa m enggunakan salah sebuah
bedil m ereka unt uk kepent inganku sendiri. Aku m em punyai m usuh
bebuyut an yang m eski hanya m eraj alela dalam angan- angan, sudah
sekian lam a aku ingin m enghancurkan kepalanya hingga berkeping-
keping: m ant ri yang t elah m em bawa Em ak m elarikan diri ent ah ke
m ana. Ket ika dat ang kesem pat an buat m enghancurkan kepala m ant ri
itu, mengapa aku tidak segera bertindak?

Cepat ! Jangan t unggu sam pai ket iga orang t ent ara it u t erj aga. Bayar
kesum at m u sekarang j uga! Dem ikian sebuah suara t erdengar j elas
dalam hatiku sendiri.

Aku pat uh. Tindakan pert am a, kucari sebongkah bat u cadas sebesar
kepala. Kuangkat dia ke at as sebuah t onggak kayu. Dengan pisau
belat i bat u cadas it u kuukir. Ada gam bar m at a, hidung dan bibir. Tak
kulupakan kum is panj ang yang m elint ang. Sehelai daun j at i
kulet akkan di at as bat u cadas it u. Maka lengkaplah kepala m ant ri

123
keparat yang t elah m encuri Em ak. Mant ri yang m enurut cerit era
Nenek selalu berkumis dan memakai topi gabus.

Dari j arak beberapa langkah aku m enat ap hasil rekaanku. Tak salah
lagi. I t ulah m ant ri, m usuh bebuyut anku. Baj ingan t unggulah balas
dendamku beberapa detik lagi.

Kulihat kiri- kanan. Sepi. Hanya seekor dadali t erbang m elint as di


langit . Biarlah dia m enj adi saksi t unggal at as perbuat an yang akan
kulakukan. Aku akan m em bayar dendam . Dengan berj ingkat aku
m encapai salah sebuah bedil it u. Sebuah Lee Enfield. Tanganku
gem et ar ket ika m engangkat nya. Bukan karena aku baru kali pert am a
menjamah sebuah senjata api. Bukan. Sudah kukatakan aku mengenal
berbagai j enis senj at a sej ak aku bergabung dengan Sersan Slam et .
Tanganku gem et ar karena gej olak dalam hat iku sendiri. Gem et ar
karena rasa kesumat yang sesaat lagi akan terlampiaskan.

Pelan, pelan sekali aku m elangkah m undur. Aku t akut salah seorang
dari ket iga t ent ara it u bangun. Bila sam pai t erj adi dem ikian gagallah
rencanaku m em balas dendam kepada m ant riku yang keparat ,
Kem udian aku berbalik. Dem ikian m aka aku berdiri beberapa langkah
di depan kepala m ant ri. Aku kem bali m em buat gerakan yang begitu
pelan, ket ika aku m enarik handel unt uk m engokang bedil di t anganku.
Lirih sekali sehingga kuharap kum an yang berada di t elapak t anganku
tak mendengar bunyi pegas yang kurentang.

Denyut j ant ungku t ernyat a m am pu m enggerak- gerakkan uj ung laras


bedil yang t elah t ert uj u lurus pada sasaran. Kepala m ant ri it u! Maka
aku masih menunggu sampai jantungku sedikit lebih tenang.

Saat telah tiba.

124
Bedil kem bali kuarahkan kepada sasaran. Kubayangkan bagaim ana
seorang anggot a regu t em bak berdiri m enunaikan t ugas m enem bak
m at i seorang m usuh. Dialah yang kut iru. Picu kut arik. Ledakan
dendam m em buat gerak t elunj uk kananku m enj adi kuat dan past i.
Aku ham pir t idak m endengar let upan karena seluruh indera t erpusat
kepada kepala m ant ri yang hancur dan t erlem par ke belakang. Topi
gabusnya terbang entah ke mana.

Ya Tuhan! Det ik berikut nya aku m endengar Sersan Slam et dan kedua
t em annya t erbangun. Sedet ik lagi aku m endengar hardikan yang am at
keras disusul sebuah t elapak t angan m endarat di pipiku. Bedil di
tangan direnggutkan dengan begitu kasar.

Tet api aku t idak pedulikan sem uanya. Aku sedang m enikm at i
kepuasan bat in yang am at sangat . Mant riku t elah m at i. Kepalanya
hancur sam pai t ak m ungkin orang m engenalinya kem bali. Tidak
kupedulikan ket iga t ent ara yang kem udian berdiri bingung, aku m aj u
hendak m elihat hasil t em bakanku. Luar biasa. Kepala m ant ri t inggal
menjadi kepingan- kepingan kecil. Seorang lelaki dengan kepala hancur
sepert i it u t akkan bisa m em bawa lari Em ak. Sej ak saat it u dia sudah
m enj adi bangkai. Em ak t elah kubebaskan. Dia akan kuaj ak kem bali ke
Dukuh Paruk sekarang j uga. Aku m enang, m enj adi put era paling
perkasa yang berhasil gem ilang m em bebaskan Em ak t ercint a dari
genggaman setan.

Kukira kesadaran sedang kem bali kepada diriku ket ika aku berdiri
kaku m enghadap t iga orang t ent ara yang m em andangku dengan
heran. Badanku basah oleh keringat dingin. Tangan dan kakiku
gem et ar. Tet api aku berusaha m em buat langkah pert am a ke arah
Sersan Slam et . Sayang aku t ak sam pai ke t uj uan. Kulihat segalanya
berput ar j ungkir- balik. Apa yang t erj adi kem udian aku t ak
mengetahuinya lagi.

Ent ah berapa lam a aku t ak sadarkan diri. I ngat an pert am a yang


kurasakan adalah ket ika Sersan Slam et m enuangkan kopi hangat dari
t erm osnya ke dalam m ulut ku. Kem udian dari m ulut yang belum

125
sepenuhnya t erkendali m asih t erlont ar kat a- kat a, “ Mak, kau sudah
bebas sekarang. Mari pulang!”

“ Ya, kau sudah sadar. Kit a akan segera pulang,” uj ar Sersan Slam et .
Kata- kata itu membuatku lebih tersadar.

“ Oh, Sersan. Aku t elah m em buat kesalahan. Aku m ohon m aaf,”


kataku sambil bangkit duduk.

“ Aku harus m engert i lebih dulu m engapa sem ua ini kaulakukan. Kau
sudah bisa menerangkannya sekarang?”

“ Maaf, Sersan, aku t ak bisa m enerangkannya sekarang. At au


hukum lah aku. Kesalahan t elah kuperbuat dengan m eledakkan sebuah
peluru dengan maksud yang sukar Sersan mengerti. Sungguh, Sersan,
aku rela menerima hukuman apa pun.

“ Baik. Mari kit a pulang. Tet api kau harus berj anj i nant i akan
memberikan keterangan sejelas- jelasnya kepadaku.”

“Terima kasih, Sersan. Saya berjanji.”

“Bagaimana dengan ular sanca?”

“Sudah selesai. Tinggal membawanya dalam tiga buah ransel.”

126
“Kau merasa sudah cukup kuat?”

“Sudah.”

“ Am bil pikulan. Hukum an pert am a bagim u adalah m engangkat ket iga


ransel itu, seorang diri.”

Kepada t em an- t em annya di m arkas, kedua t ent ara yapg ikut berburu
m engat akan aku kem asukan set an di hut an. Maka beberapa orang
m em int a ket erangan langsung kepadaku, dan aku hanya cukup
m engiyakan. Tet api kepada Sersan Slam et di kam arnya kukat akan
dengan panj ang lebar m engapa aku m enem bak segum pal cadas it u.
Pak Sersan mengerti tentang alasan yang kukatakan itu.

“Maka aku sungguh minta maaf, Sersan.”

“ Hanya kali ini kau kum aafkan. Kali lain t idak. Unt ung aku dapat
m em aham i penderit aan bat inm u karena selam a hidup engkau belum
pernah m elihat ibum u. Kalau t idak hukum an yang akan kaut erim a
cukup berat . Bayangkan, m engam bil dan m enggunakan bedil. Bahkan
seorang t ent ara harus m em enuhi syarat t ert ent u agar dibenarkan
berlaku demikian.”--/bp/

***

127
Kehadiran t ent ara di Dawuan t idak selam anya dapat m encegah
peram pokan di wilayah kecam at an t ersebut . Bahkan di beberapa
kam pung para peram pok sem akin berani. Pem bunuhan t erhadap para
korban m ulai berani m ereka lakukan. Usaha m engat asi m asalah it u
t ernyat a bukan t ugas m udah bagi Sersan Slam et bersam a anak
buahnya. Pat roli m alam hari t idak berhasil m enangkap seorang
peram pok pun. Sebaliknya seorang anggot a t ent ara t ewas dan
seorang lainnya t erluka ket ika segerom bolan peram pok m encegat
satuan patroli malam.

Sersan Slam et m enggant i t akt ik. Anggot anya dipecah m enj adi
kelompok- kelom pok kecil dengan anggot a dua sam pai t iga orang.
Set iap kelom pok bert ugas m engawasi rum ah- rum ah penduduk yang
diduga m enyim pan em as perm at a. Orang- orang inilah yang selalu
m enj adi sasaran peram pokan. Sat uan kecil it u m eninggalkan posnya
di Dawuan secara m enyam ar dan sudah siap di t em pat t ugas ket ika
matahari terbenam.

Nam un karena j um lah anggot a yang t erbat as, aku t erpaksa ikut
m enj adi anggot a sat uan, m eski aku belum m endapat kepercayaan
m em egang senj at a. Bersam a Kopral Puj o aku m endapat bagian
m engawasi Dukuh Paruk. Karena aku sangat m engenal pedukuhan it u,
kat a Sersan Slam et m em beri alasan. Di Dukuh Paruk ada t ersim pan
em as. Di m ana lagi kalau bukan di rum ah Srint il. Maka aku m enerim a
t ugas bersam a Kopral Puj o dengan senang hat i, m eski t erbersit
ketakutan akan bertemu langsung dengan para perampok itu.

Set iap hari sebelum m at ahari t erbenam , aku berangkat ke Dukuh


Paruk. Kopral Puj o m enyem bunyikan bedilnya dalam gulungan kain
sarung. Dia sendiri t idak m engenakan seragam t ent ara, bahkan t anpa
alas kaki. Aku hanya bersenj at a sebuah lam pu sent er. Kam i usahakan
agar kedat angan kam i t idak diket ahui oleh orang Dukuh Paruk sendiri.
Tem pat yang kam i pakai sebagai t em pat m engint ai t erlet ak di uj ung
pem at ang yang m enghubungkan Dukuh Paruk dengan dunia luar. Bila
sam pai faj ar t ak t erj adi sesuat u, kam i pulang ke Dawuan. Biasanya
kami langsung tidur sepanjang pagi.

128
Sesungguhnya aku t idak berharap, sesuat u akan m enim pa Dukuh
Paruk. Bet apapun dia adalah t anah airku yang kecil. Tet api pada
m alam kesem bilan, ket ika cahaya bint ang m am pu m enerangi
pedukuhan it u, dari t em pat pengint aian kulihat sinar lam pu sent er
mendekat. Kubuka

mataku lebar- lebar. Empat lima orang sedang berjalan beriring di atas
pem at ang. Sinar bint ang- bint ang m em ungkinkan m at aku m elihat
kelim a orang it u m asing- m asing m em bawa benda panj ang. Tak salah
lagi, bedil.

“Aduh, Kopral. Akhirnya mereka datang juga,” kataku berbisik.

“Berapa? Mataku kurang awas.”

“Lima. Semuanya bersenjata. Kita hadapi mereka?”

“ Seharusnya begit u. Tet api j angan gila. Hanya ada sepucuk senj at a
pada kita. Pada mereka ada lima bedil.”

“Jadi bagaimana? Keputusan harus segera kita ambil.”

“Nanti dulu. Aku mau kencing.”

Mengecewakan. Kopral Puj o t idak lebih berani daripadaku. Pada saat


it u dia t idak bisa m engam bil keput usan. Jadi akulah yang m engam bil
prakarsa.

129
“ Kit a perlu bant uan. Kopral t et ap di sini. Aku akan berlari secepat nya
ke Dawuan. Dalam dua puluh m enit kuharap aku sudah kem bali
bersama Sersan Slamet.”

“Terlalu lama. Mana sentermu. Aku akan memberi isyarat ke markas.”

“ Tet api dari t em pat ini isyarat it u t akkan t erlihat oleh Sersan Slam et .
Kopral harus lari sampai ke pertengahan pematang.”

“Tak mengapa.”

“ Nah inilah sent er yang Kopral m int a. Aku j uga akan m eninggalkan
tempat ini mengikuti para perampok itu dari belakang.”

“Ya.”

“Hati- hati. Kopral jangan salah tembak nanti.”

“Ya.”

Selagi Kopral Puj o lari ke t engah pem at ang, aku m engendap


m engikut i para peram pok yang baru beberapa m enit lewat di dekat
t em pat pengint aian. Benar dugaanku, m ereka t idak m endat angi
rum ah Kart arej a di m ana Srint il t inggal, m elainkan ke rum ah Sakarya.
Dengan at ap seng pem berian lurah Pecikalan, rum ah Sakarya
kelihatan paling menonjol di Dukuh Paruk.

130
Kulihat dua orang peram pok t et ap t inggal di luar, sat u di belakang
dan lainnya di halam an rum ah. Tiga lainnya m asuk ke beranda set elah
m em buka pint u dengan t endangan kaki. Sakarya yang t erkej ut ,
langsung m engert i apa yang akan t erj adi. Kakek Srint il it u keluar. Di
ruang t engah dia berhadapan dengan t iga orang yang m engacungkan
senj at a kepadanya. Nyai Sakarya yang m enyusul suam inya keluar
langsung tersimpuh di tanah.

“ I ni rum ah ronggeng Srint il, bukan?” bent ak salah seorang peram pok
kepada Sakarya. Yang dibentak menggigil ketakutan.

“ Aku m em ang kakek Srint il. Tet api dia t idak di sini lagi sekarang,”
j awab Sakarya dengan bibir gem et ar. Salah seorang peram pok
m enam par orang t ua it u sam pai t erhuyung. Lainnya m enggeledah ke
seluruh sudut rum ah. Tak m enem ukan Srint il m aupun hart anya, para
penjahat kembali berlaku kasar kepada Sakarya.

“ Kat akan di m ana Srint il t inggal! Jangan m em buang wakt u. Bedilku


bisa meledak setiap saat.”

“ Jangan, j angan. Akan kukat akan, Srint il t inggal di rum ah Kart arej a,
t iga rum ah ke t im ur dari sini. Tet api j angan kalian apa- apakan dia.
Sungguh. Srint il cucu t unggal kam i. Am bil hart anya, t api j angan
cederai dia.”

“Itu urusanku. Kamu jangan mengajari kami.”

Sebelum m eninggalkan rum ah Sakarya para peram pok m em buat


orang t ua it u pingsan. Pukulan di kepala dengan m enggunakan lam pu
sent er sudah cukup. Kem udian kelim a penj ahat bersama- sama

131
m enuj u rum ah Kart arej a. Dukun ronggeng it u sudah m endengar
kegaduhan di rum ah Sakarya. Barang- barang em as m iliknya dan m ilik
Srintil disembunyikannya di dalam abu tungku.

Sepert i ket ika dat ang ke rum ah Sakarya, m aka dua orang peram pok
tetap tinggal di luar rumah. Aku berada di balik pohon hanya beberapa
langkah dengan salah seorang di ant ara m ereka. Kudengar pint u yang
didobrak. Suara- suara m enghardik dan suara- suara pukulan. Sesaat
berikut nya kudengar j erit Srint il. Aku m engut uk sengit m engapa
Kopral Puj o belum j uga m uncul. Karena t idak sabar m enunggu, m aka
timbul keberanianku.

Penj ahat yang berdiri di belakang rum ah kelihat an gelisah. Aku


m encari sesuat u di t anah. Sebuah bat u sudah cukup. Tet api yang
kut em ukan sebat ang gagang pacul. Ket ika peram pok it u
m em belakangiku, aku m aj u dengan hat i- hat i. Pem bunuhan kulakukan
unt uk kali pert am a. Aku t idak biasa m elihat orang t erkapar di t anah.
Aku belum pernah m elihat bagaim ana seorang m anusia m eregang
nyawa. Pengalam an pert am a it u m em buat aku gem et ar. Dan siap lari
andaikat a t idak t ert ahan oleh keadaan. Aku m endengar langkah
m endekat . Cepat aku m engam bil senj at a m ilik orang yang sudah
kubunuh. Sebuah Thom son yang t angkainya sudah digant i dengan
kayu buat an sendiri. Tak m engapa. Senj at a yang t elah t erkokang it u
kugunakan untuk pembunuhan kali kedua.

Sesudah it u aku benar- benar m erasa t akut . Aku lari dan berbalik
sesaat unt uk m enghuj ani rum ah Kart arej a dengan peluru yang m asih
t ersisa. Kem udian aku berlari kem bali. Sam pai di sawah aku bert iarap
di balik pem at ang. Thom son it u t elah t ersem bunyi di dalam sebuah
parit.

Ket ika dalam kerem angan kulihat em pat sosok t ubuh berlari ke arah
pedukuhan, aku m engert i Kopral Puj o sudah dat ang m em bawa
bantuan.

132
“Tunggu, aku Rasus.”

“He, di mana mereka?” tanya Sersan Slamet.

“ Di rum ah Kart arej a. Cepat . Dua di ant ara m ereka t elah kubunuh,”
kataku dengan menggigil.

Sersan Slam et m engat ur siasat . Dia m enyuruh t iga anak buahnya


m em asuki Dukuh Paruk dengan t ugas m engusir para penj ahat keluar.
Dengan Thom son- nya Sersan Slam et akan m encegat m ereka di t epi
sawah.

Terdengar let upan- let upan ram ai. Para peram pok t erm akan oleh
siasat Sersan Slam et . Mereka lari ke luar rum ah Kart arej a. Sat u orang
t ert em bak oleh Kopral Puj o. Sat u orang lolos, t et api senj at a Sersan
Slamet berhasil membunuh seorang lainnya.

Set elah suasana sepi Sersan Slam et m engaj akku m elihat rum ah
Kart arej a. Kopral Puj o dan dua t em annya sudah di sana. Dengan
lam pu sent er kucari Thom son bert angkai kayu yang t adi kulem par ke
dalam parit . Kupanggul dia dengan gagah. Di belakang rum ah
Kart arej a aku berhent i. Kepada Sersan Slam et kut unj ukkan dua
m ayat . Tet api aku ham pir m unt ah m elihat darah begit u banyak.
Sebuah senjata lagi tergeletak dekat salah seorang mayat.

Ketika aku dan Sersan Slam et m asuk, Kart arej a sedang m enggigil di
depan Kopral Puj o. I st rinya duduk t erm angu. Srint il t erbelalak m elihat
aku m em bawa bedil, schingga dia ragu- ragu m endekat . Dari
ket erangan Kart arej a diket ahui peram pok hanya berhasil m em bawa
perhiasan yang pada saat it u dikenakan Srint il; sepasang subang, dua
cincin dan seunt ai kalung. Kart arej a m enyuruh Srint il t et ap

133
m engenakan perhiasan it u unt uk m elindungi perhiasan lain yang lebih
mahal dari jarahan para perampok.

Orang- orang Dukuh Paruk keluar dan berkum pul di rum ah Kart arej a.
Dengan obor m ereka disuruh oleh Sersan Slam et m engum pulkan
em pat m ayat . Di hadapan orang banyak Sersan Slam et m em uj iku
sebagai seorang pem berani. Tent ara it u t idak t ahu aku paling t akut
m elihat darah. “ Rasus sangat pant as m enj adi t ent ara. Saya akan
berusaha agar dia diangkat secara resm i m enj adi anggot a kesat uan
saya,” kata Sersan Slamet yang disambut dengan gumam orang- orang
Dukuh Paruk.

Em pat m ayat akan dit anam besok pagi unt uk dikenali dulu
ident it asnya. Tengah m alam Sersan Slam et bersam a dua anggot anya
pulang ke Dawuan. Aku berdua Kopral Puj o t et ap t inggal di Dukuh
Paruk.

Srint il m engikut iku ket ika aku berj alan m enuj u rum ah Nenek. Ah,
sem akin t ua nenekku. Kurus dan m akin bungkuk. Kasihan, Nenek
tidak bisa banyak bert anya kepadaku. Linglung dia. Tet api aku
m erangkulnya sam bil berseru berulang- ulang m enyebut nam aku
sendiri. “Aku Rasus, Nek.”

“Eh, jadi kamu si Rasus?”

“Ya, Nek.”

“Kau sudah makan?”

“Sudah. Sudah.”

134
“Jadi kamu mau tidur di sini?”

“ Ya, Nek. Malam ini Nenek kut em ani. Sekarang berbaringlah kem bali.
Ayo kubantu.”

Selagi orang- orang Dukuh Paruk m engerum uni rum ah Kart arej a, aku
duduk berdekat an dengan Srint il di beranda rum ah nenekku sendiri.
Pernah kubaca dongeng t ent ang seorang pahlawan yang pulang dari
peperangan dan kem bali disam but oleh seorang put eri j elit a. Aku
m engum pat habis- habisan m engapa dongeng sem acam it u sem pat
singgah dalam ingat an. Ket ika duduk berdua Srint il it u aku m em ang
m erasakan kepuasan yang am at sangat . Bukan oleh kenyat aan bahwa
Srint il t ak habis- habisnya m em uj iku at au karena dia berserah diri
sepenuhnya kepadaku. Bukan pula oleh pem bunuhan at as dua orang
m anusia yang t elah kulakukan m alam it u. Jiwaku t erlalu lem ah buat
m enghadapi perbuat an sem acam it u, m eski m ereka yang kubunuh
adalah peram pok- peram pok. Dalam hat i aku bersum pah, perbuat an
m encabut nyawa t akkan pernah kulakukan lagi baik t erhadap orang
jahat, apalagi terhadap orang- orang biasa.

Bukan. Kepuasan it u t elah berkem bang sej ak beberapa hari yang lalu
ket ika kepala m ant ri kut em bak hancur di t engah hut an. Orang lain
akan m engat akan perbuat anku it u t idak lebih dari ulah seorang bocah
ingusan yang t idak berm akna apa pun kecuali hanya m engundang
t awa. Ya, aku t idak berharap orang lain percaya bahwa aku t elah
m enghukum m at i m usuh yang t elah bert ahun- t ahun m engusik,
bahkan m em buat t eror berkepanj angan dalam kehidupan bat inku.
Kat akanlah, t ak seorang pun m em punyai kepent ingan dalam urusan
sepele itu, urusan yang tolol dan sinting.

Tet api aku m erasa dengan past i beban bat in yang selalu m enindih di
hat i sebagian besar t elah hilang. Kem ungkinan kebenaran cerit era
bahwa Em ak m elarikan diri bersam a m ant ri sam a sam a sekali. Jadi

135
Em ak, yang sudah kuyakini t idak sedikit pun m irip Srint il, m em ang
m at i t erm akan racunt em pe bongkrek. Mayat nya kem udian dipakai
dalam penyelidikan m edis unt uk m enget ahui segala t et ek- bengek
t ent ang racun bongkrek. Bila aku t elah m eninggalkan nilai- nilai asli
Dukuh Paruk, t ent ulah aku bisa m engat akan m ayat Em ak t elah
diabdikan unt uk kepent ingan kem anusiaan. Aku rela sudah, Em ak
dikubur di suat u t em pat ent ah di m ana. Tokh aku sudah t ahu, duniaku
sudah j auh lebih luas daripada sekedar pem ukim an sem pit yang
terpencil, Dukuh Paruk.

Pagi hari ketika semua orang Dukuh Paruk sibuk dengan empat mayat
penj ahat , aku sengaj a t idak keluar dari rum ah Nenek. Srint il yang
lekat sej ak m alam hari t ak m au berpisah, kecuali ket ika dia pulang
sebent ar buat m engam bil beras. Ronggeng it u cukup arif karena dia
t ahu di rum ah Nenek ham pir sepanj ang t ahun t idak t ersim pan beras
m eski hanya segenggam . Srint il m enanak nasi dan m erebus air buat
aku dan Nenek. Dia j uga m em buat t elur dadar, m akanan paling
m ewah yang sangat j arang dibuat orang di pedukuhan kecil it u. Pagi
it u, bahkan selam a beberapa hari kem udian, Srint il m enyediakan diri
m enj adi ist riku. Bukan hanya aku yang dim anj akannya secara
berlebihan, m elainkan j uga Nenek. Perem puan pikun it u past i m erasa
mendapat saat yang paling menyenangkan sepanjang usianya.

Melalui Kopral Puj o yang hari it u pulang kem bali ke m arkasnya di


Dawuan aku m enit ipkan pesan kepada Sersan Slam et . Aku m int a ij in
berist irahat barang em pat - lim a hari. “ Mencari seseorang yang bisa
m enj aga Nenek yang sudah sangat rent a,” begit u pesanku. Ternyat a
usahaku m enem ukan seseorang it u sangat m udah. Aku t erkej ut ket ika
m enyadari sem ua orang di t anah airku yang kecil it u siap m em enuhi
segala keinginanku.

“ Soal nenekm u, j angan kaurisaukan benar. Kam i akan m enj aganya


baik- baik. Kam i sungguh sadar dari dirinyalah lahir seorang cucu,
seorang bocah bagus yang t elah berhasil m em bunuh dua orang
penj ahat ,” kat a Kart arej a sam bil m engacungkan ibu j ari kepadaku.
“ Dan aku sanggup m em berinya m akan, karena aku sudah m em punyai
padi sekarang,” tambahnya.

136
" Jangkrik! ” sahut ku dalam hat i. “ Kam u si Tua Bangka t elah m enj adi
kaya dengan cara memperdagangkan Srintil.”

“ Jadi, apakah engkau akan segera kem bali ke m arkas, cucuku wong
bagus?” tanya Sakarya.

“Ya, esok hari, Kek,” jawabku.

“ Lho, j adi engkau t idak akan t inggal kem bali di Dukuh Paruk ini?”
tanya seorang perempuan, entah siapa dia.

“ Ah, it u t ak m ungkin. Rasus sudah m enj adi t ent ara. Kau t ak m elihat
bedil yang tergantung di tiang kayu itu?” ujar perempuan lainnya.

“ Aku harus segera bergabung kem bali dengan Sersan Slam et . Dia
besert a anak- anak buahnya sangat m em but uhkan t enagaku. Wilayah
kecam at an Dawuan belum am an, bukan?” kat aku yang segera
disambut dengan anggukan- anggukan kepala.

Malam t erakhir di Dukuh Paruk aku ham pir gagal m em ej am kan mata
hingga pagi hari. Sepanj ang m alam it u aku m enghadapi ulah seorang
perem puan yang sedang dit unt ut oleh nalurinya. Seorang perem puan
yang ingin kuanggap t anpa sebut an apa pun, baik sebut an ronggeng
at au sebut an perem puan Dukuh Paruk. Srint il hanya ingin disebut
sebagai seorang perem puan ut uh. Dia sungguh- sungguh ingin
m elahirkan anakku dari rahim nya. Dia ingin aku t et ap t inggal
bersam anya di Dukuh Paruk, at au ikut bersam aku, pergi bergabung
dengan kelompok Sersan Slamet.

137
“ Bila kau ingin bert ani, aku m am pu m em beli sat u hekt ar sawah buat
kaukerj akan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang
secukupnya,” pinta Srintil di tengah malam yang amat sepi.

“ Srin, aku belum berfikir sedem ikian j auh. At au aku t akkan pernah
m em ikirkan hal sem acam it u. Lagipula aku m asih t eringat bet ul kat a-
katamu dulu bahwa kau senang menjadi ronggeng,” jawabku.

“ Eh, Rasus. Mengapa kau m enyebut hal- hal yang sudah lalu? Aku
m engaj ukan perm int aanku it u sekarang. Dengar Rasus, aku akan
berhent i m enj adi ronggeng karena aku ingin m enj adi ist ri seorang
tentara; engkaulah orangnya.”

Masih segudang alasan dan j anj i yang diucapkan Srint il padaku.


Sebagai laki- laki usia dua puluh t ahun aku ham pir dibuat nya
m enyerah. Tet api sebagai anak Dukuh Paruk yang t elah t ahu banyak
akan dunia luar, aku m em punyai seribu alasan unt uk
dipert im bangkan, bahkan unt uk m enolak perm int aan Srint il. Srint il
boleh m endapat kan apa- apa dariku selain bayi dan perkawinan. Aku
t ahu hal ini sudah cukup m em adai bagi seorang perem puan Dukuh
Paruk. Perm int aan Srint il yang berlebihan past i hanya didorong
keinginan sesaat yang kebet ulan sej alan dengan nalurinya sebagai
perempuan.

Menj elang faj ar t iba, kudengar burung sikat an m encecet di rum pun
aur di belakang rum ah. Kelet ak- kelet ik bunyi t et es em bun yang j at uh
m enim pa daun kering. Kudengar dengung kum bang t ahi yang t erbang
m enuj u arah asal bau t inj a yang berserakan di pedukuhanku yang
kecil. Rengek bayi t et angga dan keribut an kecil di kandang ayam .
Keret ek t ahi kam bing yang t ercurah ke at as geladak kandangnya. Dan
kelepak sayap kampret di antara daun jambu di samping rumah.

138
Perlahan- lahan aku bangun. Lirih sekali. Aku t idak m enghendaki
terdengar derit pelupuh bambu yang dapat membangunkan Srintil. Dia
m asih lelap karena lelah. Malam it u Srint il t erlalu banyak
m engeluarkan keringat . Sepert i dulu, Srint il bert am bah cant ik dan
teduh bila sedang tidur. Dengan hati- hati kubenahi kainnya yang acak-
acakan. Ket ika Srint il m enggeliat , kuelus dia sepert i aku sedang
m engelus seorang anak kecil. Tidak lam a aku berdiri m enat ap
ronggeng Dukuh Paruk it u. Aku t idak ingin sesuat u yang berbau
sentimental menahan keberangkatanku.

Di dalam bilik lain kulihat Nenek, t idur m iring dan agak m elingkar.
Sinar pelit a kecil m em ungkinkan aku m elihat gerak paru- parunya.
Pelan sekali. Ah, nenekku. Mengapa bukan sej ak dulu aku m encari
gam bar waj ah Em ak pada kerent aanm u? Oh, t idak, t idak. Aku sudah
m endapat pelaj aran. Berusaha m encari gam baran Em ak yang selam a
ini kulakukan hanya m em buahkan hasil keresahan. Kekeliruan
semacam it u t akkan pernah kuulangi. Maka kut at ap garis- garis
kerent aan pada waj ah Nenek secara dam ai. Kem udian ke bawah
bantal kusisipkan semua uang yang ada di sakuku.

Aku berbalik. Tak kulupakan aku sudah m enj adi t ent ara m eski t anpa
pangkat. Jadi watak ragu harus kulenyapkan.

Selesai m engenakan pakaian seragam , kusam bar bedil yang


t ergant ung di at as balai- balai di bilikku. Srint il m asih lelap disana ,
t et api aku hanya m elihat nya sej enak. Langit di t im ur m ulai benderang
ket ika aku m elangkah ke luar. Belum seorang pun di Dukuh Paruk
yang sudah kelihat an. Langkahku t egap dan past i. Aku, Rasus, sudah
m enem ukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebut an dan
penghuninya akan kut inggalkan. Tanah airku yang kecil it u t idak lagi
kubenci m eskipun dulu aku t elah bersum pah t idak akan
m em aafkannya karena dia pernah m erenggut Srint il dari t anganku.
Bahkan lebih dari it u. Aku akan m em beri kesem pat an kepada
pedukuhanku yang kecil it u kem bali kepada keasliannya. Dengan
m enolak perkawinan yang dit awarkan Srint il, aku m em beri sesuat u
yang paling berharga bagi Dukuh Paruk: ronggeng!

Sam pai di t engah pesawahan aku m enoleh ke belakang. Aku


t ersenyum sendiri, lalu bergegas m eneruskan perj alanan. Dengan
m em anggul bedil, rasanya aku gagah. Tet api sebenarnya perasaan it u
muncul bukan karena ada sebuah bedil di pundak, m elainkan karena
aku t elah begit u yakin m am pu hidup t anpa kehadiran bayangan Em ak.
Di belakangku Dukuh Paruk diam m em bisu. Nam un segalanya m asih

139
ut uh disana ; keram at Ki Secam enggala, kem elarat an, sum pah-
serapah, irama calung dan seorang ronggeng.

Tamat

140

Anda mungkin juga menyukai