Karya- karya Ahm ad Tohari t elah dit erbit kan dalam bahasa Jepang,
Cina, Belanda dan Jerm an. Edisi bahasa I nggrisnya sedang disiapkan
penerbitannya.
1
Ronggeng Dukuh Paruk
Bagian Pertama
Nam un kem arau belum usai. Ribuan hekt ar sawah yang m engelilingi
Dukuh Paruk t elah t uj uh bulan keront ang. Sepasang burung bangau
it u t akkan m enem ukan genangan air m eski hanya selebar t elapak
kaki. Sawah berubah m enj adipadang kering berwarna kelabu. Segala
j enis rum put , m at i. Yang m enj adi bercak- bercak hij au di sana- sini
adalah kerokot , saj ian alam bagi berbagai j enis belalang dan j angkrik.
Tum buhan j enis kakt us ini j ust ru hanya m uncul di sawah sewakt u
kemarau berjaya.
Udara panas berbulan- bulan m engeringkan berj enis bij i- bij ian. Buah
randu t elah m enghit am kulit nya, pecah m enj adi t iga j uring. Bersam a
t iupan angin t erburai gum palan- gum palan kapuk. Set iap gum pal
kapuk m engandung bij i m asak yang siap t um buh pada t em pat ia
hinggap di bum i. Dem ikian kearifan alam m engat ur agar pohon randu
baru tidak tumbuh berdekatan dengan biangnya.
2
Pohon dadap m em ilih cara yang ham pir sam a bagi penyebaran
j enisnya. Bij i dadap yang t elah t ua m enggunakan kulit polongnya
untuk t erbang sebagai baling- baling. Bila angin berem bus, t am pak
sepert i rat usan kupu t erbang m enurut i arah angin m eninggalkan
pohon dadap. Kalau t idak t erganggu oleh anak- anak Dukuh Paruk, bij i
dadap it u akan t um buh di t em pat yang j auh dari induknya. Begit u
perintah alam.
Dari t em pat nya yang t inggi kedua burung bangau it u m elihat Dukuh
Paruk sebagai sebuah gerumbul kecil di tengahpadang yang amat luas.
Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan
oleh j aringan pem at ang sawah, ham pir dua kilom et er panj angnya.
Dukuh Paruk, kecil dan m enyendiri. Dukuh Paruk yang m encipt akan
kehidupannya sendiri.
Di t epi kam pung, t iga orang anak laki- laki sedang bersusah- payah
m encabut sebat ang singkong. Nam un ket iganya m asih t erlam pau
lem ah unt uk m engalahkan cengkeram an akar ket ela yang t erpendam
dalam t anah kapur. Kering dan m em bat u. Mereka t erengah- engah,
nam un bat ang singkong it u t et ap t egak di t em pat nya. Ket iganya
ham pir berput us asa seandainya salah seorang anak di ant ara m ereka
tidak menemukan akal.
“ Cari sebat ang cungkil,” kat a Rasus kepada dua t em annya. “ Tanpa
cungkil mustahil kita dapat mencabut singkong sialan ini.”
“ Percum a. Hanya sebat ang linggis dapat m enem bus t anah sekeras
ini,” uj arWart a . “ At au lebih baik kit a m encari air. Kit a siram pangkal
3
bat ang singkong kurang aj ar ini. Past i nant i kit a mudah
mencabutnya.”
“ Air?” ej ek Darsun, anak yang ket iga. “ Di m ana kau dapat
menemukan air?”
Tiga uj ung kulup t erarah pada t it ik yang sam a. Currrr. Kem udian
Rasus,Wart a dan Darsun berpandangan. Ket iganya m engusap t elapak
t angan m asing- m asing. Dengan t ekad t erakhir m ereka m encoba
mencabut batang singkong itu kembali.
Duduk bersim puh di t anah sam bil m eneruskan pekerj aannya, Srint il
berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya m engenal dua iram a.
Orang- orang t ua bert em bang kidung, dan anak- anak m enyanyikan
lagu- lagu ronggeng. Dengan suara kekanak- kanakannya, Srint il
m endendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot t im bane
rante, tiwas ngegot ning ora suwe.
4
Lagu erot ik. Srint il, perawan yang baru sebelas t ahun,
m enyanyikannya dengan sungguh- sungguh. Boleh j adi Srint il belum
faham benar m akna lirik lagu it u. Nam un sam a saj a. Dukuh Paruk
t idak akan bersusah hat i bila ada anak kecil m enyanyikan lagu yang
paling cabul sekalipun.
Bet apa asyik Srint il dengan dendangnya, t erbukt i dia t idak m enyadari
ada t iga anak laki- laki sudah berdiri di belakangnya. Srint il baru sadar
ket ika sedang m encoba m em asang m ahkot a daun nangka ke at as
kepalanya.
“ Aku bersedia m em buat kan badongan unt ukm u,” sam bung Rasus
menawarkan jasa.
“Tak usah. Kalau mau, ambilkan aku daun bacang. Nanti badongan ini
lebih baik,” jawab Srintil.
“ Bagus sekali,” kat a Rasus set elah m elihat badongan daun nangka it u
menghias kepala Srintil.
“ Sungguh?” balas Srintil meyakinkan.
“Aku tidak bohong. Bukankah begitu,Warta ? Darsun?”
“Ya, benar. Engkau cantik sekali sekarang,” ujarWarta .
“Seperti seorang ronggeng?” tanya Srintil lagi. Gayanya manja.
“Betul.”
“ Ah, t idak,” pot ong Darsun. “ Kecuali engkau m au m enari sepert i
ronggeng.”
Srint il diam . Dipandangnya ket iga anak laki- laki di hadapannya.
Dalam hat i Srint il m erasa penasaran. Apakah kalian m enyangka aku
tak bisa menari seperti seorang ronggeng? tanya Srintil.
“ Baik, aku akan m enari. Kalian harus m engiringi t arianku.
Bagaimana?” tantang Srintil.
5
“ Wah, j adi kalau begit u,” j awab Rasus cepat . “ Aku akan m enirukan
bunyi gendang.Wart a m enirukan calung dan Darsun m enirukan gong
tiup. Hayo!”
Di pelat aran yang m em bat u di bawah pohon nangka. Ket ika angin
tenggara bertiup dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar
di m usim kem arau. Ket ika sinar m at ahari m ulai m eredup di langit
barat . Srint il m enari dan bert em bang. Gendang, gong dan calung
m ulut m engiringinya. Rasus bersila, m enepak- nepak lut ut
m enirukangaya seorang penggendang.Wart a m engayunkan t angan ke
kiri- kanan, seakan ada perangkat calung di hadapannya. Darsun
membusungkan kedua pipinya. Suaranya berat menirukan bunyi gong.
Siapa yang akan percaya, t ak seorang pun pernah m engaj ari Srint il
m enari dan bert em bang. Siapa yang akan percaya belum sekali pun
Srint il pernah m elihat pent as ronggeng. Ronggeng t erakhir di Dukuh
Paruk m at i ket ika Srint il m asih bayi. Tet api di depan Rasus,Wart a dan
Darsun, Srintil menari dengan baiknya.
Mim ik penagih birahi yang selalu dit am pilkan oleh seorang ronggeng
yang sebenarnya, j uga diperbuat oleh Srint il saat it u. Lenggok
lehernya, lirik m at anya, bahkan cara Srint il m enggoyangkan pundak
akan m em ukau laki- laki dewasa m anapun yang m elihat nya. Seorang
gadis kencur sepert i Srint il t elah m am pu m enirukan dengan
baiknyagaya seorang ronggeng. Dan orang Dukuh Paruk t idak bakal
heran.
Di pedukuhan it u ada kepercayaan kuat , seorang ronggeng sej at i
bukan hasil pengaj aran. Bagaim anapun diaj ari, seorang perawan t ak
bisa m enj adi ronggeng kecuali roh indang t elah m erasuk t ubuhnya.
indang adalah sem acam wangsit yang dim uliakan di dunia
peronggengan.
Dem ikian, sore it u Srint il m enari dengan m at a set engah t ert ut up, j ari
t angannya m elent ik kenes. Ket iga anak laki- laki yang m engiringinya
m enyaksikan bet apa Srint il t elah m am pu m enyanyikan banyak lagu-
lagu ronggeng.
Mulut Rasus dan kedua t em annya pegal sudah. Nam un t erus
m elenggang dan m elenggok. Alunan t em bangnya t erus m engalir
seperti pancuran di musim hujan.
Bet apapun, akhirnya Srint il berhent i karena m ulut ket iga
pengiringnya bungkam . Tidak t am pak t anda Srint il lelah. Bahkan
kepada ketiga kawannya, Srintil masih menuntut.
“Wah, lagi, ya!” desaknya.
“Mengaso dulu. Mulutku pegal,” jawab Rasus.
“ Ya, kit a berhent i dulu. Kit a hanya akan berm ain lagi kalau Srint il
berjanji akan memberi kami upah,” kataWarta
“Baik, baik. Kalian minta upah apa?”
6
Warta diam. Rasus tersenyum sambil memandang Darsun.
“ Kalian m int a upah apa?” ulang Srint il. Berkat a dem ikian Srint il
m elangkah ke arah Rasus. Dekat sekali. Tanpa bisa m engelak, Rasus
m enerim a cium di pipi.Wart a dan Darsun m asing- m asing m endapat
giliran kem udian. Sebelum ket iga anak laki- laki it u sem pat berbuat
sesuatu, Srintil menagih janji.
Ket iganya pat uh. Ceria di bawah pohon nangka it u berlanj ut sam pai
m at ahari m enyent uh garis cakrawala. Sesungguhnya Srint il belum
hendak berhent i m enari. Nam un Rasus berkeberat an karena ia harus
m enggiring t iga ekor kam bingnya pulang ke kandang. Pada akhir
perm ainan, Rasus,Wart a dan Darsun m int a upah. Kali ini m ereka yang
berebut m encium i pipi Srint il. Perawan kecil it u m elayani bagaim ana
laiknya seorang ronggeng. Sebelum berlari pulang, Srint il m int a
jaminan besok hari Rasus dan dua t em annya akan bersedia kem bali
bermain bersama.
7
Pelita- pelit a kecil dinyalakan. Kelap- kelip di kej auhan m em bukt ikan di
Dukuh Paruk yang sunyi ada kehidupan m anusia. Bulan yang lonj ong
ham pir m encapai puncak langit . Cahayanya m em buat bayangan
t em aram di at as t anah kapur Dukuh Paruk. Kehadirannya di angkasa
t idak t erhalang awan. Langit bening. Udara kem arau m akin m alam
makin dingin.
Pagelaran alam yang ram ah bagi anak- anak. Halam an yang kering
sangat m enyenangkan unt uk arena berm ain. Cahaya bulan m encipt a
keakraban ant ara m anusia dengan lingkup fit riyahnya. Anak- anak,
m akhluk kecil yang m asih lugu, layak hadir di halam an yang berhias
cahaya bulan. Mereka pant as berkej aran, berm ain dan bert em bang.
Mereka sebaiknya t ahu m asa kanak- kanak adalah surga yang hanya
sekali datang.
Tidak, t idak. Awal m alam yang ceria it u t idak berbias lengking anak-
anak Dukuh Paruk. Kem arau t erlam pau panj ang t ahun ini. Dua bulan
t erakhir t iada lagi padi t ersim pan di rum ah orang Dukuh Paruk.
Mereka m akan gaplek. Anak- anak m akan nasi gaplek. Karbohidrat
yang t erkandung dalam singkong kering it u banyak rusak. Anak- anak
tidak berbekal cukup kalori untuk bermain siang malam.
Jadi pada m alam yang bening it u, t ak ada anak Dukuh Paruk keluar
halam an. Set elah m enghabiskan sepiring nasi gaplek m ereka lebih
senang bergulung dalam kain sarung, t idur di at as balai- balai bam bu.
Mereka akan bangun besok pagi bila sinar m at ahari m enerobos celah
dinding dan menyengat kulit mereka.
Orang- orang dewasa t elah bekerj a keras di siang hari. Tanam an
musim kemarau berupa sayuran, tembakau dan palawija harus disiram
dengan air sumur yang khusus mereka gali. Bila malam tiba, keinginan
m ereka t idak berlebihan; duduk berist irahat sam bil m enggulung
tembakau dengan daun pisang atau kulit jagung kering. Sedikit tengah
m alam m ereka akan naik t idur. Pada saat kem arau panj ang sepert i it u
mustahil ada perempuan Dukuh Paruk hamil.
Menj elang t engah m alam barangkali hanya Sakarya yang m asih
t erm angu di bawah lam pu m inyak yang bersinar redup. Sakarya,
kam it ua di pedukuhan t erpencil it u m asih m erenungi ulah cucunya
sore t adi. Dengan diam - diam Sakarya m engikut i gerak- gerik Srint il
ket ika cucunya it u m enari di bawah pohon nangka. Sedikit pun
Sakarya tidak ragu, Srintil telah kerasukan indang ronggeng.
Sakarya t ersenyum . Sudah lam a pem angku ket urunan Ki
Secamenggala it u m erasakan ham barnya Dukuh Paruk karena t idak
t erlahirnya seorang ronggeng disana . “ Dukuh Paruk t anpa ronggeng,
bukanlah Dukuh Paruk. Srint il, cucuku sendiri, akan m engem balikan
8
cit ra sebenarnya pedukuhan ini,” kat a Sakarya kepada dirinya sendiri.
Sakarya percaya, arwah Ki Secam enggala akan t erbahak di kuburnya
bila kelak tahu ada ronggeng di Dukuh Paruk.
Tak seorang pun m enyalahkan pikiran Sakarya. Dukuh Paruk hanya
lengkap bila disana ada keram at Ki Secam enggala, ada seloroh cabul,
ada sum pah- serapah dan ada ronggeng bersam a perangkat
calungnya. Gam baran t ent ang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan
orang luar yang senang berkat a m isalnya, “ Jangan m engabadikan
kem elarat an sepert i orang Dukuh Paruk.” At au, “ Hai, anak- anak,
pergilah m andi. Kalau t idak nant i kupingm u m engalir nanah, kakim u
kena kudis seperti anak- anak Dukuh Paruk!”
Keesokan harinya Sakarya m enem ui Kart arej a. Laki- laki yang ham pir
sebaya ini secara t urun- t em urun m enj adi dukun ronggeng di Dukuh
Paruk. Pagi it u Kart arej a m endapat kabar gem bira. Dia pun sudah
bertahun- t ahun m enunggu kedat angan seorang calon ronggeng unt uk
diasuhnya. Belasan t ahun sudah perangkat calungnya t ersim pan di
para- para di at as dapur. Dengan laporan Sakarya t ent ang Srint il,
dukun ronggeng it u berharap bunyi calung akan kem bali t erdengar
semarak di Dukuh Paruk.
“ Kalau benar t ut urm u, Kang, kit a akan t et ap bet ah t inggal di
pedukuhan ini,” kata Kartareja menanggapi laporan Sakarya.
“ Eh, sam pean lihat sendiri nant i,” j awab Sakarya. “ Srint il akan
langsung menari dengan kenesnya bila mendengar suara calungmu.”
Kart arej a m engangguk- angguk. Bibirnya yang m erah kehit am an oleh
kapur sirih bergoyang ke kiri- kanan. Lalu disem prot kannya sisa
tembakau yang tertinggal di mulutnya.
“ Ah, Kang Sakarya. Aku t ak lagi diperlukan kalau begit u. Bukankah
Srint il sudah m enj adi ronggeng sej ak lahir?” kat a Kart arej a t awar. Dia
sedikit t ersinggung. Keahliannya m engasuh ronggeng m erasa
disepelekan.
“ Eh, sam pean salah t angkap. Maksudku, Srint il benar- benar t elah
mendapat indang. Masakan sampean tidak menangkap maksudku ini.”
“Oh, begitu.”
“ Ya. Dan t ent u sam pean perlu m em perhalus t arian Srint il. Cucuku
t am paknya belum pint ar m elem par sam pur. Nah, ada lagi yang
penting; masalah 'rangkap' tentu saja. Itu urusanmu, bukan?”
Kart arej a t erkekeh. Dia m erasa t idak perlu berkat a apa- apa.
“ Rangkap” yang dim aksud oleh Sakarya t ent ulah soal guna- guna,
pekasih, susuk dan t et ek- bengek lainnya yang akan m em buat seorang
ronggeng laris. Kartareja dan istrinya sangat ahli dalam urusan ini.
“ Pokoknya Dukuh Paruk akan kem bali m em punyai ronggeng.
Bukankah begitu, Kang?”
9
“ Eh, ya. Mem ang begit u. Kit a yang t ua- t ua di pedukuhan ini t ak ingin
m at i sebelum m elihat Dukuh Paruk kem bali sepert i aslinya dulu.
Bahkan aku t akut arwah Ki Secam enggala akan m enolakku di kubur
bila aku tidak melestarikan ronggeng di pedukuhan ini.”
“ Bukan hanya it u, Kang. Bukankah ronggeng bisa m em buat kit a bet ah
hidup?”
Kesulit an pert am a yang dihadapi Kart arej a bukan m asalah bagaim ana
m em perbaiki alat m usiknya, m elainkan bagaim ana dia m endapat para
penabuh. Penabuh gendang yang disayanginya m eninggal pada
m alapet aka paceklik dua t ahun lalu. Seorang lagi yang biasa m elayani
calung penerus, lenyap ent ah ke m ana. Tet api bagaim anapun
Kart arej a berunt ung. Dia berhasil m enem ukan kem bali Sakum , laki-
laki dengan sepasang m at a keropos nam un punya keahlian ist im ewa
dalam memukul calung besar.
Sakum , dengan m at a but a m am pu m engikut i secara seksam a
pagelaran ronggeng. Sepert i seorang awas, Sakum dapat
m engeluarkan seruan cabul t epat pada saat ronggeng m enggerakkan
pinggul ke depan dan ke belakang. Pada det ik ronggeng m em buat
gerak birahi, m ulut Sakum m eruncing, lalu keluar suaranya yang
t erkenal; Cessss! Orang m engat akan, t anpa Sakum set iap pent as
ronggeng tawar rasanya.
10
Kem arau m asih m engulur wakt u. Kart arej a m enem ukan hari dan
malam cerah buat mulai mengasuh Srintil.
Senj a yang t elah dit unggu sem ua warga Dukuh Paruk. Kart arej a
m enyuruh orang m em bersihkan halam annya. Em pat helai t ikar
pandan digelar di t engah t anah kering berpasir it u. Set elah hari gelap,
sebuah lam pu m inyak besar dinyalakan. Terang, sebab pada sum bu-
lam pu m inyak it u dipasang sebuah cincin penerang. Suasana dem ikian
m engundang anak- anak. Mereka bergerom bol m em perhat ikan orang-
orang bekerja. Semuanya telah tahu, malam itu Srintil akan menari.
Di dalam rum ah, Nyai Kart arej a sedang m erias Srint il. Tubuhnya yang
kecil dan masih lurus tertutup kain sampai ke dada. Angkinnya kuning.
Di pinggang kiri kanan ada sam pur berwarna m erah saga. Srint il
didandani sepert i laiknya seorang ronggeng dewasa. Kulit nya t erang
karena Nyai Kart arej a t elah m elum urinya dengan t epung bercam pur
air kunyit . I st ri dukun ronggeng it u j uga t elah m enyuruh Srint il
mengunyah sirih. Bibir yang masih sangat muda itu merah.
Banyak perem puan dan anak- anak m em enuhi rum ah Kart arej a.
Mereka ingin m elihat Srint il dirias. Sepanj ang usianya yang sebelas
t ahun, baru pert am a kali Srint il m enj adi perhat ian orang. Dia t ersipu.
Terkadang t ert awa kecil bila dia m endengar orang berbisik m em uj i
kecant ikannya. Mulut nya m ungil. Cam bang t ipis di pipinya m enj adi
nyat a set elah Srint il dibedaki. Alis yang diperj elas dengan j elaga
bercampur getah pepaya membuatnya kelihatan seperti boneka.
Sat u hal disem bunyikan oleh Nyai Kart arej a t erhadap siapa pun. I t u,
ket ika dia m eniupkan m ant ra pekasih ke ubun- ubun Srint il. Mant ra
yang di Dukuh Paruk dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih
cantik dari yang sebenarnya;
11
m ain senang hat i m ereka ket ika m endengar Kart arej a bersuara;
pertunjukan akan dimulai.
Lingkaran yang terdiri atas warga Dukuh Paruk segera terbentuk. Tiga
penabuh duduk bersila m enghadapi perangkat pengiring; sebuah
gendang, dua calung dan sebuah gong t iup yang t erbuat dari seruas
bam bu besar. Sehelai t ikar t ersedia bagi t em pat Srint il m enari. Sakum
yang m enghadapi calung besar cepat m enj adi perhat ian orang.
Tam paknya dia t idak m engut uk m at anya yang but a. Sakum hanya
t ersenyum . Cengar- cengir. Kedua t angannya m em egang pem ukul
calung, siap menunggu aba- aba gendang.
Ket ika Srint il m uncul dit unt un Nyai Kart arej a, sem ua m at a t erarah
kepadanya. Rasus yang berdiri di lapisan penont on paling depan
ternganga. Dia tak percaya dirinya telah mencium Srintil beberapa hari
yang lalu. Srint il didudukkan di t engah t ikar. Tidak bergerak, bahkan
dia t idak m enggulirkan bola m at anya. Kart arej a m uncul dengan
pedupaan yang dibawanya berkeliling arena. Tungku kecil yang
m engepulkan asap kem enyan it u kem udian dilet akannya dekat
gendang.
12
Selam a m enari waj ah Srint it dingin. Pesonanya m encekam set iap
penont on. Banyak orang t erharu dan kagum m elihat bagaim ana Srint il
melempar sampur. Bahkan Srintil mampu melentikkan jari- jari tangan,
sebuah gerakan yang paling sulit dilakukan oleh seorang ronggeng.
Penam pilan Srint il m asih dibum bui dengan ulah Sakum lest ari kocak
dan cabul. Suara “ cesss” t ak pernah luput pada saat Srint il
menggoyang pinggul.
Sat u babak t elah usai. Calung berhent i, dan Srint il kem bali duduk.
Gum am penont on t erdengar. Seorang perem puan m engisak. Rasa
harunya set elah m elihat Srint il m enari m enyebabkan air m at anya
menetes.
“ Tak kusangka Srint il bisa m enari sebagus it u,” kat anya. “ Kalau boleh
aku ingin m enggendongnya, m em buainya sam pai dia lelap di
pangkuanku.”
“ Yah, aku pun ingin m encuci pakaiannya. Aku akan m em andikannya
besok pagi,” kata perempuan lainnya.
“ Eh, kalian dengar. Srint il bukan m ilik orang per orang. Bukan hanya
kalian yang ingin m em anj akan Srint il. Sehabis pert unj ukan nant i aku
mau minta ijin kepada Nyai Kartareja.”
“Engkau mau apa?”
“Mem ij at Srint il. Bocah ayu it u past i lelah nant i. Dia akan kubelai
sebelum tidur.”
“ Yah, Srint il. Bocah kenes, bocah kewes. Andaikat a dia lahir dari
perut ku! ” kat a perem puan lainnya lagi. Berkat a dem ikian, perem puan
it u m engusap m at anya sendiri. Kem udian m em bersihkan air m at a
yang menetes dari hidung.
13
Sebelas t ahun yang lalu ket ika Srint il m asih bayi. Dukuh Paruk yang
kecil basah kuyup t ersiram huj an lebat . Dalam kegelapan yang pekat ,
pemukiman terpencil itu lengang, amat lengang.
Hanya t angis bayi dan lam pu kecil berkelip m enandakan pedukuhan
it u berpenghuni. Tak ada suara kecuali suara kodok. Bangsa rept il it u
berpest a pora, bert unggangan dan kawin. Besok pagi, hasil pest a
m ereka akan t am pak. Kodok bet ina m eninggalkan unt aian t elur yang
panj ang. Kat ak hij au m enghim pun t elurnya dalam kelom pok yang
t erapung di perm ukaan air. Kat ak daun m enyim pan t elurnya pada
gumpalan busa yang melekat pada ranting semak- semak.
Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia
dapat m engira- ngira saat it u ham pir pukul dua belas t engah m alam ,
t ahun 1946. Sem ua penghuni pedukuhan it u t elah t idur pulas, kecuali
Santayib, ayah Srintil. Dia sedang mengakhiri pekerjaannya malam ini.
Bungkil am pas m inyak kelapa yang t elah dit um buk halus dibilas dalam
air. Set elah dit unt as kem udian dikukus. Turun dari t ungku, bahan ini
dirat akan dalam sebuah t am pah besar dan dit aburi ragi bila sudah
dingin. Besok hari pada bungkil ampas minyak kelapa itu akan tumbuh
jamur- j am ur halus. Jadilaht em pe bongkrek. Sudah sej ak lam a
Santayib memenuhi kebutuhan orang Dukuh Paruk akantempe itu.
Selesai dengan pekerj aan m alam it u, Sant ayib berangkat t idur. Sepi.
Dukuh Paruk dengan sem ua penghuninya larut bersam a m alam yang
dingin dan lem bab. Srint il yang m asih bayi acap kali t erj aga bila
popoknya basah. Bila kainnya sudah digant i Srint il lelap kem bali di
ketiak ibunya.
Tetes- t et es air yang t ersisa di pucuk- pucuk daun j at uh ke bawah.
Bunyi kelet ak- kelet ik t erdengar bila but ir air it u m enim pa daun pisang
at au daun keladi. Seekor burung celepuk hinggap t enang pada sebuah
dahan yang rendah. Mat anya yang awas m enat ap ke perm ukaan air di
kubangan. Bila m elihat kat ak, burung m alam it u m enukik t anpa suara,
hinggap di dahan lagi dengan korban di m ulut nya. Perburuan baru
akan berhent i bila t em bolok burung celepuk it u t elah penuh daging
segar. Pert anda t elah kenyang, dia akan m engeluarkan suara berat :
guk- guk- guk, hrrrrr. Suara hant u. Suara yang m em buat set iap anak
yang mendengarnya segera mencari selangkangan ibunya.
14
suara bangsa kodok. Huj an yang kem udian t urun kem bali m em buat
Dukuh Paruk semakin kecil dan beku.
Tak seorang pun di Dukuh Paruk tahu.
Segumpal cahaya kemerahan datang dari langit menuju Dukuh Paruk.
Sam pai di at as pedukuhan cahaya it u pecah, m enyebar ke segala
arah. Seandainya ada m anusia Dukuh Paruk yang m elihat nya, dia
akan bert eriak sekeras- kerasnya. “ Ant u t awa. Ant u t awa. Awas ada
antu tawa! Tutup semua tempayan! Tutup semua makanan!”
Meski Santayib orang yang paling akhir pergi tidur, namun dia pulalah
yang pert am a kali t erj aga di Dukuh Paruk. Disusul kem udian oleh
ist rinya. Srint il, bayi yang m anis. Dia biasa t ergolek sendiri m eskipun
kedua orang t uanya m ulai sibuk bekerj a. Suam i- ist ri Sant ayib
m enyiapkan dagangannya; t em pe bongkrek. Sebelum m at ahari t erbit
akan dat ang para t et angga yang akan m em beli bongkrek. Kecuali hari
pasaran Santayib hanya menjual dagangannya kepada para tetangga.
15
Liang kum bang t ahi ada di m ana- m ana di sekit ar kakus. Serangga
kot or ini m em punyai cara yang aneh bila hendak m em bawa t inj a ke
liangnya. Ia berjalan mundur sambil menolak bulatan kotoran manusia
sebesar buah j arak dengan kaki- kaki belakangnya. Alam yang
bij aksana, t elah m engaj ari bangsa kum bang t ahi. Walaupun ia
berjalan mundur, lintasan jalannya akan berakhir persis di mulut liang.
Disana gum palan t inj a it u dit olak ke dalam t anah. Disana pula bangsa
kumbang tahi menaruh telur bagi kelangsungan hidup jenisnya.
Satu- dua orang t elah dat ang m em beli bongkrek. I st ri Sant ayib
m elayani m ereka. Celot eh ant ar- perem puan t erdengar akrab.
Kemanisan pergaulan kampung yang lugu.
“Srintil belum bangun?”
“ Belum ,” j awab ist ri Sant ayib. “ Srint il bayi yang t ahu diri. Rupanya
dia tahu aku harus melayani sampean setiap pagi.”
“ Ah, sungguh berunt ung kalian m em punyai seorang bayi yang
anteng.”
“Betul. Kalau tidak, wah, sungguh repot kami.”
“Bongkrekmu tidak dicampur dedak, bukan?”
“ Oalah, t idak. Kem arin Kang Sant ayib m endapat bungkil yang baik.
Kering dan harum. Cobalah, bongkrekku manis sekali hari ini.”
“ Syukur. Pagi ini kam i seisi rum ah m akan nasi padi bengawan.
Sim panan t erakhir buat benih kam i t um buk. Apa boleh buat , kam i
sudah sebulan makan nasi gaplek. Hari ini kami menanak nasi.”
“ Wah. Sayur bongkrek cam pur t oge dengan nasi padi bengawan.
Hidangkan ket ika m asih hangat . Boleh aku m akan di rum ahm u?”
seloroh istri Santayib.
“Pasti boleh. Ayolah.”
“Terima kasih. Aku hanya berolok- olok.”
16
Mat ahari naik. Panasnya m ulai m enyengat . Panas yang t elah
m engubah warna ram but orang dan anak Dukuh Paruk m enj adi
m erah. Kulit kehit am an bersisik. Dukuh Paruk yang t adi m alam basah
kuyup kini t erj erang. Panas dan lem bab. Nam un selam anya Dukuh
Paruk m enurut pada alam . Orang- orang dewasa t et ap bekeria di
ladang at au sawah. Anak- anak pergi dengan binat ang gembalaannya.
Hari itu tak terjadi kelainan di pemukiman terpencil itu.
Seorang anak berlari- lari dari sawah sam bil m em egangi perut . Di
depan pint u rum ahnya dia m unt ah, t erhuyung dan j at uh pingsan.
I bunya yang sudah m ulai m erasakan sakit m enyengat kepalanya,
m enj erit dan m em anggil para t et angga. Sebelum para t et angga
dat ang, anak it u t elah m eregang nyawa. Bahkan ibunya pun j at uh t ak
sadarkan diri dengan rona biru di waj ahnya. I bu dan anak t erkulai di
tanah. Jerit dari rumah pertama memulai kepanikan di Dukuh Paruk.
17
Jadi dalam haru- biru kepanikan it u kat a- kat a “ wuru bongkrek” m ulai
dit eriakkan orang. Keracunant em pe bongkrek. Sant ayib,
pem buat t em pe bongkrek it u, sudah m endengar t eriakan dem ikian.
Hat inya ingin dengan sengit m em bant ahnya. Nam un nuraninya j uga
berbicara, “ Sant ayib, bongkrekm u akan m em bunuh banyak orang di
Dukuh Paruk ini.”
18
“ Tidak! Bongkrekku t idak m ungkin beracun. Bahannya bungkil yang
kering. Tidak bercam pur apa pun. Ayah, engkau j angan m engaj ak
orang menuduh anakmu sendiri dengan keji!”
“ He, Sant ayib. Bukt i yang berbicara. Lihat , anakku, ist riku, em akku,
sem ua t ergelet ak. Mereka m akan bongkrekm u pagi ini,” bent ak
seorang laki- laki di belakang Sakarya.
“ Tidak bisa! Siapa t ahu kej adian ini adalah pageblug. Siapa t ahu
kej adian ini karena kut uk roh Ki Secam enggala yang t elah lam a t idak
diberi sesaji. Siapa tahu!”
“ He, barangkali engkau m eram bang bungkil dengan bokor t em baga,”
seru laki- laki lainnya. Sehabis bertanya demikian laki- laki itu berlari ke
sum ur. Benar. Disana dia m enem ukan sebuah bokor t em baga.Ada
lapisan membiru, warna asam tembaga. Bokor ini dibawanya ke depan
orang banyak. Dia berteriak bagai orang gila.
“ Sant ayib. Engkau anj ing! Asu bunt ung. Lihat , bokor ini biru karena
beracun. Asu bunt ung. Engkau t elah m em bunuh sem ua orang.
Engkau... engkau aaasssu... ”
Laki- laki yang hendak m elem par Sant ayib dengan bokor it u t ak kuasa
m eneruskan niat nya. Kepalanya berput ar. Ususnya t erasa m elilit .
Waj ah dan dadanya t erasa panas. Gem et ar dan j at uh t erj erem bab.
Kepanikan m asih dit am bah dengan m unculnya seorang perem puan
yang berlari sam bil m engangkat kain t inggi- t inggi. Tudingan jari
telunjuknya mengarah lurus ke arah bola mata Santayib.
Rasa get ir, kelu, dan bim bang m encekam hat i Sant ayib. Dia bingung,
am at bingung. Kekacauan hat inya t ergam bar pada rom an m uka yang
t idak m enent u. I st ri Sant ayib berlari hilir- m udik, m enangis dan
memeluk Srintil. Seperti mengerti segalanya, Srintil pun ikut menangis
keras- keras. Boleh j adi kesadaran Sant ayib hanya t inggal sebagian
19
ket ika dia lari m asuk ke dalam . Keluar lagi dengan seonggok bongkrek
di kedua t angannya. Lengking suaranya m em buat siapa pun
meremang bulu kuduk.
“ Baj ingan! Kalian sem ua baj ingan t engik! Bet apapun bongkrekku t ak
bersangkut- paut dengan m alapet aka ini. Lihat ! Akan kut elan bongkrek
ini banyak- banyak. Kalau benar ada racun, past i aku akan segera
sekarat!”
“ Jangan. Oalah, Sant ayib, j angan. Engkau anakku, j angan m enant ang
kematian. Jangan!”
20
Dua t ubuh laki- laki t erkapar. Sat u di ant aranya adalah Sakarya, ayah
Sant ayib sendiri. Laki- laki pert am a lunglai oleh racunt em pe bongkrek,
dan yang kedua pingsan karena kepalanya t erbent ur t iang kayu. Dua
laki- laki lainnya berlalu m eninggalkan rum ah Sant ayib. Mereka t ent u
m em punyai kenangan berkesan at as dua t ubuh yang t ergolek di t anah
dan sepasang suami- istri yang sengaja menelantempe beracun.
Kebekuan yang m encekam m eliput i rum ah Sant ayib. Dia t erm angu.
Dia tidak berbuat apa pun terhadap dua tubuh laki- laki yang melingkar
di t anah. Tidak. Sant ayib pun m em biarkan ayah kandungnya dalam
keadaan tak sadarkan diri.
Apa yang t erj adi kem udian hanya bisa diperbuat oleh orang t idak
waras. Sant ayib t ert awa t erbahak- bahak lalu berlari ke luar rum ah.
Sam bil berj alan m elom pat - lom pat , dicacinya sem ua orang dengan
ucapan yang paling kasar dan cabul. Dukuh Paruk dikelilinginya.
Sant ayib t idak peduli at as kepanikan luar biasa yang sedang m elanda
para tetangga. Tatapan matanya jalang. Teriakannya membabi buta.
“ Kalian, orang Dukuh Paruk. Buka m at am u, ini Sant ayib! Aku t elah
m enelan seraupt em pe bongkrek yang kalian kat akan beracun. Dasar
kalian sem ua, asu bunt ung! Aku t et ap segar- bugar m eski perut ku
penuht em pe bongkrek. Kalian m au m am pus, m am puslah. Jangan
kat akan t em peku m engandung racun. Kalian t erkena kut uk Ki
Secam enggala, bukan t erm akan racun. Kalian m em ang asu bunt ung
yang sepantasnya mampus!”
Lelah bert eriak- t eriak, Sant ayib pulang. Di depan rum ahnya dia
berpapasan dengan beberapa orang yang m enggot ong laki- laki yang
21
t adi hendak m elem par Sant ayib dengan bokor t em baga. Sakarya
masih pingsan, terkulai dekat ambang pintu.
Sej enak Sant ayib t ert egun. Digoyangnya t ubuh Sakarya yang t et ap
pingsan. Kem udian Sant ayib berlalu. Tet api kepalanya serasa
m elayang ket ika dia bangkit . Kelap- kelip seribu kunang- kunang di
matanya. Sengatan pertama terasa menusuk lambungnya.
Sant ayib t erus m elangkah m enuj u bilik t idurnya. Derit daun pint u
bam bu. Tam pak ist rinya t idur t engadah dengan keringat m em basahi
badannya. Waj ahnya pucat kebiruan. Terkadang perem puan it u
meringis bila merasa urat- urat di perutnya menegang.
Meskipun t erasa rum ah berayun- ayun, ist ri Sant ayib t ahu suam inya
dat ang. Dengan m enggigil perem puan it u berusaha duduk di bibir
balai- balai.
Waj ah ist ri Sant ayib sem akin pucat . Rona kengerian. Kelopak
m at anya m em buka lebar- lebar sehingga ret ina hanya berupa t it ik
hit am di t engah bulat an put ih. Mulut nya t ernganga sepert i dia hendak
berteriak keras.
22
Sant ayib pun dem ikian. Sesungguhnya gendang t elinganya
m enangkap suara celot eh Srint il yang lucu m enawan. Tet api Sant ayib
m endengarnya sebagai hiruk- pikuk suara ribuan m onyet di pekuburan
Dukuh Paruk. Sant ayib j uga m elihat berat us- rat us m ayat bangkit ,
dengan kacau- balau m em ukuli calung sam pai t ulang- t ulang m ereka
ront ok. Mat a Sant ayib t erbeliak dengan m ulut t ernganga. Ket ika
Sant ayib m elihat bayangan Ki Secam enggala m enj ulurkan t angan
hendak m encekik lehernya, dia hendak bert eriak. Nam un sem ua urat
di lehernya kaku.
Beku yang m encekam . Sant ayib sudah berdiri goyah. I st rinya duduk
m enggigil. Keduanya t idak saling pandang. Hanya daya m anusiawi
terakhir m em ungkinkan suam i- ist ri it u m asih sem pat berbicara. Suara
mereka terdengar dari tenggorokan yang hampir tertutup.
“Hhh?”
“Hhhh?”
Sant ayib hanya kuasa m enelan ludah. Sem ent ara it u Srint il m eront a
m anj a di at as t ikar. Sant ayib ingin m em andangnya. Tet api
penglihat annya t elah baur. Srint il yang bergerak lucu hanya t ampak
23
sebagai hant u yang m enakut kan. Sant ayib m enikm at i kesadarannya
yang t erakhir ket ika m elihat ist rinya roboh ke belakang. Dia pun
segera t erkulai set elah dari m ulut nya keluar um pat an; “ bongkrek asu
bunt ung. “ I st ri Sant ayib m eninggal ket ika dia berusaha memiringkan
badannya hendak memeluk Srintil.
Bau kem at ian t elah t ercium oleh burung- burung gagak. Unggas buruk
yang serba hit am it u t erbang berput ar- put ar di ant ara pepohonan di
Dukuh Paruk. Suaranya yang serak hanya mendatangkan benci. Tetapi
hari it u burung- burung gagak bersuka- ria di Dukuh Paruk. Mereka
berteriak- teriak dari siang sampai malam tiba.
Meski Sant ayib dan ist rinya m eninggal ket ika hari m asih siang, m ayat
m ereka t idak segera dit anam . Sem ua orang di Dukuh Paruk sibuk
dengan m ayat keluarga m asing- m asing. At au m erawat orang- orang
yang m asih bert ahan hidup. Orang- orang Dukuh Paruk m em punyai
cara sederhana m enolong orang t erm akan racun. Air kelapa
bercam pur garam m enj adi pencahar yang lum ayan m uj arab. Juga air
yang bercam pur abu dapur. Kalau orang keracunan bisa m unt ah
set elah m inum pencahar ini, ada harapan hidup baginya. Celakanya,
penggunaan pencahar yang t ak t erkendali sering pula m em bawa
kem at ian. Orang Dukuh Paruk sendiri t ak t ahu, banyak t em an m ereka
bukan m at i oleh racun bongkrek, m elainkan karena kekurangan cairan
pada tubuh mereka, akibat terlalu banyak muntah.
24
diperolehnya. Oleh Nyai Sakarya, Srint il diberi hidup dengan air t aj in.
Walaupun sedang m enunggu m ayat anak dan m enant unya, t engah
m alam Sakarya keluar m enuj u m akam Ki Secam enggala. Laki- laki it u
m enangis seorang diri disana . Dalam kesedihannya yang am at
sangat , Sakarya m engadukan m alapet aka yang t erj adi kepada
m oyang orang Dukuh Paruk. Sakarya t idak lupa, dirinya m enj adi
kamitua di pedukuhan itu.
Selesai berkunj ung ke set iap rum ah, Sakarya kem bali m engelilingi
pedukuhan. Kali ini dia berj alan di t epian kam pung. Di kaki bukit kecil
di pekuburan Dukuh Paruk, Sakarya berdiri bersilang t angan. Dalam
keheningan yang m encekam , laki- laki t ua it u m encoba
m enghubungkan bat innya dengan ruh Ki Secam enggala at au siapa
saj a yang m enguasai alam Dukuh Paruk. Sarana yang diaj arkan oleh
nenek m oyangnya adalah sebuah kidung yang dinyanyikan oleh
Sakarya dengan segenap perasaannya;
25
Geni atemahan tirta
Adalah git a penj aga sang m alam . Tet aplah selam at , lepas dari segala
petaka. Luput lah segala m ara bencana. Jin dan set an t akkan
mengharu- biru, t eluh t akkan m engena. Sert a segala perilaku j ahat ,
ilm u para m anusia sesat . Padam sepert i api t ersiram air. Pencuri
t akkan m em buat ku m enj adi sasaran. Guna- guna sert a penyakit akan
sirna...
Malapet aka it u m asih diingat benar oleh sem ua orang Dukuh Paruk.
Seorang nenek t elah belasan kali m encerit erakannya kepada Rasus,
cucunya, Tentu saja nenek itu adalah nenekku sendiri karena di Dukuh
Paruk hanya ada seorang bernama Rasus yaitu diriku.
Sayang.
Dukuh Paruk dengan segala isinya t erm asuk cerit era Nenek it u hanya
bisa kurekam set elah aku dewasa. Apa yang kualam i sej ak kanak-
kanak kusim pan dalam ingat an yang serba sederhana. Dengan
26
kem am puan seorang anak pula, kurangkaikan cerit era sepot ong-
sepot ong yang kudengar dari kiri- kanan. Baru set elah aku m enginj ak
usia dua puluh t ahun, aku m am pu m enyusunnya m enj adi sebuah
cat at an. Mem ang m enyedihkan. Cat at an ini t idak lebih daripada
sebuah evaluasi perj alanan hidup seorang anak Dukuh Paruk. Bahkan
hal it u pun m ust ahil kulaksanakan sebelum aku m elewat i liku- liku
panj ang sam pai aku m enem ukan diriku sendiri. I barat m enit i sebuah
t it ian panj ang dan berbahaya, aku hanya bisa m encerit erakannya
kembali, mengulas serta merekamnya setelah aku sampai di seberang.
Beberapa hari sebelum t erj adi m alapet aka it u t elah t erlihat berbagai
pertanda. Pancuran di Dukuh Paruk m engeluarkan air berbau busuk.
Pohon- pohon puring di pekuburan m elayu, t et api pohon sem boj a
m alah berbunga. Meskipun belum wakt unya, anj ing- anjing
berdat angan ke Dukuh Paruk. Anj ing- anj ing j ant an berebut bet ina
dalam kegaduhan yang m engerikan. Burung kedasih berbunyi sej ak
malam tiba sampai terbit fajar.
I t u kisah t et ek- bengek yang begit u diyakini oleh set iap orang Dukuh
Paruk. Siapa pun t akkan berhasil m engubah keyakinan it u. Juga orang
27
t ak perlu m engut uk warga Dukuh Paruk yang percaya penuh bahwa
asam t em baga adalah sat u- sat unya penyebab bencana. Di kem udian
hari aku diberi t ahu asam t em baga benar racun. Nam un sepanj ang
m enyangkut m alapet akat em pe bongkrek, asam t em baga t ak t erbukt i
berperan. Kesalahan harus dit im pakan kepada bakt eria j enis
pseudom onas coccovenenans yang ikut t um buh pada bongkrek dalam
peragian. Bakt eria it u m enghasilkan racun kuat yang m enj adi cikal-
bakal kematian orang yang makantempe bongkrek.
Tet api orang akan sia- sia m enyam paikan penget ahuan ini ke Dukuh
Paruk. Disana orang begit u yakin asam t em baga adalah sat u- satunya
penyebab racun bongkrek. Dem ikian, dengan m enghindarkan
perkakas t em baga orang Dukuh Paruk m asih m em buat t em pe
bongkrek. Jadi pet aka yang t erj adi ket ika Srint il bayi ( kat a Nenek aku
berusia t iga t ahun saat it u) bukan m usibah pert am a, bukan pula yang
terakhir.
Aku sendiri, kat a Nenek, selam at secara kebet ulan. Selagi Ayah dan
Em ak baru m erasa pusing di kepala, aku sudah j at uh pingsan. Tanpa
ada yang m em beri pet unj uk, Nenek m enggali t anah berpasir di
sam ping rum ah. Aku dit anam nya dalam posisi berdiri, hanya dengan
kepala berada di atas permukaan tanah. Sebenarnya, inilah cara orang
Dukuh Paruk m engobat i orang keracunan j engkol. Aneh, dengan cara
ini pula aku selamat dari racuntempe bongkrek.
Setelah dewasa, sekali aku pernah mencoba memikirkan hal ini. Boleh
j adi dengan cara dit anam sepert i it u keringat ku yang past i
m engandung racun cepat t erserap oleh t anah dari sem uapori di kulit
t ubuhku. Dengan dem ikian kekuat an racun cepat berkurang. Ah,
t et api t eori dem ikian sangat t idak pat ut dan hanya akan m engundang
t awa orang- orang pandai. Maka lebih baik kuikut i keyakinan Nenek,
bahwa aku selam at karena roh Ki Secam enggala belum m enghendaki
kematianku.
28
Ayah langsung m eninggal pada hari pert am a, t idak dem ikian halnya
dengan Em ak. Dia m asih hidup sam pai seorang m ant ri dat ang pada
hari ket iga. Mant ri yang berkum is dan bert opi gabus it u m enolong
para korban yang m asih bernyawa dengan cara m enghardik; m engapa
m ereka m akant em pe bongkrek, m akanan yang bahkan t idak pant as
untuk anjing.
Nenek selalu m enghent ikan cerit eranya di sini. Aku m erasa past i.
Nenek m enget ahui bet ul apa yang t erj adi pada Em ak selanj ut nya.
Nam un sepert i sem ua orang Dukuh Paruk, Nenek selalu berusaba
menutupi kenyataan yang berlaku atas diri Emak.
Sampai usia empat belas tahun, ketika Srintil mulai menjadi ronggeng
it u, aku berhasil m endapat sedikit ket erangan t ent ang diri Em ak.Ada
orang yang secara t ak sengaj a m engat akan Em ak m em ang m eninggal
di polikiinikkot a kawedanan it u. Nam un m ayat nya dibawa kekot a
kabupat en, disana m ayat Em ak diiris- iris oleh para dokt er. Mereka
ingin t ahu lebih banyak m engenai racunt em pe bongkrek. Dengan
dem ikian m ayat Em ak t idak pernah sam pai kem bali ke Dukuh Paruk.
Di m ana Em ak dikubur t ak seorang Dukuh Paruk pun yang
mengetahuinya.
Adapula orang m engat akan Em ak bisa diselam at kan. Nam un sam pai
beherapa hari Em ak t idak boleh m eninggalkan poliklinik. Kat a orang
it u, set elah Em ak sehat benar dia pergi dari poliklinik it u. Bukan
pulang ke Dukuh Paruk, m elainkan ent ah ke m ana bersam a m ant ri
yang merawatnya.
29
Jadi ada dua versi kisah t ent ang Em ak. Mana yang layak kupercaya
aku sendiri selalu ragu. Nam un set idaknya aku berharap, versi
pert am alah yang benar. Art inya m em ang Em ak m eninggal. Mayat nya
lalu dicincang unt uk kepent ingan penyelidikan. Pikiran durhaka
sem acam ini sengaj a kudat angkan ke kepalaku. Kuharap orang akan
m engert i andaikat a versi it u benar, hakekat nya lebih baik daripada
kebenaran versi kedua. Sayang, kedua- duanya t inggal m enj adi
ket idakpast ian yang m em buat ku lebih m erana daripada seorang
yatim- piatu.
Selama bertahun- tahun aku hanya bisa berandai- andai tentang Emak.
Andaikan benar Em ak dij adikan bahan penyelidikan racunt em pe
bongkrek; m aka m ayat Em ak dibedah. Organ pencernaannya
dikeluarkan. Juga j ant ung, bahkan past i j uga ot aknya. Orang- orang
pandai t ent u ingin t ahu pengaruh racun bongkrek t erhadap j aringan
ot ot j ant ung, sel- sel ot ak sert a bagaim ana racun m em bunuh but ir-
butir sel darah merah.
Darah Em ak diperiksa unt uk m enget ahui sam pai kadar berapa racun
bongkrek yang t erkandung cukup m em at ikan. Kubayangkan ham pir
sem ua bagian organ t ubuh Em ak dicincang- cincang. Lalu dit aruh di
bawah lensa m ikroskop at au diperiksa dalam berbagai perkakas
laborat orium yang rum it . Terakhir, m ayat Em ak yang sudah
berant akan dan berbau form alin dit anam . Ent ah di m ana, ent ah di
m ana. Orang- orang pandai it u, siapa pun dia, m erasa berhak
m enyem bunyikan kubur Em ak. Aku yang pernah sem bilan bulan
bersemayam dalam rahim Emak tidak perlu mengetahuinya.
30
bert opi gabus, berpakaian put ih- put ih dengan kum is panj ang it u
m engawini Em ak. Mereka beranak- pinak. Tent ulah anak m ereka
berkulit bersih dengan bet is m ont ok dan selalu beralas kaki pula.
Set iap hari m ereka m akan nasi put ih dengan lauk yang enak. Anak-
anak it u, yang hanya hidup dalam angan- anganku, past i m enganggap
aneh kehidupan di Dukuh Paruk. Em ak sendiri m ungkin m erasa m alu
m encerit erakan perihal kam pung halam annya kepada anaknya yang
baru.
Lebih baik sekarang kuhadapi hal yang lebih nyat a. Srint il sudah
m enj adi ronggeng di dukuhku, Dukuh Paruk. Usianya sebelas t ahun.
Aku em pat belas t ahun. Kini Srint il m enj adi boneka. Sem ua orang
ingin m enim angnya, ingin m em anj akannya. Aka t ahu sendiri
perem puan Dukuh Paruk bergant i- gant i m encucikan pakaian Srint il.
Mereka m em andikannya dan m enyediakan arang gagang padi buat
keramas.
31
kam pung at au di bawah pohon nangka. Bila ingin m elihat nya, aku
harus dat ang ke rum ah Sakarya. At au m engint ip Srint il selagi dia
m andi di pancuran. Aku m engert i m aksud Sakarya m em ingit cucunya.
Dalam wakt u sebulan t elah t erlihat perubahan pada diri Srint il.
Ram but nya yang t idak lagi t erj erang t erik m at ahari m enj adi hit am
pekat dan lebat . Kulit nya bersih dan hidup. Sisik- sisik halus t elah
hilang. Pipinya bening sehingga aku dapat m elihat j aringan halus urat -
urat berwarna kebiruan. Debu yang m engendap, m enj adi daki, lenyap
dari betis Srintil. Dan yang kuanggap luar biasa; Nyai Sakarya berhasil
m engusir bau busuk yang dulu sering m enguap dari lubang t elinga
Srintil.
Pokoknya, pada usia em pat belas t ahun aku berani m engat akan
Srint il cant ik. Boleh j adi ukuran yang kupakai buat m enilai Srint il
hanya patut bagi selera Dukuh Paruk. Namun setidaknya pengakuanku
it u sebuah kej uj uran. Maka pengakuan ini berkelanj ut an dan aku t idak
m erasa bersalah t elah bersikap sem acam it u. Art inya, aku m ulai
m erasa benci t erhadap siapa saj a yang m enganggap Srint il adalah
wewenangnya, t erut am a suam i- ist ri Sakarya. Terut am a pula kepada
pemuda- pem uda yang m em asukkan uang ke dada Srint il bila
ronggeng itu menari tole- tole.
Sekali aku m enem ukan cara licik unt uk m em peroleh kem bali
perhat ian ronggeng Dukuh Paruk it u. Sebuah pepaya kucuri dari
ladang orang. Pada saat yang baik, ket ika Srint il seorang diri di
pancuran, buah curian it u kuberikan kepadanya. Tak kukira aku akan
memperoleh ucapan terima kasih yang menyakitkan.
32
Aku diam karena kecewa, dan sedikit m alu. Nam un aku m endapat
akal unt uk m enolong keadaan. Pikiran it u m endadak m uncul set elah
kulihat gigi Srintil telah berubah.
“ Aku t ahu engkau ingin j eruk keprok. Nam un buah it u t ak baik buat
gigim u yang habis dipangur. Engkau akan dibuat nya m erasa sangat
ngilu.”
“ Oh, j adi kau m au m enari lagi nant i m alam ?” t anyaku dem i m enut upi
kejengkelan.
33
Pulanglah!
Bet apapun aku t idak suka m enerim a perlakuan Srint il, t et api aku
berlalu. Bukan pulang. Aku hanya m enyingkir t idak berapa j auh. Di
atas sebuah tonggak kayu aku duduk. Dari tempat itu pandanganku ke
arah pancuran itu hanya terhalang perdu kenanga.
34
“Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-
laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan.
“ Jangan besar cakap,” kat a yang lain. “ Pilihan seorang ronggeng akan
j at uh pert am a pada lelaki yang m em berinya uang paling banyak.
Dalam hal ini suamiku tak bakal dikalahkan.”
“ Tet api suam im u sudah pikun. Baru sat u babak m enari pinggangnya
akan terkena encok.”
“ Tet api j angan som bong dulu. Aku bisa m enj ual kam bing agar
suam iku m em punyai cukup uang. Aku t et ap yakin, suam iku akan
menjadi lelaki pertama yang mencium Srintil.”
“ Tunggulah sam pai saat nya t iba. Suam i siapa yang bakal m enang.
Suamiku atau suamimu.”
35
Sej ak perist iwa pem berian pepaya it u, aku m erasa Srint il m akin
m enj auh. Sering kusum pahi diriku m engapa aku j adi m erasa t ersiksa
karenanya. Kuaj ari diriku; kecant ikan Srint il bukan m ilikku, m elainkan
miliknya. Cambang halus di pipinya yang makin enak dipandang bukan
m ilikku, m elainkan m iliknya j uga. Kalau Srint il t ersenyum sam bil
m enari aku dibuat nya gem et ar. Tet api Srint il t ersenyum bukan
unt ukku, m elainkan unt uk sem ua orang. Meskipun dem ikian
pengaj aran dem ikian t idak m enolongku. Aku t et ap kecewa karena aku
tidak lagi bisa bermain bersama Srintil.
Boleh j adi karena m erasa begit u t ersiksa m aka kut em ukan j alan
unt uk m em peroleh kem bali perhat ian Srint il. Acap kali kudengar orang
bercelot eh bila Srint il habis m enarikan t ari Baladewa. Kat a m ereka,
t ubuh Srint il m asih t erlam pau kecil bagi kerisnya yang t erselip di
punggung. Celot eh sem acam ini m em buka j alan karena di rum ahku
ada sebuah keris kecil tinggalan ayah.
" Nek, t adi m alam aku berm im pi bert em u Ayah. Dalam m im piku it u
Ayah berpesan yang wanti- want i harus kulaksanakan,” kat aku dengan
hati- hati.
“ Soal keris it u, Nek. Kat a Ayah keris it u harus kuberikan kepada siapa
saja yang menjadi ronggeng di pedukuhan ini. Demikian wangsit Ayah,
Nek.”
36
Wajah Nertek makin berkerut- kerut. Buruk bukan main. Aku berharap
m eski perem puan t ua it u yang m elahirkan Em ak, kej elekan waj ahnya
t idak dit urunkan. Nam un pikiran durhaka t idak lam a berada di
benakku. Segera kusadari, Neneklah yang dengan sabar
m em besarkanku dengan susah payah. Bila Nenek m em buruh
m enum buk padi, nasi yang dicat ukan baginya t idak dim akan, agar di
rumah aku tidak kelaparan.
“ Apakah karena kit a kurang raj in m erawat nya m aka keris it u harus
diserahkan kepada orang lain?” tanya Nenek.
Aku percaya t ipuanku m engena. Orang Dukuh Paruk, siapa pun dia,
m enganggap wangsit sebagai bagian dari hukum yang pant ang
dilanggar. Maka dengan m enyebut kat a wangsit it u aku berhasil
menipu Nenek secara sempurna.
Keris bekas m ilik ayah t idak lebih dari dua j engkal t anganku.
Sarungnya berlapis kuningan at au suasa. Tangkainya t erbuat dari
kayu walikukun, berbent uk aneh. Bila diperhat ikan benar, t angkai
keris it u m irip kem aluan laki- laki. Meskipun aku bernam a Rasus yang
lahir di Dukuh Paruk, aku t idak t ahu- m enahu t ent ang keris. Aku t idak
t ahu kegunaannya. Maka t idak sedikit pun aku m erasa sayang
m enyerahkannya kepada Srint il. Yang kuperlukan sekarang adalah
waktu yang baik untuk melakukan penyerahan itu.
Set iap hari bila m at ahari sudah naik, suam i- ist ri Sakarya pergi ke
ladang m ereka. Pada saat sepert i it u Srint il seorang diri di rum ah.
Mencari kut u dengan perem puan- perem puan dewasa, at au t idur pulas
bila m alam sebelum nya Srint il habis m enari. Yang kupilih adalah saat
dem ikian. Aku m asuk dari pint u belakang, m engendap- endap sam pai
37
ke bilik Srint il. Rum ah Sakarya am at lengang. Srint il t ergelet ak di at as
balai- balai, pulas. Di dekat bant alnya t ercecer banyak uang logam .
Menj engkelkan bila m engingat bagaim ana uang logam it u dim asukkan
ke dada Srint il oleh para perj aka. Aku t ahu past i, t angan para perj aka
it u bukan sekedar m em asukkan uang. Dada Srint il yang m asih sangat
muda itu pasti diperlakukan secara tidak senonoh.
Aku t et ap berdiri m em perhat ikan Srint il yang t ert idur nyenyak. Sudah
kukat akan usiaku t iga belas at au ham pir em pat belas t ahun saat it u.
Penget ahuanku t ent ang perem puan, baik sebagai pribadi m aupun
sebagai lem baga, sungguh t ak berart i. Nam un dengan daya tangkap
yang m asih sederhana aku dapat m engat akan ada perbedaan kesan
antara perempuan terjaga dan perempuan tertidur.
Lebih dam ai. Lebih t eduh. Sepasang m at a yang t ert ut up, lenyapnya
garis- garis ekspresi m em buat waj ah Srint il m akin enak dipandang.
Bibir yang t am pil dengan segala kej uj urannya sert a t arikan nafas yang
lam bat dan t erat ur, m em buat aku m erasa berhadapan dengan cit ra
seorang perem puan yang sebenarnya. Kelak aku m enget ahui banyak
orang berusaha m elukiskan cit ra sej at i seorang perem puan. Mereka
m enggunakan sarana seni lukis, seni pat ung at au seni sast ra. Aku
percaya para senim an it u keliru. Bila m ereka m enghendaki lukisan
seorang perem puan dengan segala keasliannya, seharusnya m ereka
melukiskan perempuan yang sedang tidur nyenyak.
Jadi aku t idak ingin m em bangunkan Srint il. Mem ang aku gagal
m encegah t anganku unt uk t idak m engelus cam bang halus di t epian
pipi ronggeng it u. Dan m em egang dengan hat i- hat i pucuk hidungnya.
Pada saat it u aku t eringat ulah kam bing- kam bingku sebelum m ereka
birahi. Teringat j uga akan burung t ekukur yang saling gigit paruh
sebelum m ereka kawin. Aku ingin m enirukan binat ang- binat ang it u.
Namun batal, khawatir Srintil akan terbangun atau aku sebenarnya tak
rela dipersamakan dengan kambing atau burung.
Keris yang kubawa dari rum ah m asih kuselipkan di ket iakku, rapi
t ergulung dalam baj u. Aku m erasa lebih baik m enyerahkan benda it u
38
kepada Srint il selagi dia t ert idur. Ternyat a kesan penyerahan
sem acam it u, dalam . Sangat dalam . Aku sam a sekali t idak m erasa
menyerahkan sebilah keris kepada seorang ronggeng kecil. Tidak.
Yang kuserahi keris it u adalah perem puan sej at i, perem puan yang
hanya hidup dalam alam angan- angan yang t erwuj ud dalam diri Srint il
yang sedang t idur. Tent u saj a perem puan yang kum aksud adalah
lem baga yang j uga m ewakili Em ak, walau aku t idak pernah t ahu di
mana dia berada.
Tangan Srint il kut at a supaya keris yang kulet akkan dekat bant al
berada dalam pelukannya. Baj uku m asih m em bungkus benda it u.
Nant i bila Srint il t erbangun dia akan t ahu siapa yang t elah m elet akkan
keris it u di dekat nya. Sebelum berlalu sekali lagi aku m enat ap Srint il.
Aku ingin lebih yakin, dalam tidurnya ronggeng itu malah lebih cantik.
Kambing- kam bing t idak lagi m enarik perhat ianku. Mereka boleh
berkeliaran sesuka hat i. Mereka boleh m em asuki ladang orang, dan
aku rela binat ang gem balaanku it u dibant ai oleh pet ani yang m arah.
Aku ingin duduk sepuas hat i di bawah pohon nangka. Tem pat it u
m asih m em beri ket eduhan m eski aku sudah lam a t idak berm ain
bersam a Srint il disana . Di t em pat ini aku duduk seorang diri;
merenung.
39
perem puan sej at i. Ayu, t eduh, dan m enj adi sum ber segala kesalehan,
sepert i Srint il yang saat it u m asih t elap m em eluk keris kecil yang
kuletakkan di sampingnya.
Atau, Srintil sudah terjaga. Dia heran ketika menemukan sebilah keris
ada di dekat nya. Nam un Srint il harus m engenal baj u yang m enj adi
bungkus keris it u. Srint il harus m engenal baj uku. Jadi ronggeng it u
harus t ahu siapa yang t elah m elet akkan keris it u di sam pingnya.
Perhit unganku bukan khayalan kosong. Bukt i kebenarannya t erbukt i
kemudian.
Sepasang t angan m enut up m at aku dari belakang. Sej enak aku t idak
bisa m enebak siapa yang dat ang. Nam un ket ika t ercium bau bunga
kenanga, sert a kuraba kulit t angan yang halus, aku segera
memastikan Srintil- lah orangnya.
“Ah, tidak...”
“Katakan, ya!”
“Aku sedang...”
“ Sudahlah. Jangan m encari alasan yang bukan- bukan. Aku t ahu kau
sedang m elam un karena kehilangan sehelai baj u. Nah, ini dia.
Pakailah!”
40
Srint il bukan hanya m enyerahkan baj u bekas pem bungkus keris it u
kepadaku. Dia langsung m em asangkannya pada t ubuhku, sert a
m engancingnya sekalian. Punggung t angan it u put ih. Uj ung j arinya
m erah karena Srint il m ulai m engunyah sirih. Jant ungku berdenyut
lebih cepat.
“ Rasus, coba kat akan padaku t ent ang keris it u. Dan m engapa engkau
m elet akkannya di sam pingku ket ika aku sedang t idur,” kat a Srint il
dekat sekali dengan telingaku.
Lagi, aku t ak bisa m enj awab. Nam un ket ika beberapa kali didesak,
aku menjawab,
41
“ Keris it u kecil, j adi cocok unt ukm u. Keris yang selam a ini kaupakai
t erlalu besar. Dengan keris pem berianku it u, kau akan bert am bah
cantik bila sedang menari Baladewa.”
Aku mengangguk.
“ Tet api apakah kau m engert i t ent ang keris yang kauberikan padaku
itu?”
“Oh, dengar. Kakek dan Kartareja telah tahu tentang keris itu.”
“ Apa? Kau j uga m engat akan aku yang t elah m em bawanya ke dalam
bilikmu?”
“ Tidak begit u. Mereka t idak kuberi t ahu siapa yang m em bawa keris
itu kepadaku. Aku merahasiakan hal itu kepada mereka.”
“Lalu?”
42
dengan keris itu aku akan menjadi ronggeng tenar. Itu kata Kakek dan
juga kata Kartareja.”
“ Dengan keris pem berianku it u kau akan m enj adi ronggeng t enar?”
kataku mengulang.
***
Sudah dua bulan Srint il m enj adi ronggeng. Nam un adat Dukuh Paruk
mengat akan m asih ada dua t ahapan yang harus dilaluinya sebelum
Srint il berhak m enyebut dirinya seorang ronggeng yang sebenarnya.
43
Salah sat u di ant aranya adalah upacara perm andian yang secara
turun- temurun dilakukan di depan cungkup makam Ki Secamenggala.
Mat ahari m ulai kem bali pada lint asannya di garis kat ulist iwa. Angin
t enggara t idak lagi bert iup. Langit yang selalu m em biru di m usim
kem arau m ulai bernodakan gum palan- gum palan awan. Kem arau
sedang menjelang masa akhirnya.
Pohon beringin besar yang m enj adi m ahkot a pekuburan Dukuh Paruk
m enj adi ist ana para burung. Pada sebuah dahannya yang t ersem bunyi
hinggap seekor burung celepuk. I a sedang t erkant uk set elah
m enghabiskan m alam nya dengan berburu t ikus, ikan at au kat ak.
44
Hanya burung kucica yang kecil berani m engusik raj a burung m alam
it u. Burung- burung seling yang hit am pekat dan burung kat ik yang
hij au, hinggap dalam kelom pok- kelom pok. Mereka m em bisu sam bil
berj em ur m enant i hangat nya udara pagi sebelum t erbang m encari
makanan di tempat lain.
Aku yakin puj ian it u t erdengar oleh Srint il. Kut unggu t anggapannya.
Srint il t idak m enoleh kepada orang yang m engucapkan puj ian it u. Dia
m enolehku lalu t ersenyum . Sayang, aku t ak dapat m em balas senyum
Srint il karena j ant ungku berdenyut t erlam pau cepat . Boleh j adi orang-
orang bert anya- t anya. Tet api aku percaya kecuali Srint il dan nenekku
yang t elah pikun, orang lain t ak t ahu t ent ang keris yang dipakai Srint il
pagi it u. At au bila ada orang t ahu bahwa akulah yang m em berikan
keris kecil kepada Srint il, aku t idak peduli. Dengan m em berikan
pusaka it u kepada Srint il, aku t elah m em peroleh im balan yang cukup;
Srint il kem bali m em perhat ikan diriku. I ni berart i ada seorang
perem puan dalam hidupku, suat u hal yang t elah bert ahun- tahun
kudambakan.
Tidak bisa kupast ikan yang kurindukan adalah seorang perem puan
sebagai kecint aan at au seorang perem puan sebagai cit ra seorang
45
em ak. Em akku. At au kedua- duanya. Tet api j elas, penam pilan Srint il
m em bant uku m ewuj udkan angan- anganku t ent ang pribadi perem puan
yang t elah m elahirkanku. Bahkan j uga bent uk lahirnya. Jadi sudah
kuanggap past i, Em ak m em punyai senyum yang bagus sepert i Srint il.
Suaranya lem but , sej uk, suara seorang perem puan sej at i. Tet api aku
t idak bisa m em ast ikan apakah Em ak m em punyai cam bang halus di
kedua pipinya sepert i halnya Srint il. At au, apakah j uga ada lesung
pipit pada pipi kiri Em ak. Srint il bert am bah m anis dengan lekuk kecil
di pipi kirinya, bila ia sedang t ert awa. Hanya secara um um Em ak m irip
Srint il. Sudah kukat akan aku belum pernah at au t akkan pernah
m elihat Em ak. Persam aan it u kubangun sendiri sedikit dem i sedikit .
Lama- lam a hal yang kureka sendiri it u kuj adikan kepast ian dalam
hidupku.
Di halam an rum ah Kart arej a ronggeng berm ain sat u babak. Tidak
sepert i biasa, pent as kali ini t anpa nyanyi at au t arian erot ik. Mulut
Sakum bungkam . Si but a it u t idak m engeluarkan seruan- seruan cabul.
Sem ua orang t ahu perm ainan kali ini bukan pent as ronggeng biasa.
Tet api m erupakan bagian dari upacara sakral yang dipersem bahkan
kepada leluhur Dukuh Paruk.
Selesai berm ain sat u babak, rom bongan ronggeng bergerak m enuj u
pekuburan Dukuh Paruk. Kart arej a berj alan paling depan m em bawa
pedupaan. Srint il di belakangnya. Menyusul para penabuh. Sakum
dit unt un oleh seorang penabuh lainnya. Di belakang m ereka m enyusul
segenap warga Dukuh Paruk, dari anak- anak sam pai yang t ua- tua.
Bayi- bayi digendong, anak kecil dit unt un. Mereka m em buat barisan
panjang, berarak menuju makam Ki Secamenggala.
Sam pai di t uj uan, Kart arej a m elet akkan pedupaan di am bang pint u
cungkup leluhur Dukuh Paruk. Dua orang laki- laki m em bawa
t em payan berisi air kem bang. Dengan air it u nant i Srint il akan
dim andikan. Nyai Kart arej a m enunt un Srint il. Dilindungi oleh beberapa
perem puan t ua lainnya, pakaian Srint il dibuka, hanya t inggal selem bar
kain yang menutupi tubuh perawan itu.
46
Mantera- m ant era dibacakan oleh Nyai Kart arej a, dit iupkan ke ubun-
ubun Srint il. Kem udian t ubuh perawan it u m ulai diguyur air kem bang,
gayung dem i gayung. Sem ent ara it u orang- orang dukuh Paruk lainnya
hanya m enont on. Srint il m enj adi pusat perhat ian. Rom bongan
penabuh m em persiapkan diri. Mereka m enat a perkakas m asing-
masing, duduk bersila di atas tanah.
Srint il selesai dim andikan. Nyai Kart arej a m engeringkan ram but
ronggeng it u dengan sehelai kain. Tiga orang perem puan m em bant u
Nyai Kart arej a m endandani Srint il kem bali. Mereka m enyisir, m em beri
bedak dan m em bant u Srint il m engenakan kain sert a m engikatkan
sam pur di pinggang. Sem uanya sudah beres. Ram but Srint il sudah
disanggul. Kem udian ronggeng it u dit unt un ke depan pint u cungkup.
Disana Srint il m enyem bah dengan t akj im , lalu bangkit dan berj alan ke
hadapan lingkaran para penabuh.
Tiba giliran bagi Kart arej a. Set elah kom at - kam it sebent ar, laki- laki it u
m em beri aba- aba kepada pem ukul gendang. Kelengangan pekuburan
Dukuh Paruk pecah. Suara gendang dan calung m enggem a bersam a
dalam irama khas.
Pada saat sepert i it u orang- orang Dukuh Paruk percaya sem ua roh di
pekuburan it u bangkit m elihat pert unj ukan. Mereka j uga yakin arwah
Ki Secam enggala berdiri di am bang pint u cungkup dan m elihat Srint il
berj oget . Oleh karena it u t ak seorang pun berdiri di depan cungkup it u
karena tak ingin menghalangi pandangan mata roh Ki Secamenggala.
47
Aku berdiri di bagian depan. Seandainya ada orang Dukuh Paruk
m am pu berbicara m asalah apresiasi, m aka alangkah baik bila
diadakan pengukuran. Apresiasi siapakah yang paling dalam at as
pert unj ukan ronggeng Srint il di pekuburan it u. Secara angkuh aku
dapat memastikan apresiasikulah yang paling dalam. Aku bukan hanya
sekedar m elihat Srint il m eronggeng, m elenggang lenggok dan
bert em bang. Aku t idak hanya m endengar keserasian bunyi calung,
gendang dan gong t iup yang m enghasilkan iram a indah. Juga aku
bukan hanya t erkesan oleh lent uk leher Srint il, goyang pundaknya
at au lent ik j em arinya. Lebih dari it u. Karena aku m elihat Srint il lebih
daripada seorang perawan kecil yang m enj adi ronggeng. Pada saat
sepert i it u kerinduanku akan kehadiran Em ak t erobat i. Pada saat
sepert i it u hilang angan- angan apakah Em ak m elarikan diri bersam a
m ant ri it u. At au m at i dan m ayat nya dicincang- cincang. Yang
m em enuhi j iwaku adalah kenyat aan Srint il sedang m enari, t ersenyum
kepadaku. Hal it u sudah cukup m elenyapkan, m eski hanya sesaat ,
penderitaanku yang tak pernah melihat Emak.
Konon sem asa hidupnya Ki Secam enggala sangat m enyukai lagu Sari
Gunung. Maka dalam rangkaian upacara m em perm andikan Srint il it u
lagu Sari Gunung- lah yang pert am a kali dinyanyikan oleh Srint il,
secara berulang- ulang. Sepert i pada awal upacara di rum ah Kart arej a,
pent as di pekuburan it u m eniadakan lagu- lagu cabul. Sakum diam .
Tet api m enj elang babak ket iga t erj adi kegaduhan. Kej adian it u t akkan
pernah kulupakan buat selama- lamanya.
Dalam berdirinya, t iba- t iba Kart arej a m enggigil t egang. Mat a dukun
ronggeng itu terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat dan basah oleh
keringat . Sesaat kem udian t ubuh Kart arej a m engej ang. Dia
melangkah t erhuyung- huyung, dan m at anya m enj adi set engah
terpejam.
48
Hanya Sakarya yang cepat t anggap. Kakek Srint il it u percaya penuh
roh Ki Secam enggala t elah m em asuki t ubuh Kart arej a dan ingin
bertayub. Maka Sakarya cepat berseru,
“ Pukul kem bali gendang dan calung. Ki Secam enggala ingin bert ayub.
Srintil, ayo menari lagi. Layani Ki Secamenggala.”
I ram a calung kem bali m enggem a. Tet api suasana j adi m encekam .
Sem ua orang percaya akan kat a Sakarya bahwa Kart arej a sedang
dirasuki arwah leluhur. Maka mereka mundur dalam suasana tegang.
Kart arej a m enari m akin m enj adi- j adi. Berj oget dan m elangkah m akin
m endekat i Srint il. Tangan kirinya m elingkari pinggang Srint il.
Menyusul t angannya yang kanan. Tiba- t iba dengan kekuat an yang
m engherankan Kart arej a m engangkat t ubuh Srint il t inggi- tinggi.
Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh birahi.
Penont on bersorak. Mereka bert epuk t angan dengan gem bira. Tet api
aku diam t erpaku. Jant ungku berdebar. Aku m elihat t ont onan it u
t anpa perasaan apa pun kecuali kebencian dan kem arahan. Tak t erasa
tanganku mengepal. Hanya itu, karena aku tak bertindak apa- apa. Tak
berani berbuat apa- apa. Dan Kart arej a t erus m encium i Srint il t anpa
peduli puluhan pasang mata melihatnya.
Tak kuduga sorak- sorai orang Dukuh Paruk berhent i seket ika.
Mereka, j uga aku sendiri, kem udian m elihat Kart arej a m endekap
49
Srintil begitu kuat sehingga perawan kecil itu tersengal- sengal. Bahkan
akhirnya Srint il m erint ih kesakit an. Seakan dia m erasa t ulang- tulang
rusuknya patah oleh himpitan lengan Kartareja yang kuat.
Terj adi ket egangan. Tet api belum ada orang yang bert indak. Kecuali
Sakarya yang tiba- tiba melompat ke depan sambil berseru,
Ent ah oleh siram an air kem bang at au oleh kepulan asap pedupaan,
perlahan- lahan Kart arej a m engendorkan dekapannya at as diri Srint il.
Kedua t angannya t erkulai. Dukun ronggeng it u m ulai berdiri goyah,
50
dan akhirnya roboh ke t anah. Tangan dan kaki Kart arej a kej ang.
Matanya kelihatan mengerikan karena hanya kelihatan bagiannya yang
putih.
Aku maju ke depan. Aku ingin menjadi orang pertama yang menolong
Srintil dari ketakutannya. Kurangkul pada pundaknya.
Tinggal Kart arej a yang m enj adi perhat ian orang. Dia m asih t erkapar.
Tet api perlahan- lahan dia m enggeliat , kem udian m elenguh. Mat anya
t erbuka. Masih t ert idur di t anah, Kart arej a m enoleh kiri- kanan, lalu
duduk. Dukun ronggeng itu masih kelihatan bingung.
“He- he. Eyang Secam enggala baru saj a hadir. Beliau bert ayub
bersama Srintil,” ujar Sakarya menerangkan.
51
“Eyang Secamenggala?”
“ Benar, Kang. Rohnya m em asuki t ubuh sam pean dan t ent u saj a
sampean tidak sadar. Hal ini berarti persembahan kita pagi ini diterima
olehnya. Srintil direstuinya menjadi ronggeng.”
Percakapan selanj ut nya ant ara Sakarya dan Kart arej a t idak lagi
kudengar. Aku j uga t idak lagi m endengar celot eh sert a gum am orang-
orang Dukuh Paruk t ent ang perist iwa yang baru t erj adi. Apa pun t ak
kuinginkan kecuali segera m em bawa Srint il m enyingkir. Kugandeng
t angannya m enuruni bukit kecil pekuburan. Srint il t idak kuant ar
pulang ke rum ahnya, m elainkan kubawa ke rum ahku. Suat u
keberanian yang t ak pernah t erbayangkan dapat kulakukan. Anehnya,
Srintil menurut. Bukan main besar rasa hatiku.
“ Rasus, bila kau t ahu bet apa ngeri hat iku t adi,” uj ar Srint il yang
kududukkan di atas lincak.
“ Kart arej a m em ang baj ingan. Baj ul bunt ung,” j awabku m engum pat
dukun ronggeng itu.
“ Tidak peduli. Yang pent ing kakek t ua bangka it u berbuat ket erlaluan.
Kau didekapnya. Bila tak tertolong kau pasti mati tercekik.”
“ Apakah engkau akan bersedih bila aku m at i?” t anya Srint il.
Pertanyaan itu membuat mulutku terbungkam.
52
Ah. Srintil tak bersalah bila dia tak mengerti apa
art i dirinya bagiku. Dia t akkan m engert i bahwa bagiku, dirinya adalah
sebuah cerm in di m ana aku dapat m encoba m encari bayangan Em ak.
Srint il t akkan m engert i hal it u. Dan sekali lagi kukat akan Srint il t ak
bersalah. Maka untuk sekedar menjawab pertanyaan, kukatakan,
“Srin, kau dan aku sama- sama menjadi anak Dukuh Paruk yang yatim
piat u sej ak kanak- kanak. Kit a senasib. Maka aku t ak senang bila
m elihat kau celaka. Bila kau m at i aku m erasa kehilangan seorang
teman. Kau mengerti?”
Bagian Ketiga
Dari orang- orang Dukuh Paruk pula aku t ahu syarat t erakhir yang
harus dipenuhi oleh Srint il bernam a bukak- klam bu. Berdiri bulu
kudukku set elah m enget ahui m acam apa persyarat an it u. Bukak-
klam bu adalah sem acam sayem bara, t erbuka bagi laki- laki m ana pun.
Yang disayem barakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki- laki
yang dapat m enyerahkan sej um lah uang yang dit ent ukan oleh dukun
ronggeng, berhak menikmati virginitas itu.
53
Aku bukan hanya cem buru. Bukan pula sakit hat i karena aku t idak
m ungkin m em enangkan sayem bara akibat kem elarat anku sert a usiaku
yang baru em pat belas t ahun. Lebih dari it u. Mem ang Srint il t elah
dilahirkan unt uk m enj adi ronggeng, perem puan m ilik sem ua laki- laki.
Tet api m endengar keperawanannya disayem barakan, hat iku panas
bukan m ain. Celaka lagi, bukak- klam bu yang harus dialam i oleh Srint il
sudah m erupakan hukum past i di Dukuh Paruk. Siapa pun t ak bisa
m engubahnya, apa pula aku yang bernam a Rasus. Jadi dengan
perasaan perih aku hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi.
Jauh- j auh hari Kart arej a sudah m enent ukan m alam hari Srint il harus
kehilangan keperawanannya. Unt uk it u Kart arej a sendiri harus
m engeluarkan biaya. Tiga ekor kam bing t elah dij ualnya ke pasar.
Dengan uang hasil penj ualan it u dibelinya sebuah t em pat t idur baru,
lengkap dengan kasur bant al dan kelam bu. Dalam t em pat t idur ini
kelak Srint il akan diwisuda oleh laki- laki yang m em enangkan
sayembara.
Sement ara wakt u suara calung lenyap dari Dukuh Paruk. Kart arej a
sedang giat m em buat persiapan pelaksanaan m alam bukak- klambu
it u. Dukun ronggeng it u raj in keluar Dukuh Paruk unt uk m enyebarkan
berit a. Hanya dalam beberapa hari t elah t ersiar kabar t ent ang m alam
bukak- klam bu bagi ronggeng Srint il. Orang- orang segera t ahu pula,
Kart arej a m enent ukan syarat sekeping uang ringgit em as bagi laki- laki
yang ingin menjadi pemenang.
“ Saat nya t elah saya t ent ukan pada Sabt u m alam yang akan dat ang,”
kata Kartareja pada suatu pagi di hadapan banyak laki- laki di pasar.
54
“Ya. Kukira itu harga yang patut,” jawab Kartareja.
“ I t u benar. Srint il m em ang ayu dan kenes. Tet api siapa yang m em iliki
sebuah ringgit emas di Dukuh Paruk,”
“ Oh, saya t ak pernah berm im pi seorang laki- laki Dukuh Paruk akan
m em enangkan sayem bara. Jangankan ringgit em as, sebuah rupiah
perak pun t ak dim iliki oleh laki- laki Dukuh Paruk. Aku t idak berharap
mereka mengikuti sayembara.”
Berit a t ent ang m alam birahi it u cepat m enyebar ke m ana- m ana, j auh
ke kam pung- kam pung di luar Dukuh Paruk. Banyak perj aka at au
suam i yang t ergugah sem angat nya. Tet api sebagian besar segera
m em adam kan keinginannya set elah m engert i apa syarat unt uk t idur
bersam a Srint il pada m alam bukak- klam bu. Sebuah ringgit em as
senilai dengan harga seekor kerbau yang paling besar. Hanya
beberapa pem uda yang m erasa dirinya sanggup m engalahkan
tantangan itu.
Tiga hari sebelum Sabt u m alam . Sebuah lam pu m inyak yang t erang
t elah dinyalakan di rum ah Kart arej a. Pint u sebuah kam ar sengaj a
dibiarkannya t erbuka. Dengan dem ikian sebuah t em pat t idur
berkelam bu yang m asih baru bisa dilihat orang dari luar. Tut up
kasurnya put ih bersih dem ikian pula bant alnya. Bagi sem ua orang
Dukuh Paruk yang biasa t idur di at as pelupuh bam bu, pem andangan
sepert i it u sungguh luar biasa. Sore it u banyak perem puan dan anak-
55
anak Dukuh Paruk dat ang ke rum ah Kart arej a hanya dengan t uj uan
melihat tempat tidur itu.
Aku sendiri ada disana . Tidak m asuk ke dalam rum ah, karena dari
t em pat ku berdiri di sudut halam an sudah dapat kulihat t em pat t idur
berkelam bu it u. Bila orang- orang m em andangnya dengan kagum , aku
melihat tempat tidur itu dengan masygul. Muak bercampur marah.
Bagiku, t em pat t idur yang akan m enj adi t em pat bagi Srint il
m elaksanakan m alam bukak- klam bu , t idak lebih dari sebuah t em pat
pem bant aian. At au lebih m enj ij ikkan lagi. Disana dua hari lagi akan
berlangsung penghancuran dan penj agalan. Aku sam a sekali t idak
berbicara atas kepentingan birahi atau sebangsanya. Disana , di dalam
kurung kelam bu yang t am pak dari t em pat ku berdiri, akan t erj adi
pem usnahan m ust ika yang selam a ini am at kuhargai. Sesudah
berlangsung m alam bukak- klam bu, Srint il t idak suci lagi. Soal dia
kehilangan keperawanannya, t idak begit u berat kurasakan. Tet api
Srint il sebagai cerm in t em pat aku m encari bayangan Em ak m enj adi
baur dan bahkan hancur berkeping.
Mem bayangkan bagaim ana Srint il t idur bersam a seorang laki- laki,
sam a m enj ij ikkannya dengan m em bayangkan Em ak m elarikan diri
bersam a m ant ri it u. Aku m uak. Aku t idak rela hal sem acam it u t erj adi.
Tet api lagi- lagi t erbukt i seorang anak dari Dukuh Paruk bernam a
Rasus t erlalu lem ah unt uk m enolak hal buruk yang am at dibencinya.
Jadi aku hanya bisa m engum pat dalam hat i dan m eludah. Asu
buntung!
Masih dari tempatku berdiri, aku melihat Srintil keluar. Merah bibirnya
karena Srint il m akan sirih. Ram but nya yang kelim is t erj urai m enut upi
sebagian pundaknya yang m ulai berisi. Perem puan- perem puan sert a
anak- anak segera m engelilinginya di balai- balai. Gum am puj ian m ulai
didengungkan oleh para perem puan it u. Kulihat Srint il t ert awa riang.
Apa yang salah bila gadis sebesar Srint il bersenang hat i m endengar
segala macam pujian.
56
Melihat bagaim ana cara para perem puan Dukuh Paruk m em uj i Srint il
m aka aku yakin set iap diri m ereka berharap kiranya anak perem puan
m ereka kelak sepert i Srint il. Menj adi ronggeng. At au para perem puan
it u m enyesal m engapa kaki m ereka pengkor, at au pipi m ereka
t am bun, at au bibir m ereka seburuk bibir kerbau sehingga t ak bakal
layak menjadi ronggeng. Tak tahulah!
Boleh j adi aku akan t et ap m elam un berang bila gerim is t idak turun.
Tak kuduga gerim is kali ini m engunt ungkan.Para perem puan dan
anak- anak yang m erubung Srint il segera bangkit bergegas pulang ke
rum ah m asing- m asing. Aku sendiri hanya m aj u beberapa langkah dan
bert eduh di em per rum ah Kart arej a. Srint il baru m elihat ku set elah aku
berada di bawah naungan emper itu.
“Ya.”
“Sudah lama?”
" Mari m asuk. Tem ani aku. Kart arej a dan ist rinya sedang pergi ke
rumah kakekku, Sakarya. Aku seorang diri sekarang.”
57
Aku menurut. Kami duduk berdua di atas lincak. Srintil terus bergerak
sepert i kanak- kanak. Ah, dia m em ang m asih kanak- kanak. Usianya
sebelas at au dua belas t ahun. Meski begit u Srint il m enangkap suasana
yang lesu pada diriku.
“ He, kau sepert i m alas bercakap- cakap. Kau segan m enem aniku di
sini?”
“Lho, kenapa?”
Srint il t erm angu sej enak. Tak usah lam a berfikir rupanya Srint il
m enget ahui j uga m engapa aku berkat a dem ikian. Naluri seorang
perem puan. Lam a kunant i t anggapan Srint il. Tet api m ulut nya yang
m ungil dan m erah m asih t erkat up. Dia hanya bangkit m em enuhi
perm int aanku m enut up pint u kam ar it u. Derit pint u bam bu dan lenyap
dari pandanganku t em pat t idur yang akan m enj adi aj ang Srintil
melepaskan keperawanannya.
58
“ Ya, Rasus aku t ahu. Kau t ak usah berkat a banyak aku sudah t ahu
mengapa kau membenci tempat tidur itu.”
“Hm?”
“He- eh.”
“Lalu?”
“ Yah, aku hanya ingin bert anya padam u; bagaim ana perasaanm u
menghadapi saat Sabtu malam itu?”
“ Ent ahlah, Rasus. Aku t ak m engert i,” j awab Srint il sam bil
menundukkan kepala.
59
“ Tent u kau senang karena kau akan m em iliki sebuah ringgit em as.
Kikira begitu.”
“He- eh.”
60
t erlalu banyak. Tet api aku t ak m erasa bersalah. Tidak. Karena pada
saat it u m isalnya, ket ika Srint il m enat apku t aj am , aku t eringat Em ak.
Em akku yang m at i dan m ayat nya dicincang. At au Em akku yang lari
bersam a m ant ri keparat it u, dan sekarang barangkali berada di Deli,
negeri khayali yang berada di batas langit.
Kut oleh Srint il. Dia m asih m enat apku dengan cara seorang bodoh.
Padahal yang kuharapkan waktu itu adalah pernyataan Srintil bahwa ia
t idak akan m enem puh m alam bukak- klam bu karena dia t elah
m em ut uskan t idak akan m enj adi ronggeng. Ah, keinginan gila yang
mustahil terlaksana. Lucunya, aku menyadari hal itu sebaik- baiknya.
Suasana yang bisu m em buat ku t ak bet ah. Srint il pun kulihat gelisah
di t em pat nya. Aku t ak t ahu apalagi yang pat ut kuperbuat , at au layak
kukat akan kepada Srint il. j adi aku bangkit t anpa berucap barang
sepatah kata dan berjalan ke arah pintu.
“Pulang.”
“Ya.”
61
Aku terus berjalan. Lepas di halaman, kain sarung kututupkan ke atas
kepala. Ket ika m em balikkan badan kulihat Srint il m asih berdiri di
bawah at ap em per. Sebenarnya aku t idak m eninggalkannya dengan
sepenuh hat i. Tet api aku t erus berj alan. Sam pai di rum ah aku
langsung merebahkan diri ke atas lincak.
Huj an t urun m akin lebat . Alam m enghiburku dengan t iris lem but
menyapu t ubuhku yang t ergulung kain sarung. Aku t idur m elingkar
sepert i t renggiling. Dengan dem ikian panas t ubuhku agak t erkendali.
Tidur di at as pelupuh, kala hari huj an. Kenangan yang t ak t erlupakan
bagi anak- anak Dukuh Paruk. Aku t erlena, larut dalam perj alanan
alam pedukuhan kecil itu.
Jumat malam.
Kem arau sungguh- sungguh t elah berakhir. Siang hari huj an t urun
am at lebat . Lapisan lum pur yang t elah berbulan- bulan m engeras
sepert i bat u, kini t erendam air. Sawah luas yang m engelilingi Dukuh
Paruk t ergenang. Dukuh Paruk m enj adi pulau. Hanya j aringan
pem at ang t am pak m em bent uk kot ak- kot ak persegi yang sangat
banyak. Tetapi tanah pematang rapuh dan longsor bila terinjak kaki.
Burung bluwak, kunt ul dan t rint il m uncul kem bali. Selam a kem arau
mereka m engungsi di t anah- t anah paya di m uara Cit anduy. Sebent ar
rumpun- rum pun bam bu di Dukuh Paruk akan ram ai oleh berbagai
burung air. Mereka berkem bang- biak di sana sepert i dilakukan oleh
nenek moyang mereka entah sejak berapa abad yang lalu.
Dukuh Paruk akan m elewat i bulan- bulan yang lem bab. Lum ut akan
t um buh pada dinding bam bu at au t iang kayu yang basah. Jam ur akan
t um buh pada kayu m at i at au dahan yang lapuk. Cacing m enj alar di
emper- em per. Orong- orong m em buat galur- galur di bawah t anah,
m enerobos bawah dinding dan berakhir di bawah balai- balai. Kut u air
dan kudis akan kem bali m eraj alela pada kaki dan t angan anak- anak
62
Dukuh Paruk. Dan orang- orang di sana akan m enerim anya sebagai
kebiasaan alami.
Hanya sat u hal yang m em enuhi benak Dower. Segera sam pai ke
Dukuh Paruk dan m enget uk pint u rum ah Kart arej a. Makin dekat ke
pedukuhan it u Dower m akin t erbayang akan sebuah t em pat t idur
berkelam bu. Put ih bersih dengan kasur dan bant al yang baru. Dan
yang paling pent ing; seorang perawan kencur yang t erbaring di
dalamnya.
Menginj ak t anah Dukuh Paruk, hat i Dower m akin kacau. Hari sudah
benar- benar gelap. Lam pu- lam pu t elah dinyalakan. Langit pekat m eski
huj an belum lagi t urun. Selagi t anah basah, j engkerik dan gangsir
m alas berbunyi. Orong- orong m enggant ikannya. Serangga t anah it u
m engget arkan sayapnya yang m enim bulkan suara buruk dan berat .
Kat ak dahan bert eriak- t eriak. Tidak sepert i kodok at au kat ak hij au,
katak dahan bersuara dengan selang waktu yang jarang.
63
Ada sebuah gardu ronda di perem pat an j alan kecil di Dukuh Paruk.
Dower m endengar gum am beberapa pem uda dari dalam gardu it u.
Seandainya Dower t ahu. Pem uda- pem uda dalam gardu it u sam a
sepert i dirinya, dat ang dari luar Dukuh Paruk dalam kait annya dengan
sayem bara bukak- klam bu. Nam un m ereka hanya ingin m elihat
perkembangan apakah t elah ada seorang pem uda dat ang m em enuhi
perm int aan Kart arej a akan sebuah ringgit em as. Mereka sendiri t idak
m em punyai uang sebanyak it u. Nam un kesem pat an m ereka m ungkin
t erbuka bila t idak ada pem uda yang sanggup m em enuhi syarat yang
dit ent ukan oleh Kart arej a. Dalam hal t erj adi dem ikian, diharapkan
Kartareja akan menurunkan tarifnya.
Tidak sepert i m alam - m alam sebelum nya, rum ah Kart arej a sudah sepi
sej ak sore. Dukun ronggeng it u t elah m engusir anak- anak yang
dat ang. Tet api orang- orang t ua t idak perlu kena usir. Mereka, orang-
orang Dukuh Paruk, t elah m aklum Kart arej a sedang m enghadapi haj at
penting, dan tidak ingin mengganggunya.
Sinar lam pu m engenai t ubuh Dower ket ika dia m encapai halam an
rum ah Kart arej a. Pem uda it u berhent i sej enak. Dari sana Dower dapat
m elihat Kart arej a sedang duduk seorang diri, m engepul- ngepulkan
asap rokoknya. Di sam ping m akan sirih, kakek it u j uga perokok yang
kuat.
64
“ Mangga,” j awab Kart arej a. Dij ulurkannya lehernya sam bil
m enyipit kan m at a. Sinar lam pu m em buat m at anya silau. “ Oh, m ari
masuk.”
“ Engkau kelihat an lelah. Dari m ana engkau dat ang, Nak?” t anya
Kartareja membuka percakapan.
“ Yah, Kek. I t ulah, j auh- j auh saya dat ang karena saya m endengar
kabar.”
“Benar, Kek.”
“ Wakt unya besok m alam . Engkau sudah t ahu akan syarat yang
kuminta, bukan?” tanya Kartareja tanpa melihat tamunya.
65
“Saya sudah tahu. Sebuah ringgit emas,” jawab Dower datar.
Dower t ersipu. Dia t idak berani m engangkat m uka. Kart arej a m elepas
napas panj ang. Dalam hat i dia m engeluh, karena belum j uga m uncul
sebuah ringgit emas yang diinginkannya.
“ Wah, Kek,” kat a Dower akhirnya. “ Pada saya baru ada dua buah
rupiah perak. Saya berm aksud m enyerahkannya kepadam u sebagai
panj ar. Masih ada wakt u sat u hari lagi. Barangkali besok bisa
kuperoleh seringgit emas.”
“Ya, Kek.”
“ Baiklah. Uang panj arm u bisa kut erim a. Tet api besok m alam kau
harus dat ang m em bawa sebuah ringgit em as. Kalau t idak, apa boleh
buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?”
66
“ Kalau aku gagal m em peroleh sebuah ringgit em as m aka uang
panjarku hilang?” tanya Dower.
“ Ya! ” Jawab Kart arej a singkat . Rona kelicikan m ewarnai waj ahnya.
Dower termangu, tampak berfikir keras.
Gert akan halus Kart arej a m engena. Bukt inya, Dower m enj adi gelisah,
lalu berkata,
“Baik, baik, Kek. Kuterima syarat itu. Nah, inilah uang panjar itu.”
Aku m engenal dengan sem purna set iap sudut t ersem bunyi di Dukuh
Paruk. Ket ika Kart arej a bercakap- cakap dengan Dower aku
m endengarnya dari balik rum pun pisang di luar rum ah. Jadi saat it u
sudah kuperoleh gam baran pert am a Dower- lah yang akan
m em enangkan m alam bukak- klam bu. Aku belum m engenal perj aka
Pecikalan itu. Tetapi kebencianku kepadanya langsung melangit.
67
Segera t erbayang olehku Dower m em perlakukan Srint il secara t idak
senonoh dalam t em pat t idur berkelam bu it u. Past i, sangat pasti,
Dower t idak sepert i aku yang selalu bersikap horm at kepada ronggeng
it u. Bert ahun- t ahun lam anya aku m enyusun gam baran sedikit - demi
sedikit , sehingga t erbent uk gam baran Em ak secara ham pir lengkap
pada diri Srint il. Maka Srint il m endapat t em pat yang m ulia dalam
hidupku.
Sedangkan Dower t idak dem ikian. Dia akan m erasa t elah m em beli
Srint il. Dalam wakt u sat u m alam Srint il akan m enj adi barang yang
sudah t erbeli. Dower akan m em perlakukannya sebagaim ana dia suka.
Bajingan tengik!
Di langit t ak sebuah bint ang pun kelihat an. Secercah warna t erang
t am pak di langit sebelah barat . Past ilah bulan berada di balik sana.
Kerem angan yang dibuat nya m am pu m em perlihat kan bayangan
seekor kalong yang t erbang perlahan ke selat an. Kirapnya m alas,
namun pasti. Lepas dari bayangan bulan, kalong itu lenyap.
Perhat ianku kem bali kepada Dower ket ika pint u depan rum ah
Kartareja berderit. Perjaka Pecikalan itu keluar. Kukira dia akan segera
berusaha m enepat i j anj i yang diucapkannya di depan dukun ronggeng
it u, m encari sekeping ringgit em as sam pai dapat . At au dia akan
kehilangan dua buah rupiah perak bila usahanya gagal.
68
sehat t enaga. Pokoknya aku ingin m elum at perj aka Pecikalan yang
akan menggagahi Srintil itu.
Tak ada j awaban. Bahkan lem paran- lem paran berikut nya m enyusul,
t epat m engenai punggung Dower. Baj u dan kainnya belepot an.
Kemarahan pemuda Pecikalan itu makin menjadi- jadi. Dia berbalik dan
bert olak pinggang. Kini Dower m enghadap ke arahku kira- kira sepuluh
langkah di depan.
“ He! Kam u asu bunt ung. Kalau ingin berkelahi, ayo keluar! Ayo
hadapi aku; Dower dari Pecikalan!”
69
Tidak t ahan m enghadapi serangan gelap it u akhirnya Dower lari.
Bukan m ain sakit hat inya ket ika dia m endengar beberapa pem uda
terbahak- bahak. Dower berbelok ingin m engej ar para penyergapnya.
Tet api dia belum m em aham i lorong- lorong di Dukuh Paruk. Dower
kehilangan j ej ak. Hanya t erdorong ingin m em balas dendam m aka
Dower t erus berlari dalam gelap. Akhirnya, byur! Dower t erj erum us
masuk ke dalam sebuah kubangan yang dalam . Sekali lagi t erdengar
suara gelak t awa t iga orang pem uda. Sebaliknya Dower bert eriak-
teriak seperti orang kesurupan.
Hari Sabt u t iba. Hari yang sangat m engesankan karena bat inku
t ernist a luar biasa. Kukira aku t akkan pernah berhasil m elukiskan
pengalam an bat inku secara m em adai. Hal ini m ungkin karena aku t ak
m em punyai cukup kefasihan. At au karena orang t akkan bisa percaya
akan penderit aan bat in seorang anak Dukuh Paruk yang bernam a
Rasus, yang dalam hidupnya m em punyai em ak hanya dalam angan-
angan. Srint il, yang ent ah bagaim ana dalam banyak hal kuanggap
sebagai j elm aan Em ak, sore nant i akan dirusak. Kukat akan begit u
m eski sesungguhnya t idak dem ikian. Bagiku, set elah Srint il dij ual
dengan harga sebuah ringgit em as, dia bukan Srint il lagi, m elainkan
seorang ronggeng Dukuh Paruk. Tidak lebih. Hanya seorang ronggeng
Dukuh Paruk takkan dapat kuandaikan sebagai diri Emak.
70
kesedihanku bisa t erbagi. Tet api hanya dirikulah yang t ahu dan
m erasakan segalanya. Bahkan aku begit u yakin Srint il t idak t ahu
persis kem alangan apa yang kurasakan bila dia sudah t erbeli dengan
sebuah ringgit em as. Sepert i pernah dikat akannya kepadaku, Srint il
lahir di Dukuh Paruk unt uk m enj adi ronggeng. Maka dengan rela hat i
dia akan m enj alani m alam bukak- klam bu, apa pula dengan
kemungkinan baginya memiliki ringgit emas.
Kat akanlah pagi it u sepert i biasa aku keluar m elepaskan kam bing-
kam bing. Tet api sesungguhnya binat ang- binat ang it u t elah lam a
kut elant arkan. Pagi it u pun aku t ak peduli kam bing- kambingku
m em asuki ladang orang. Aku sendiri duduk di pinggir kam pung
memandang amparan sawah yang penuh air.
Di atasku, pada pucuk pohon sengon, hinggap tiga ekor burung keket.
Sat u j ant an, sat u bet ina dan anak m ereka yang selalu m engibas-
ngibaskan sayap m int a m akan. Salah seekor induk burung it u segera
m enukik ke bawah bila m elihat capung at au belalang t erbang,
kem udian hinggap lagi di t em pat sem ula. Serangga t angkapan
dihancurkannya bukan unt uk dirinya sendiri, m elainkan unt uk anak
mereka. Citra sebuah keluarga yang utuh.
Kukira kicau burung keket sert a bunyi air yang t um pah lewat
punggung pem at ang akan t erus m em bawaku m elam un bila Wart a
tidak datang mengusik.
71
“ Nah. Kulihat kau lam a sekali t erm enung di sit u. Nenekm u t idak
m enanak gaplek pagi ini?” uj ar Wart a. “ Misalnya dem ikian apa
salahnya kita mencari talas dan kita bakar di sini?”
“Jadi?”
" Baru kali ini kudengar engkau m engusirku, Rasus. Aku ingin t ahu
apa yang sebenarnya sedang kaupikirkan.”
“ Wah, kalau begit u aku bisa m enebak. Rasus, kau t ak perlu m ungkir.
Kau sedang t erm akan pekasih yang dipasang oleh Nyai Kart arej a pada
diri Srint il, bukan? Hayo, baik m engaku! Kepadaku kau akan sia- sia
menyimpan rahasia.”
Aku t ert awa m eskipun t erdengar t awar. Tengik bet ul, Warta
m enebakku dengan j it u. Melihat ulahku Wart a t ahu aku t elah
mengaku. Tawanya terdengar keras sekali.
“ Oh kasihan kawanku ini. Kau senang akan Srint il, t et api nant i m alam
ronggeng itu dikangkangi orang. Wah...”
72
“Bangsat engkau, Warta.”
“ Rasus, kau boleh sakit hat i. Kau boleh cem buru. Tet api selagi kau
tak mempunyai sebuah ringgit emas, semuanya menjadi sia- sia.”
Lagu yang m enj adi t erkenal di Dukuh Paruk sem enj ak belasan anak
kehilangan kedua orang t ua akibat racun t em pe bongkrek sebelas
tahun yang lalu.
73
Thenguk- thenguk lungguh dhewe
Wart a sudah berat us kali m enem bangkan lagu it u. Dia t idak lagi
t ert arik akan m akna liriknya. Hanya iram a lagu it u yang kiranya akan
t inggal abadi di hat i Wart a dan anak- anak lain di Dukuh Paruk. Selesai
m enem bangkan lagu it u Wart a m enoleh kepadaku. Dia m elihat aku
menggigit bibir, dan mungkin mataku berkaca- kaca.
“Lho?” ujar Warta tak mengerti. “Apa pula arti semua ini?”
“ Tidak apa- apa, Wart a. Percayalah, sahabat ku, t ak ada yang salah
pada diriku. Aku t erharu. Suaram u m em ang bisa m em buat siapa pun
merasa begitu terharu.”
74
“ Hanya it u? Bagaim ana dengan Srint il yang akan diperkosa nant i
malam?”
Jangkrik!
Kukira Wart a m em andangku dari belakang ket ika aku berj alan
m eninggalkannya. Aku t ak peduli dan t erus berj alan sepem bawa
kakiku. Perj alanan yang t anpa t uj uan m em bawaku sam pai ke lorong
yang m enuj u pekuburan Dukuh Paruk. Seharusnya aku t erus
m elangkah bila t idak kulihat seseorang berj alan m erunduk- runduk di
ant ara batang- bat ang puring. Srint il! Aku t ak m ungkin salah, dialah
orangnya.
Tak m enget ahui aku m em bunt ut inya, Srint il t erus berj alan.
Langkahnya berkelok m enghindari t onggak- t onggak nisan, at au pohon
kem boj a yang t um buh rapat . Set elah berbelok ke kiri, langkah Srint il
lurus m enuj u cungkup m akam Ki Secam enggala. Kulihat Srint il
j ongkok, m enaruh sesaj i di depan pint u m akam . Ket ika bangkit dan
berbalik, ronggeng it u t erperanj at . Aku berdiri hanya dua langkah di
depannya.
“Aku mengikutimu.”
75
“ Aku disuruh Nyai Kart arej a m enaruh sesaj i it u. Bukankah m alam
nanti...”
“ Cukup! Aku sudah t ahu m alam nant i kau harus m enem puh bukak-
klam bu,” aku m em ot ong cepat . Habis berkat a dem ikian aku
melangkah pergi. Tetapi Srintil menarik bajuku.
“Pulang.”
" Jangan dulu. Jangan m eraj uk sepert i it u. Kit a bisa duduk- duduk
sebentar di sini.”
76
“Aku tak dapat melihatnya.”
“Tentu saja. Tetapi tepuklah pipi kananmu agak ke atas pasti kena.”
“Tanganku kotor.”
Aku pat uh. Tangan kuayunkan. Meski dengan gerak gam ang, nyam uk
yang menjadi lamban karena terlalu banyak mengisap darah itu kena.
Telapak t angan kut ekan pada pipi Srint il. Ket ika kubuka t ergores
setitik darah. Ada noda merah pada pipi yang putih.
Sunyi dan sepi. Sepotong ranting kecil runtuh. Bunyi keletik terdengar
ket ika rant ing it u m enim pa selem bar daun. Seekor bengkarung
m uncul di hadapanku, dan berlari cepat m engej ar capung yang
hinggap di t anah. Kelengangan berlanj ut karena aku dan Srint il
m em bisu kem bali. Angin bert iup lam bat . Suara belalang kerik
menyambutnya dari lereng sempit di sebelah selatan pekuburan.
Ent ah Srint il. Tet api aku dalam kelengangan pekuburan Dukuh Paruk
m erasa m enj adi sekedar seonggok benda alam . Tiada beda dengan
batu- bat u berlum ut di hadapanku, at au dengan berpuluh nisan cadas
77
yang t erpaku m at i dan t erserak m em enuhi pekuburan it u. Boleh j adi
pada saat itu akal- budiku berhenti. Kehendak alami menggantikannya.
Aku t ak bergerak sedikit pun ket ika Srint il m erangkulku, m encium iku.
Napasnya t erdengar cepat . Kurasakan t elapak t angannya berkeringat .
Ket ika m enoleh ke sam ping kulihat waj ah Srint il t egang. Ah,
sesungguhnya aku t idak m enyukai Srint il dengan keadaan sepert i it u.
Meski aku t idak berpengalam an, t et api dapat kuduga Srint il sedang
dicekam renj ana birahi. Tanpa m elepas lingkaran t angannya di
pundakku, Srint il m enoleh sekeliling. Dia was- was ada orang lain di
sekit ar t em pat it u. Sebenarnya Srint il t ak usah t erlalu curiga. Pohon-
pohon puring dan kem boj a yang m engelilingi pekuburan Dukuh Paruk
menjadi pagar yang sangat rapat.
Aku sering m elihat perem puan m andi t elanj ang di pancuran. Jadi aku
sudah t ahu beda t ubuh laki- laki dan t ubuh perem puan. Tet api yang
kulihat saat it u adalah gam baran perem puan yang ut uh. Hanya t idak
seperti perempuan dewasa, dada Srintil rata, pinggangnya rata.
78
Rasanya, sebagai anak laki- laki t ak ada yang salah pada t ubuhku.
Melihat Srint il t elanj ang bulat di hadapanku, aku t eringat kam bing
j ant anku bila sedang birahi. Jant ung m em om pa darahku ke segala
penj uru. Pada bagian organ t ert ent u, art eri begit u padat berisi darah
hingga m enggem bung dan m enegang. Kehendak alam t erasa begitu
perkasa menuntutku bertindak.
79
Kulihat Srint il t erm angu. Napasnya m asih m em buru. Rona waj ahnya
berubah. Terkesan rasa kecewa. Ronggeng Dukuh Paruk it u tetap
berdiri seperti batu- batu nisan di belakangnya. Tanpa gerak.
“ Kit a t ak bisa berbuat sem brono di t em pat ini,” kat aku sam bil
membenahi pakaian Srintil.
Dengan sabar kut unggu sam pai Srint il t enang kem bali. Mukanya yang
tegang perlahan- lahan kembali seperti biasa.
“ Kau benar. Unt ung kau m em peringat kan aku. Kalau t idak, ent ah
apalah jadinya.”
80
sepasang m anusia m at i di pekuburan it u dalam keadaan t idak
senonoh. Mereka kena kut uk set elah berj inah di at as m akam Ki
Secam enggala. Sem ua orang Dukuh Paruk percaya penuh akan
kebenaran cerit era it u. Kecuali aku yang m eragukannya dan
m encurigainya hanya sebagai salah sat u usaha m elest arikan
keangkeran makam moyang orang Dukuh Paruk itu.
Tak kusadari bet ul berapa lam a aku berdua Srint il berada di dalam
kelengangan pekuburan Dukuh Paruk. Dari t em pat ku duduk aku t ak
m elihat m at ahari. Kerim bunan beringin m enghalanginya. Meski t ak
t ahu hendak berbuat apa, kukira kam i m asih akan t inggal lam a di
pekuburan it u. Tet api aku m endengar sayup- sayup orang m em anggil.
Aku tak lupa, itulah suara Nyai Kartareja.
Sore hari paling get ir yang pernah kualam i. Pulang dari pekuburan
aku t idak m asuk ke rum ah. Nenek yang m em anggil- m anggil karena
hidangan bagiku t erbengkalai sej ak siang t ak kuhiraukan. Aku duduk
dekat kandang kam bing m em perhat ikan burung- burung bluwak yang
pulang ke pucuk- pucuk bam bu di Dukuh Paruk. At au lengkung
bianglala di langit sebelah barat . Pagelaran alam yang dam ai dan
indah. Tet api aku t idak bisa m enikm at inya. Sebuah sisi di hat iku yang
m am pu m enangkap bent uk- bent uk keindahan t ert ut up oleh rasa
gelisah karena beberapa jam mendatang Srintil bukan lagi Srintil.
81
Aku sadar bet ul diriku t erlalu kecil bagi alam , bahkan bagi Dukuh
Paruk yang sem pit it u. Maka segalanya berj alan sepert i biasa.
Kusaksikan m at ahari t enggelam . Puluhan ekor kam pret dan kalong
kcluar m endaulat langit Dukuh Paruk m enggant ikan burung layang-
layang dan burung- burung lainnya. Pelit a- pelit a kecil m ulai dinyalakan
m enerangi beranda- beranda yang berbat as dinding bam bu. Nyam uk
dan agas t erbang berput ar- put ar m engelilingiku. Hari benar- benar
telah menjadi gelap, dan aku bergerak masuk ke rumah.
Dukuh Paruk sepert i hendak berangkat t idur. Anak- anak t ak sat u pun
kelihat an. Bahkan suara m ereka t iada lagi t erdengar. Hanya sesekali
t erdengar keribut an kecil di kandang kam bing. Mereka gelisah oleh
sengat an nyam uk. At au m ereka m elihat sepasang m at a yang berkilau
kebiru- biruan dalam gelap; mata seekor kucing liar.
Kedua puluh t iga rum ah di Dukuh Paruk sudah kelihat an sepi, kecuali
rum ah Kart arej a. Di rum ah dukun ronggeng it u sudah beberapa
m alam lam pu besar dinyalakan. Nyai Kart arej a t elah selesai
m endandani Srint il dengan kain dan baj u baru. Ram but nya disanggul.
Kart arej a m enyalakan pedupaan, yang dilet akkannya di sudut
halam an. Sebuah gayung dengan t angkainya yang t ert anam di dalam
t anah j uga ada di sana. Celana kolor bekas, kut ang bekas sert a
pakaian dalam lainnya dilem parkan ke at as gent ing. Selesai dengan
pekerj aan it u, Kart arej a berdiri di t engah halam an dengan waj ah
m enat ap langit . Dukun ronggeng it u sedang m elakukan rit us
penangkal hujan.
82
bukak- klam bu m alam ini. Kain sarung kusam bar dari sam piran, lalu
aku berj alan m engendap ke rum ah dukun ronggeng it u dari arah
belakang. Sam pai di sana kulihat t ernak besar it u t elah t ert am bat di
sam ping rum ah Kart arej a. Sepert i m alam kem arin, aku ingin
m endengarkan percakapan ant ara Kart arej a dan Dower. Maka aku
berjingkat ke emper samping. Dari celah dinding bambu aku mengintip
ke dalam . Dower dengan baj unya yang baru duduk di hadapan t uan
rum ah. Srint il t idak kelihat an. Nam un aku m endengar bisik- bisik
antara Nyai Kartareja dengan ronggeng itu.
“ Aku dat ang lagi, Kek. Meski bukan sekeping ringgit em as yang
kubawa, kuharap engkau mau menerimanya.”
“Bukan, Kek.”
“ Seekor kerbau bet ina yang besar. Binat ang it u paling t idak bernilai
sama dengan sebuah ringgit emas,” kata Dower menerangkan. Namun
Kart arej a m enyam but nya dengan senyum kecut , bahkan
menyepelekan. Dower menjadi gelisah dalam duduknya.
“Tetapi ringgit em as bisa m asuk saku celana. Bagus, t idak kot or dan
aku t akkan disusahkannya dengan urusan kandang, rum put sert a bau
busuk,” ujar Kartareja sambil membuang muka.
83
“ Kau m em ang benar, Kek. Tet api bila dua buah rupiah perak yang
kuj adikan panj ar m enj adi m ilikm u, kukira pem berianku cukup, lebih
dari cukup. Bagaimana?”
Kart arej a t idak m engubah rom an m uka m eski dalam hat i dia m erasa
m enang. Seekor kerbau bet ina yang besar dit am bah dengan dua
keping rupiah perak. Dukun ronggeng it u t erbahak dalam hat i. Hanya
karena Kart arej a sudah am at berpengalam an m aka dia dapat
mengendalikan perasaannya.
“ Tet api bagaim ana j uga kau t ak bisa kuanggap t elah m encukupi
syarat yang kut ent ukan. Seekor kerbau dan dua buah rupiah perak
tidak sama dengan sebuah ringgit emas.”
“Ya. Kecuali...”
“ Kecuali kau m au hanya m enj adi cadangan. Bila sam pai t engah
m alam nant i t ak ada orang lain m em bawa ringgit em as kepadaku,
m aka kaulah pem enangnya. Kalau kau m enolak, silakan t erim a
kembali dua rupiah perak ini. Bawalah pula kerbaumu itu.”
Dower t idak m enyangka Kart arej a akan m enolak dengan kat a- kata
sekeras it u. Perj aka Pecikalan t ergagap. Bukan m ain kecewa hat inya.
84
Dower m erasa t elah m elakukan segala usaha agar bisa m em enangkan
sayem bara bukak- klam bu, t idur sem alam - m alam an di at as t em pat
t idur em puk bersam a ronggeng Dukuh Paruk yang m asih perawan.
Teringat kem bali oleh Dower bagaim ana dia m endongkel lem ari m ilik
orang t uanya unt uk m encuri uang rupiah perak it u. Tent u Dower
t eringat pula pengalam an siang t adi. Dengan gem ilang dia berhasil
m engecoh ayahnya. Dari sawah kerbau m ilik ayahnya yang paling
besar dit unt un pulang. Bukan dim asukkannya ke dalam kandang,
melainkan terus dibawanya ke Dukuh Paruk. Kini Dower merasa segala
akal busuknya belum t ent u m em buahkan hasil. Bahkan bayangan
kegagalan m uncul di depan m at anya. Dalam hat i, Dower m engut uk
Kartareja dengan sengit. “Si Tua Bangka ini sungguh- sungguh tengik!”
85
“ Ada anak Pecikalan di sini?” kat a Sulam angkuh. Sebelum t uan
rumah menjawab, Dower menyahut lebih dahulu.
“ Ya! Mengapa? Aku t elah m enyerahkan seekor kerbau dan dua buah
uang rupiah perak. Sem ua it u bernilai lebih dari pada sebuah ringgit
em as,” kat a Dower bangga. Ket erangan ini m em buat Sulam
penasaran. Dia tidak percaya.
“ Bet ul kat a anak Pecikalan ini, Kek?” t anya Sulam kepada Kart arej a.
Kakek it u t idak segera m em beri j awaban. Tanpa m elihat kepada
Sulam maupun Dower, kemudian Kartareja berkata.
“Betul.”
“ Nah, m engapa kau bert anya m aksud kedat anganku. Kaukira aku
akan datang kemari bila kau tidak menjamuku dengan ronggeng itu?”
“ Baiklah. Bila dem ikian kat am u, past i kau sudah siap dengan sebuah
ringgit emas,” ujar Kartareja.
86
“ Sebuah pert anyaan yang m enghina, kecuali engkau belum
mengenalku. Tentu saja aku membawa sebuah ringgit emas itu. Bukan
rupiah perak, apalagi seekor kerbau sepert i anak Pecikalan ini,” uj ar
Sulam sambil melirik ke arah Dower. Yang dilirik tersengat hatinya lalu
membalas keras.
“ Sulam ! Kau boleh pongah kepada siapa pun t et api j angan kepadaku.
Yang hendak kuserahkan kepada Kart arej a lebih m ahal daripada
sekedar sebuah ringgit em as. Dan kau Kart arej a! Alangkah dungu bila
kau menolak pemberianku dan menerima pemberian Sulam.”
“ Eh? Engkau m arah? Kaulah yang dungu! Kart arej a hanya m em int a
ini sebagai syarat , bukan yang lain- lain, apa pun bent uknya,” uj ar
Sulam sam bil m em bant ingkan uang logam kuning ke at as m ej a.
Kemilau cahayanya.
“ Bila sej ak sem ula Kart arej a m enghendaki lebih banyak, dua ringgit
em as m isalnya, past i kupenuhi. Kau anak Pecikalan j angan banyak
cakap. Pulanglah! Gembalakan kerbaumu di sawah.”
87
“ Aku hanya m au duduk kem bali set elah anak Pecikalan ini enyah dari
sini,” seru Sulam keras.
“ Jangan suruh aku duduk kecuali kau sudah m engakui pem berianku
lebih banyak daripada pem berian Sulam . Kart arej a, kau j angan
bodoh!”
Melihat ket egangan sem akin m enj adi- j adi, Kart arej a bangkit dan
berdiri di ant ara kedua t am unya. Nyai Kart arej a keluar. Srint il m uncul
sebent ar di pint u lalu surut kem bali. Kedua pem uda yang sedang
bersit egang sem pat m elihat nya. Aneh. Set elah m elihat Srint il
kemarahan Dower dan Sulam mereda.
“ Oh, kalian bocah bagus,” kat a Nyai Kart arej a. “ Jangan bert engkar di
sini. Aku khawatir tetangga nanti datang karena mendengar keributan.
Ayo bocah bagus, duduklah. Kalau kalian t erus berselisih, past i Srint il
m erasa t akut . Bagaim ana bila nant i dia t idak bersedia m enj alani
bukak- klambu?”
Oleh caranya yang khas gaya seorang m ucikari, Nyai Kart arej a dapat
m enenangkan Sulam dan Dower. Keduanya duduk kem bali, m asing-
m asing dengan waj ah kecut . Hening. Kart arej a duduk t erm angu.
Dahinya berkerut - kerut , m em bukt ikan ada sesuat u yang sedang
dipikirkannya. Kem udian kakek it u bangkit berdiri. Kat a- katanya
terdengar pelan penuh wibawa.
“ Kalian dat ang m em bawa persoalan ke rum ah ini. Kalau kalian t idak
ingin aku m em bat alkan rencana, beri kam i kesem pat an m em ecahkan
persoalan itu. Hendaknya kalian mau diam sebentar di tempat masing-
m asing. Jangan m encoba bert engkar kem bali. Aku hendak
bermusyawarah sebentar di dalam.”
88
“ Ya, kalian harus m enurut . I ngat , Srint il m asih sangat m uda. Dia
tidak biasa mendengar keributan,” sambung Nyai Kartareja.
Di ruang dalam suam i- ist ri it u t idak m elihat Srint il. Tet api m ereka
t idak berpikir j auh. Paling- paling Srint il sedang t ert elungkup di dalam
biliknya dengan hat i berdebar- debar. Bila dem ikian Nyai Kart arej a
dapat memahami perasaan gadis itu. Dia masih perawan.
“Lihatlah nanti.”
Kart arej a m engeluarkan bot ol- bot ol dari lem ari. Sebuah m asih penuh
berisi ciu. Sebuah lagi hanya berisi seperem pat nya. I si bot ol yang
kedua ini dit am bah dengan air t em payan hingga penuh. Kepada
ist rinya yang dat ang m em bawa dua buah cangkir, Kart arej a
m em erint ahkan m enghidangkan m inum an keras it u kepada Sulam dan
Dower.
89
“ Jangan keliru! Yang asli buat Sulam . Lainnya buat Dower,” kat a
Kartareja. Istrinya tersenyum.
Walaupun t idak selicik Kart arej a, nam un perem puan it u sudah dapat
menduga ke mana maksud tindakan suaminya.
“ He, Nyai. Tet api m engapa kau hanya m enyediakan sebot ol buat ku?
Tam bah lagi barang dua- t iga bot ol. Kau j angan harap akan ada sisa
minuman di hadapanku nanti.”
90
Bersam a suam i- ist ri Kart arej a, Dower yang sam a sekali t idak m abuk
ikut m enyaksikan Sulam yang m ulai m engigau. Dalam dunia
khayalnya Sulam m elihat beribu bint ang j at uh dari langit . Telinganya
m endengar suara t em bang asm ara. Di hadapannya m uncul Srint il
m engaj aknya bert ayub. Bau ciu yang m enguap dari m ulut sendiri
dirasakannya sebagai wewangian yang dikenakan oleh ronggeng
Dukuh Paruk it u. Tergugah birahi Sulam . Terhuyung- huyung dia
bangkit . Di t engah beranda dia m ulai berj oget . Nyai Kart arej a yang
berdiri di dekat nya t idak t am pak oleh Sulam sebagai seorang nenek-
nenek. Perem puan t ua it u kelihat an oleh Sulam sebagai Srint il yang
sedang mengajaknya bertayub.
Oleh suam inya Nyai Kart arej a disuruh m elayani Sulam yang sedang
hilang ingat an. Soal bert ayub t ak usah dit anyakan kepada ist ri dukun
ronggeng it u. Dia sangat berpengalam an. Jadilah. Teringat m asa
m udanya, m aka Nyai Kart arej a m elayani Sulam dengan sepenuh hat i.
Dia membiarkan dirinya dibawa berjoget, bahkan diciumi oleh Sulam.
Renj ana yang m enguasai Sulam t idak berlangsung lam a. Ciu t elah
mutlak menguasai semua organ tubuhnya. Gerakannya makin lamban,
m akin goyah. Ucapan cabul m asih sem pat keluar dari m ulut Sulam
sebelum kedua lut ut nya t erlipat , roboh dalam pelukan Nyai Kart arej a.
Oleh dukun ronggeng yang dibant u Dower, Sulam diangkat dan
dibaringkan di at as lincak. Seekor kam bing j ant an t elah dikalahkan
oleh ciu dan tipu daya.
91
“Tidak, Nek. Tidak.”
“Jadi? Jadi?”
“ Ya. Kau boleh t idur bersam a Srint il sekarang. Tet api wakt u t erbat as
sampai Sulam tersadar. Tahu?”
Terdengar suara derit ket ika Dower m enut up pint u bilik yang berisi
tempat tidur berkelambu itu. Sepi. Suami- istri Kartareja masuk ke bilik
m ereka sendiri. Di sana pasangan t ua it u bergurau. Sebuah ringgit
em as, dua rupiah perak dan seekor kerbau sudah ham pir di
tangan./bp/
***
92
Siapa yang akan m enyalahkan Kart arej a bila dukun ronggeng it u
m erasa t elah m enang secara gem ilang. Siapa pula yang akan
m enyalahkan Dower bila dia kelak bert eriak- t eriak bahwa dirinyalah
yang t elah m ewisuda ronggeng Srint il. Sesuat u t elah t erj adi di
belakang rum ah Kart arej a sebelum Dower m enyiapkan kelam bu yang
m engurung Srint il. Hanya aku dan ronggeng it u yang m enget ahui
segalanya.
Wakt u it u aku m asih m engint ip di em per sam ping ket ika t erdengar
pert engkaran m ulut ant ara Dower dan Sulam . Sesaat kem udian aku
m elihat seseorang keluar dari pint u belakang lalu j ongkok di bawah
pohon pisang. Dari sosok t ubuhnya yang kecil aku m em ast ikan Srint il-
lah yang keluar. Dengan berjalan berjingkat kudekati dia.
“ Oh! ” seru Srint il t ert ahan. Dia cepat bangkit m erangkulku sekuat
t enaga. “ Rasus. Dengar, m ereka bert engkar di luar. Aku t akut , sangat
takut. Aku ingin kencing!”
“Sudah kencing?”
“ Sudah. Tet api aku t akut . Rasus, kau sungguh baik. Kau ada di sini
ketika aku sedang diperjual- belikan.”
“Ya.”
93
Masih m erangkulku kuat - kuat Srint il m engisak. Kubiarkan dia karena
aku pun t ak t ahu apa yang harus kuperbuat . Kurasakan t ubuh Srint il
hangat dan gemetar.
“Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padam u. Rasus, sekarang kau
t ak boleh m enolak sepert i kaulakukan t adi siang. Di sini bukan
pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”
Aku percaya, suasana gelap dapat m engubah nilai yang berlaku pada
pribadi- pribadi. Orang berpikir lebih prim it if dalam suasana t anpa
cahaya. Dan sebuah perilaku prim it if m em ang t erj adi kem udian ant ara
aku dan Srint il. I lusi akan hadirnya Em ak saat it u t ak m uncul di
hat iku. Segalanya t erj adi. Alam sendiri yang t urun t angan
m engguruiku dan Srint il. Boleh j adi Srint il m erasakan sesuat u yang
m enyenangkan. Tet api ent ahlah, karena aku hanya m erasa t elah
memperoleh sebuah pengalaman yang aneh.
94
Kelak Srint il bercerit era kepadaku bahwa dia segera t erj aga kem bali
ket ika Dower m em bangunkannya dengan dengus napas lem bu j ant an.
Srint il t idak m engat akan apa yang dialam inya kem udian sebagai suat u
perkosaan. Dia hanya berkat a, sungguh t idak m udah m enem puh
syarat menjadi seorang ronggeng di Dukuh Paruk.
Set elah Dower keluar Srint il m endengar Nyai Kart arej a berkat a
kepada pemuda Pecikalan itu.
“ Kau t elah m em peroleh hadiah sayem bara bukak- klam bu. Dua rupiah
perak serta kerbau itu sah menjadi milik kami. Engkau puas, bukan?”
“ Pulang? Nant i dulu! ” j awab Nyai Kart arej a. “ Bila nant i Sulam t erj aga
dan tidak melihatmu lagi di sini, dia akan merasa curiga. Tahu?”
Suasana di rum ah Kart arej a sunyi kem bali m eskipun suam i- istri
dukun ronggeng it u t idak t idur. Srint il sendiri t erbaring gelisah.
Pelupuh lincak berderit - derit karena Dower belum dapat m em ej am kan
m at a. Tet api t ak berapa lam a kem udian segalanya diam . Dower yang
lelah dan lemas segera pulas.
95
Tengah m alam Nyai Kart arej a m asuk ke bilik Srint il. Kelam bu dibuka.
Dengan sinar pelit a di t angannya perem puan it u m elihat m at a Srint il
yang m asih t erbuka. Dengan gaya m em anj akan, Nyai Kart arej a
membelai rambut Srintil.
" Dua keping rupiah perak dan seekor kerbau besar t elah m enj adi
m ilikm u. Kau sudah m enj adi anak yang kaya. Engkau m erasa senang,
bukan?” Srintil mengangguk walaupun perutnya terasa sakit.
Mat a Srint il t erbuka lebar- lebar. Suaranya serak ket ika dia bert anya
kepada Nyai Kartareja.
“ Tak m engapa, bukan? Engkau akan m enj adi sat u- sat unya anak yang
memiliki ringgit emas di Dukuh Paruk ini.”
96
Srint il m engisak seorang diri. Baginya alangkah lam bat wakt u
berj alan. Dia ingin hari segera m enj elang pagi. Dia ingin segera
m enem ukan dirinya t elah selesai m enj alankan bukak- klam bu. Tak
t erpikirkan lagi soal ringgit em as at au lainnya. Yang dirasakannya
sekarang adalah perut nya yang bagai t eriris- iris. Ronggeng it u t ak
akan menghentikan tangis karena binatang jantan lainnya akan segera
datang menyingkap kelambu dan mendengus.
Di luar gerim is t urun. Sesungguhnya Srint il ham pir t erlena bila t idak
m endengar derit lincak di beranda. Sulam m enggeliat lalu m elenguh.
Sem ula Sulam akan kem bali m em ej am kan m at a. Tet api t iba- tiba mata
pem uda it u t erbuka selebar- lebarnya, lalu bangkit . Dia duduk
termangu seperti orang sedang bingung.
“ Oh, bocah bagus. Engkau sudah bangun?” t anya Nyai Kart arej a
semanis seorang ibu.
Ket ika Sulam sadar bet ul apa t uj uannya dat ang ke Dukuh Paruk, dia
berkata sambil bangkit berdiri.
97
“ Oh t enanglah, Bocah bagus. Lihat , anak Pecikalan it u m asih t ert idur
nyenyak. Engkau jadi pemenang. Srintil menunggumu sekarang.”
“ Lho! Dia di dalam kelam bu. Ayo, cepat . Jangan m enunggu Dower
terbangun.”
“Oh ya. Ya. Tetapi nanti dulu, Nek. Aku ingin kencing.”
Ent ah sam pai kapan pem ukim an sem pit dan t erpencil it u bernam a
Dukuh Paruk. Kem elarat annya, ket erbelakangannya, penghuninya
yang kurus dan sakit sert a sum pah- serapah cabul m enj adi bagiannya
yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit kecil di tengah
Dukuh Paruk seakan m enj adi pengawal abadi at as segala kekurangan
di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi am paran sawah berbat as kaki
langit , t ak seorang pun penduduknya m em iliki lum bung padi m eski
yang paling kecil sekali pun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya
tak pernah menolak nasib yang diberikan alam.
Yang Mahaperkasa m encipt a diriku dari int isari t anah Dukuh Paruk.
Ket ika aku m ulai m engert i bahwa diriku hidup, di dekat ku ada seorang
nenek, sebuah kandang berisi t iga ekor kam bing dan sekeranj ang
gaplek di sudut rumah kecil. Anak- anak sebaya memanggil perempuan
yang t erdekat dengan sebut an em ak. Tet api perem puan t ua yang
paling dekat denganku m enolak bila kusebut dem ikian. “ Panggil aku
nenek,” kat anya. Pernyat aan it u adalah t anda- t anya besar pert am a
yang m enindih hat iku. Unt ung, di Dukuh Paruk ada sekian belas anak
yang sepert i aku. Wart a dan Darsun bahkan aku kem udian t ahu pula,
Srint il j uga t idak m em punyai em ak. Ayah j uga t ak pernah kulihat
sej ak aku lahir. Tet api aku t idak begit u m erisaukannya. Jangan
98
salahkan diriku karena aku t ak t ahu m engapa t erj adi perasaan
demikian.
Dalam hat iku ada sebuah sisi yang kosong. Seharusnya ada Em ak di
sana. Aku yang m engharuskannya dem ikian, nam un t idak pernah
m enj adi kenyat aan. Kekosongan yang berkem bang bersam a
pert um buhanku sej ak m asa kanak- kanak, m encipt akan kegersangan
dan kegelisahan. Kehausan m elihat sert a m em iliki Em ak t elah
membuat noda dalam hidupku.
Tet api Dukuh Paruk dan orang- orangnya disana t ak ada yang
m engert i diriku yang sakit . Mem ang Dukuh Paruk m em beri
kesem pat an kepadaku m engisi bagian hat i yang kosong dengan
seorang perawan kecil bernam a Srint il. Tidak lam a, sebab sej ak
perist iwa m alam bukak- klam bu it u Srint il diseret ke luar dari dalam
hat iku, Dukuh Paruk bert indak sem ena- m ena kepadaku. Aku
bersumpah takkan memaafkannya.
Jadi ket ika Dukuh Paruk bergem bira- ria dengan suara calung dan
j oget Srint il yang t elah resm i m enj adi ronggeng, aku m alah m ulai
m em bencinya. Pengikat yang m em buat ku m encint ai Dukuh Paruk
t elah direnggut kem bali. Aku t idak lagi m em punyai cerm in t em pat aku
m encari bayang- bayang Em ak. Sakit ku t erasa lebih perih daripada
saat aku belum mengenal Srintil.
99
Salah seekor kam bing kut unt un ke luar Dukuh Paruk pada suat u pagi.
Sebelum berangkat aku berkat a kepada Nenek, aku akan m encari
pam an di luar kam pung dan m ungkin t idak kem bali lagi. Nenek
menangis. Terbata- bata Nenek meminta agar aku tetap tinggal. “Siapa
yang akan mengurusiku bila aku sakit dan mati,” katanya.
Nenek m enj adi korban balas dendam ku t erhadap Dukuh Paruk. Dia
kut inggalkan bersam a beberapa ekor kam bing. Biarlah. Nenek adalah
milik Dukuh Paruk. Kukira Dukuh Paruk tetap mengakui Nenek sebagai
warga sampai dia bergabung dengan Ki Secamenggala di pekuburan.
Kam bing kuj ual di pasar. Dengan uang penj ualan it u aku hidup
beberapa hari di warung- warung. Perpindahanku dari warung sat u ke
warung lainnya t erj adi bila kudengar seorang pengunj ung bercerit era
t ent ang m alam bukak- klam bu yang baru diselenggarakan di Dukuh
Paruk.
100
Jadi aku seperti masih tinggal di Dukuh Paruk laiknya.
Di pasar Dawuan pula suat u kali aku dapat m elihat Srint il yang
dat ang berbelanj a dengan Nyai Kart arej a. Sebelum ronggeng it u
m endekat aku t elah t ahu kehadirannya dari celot eh orang- orang di
pasar itu.
“ He! Bet ulkah di Dukuh Paruk ada gadis dengan kulit bersih, bet is
montok tanpa kurap?”
“ Ah, j angan bodoh. Bau keringat laki- laki m em buat set iap anak
perempuan menjadi cepat dewasa.”
“ Lihat . Baru beberapa bulan m enj adi ronggeng sudah ada gelang
em as di t angan Srint il. Bandul kalungnya sebuah ringgit em as pula,”
kata seorang perempuan penjual sirih.
101
“ Kau sudah t ahu dari m ana ronggeng it u m em peroleh bandul kalung
seberat dua puluh lim a gram . Tet api kau past i belum t ahu siapa yang
memberi Srintil sebuah kalung,” ujar perempuan lainnya.
“Jadi siapa?”
“ Ah, t anpa pekasih pun orang akan senang t idur bersam a Srint il.
Maka aku bisa m em aham i bila Sulam rela kehilangan sebuah ringgit
102
em as unt uk m em peroleh keperawanan ronggeng it u,” kat a orang laki-
laki penjual tikar dari tempatnya.
Seorang perem puan t ua berlari- lari dari arah belakang. Kepada Srint il
disodorkannya sehelai kutang.
“Aduh, wong ayu. Pakai kutang ini. Dadamu sudah kelihatan montok.”
103
“ Aku t ak ingin berj ualan kepadam u. Silakan pakai. Aku set iap saat
berdiri di pinggir arena bila kau sedang m enari. Engkau past i t idak
tahu, bukan?”
Bila para perem puan kelihat an t ulus ikhlas m em anj akan Srint il, t idak
dem ikian dengan para lelaki. Pak Sim bar, penj ual sabun di pasar
Dawuan berkat a dengan m at a bersinar- sinar kepada Srint il. “ Eh, wong
kenes, wong kewes. Aku t ahu di Dukuh Paruk orang m enggosok-
gosokkan bat u ke badan bila sedang m andi. Tet api engkau t ak pant as
m elakukannya. Mandilah dengan sabun m andiku. Tak usah bayar bila
m alam nant i kaubukakan pint u bilikm u bagiku. Nah, kem arilah.”
Berkata demikian, tangan Pak Simbar menjulur ke arah pinggul Srintil.
Aku melihat dengan pasti, Srintil tidak menepiskan tangan laki- laki itu.
Bangsat!
“ Nah. Aku punya sandal kulit . Mulah. Balang baik. Na, kam u olang
t ida pant as belt elanj ang kaki. Bet ism u bagus. Bayal sandalku. Nanti
aku juga mau bayal kalau aku tidul di Dukuh Paluk.”
104
Sepert i j uga Pak Sim bar, Babah Pincang j uga gat al t angan. Bukan
pinggul Srint il yang digam it nya, m elainkan pipinya. Kali ini pun Srint il
tak berusaha menolak. Bangsat lagi!
Terdengar bunyi lonceng sado dan derap kaki kuda. Srint il bersam a
Nyai Kart arej a m eninggalkan pasar Dawuan. Sado akan m engant arkan
m ereka sam pai ke uj ung pem at ang. Srint il dan pengiringnya akan
berjalan di at as pem at ang it u sam pai ke Dukuh Paruk. Selam a
set engah j am keduanya akan disiram t erik m at ahari t anpa sebat ang
pohon pun meneduhi.
Mem ang dengan penam pilan Srint il yang sekarang, aku m ulai
m endapat kesulit an m em peroleh secuil gam baran Em ak pada dirinya.
Em ak m em ang perem puan Dukuh Paruk. Sekali pun aku t ak pernah
m em bayangkan Em ak bukan m enj adi bagian pedukuhan t erpencil it u.
Jadi Em ak, sepert i para perem puan Dukuh Paruk, t idak
105
m engharam kan persundalan. Dia, m eski hanya hidup dalam angan-
anganku, bukan perem puan suci sepert i yang kelak kubaca dalam
buku- buku dongeng. Tet api dem i rahim yang pernah m em bungkusku,
aku t ak t ega m em bayangkan Em ak sebagai perem puan yang selalu
ramah terhadap semua laki- laki. Yang tak pernah menepis tangan laki-
laki yang m enggerayanginya. Tidak. Bet apapun aku t ak m am pu
berkhayal demikian.
Sit i, seorang gadis seusia Srint il. Set iap pagi dia m em beli singkong di
pasar Dawuan. I bunya m enj adi penj ual berj enis- j enis m akanan yang
t erbuat dari um bi akar t ersebut . I bu Sit i t idak berj ualan di pasar it u.
Tet api di pasar Dawuan, orang dengan m udah m endapat segala
macam keterangan. Demikian, maka aku tahu banyak tentang Siti dan
ibunya.
Karena set iap pagi aku m elayani Sit i, m aka aku m ulai
m enyenanginya. Sikapnya yang m alu- m alu dan ham pir m enut up diri
sering m erangsang diriku unt uk m enggodanya. Sekali wakt u aku t ak
berhasil m encegah t anganku yang lancang. Kerudung yang selalu
m enut upi kepala Sit i kusingkapkan. Put ih pipinya dan keindahan
tengkuknya tak bertirai lagi. Tak ayal tanganku bergerak mencubit pipi
putih itu.
106
Sedikit pun aku t ak m erasa bersalah berbuat dem ikian. Dukuh Paruk
sepanj ang usiaku m engat akan perkara m encubit pipi sam a sekali t idak
t abu, apalagi dosa. Kat a ‘dosa’ sendiri baru kudengar set elah aku
m eninggalkan Dukuh Paruk. Tet api karena kelancangan t angan it u aku
m endapat pengalam an baru yang get ir. Set elah kucubit pipinya, Sit i
m em beliakkan m at a. Pipinya m erah rona. Gadis it u t erpaku sej enak
dengan t at apan m at a m enghunj am j ant ungku. Mula- m ula aku senang
karena dengan pipi m erah it u Sit i bert am bah cant ik. Nam un aku j adi
t erkej ut ket ika Sit i berlari dengan m elem parkan singkong yang t elah
dibelinya.
“ He, j angan sam akan Sit i dengan gadis- gadis Dukuh Paruk. Dia
m arah karena m enganggap kau m em perlakukannya secara t idak
senonoh,” kat a seseorang, ent ah siapa karena aku t ak berani
mengangkat muka.
“Lihat- lihat lah bila hendak m enggoda seorang gadis, Rasus! ” kat a
seorang lainnya. “ Di sini m em ang pasar. Perem puan yang dat ang
berbelanj a kem ari t idak sem ua berasal dari Dukuh Paruk. Seorang
sundal pun, bila dia bukan perem puan Dukuh Paruk, akan m arah bila
t ersent uh pipinya di depan orang banyak. Meski hanya berpura- pura,
namun demikianiah adanya.”
Masih banyak celot eh lain yang kudengar. Tet api aku t ak bisa
m em perhat ikan sem uanya. Aku sedang t erlanda m asuknya nilai baru
ke dalam hat i, bahwa soal m encubit pipi di luar Dukuh Paruk bisa
m endat angkan urusan. Lain benar keadaannya dengan Dukuh Paruk.
107
Di sana, seorang suam i m isalnya, t idak perlu berkelahi bila suat u saat
m enangkap basah ist rinya sedang t idur bersam a laki- laki t et angga.
Suam i t ersebut t elah t ahu cara bert indak yang lebih prakt is;
m endat angi ist ri t et angga it u dan m enidurinya. Habis segala urusan!
Tanah airku yang kecil it u hanya m engaj arkan pengert ian m oral t anpa
tetek- bengek. Bukt inya, siapa anak siapa t idak pernah m enj adi nilai
yang kaku dan past i, oleh karenanya t idak pernah m enim bulkan
urusan. Di sana, di Dukuh Paruk, aku j uga t ahu ada obat bagi
perempuan- perem puan m andul. Obat it u bernam a lingga; kependekan
dua kat a - yang berart i penis t et angga. Dan obat it u, dem i arwah Ki
Secam enggala, bukan barang t abu apalagi aneh. Tet api m engapa
hanya karena aku mencubit pipi Siti, orang- orang menertawakanku?
Ah. Biarlah, bagaim ana j uga aku yang harus m engalah, dengan m ulai
belaj ar m enerim a kenyat aan, bahwa di luar t anah airku yang kecil
berlaku nilai- nilai yang lain. Banyak sekali. Misalnya kat a um pat an
“ asu bunt ung” , yang bisa didengar set iap m enit di Dukuh Paruk t anpa
akibat apa pun, m erupakan kat a penghinaan paling nist a di luar
pedukuhan itu.
Tokh t idak sem uanya dem ikian. Yang t ercant ik di ant ara m ereka
selalu m enut up diri di sam ping ayahnya. Dia bersem bahyang, sesuat u
yang baru kulihat di luar Dukuh Paruk. Gadis- gadis lain berbisik
kepadaku agar j angan m encoba m enggoda si alim it u. Kat a m ereka,
hanya laki- laki bersem bahyang pula bisa berharap pada suat u saat
bisa m enj am ahnya. I t u pun bila t elah t erj adi ikat an perkawinan yang
sah. Pelanggaran at as ket ent uan it u adalah dosa besar. Nah, Rasus
dari Dukuh Paruk belum m am pu m em aham i sem uanya. Perkawinan
yang sah, dosa besar, m erupakan ungkapan yang baru kudengar.
Terserah pada sejarahku nanti apakah aku bisa menghayati pengertian
108
it u at au aku akan t et ap didikt e oleh nilai- nilai yang kukenal sej ak di
Dukuh Paruk.
Makin lam a t inggal di luar t anah airku yang kecil, aku m akin m am pu
m enilai kehidupan di pedukuhan it u secara krit is. Kem elarat an di sana
t erpelihara secara lest ari karena kebodohan dan kem alasan
penghuninya. Mereka hanya puas m enj adi buruh t ani. At au berladang
singkong kecil- kecilan. Bila ada sedikit panen, m inum an keras
m em asuki set iap pint u rum ah. Suara calung dan t em bang ronggeng
menina- bobokkan Dukuh Paruk. Maka benar kat a Sakarya, bagi orang
Dukuh Paruk kehidupan t anpa calung dan ronggeng t erasa hambar.
Calung dan ronggeng pula yang m em beri kesem pat an m ereka
bertayub dan minum ciu sepuas- puasnya.
Sungguh. Meski berat sekalipun gam baran t ent ang diri Em ak harus
kuhancurkan dan m enggant ikannya dengan cit ra yang lain. Maka
dalam pikiranku sudah kunyalakan api pada set um puk kayu bakar.
Kubayangkan seorang perem puan kulem parkan dengan t anganku
sendiri ke at as kobaran api it u. Perem puan yang m em punyai segala
gambaran keagungan itu hangus dan lenyap dimakan api.
109
Sebagai gant inya m uncul perem puan lain dengan ciri- ciri khas Dukuh
Paruk. Ram but kusut dengan uj ung kem erahan. Waj ah lesu dan pucat
karena sehari- hari t idak cukup m akan. Sepasang t et ek dengan put ing
hit am , hanya subur pada wakt u panen. Sepasang t elapak kaki yang
lebar dengan endapan daki m elapisinya. Kat a- kat anya kasar dengan
selingan serapah cabul. I t ulah gam bar seorang perem puan Dukuh
Paruk, gam baran yang lebih m asuk akal. Aku harus m ulai belajar
m enerim a kenyat aan bahwa sebagai perem puan Dukuh Paruk Em ak
m em iliki ciri- ciri sepert i it u pula. Seorang m ant ri yang m au m em bawa
lari perem puan sepert i it u past ilah ada kelainan pada dirinya. Kalau
tidak sinting pastilah dia seorang laki- laki bajul buntung!
Nah, aku sudah m ulai m em punyai gam baran seorang em ak. Meski
buruk, t et api bayangannya m udah kuperoleh pada ham pir sem ua
perem puan Dukuh Paruk. At au sem ua perem puan yang berbelanj a
at au berj ualan di pasar Dawuan. Mem ang, Srint il t et ap t ak bisa
kulupakan. Kenangan bersam anya karena aku m engenalnya sej ak
m asa kanak- kanak, t idak m ungkin hilang dengan m udah. Tet api
kedudukannya dalam j iwaku, sedikit dem i sedikit bergeser ke t em pat
yang lebih waj ar. Boleh j adi kelak pada suat u saat aku
merindukannya, kem udian m encarinya at as panggilan birahi. Siapa
t ahu pada suat u saat ada uang dalam j um lah cukup dalam sakuku.
Tidak pernah kudengar seorang ronggeng m enolak kehendak laki- laki
yang akan memberinya uang, apalagi dalam jumlah banyak.
Maka ket ika orang- orang m enyam but kedat angan ronggeng Dukuh
Paruk it u, aku pun m endekat . Tanpa canggung sedikit pun Srint il
110
kubim bing ke t em pat yang lebih longgar. Tak kupedulikan seruan
maupun tatapan orang orang sekeliling.
“ Kau j uga t idak lupa kej adian pada suat u m alam di belakang rum ah
Kartareja?”
111
t idak kuam bil peduli. Apalagi Srint il sendiri yang m em bungkam m ulut -
mulut usil itu.
“ Kalian orang- orang pasar, j angan iri hat i. Rasus adalah t em an lam a
dari Dukuh Paruk. At au bila kalian t et ap m erasa iri, t unggulah di sini.
Nanti kalian akan mendapat giliran.”
“ Rasus, kau m enghilang dari Dukuh Paruk sej ak kej adian m alam hari
di belakang rum ah Kart arej a. Jangkrik! Aku sungguh t ak m engert i
mengapa kau bertindak demikian.”
Jika Srint il m engaj ukan pert anyaan sepert i it u beberapa bulan yang
lalu, aku akan sulit m encari j awabnya. Kalaupun aku m enem ukannya,
past ilah m uluk, karena aku m asih m enghubungkan Em ak dengan diri
Srintil. Tetapi di warung cendol itu mulutku dengan lancar memberikan
jawaban kepada Srintil.
112
“ Karena engkau t elah sah m enj adi ronggeng. Selam anya aku t ak
ingin bertemu lagi denganmu kecuali aku mempunyai uang.”
“Ya, mengapa?”
Aneh, t ernyat a selam a set ahun penuh aku belum j uga m enginj akkan
kaki ke Dukuh Paruk. Bagiku, bila m endengar Nenek m asih m engiris-
iris singkong unt uk dibuat gaplek sert a pergi ke t anah kosong buat
m enggem bala kam bing, it u sudah cukup. Pasar Dawuan selam a sat u
t ahun it u sekali- sekali m enj adi t em pat pert em uanku dengan Srint il.
Terkadang Srint il m engaj akku ke sebuah rum ah t idak j auh dari pasar
Dawuan. Meskipun Srint il selalu m arah bila disebut sundal, t et api dia
t ahu bet ul set iap rum ah yang bisa disewa unt uk perbuat an cabul. Dia
m em bukt ikan kat a- kat anya bahwa dariku dia t idak m engharapkan
uang. Bahkan suat u ket ika dia m ulai bercelot eh t ent ang bayi, t ent ang
perkawinan.
Lucu.
113
Seorang ronggeng bercelot eh t ent ang perkawinan, t ent ang seorang
bayi. Sebagai anak Dukuh Paruk sej at i, aku langsung bisa
m encurigainya. Aku t ahu benar perkawinan di Dukuh Paruk bukan
barang m uluk, apalagi kudus, m aka para perem puan di sana t ak perlu
m em uj anya. Perkawinan dalam urusannya dengan kepent ingan hayat i
bisa didapat dengan m udah, apalagi bagi Srilit il yang cant ik. Bila
Srint il m enginginkan seorang bayi, m engapa dia cem as? Bukankah
berpuluh lelaki telah menabur benih?
Entahlah.
Yang j elas celot eh Srint il t ent ang bayi dan perkawinan hanya
kuanggap sebagai ungkapan perasaan secara em osional, t anpa suat u
alasan yang m endukungnya. Lagipula aku m erasa rendah diri karena
Srint il t elah m enj adi ronggeng yang benar- benar kaya. Nam un
seandainya benar keinginan Srint il m em peroleh seorang bayi
t erdorong ket akut annya m enghadapi hari t ua, aku t ak bisa berbuat
lain kecuali iba. Sangat iba!
114
Tahun 1960 wilayah kecam at an Dawuan t idak am an. Peram pokan
dengan kekerasan senj at a sering t erj adi. Tidak j arang para peram pok
m em bakar rum ah korbannya. Aku yang selalu t idur di sudut pasar
Dawuan m ulai m erasa t akut . Mulai t erpikir olehku apakah sudah t iba
saatnya bagiku kembali ke Dukuh Paruk? Aku berharap para perampok
t idak t ert arik pada pedukuhan it u karena let aknya yang berada di
t engah sawah. Menurut perhit unganku, andaikat a t erj adi peram pokan
di sana polisi gampang mengepungnya.
Ternyata hingga dua tahun berikutnya aku belum juga datang melihat
Dukuh Paruk. Bahkan aku m eninggalkan pasar Dawuan, berpindah
dari sat u t em pat ke t em pat lain, bersam a sekelom pok t ent ara di
bawah pimpinan Sersan Slamet.
Aku sendiri berdiri dan memandang dari jauh di depan gerbang pasar.
Kulihat seorang t ent ara, yang kem udian kukenal sebagai Sersan
Slam et , m encari seseorang unt uk m em bant u m enurunkan pet i- peti
sert a barang- barang lainnya. Dia t idak m elihat seorang pun kecuali
aku. Jadi lambaian tangannya kemudian diarahkannya kepadaku.
Tak ada anak Dukuh Paruk yang t idak gem et ar m enerim a panggilan
seorang tentara. Aku hampir melangkah surut bila Sersan Slamet tidak
m engulangi lam baiannya. Bahkan kulihat senyum nya yang kem udian
mengurangi ketakutanku.
115
“Siapa namamu?” tanya Sersan Slamet. Gayanya ramah kebapakan.
“Rasus.”
“ Tidak. Aku t idak m em punyai kerj a saat ini,” kat aku m asih dengan
rasa takut tersisa di hati.
Aku mengangguk.
“ Baik Marilah m ulai. Angkut pet i- pet i it u ke rum ah sana. Nant i ada
upah tersedia bagimu.”
Pekerj aan kum ulai. Pet i- pet i logam sert a barang berat lainnya
kuangkat di at as pundak dan kubawa ke sebuah rum ah bat u yang
t ernyat a t elah dipersiapkan sebagai m arkas t ent ara. Dari rasa t akut
lambat laun berubah menjadi rasa bangga. Seorang anak Dukuh Paruk
bekerj a dalam kelom pok t ent ara. Meski pakaianku t idak seragam
dengan m ereka, t et api aku berj alan beriring dengan m ereka. Bahkan
aku sudah berbicara dengan pem im pin m ereka, Sersan Slam et . Aku
telah berkenalan dengan seorang tentara.
Karena m erasa bangga bekerj a dengan sekelom pok t ent ara m aka aku
m am pu m engeluarkan t enaga lebih dari biasanya. Bila m ereka
116
m engangkat pet i it u sat u- sat u, aku m engangkat nya sekaligus dua
buah di pundakku. Dalam wakt u sekian m enit m ereka hanya bisa
m em bawa sebuah barang dari t ruk ke m arkas. Tet api dalam wakt u
sam a aku t elah dua kali hilir- m udik. Rupanya Sersan Slam et m encat at
hal ini.
Set elah sem ua barang selesai dibawa ke m arkas it u, aku m int a diri
hendak pulang ke sarangku di pasar Dawuan. Sersan Slam et
m enahanku. Aku dim int anya lebih lam a m em bant unya. Maka rum ah
kosong yang hendak j adi m arkas it u kusapu. Ket ika aku sedang
bekerj a Sersan St am et m em beriku sepasang pakaian t ent ara bekas.
Aku diminta segera mengenakannya. Jadilah aku berseragam hijau.
Aku m engira sepasang pakaian bekas yang sudah bert isik di sana- sini
it u adalah upah yang dij anj ikan Sersan Slam et sesaat aku m ulai
bekerj a. Rupanya t idak dem ikian. Sersan it u t elah m enj erat ku agar
aku m au bekerj a m enj adi kacung yang harus m elayani diri sert a
seluruh anggot a pasukannya. Unt ung, aku t idak bersangkut - paut
dengan para gerom bolan yang sering m engacau wilayah Dawuan.
Bayangkan bila aku seorang anggot a gerom bolan, at au set idaknya
seorang m at a- m at a m ereka yang kuket ahui banyak di ant ara
penduduk, m aka keput usan Sersan Slam et m engangkat ku m enj adi
pelayannya sungguh suatu kesalahan besar.
Menj elang sore sem ua yang harus kukerj akan t elah beres. Sersan
Slam et m enyuruhku duduk. Di hadapan beberapa t ent ara lain, sersan
itu menanyaiku.
117
Jawaban apa pun t idak bisa segera kuberikan. Tet api dalam hat i aku
bersorak- sorai. Bila t awaran it u kut erim a, m aka past i aku akan
menjadi anak Dukuh Paruk pert am a yang berseragam hij au, berbicara
dalam bahasa I ndonesia, lagipula m enerim a gaj i. Bukan m ain hebat !
Srint il akan m elihat seorang yang pernah dikenalnya bernam a Rasus
berseragam t ent ara, m eski t anpa pangkat . Sakarya dan Kart arej a
yang t elah m encipt akan Srint il m enj adi seorang ronggeng sehingga
aku kehilangan bayangan Em ak, akan t erbat a- bat a bila suat u saat
kudatangi. Rasakan dia.
“Lho. Engkau tetap diam, Rasus. Engkau menolak atau hanya bingung
memikirkan tawaranku?” tanya Sersan Slamet.
“ Tidak dem ikian, Pak. Aku hanya m erasa sangsi apakah aku dapat
m em enuhi syarat unt uk m em ikul t ugas yang akan kut erim a it u,”
kataku merendah.
“ Siapa saj a yang m em punyai cukup t enaga sert a kej uj uran, dapat
m elaksanakan t ugas sebagai t obang. Tent ang t enaga, aku sudah
m erasa past i engkau m em ilikinya dengan cukup. Kej uj uranm u sudah
t erpancar dari waj ah dan sinar m at am u sendiri. Jadi aku m erasa past i
pula engkau mampu menjadi seorang tobang.”
“ Kat akan; ya! Kam i t ent ara. Kam i m em erlukan ket egasan dalam
set iap sikap,” kat a Sersan Slam et t egas. Tet api dari nadanya aku t ak
menangkap kekerasan.
118
“Bagus. Engkau mulai berbicara seperti seorang tentara.”
“Tetapi...”
“ Tet api? Tent ara t ak pernah berbicara ‘t et api’ bila keput usan t elah
diambil.”
“Singkong- singkong yang selam a ini kuj aga harus secara t egas dan
past i kuserahkan kem bali kepada pem iliknya. Sepert i t ent ara, seorang
tobang harus tegas!”
Pada hari- hari pert am a m enj adi t obang, banyak hal baru yang
kurasakan. Siang hari aku m encuci pakaian- pakaian t ent ara, m elap
sepatu- sepat u. Urusan dapur m enj adi bagianku pula. Aku m elakukan
bagian ini dengan senang hat i karena di sam ping m em asak aku
berkesem pat an pergi berbelanj a ke pasar Dawuan. Di sana aku pam er
dengan baju seragam. Semua orang yang pernah mengenalku di pasar
it u m em uj iku. Bahkan pem ilik singkong yang pernah beberapa belas
bulan m enj adi m aj ikanku, t ak berani m em anggilku dengan nam a,
m elainkan dengan sebut an “ m as t obang” . Aku berharap Srint il
secepat nya m enget ahui perubahan diriku lalu dat ang berbelanj a ke
pasar Dawuan. Sayang belum sat u pun orang Dukuh Paruk kuj um pai
di pasar itu.
Sebulan sej ak kedat angan pasukan t ent ara t ak t erdengar perist iwa
peram pokan di wilayah Dawuan. Meskipun t ent ara t et ap siaga dan
berpat roli di m alam hari, t et api set idaknya aku m erasakan suasana
yang t enang di ant ara m ereka. Hubunganku dengan Sersan Slamet
lebih dapat dikat akan sebagai hubungan pribadi daripada sebagai
hubungan ant ara seorang t obang dan seorang sersan. Dia banyak
bert anya t ent ang diriku, asal- usulku bahkan sekolahku. Dia
m engaj ariku m enulis dan m em baca set elah m enget ahui aku t ak
119
pernah bersekolah. Berbagai kisah dicerit erakan kepadaku. Tet api
yang kusenangi adalah kisah seorang t ent ara pelaj ar yang karena
keberaniannya dapat m em bunuh t iga serdadu m usuh dalam suat u
pert em puran. Pada um um nya Sersan Slam et bersikap lem but
kepadaku. Tet api j iwa t ent aranya harus m uncul j uga. Misalnya
beberapa hari set elah aku bergabung dengan pasukannya, dia pernah
berkat a. “ Sebagai seorang t obang segala sesuat u yang kauket ahui di
sini m enj adi rahasia pent ing. Kau harus m enj aganya sekuat t enaga.
Dengan orang luar kau hanya dibenarkan berbicara seperlunya. Kalau
kuket ahui kau m elakukan kesalahan, aku sendiri yang akan
menghukummu. Bila perlu dengan pestolku!”
Cara bongkar pasang dan penggunaannya pun diaj arkan oleh Sersan
Slam et kepadaku. “ Siapa t ahu pada saat yang krit is kau harus ikut
m em egang senj at a dalam pert em puran,” kat a sersan it u sam bil
t ersenyum . Boleh j adi Sersan Slam et t idak t ahu hat iku m elam bung
sam pai ke langit karena m endengar ucapannya. Andaikat a Em ak
mendengar kata- kata itu!
“ Sam pai hari ini kirim an bahan m akanan belum j uga t iba. Padahal
persediaan sudah m enipis. Kit a m em but uhkan daging segar. Terus-
m enerus m em akan daging dan m akanan kaleng t idak baik unt uk
lam bung kit a. Jat ah unt uk pem beli daging segar sudah habis. Kit a
putuskan berburu babi atau kijang di hutan.”
120
“Berita bagus,” kata kopral Pujo, “aku ikut.”
“Tidak. Kopral tinggal di sini dan kuserahi tanggung jawab. Aku hanya
memerlukan dua orang serta Rasus sebagai penunjuk jalan.”
Bila Kopral Puj o bersuka- ria m endengar berit a it u, apalagi aku yang
bahkan akan diaj aknya sert a. Berburu bersam a t iga orang t ent ara ke
hutan. Orang kampung akan melihat Rasus berjalan beriringan dengan
t ent ara. Mereka akan m elihat Rasus m engenakan baj u hij au. Pasti
m ereka akan bergum am . Anak Dukuh Paruk yang sat u it u m em ang
luar biasa, dapat m enj adi t ent ara. Apalagi bila aku dapat dipercaya
m em anggul bedil. Past i akan berlipat kekagum an orang kam pung
padaku. Dalam perj alanan pulang aku akan m em anggul sendiri hasil
buruan. Babi atau kijang.
Tak pernah kuim pikan sebelum nya bahwa suat u pengalam an yang
am at luar biasa kuperoleh dalam kesem pat an berburu it u. Bukan
dengan binat ang buruan, bukan pula dengan gerom bolan peram pok
yang bersembunyi di hutan.
Sam pai di hut an, perburuan langsung dim ulai. Dalam hal ini aku
kecewa karena t iga orang t ent ara yang kuiringkan sam a sekali t ak
berpengalam an dalam hal berburu. Celeng sam a sekali t ak t erlihat
121
barang seekor. Kij ang m em ang t erlihat t et api Sersan Slam et yang
m enj adi algoj o gagal m enem bak sasarannya. Sam pai sore hari ket ika
perburuan dihent ikan, para pem buru hanya kehilangan dua peluru.
Sat u unruk m enem bak kij ang yang t ernyat a t ak m engena. Sat u lagi
unt uk m enem bak seekor ular sanca sebesar paha yang bergelung di
atas pohon.
Sesungguhnya aku sangat ahli dalam hal m engupas singkong. Tet api
perkara m engulit i seekor ular yang ham pir em pat m et er panj angnya
baru sekali it u kulakukan. Unt ung, sebelum pergi t idur Sersan Slam et
m em berikan pet unj uknya. Kepala ular kuikat dengan t ali. Uj ung t ali
yang lain kuikat kan pada sebat ang pohon. Pada lehernya kubuat irisan
m elingkar. Dari irisan it u kulit ular kukupas ke belakang. Tenagaku
ham pir t erkuras habis unt uk m enarik kulit ular it u. Hasilnya adalah
sebuah kant ung panj ang yang t erbalik. Pekerj aan selanj ut nya t idak
m em eras banyak t enaga. Ternyat a banyak daging ular yang harus
kubuang. Dua buah ransel sudah penuh. Ransel ket iga unt uk diisi
dengan kulit binatang itu.
122
Semuanya selesai sudah.
Ket ika kupandangi t iga pucuk bedil yang dibiarkan t ersandar oleh
m aj ikannya, t iba- t iba m uncul ilham gem ilang. Sam pai kapan pun aku
t ak bisa m engert i m engapa ilham it u dat ang pada saat nya yang am at
sangat t epat . Kedat angannya akan t erbukt i nant i m am pu m engakhiri
derita panjang yang menista hidupku selama bertahun- tahun.
Ket iga bedil it u m asih t ersandar di t em pat nya. Selagi Sersan Slam et
bersam a dua rekannya pulas, aku bisa m enggunakan salah sebuah
bedil m ereka unt uk kepent inganku sendiri. Aku m em punyai m usuh
bebuyut an yang m eski hanya m eraj alela dalam angan- angan, sudah
sekian lam a aku ingin m enghancurkan kepalanya hingga berkeping-
keping: m ant ri yang t elah m em bawa Em ak m elarikan diri ent ah ke
m ana. Ket ika dat ang kesem pat an buat m enghancurkan kepala m ant ri
itu, mengapa aku tidak segera bertindak?
Cepat ! Jangan t unggu sam pai ket iga orang t ent ara it u t erj aga. Bayar
kesum at m u sekarang j uga! Dem ikian sebuah suara t erdengar j elas
dalam hatiku sendiri.
Aku pat uh. Tindakan pert am a, kucari sebongkah bat u cadas sebesar
kepala. Kuangkat dia ke at as sebuah t onggak kayu. Dengan pisau
belat i bat u cadas it u kuukir. Ada gam bar m at a, hidung dan bibir. Tak
kulupakan kum is panj ang yang m elint ang. Sehelai daun j at i
kulet akkan di at as bat u cadas it u. Maka lengkaplah kepala m ant ri
123
keparat yang t elah m encuri Em ak. Mant ri yang m enurut cerit era
Nenek selalu berkumis dan memakai topi gabus.
Dari j arak beberapa langkah aku m enat ap hasil rekaanku. Tak salah
lagi. I t ulah m ant ri, m usuh bebuyut anku. Baj ingan t unggulah balas
dendamku beberapa detik lagi.
Pelan, pelan sekali aku m elangkah m undur. Aku t akut salah seorang
dari ket iga t ent ara it u bangun. Bila sam pai t erj adi dem ikian gagallah
rencanaku m em balas dendam kepada m ant riku yang keparat ,
Kem udian aku berbalik. Dem ikian m aka aku berdiri beberapa langkah
di depan kepala m ant ri. Aku kem bali m em buat gerakan yang begitu
pelan, ket ika aku m enarik handel unt uk m engokang bedil di t anganku.
Lirih sekali sehingga kuharap kum an yang berada di t elapak t anganku
tak mendengar bunyi pegas yang kurentang.
124
Bedil kem bali kuarahkan kepada sasaran. Kubayangkan bagaim ana
seorang anggot a regu t em bak berdiri m enunaikan t ugas m enem bak
m at i seorang m usuh. Dialah yang kut iru. Picu kut arik. Ledakan
dendam m em buat gerak t elunj uk kananku m enj adi kuat dan past i.
Aku ham pir t idak m endengar let upan karena seluruh indera t erpusat
kepada kepala m ant ri yang hancur dan t erlem par ke belakang. Topi
gabusnya terbang entah ke mana.
Ya Tuhan! Det ik berikut nya aku m endengar Sersan Slam et dan kedua
t em annya t erbangun. Sedet ik lagi aku m endengar hardikan yang am at
keras disusul sebuah t elapak t angan m endarat di pipiku. Bedil di
tangan direnggutkan dengan begitu kasar.
Tet api aku t idak pedulikan sem uanya. Aku sedang m enikm at i
kepuasan bat in yang am at sangat . Mant riku t elah m at i. Kepalanya
hancur sam pai t ak m ungkin orang m engenalinya kem bali. Tidak
kupedulikan ket iga t ent ara yang kem udian berdiri bingung, aku m aj u
hendak m elihat hasil t em bakanku. Luar biasa. Kepala m ant ri t inggal
menjadi kepingan- kepingan kecil. Seorang lelaki dengan kepala hancur
sepert i it u t akkan bisa m em bawa lari Em ak. Sej ak saat it u dia sudah
m enj adi bangkai. Em ak t elah kubebaskan. Dia akan kuaj ak kem bali ke
Dukuh Paruk sekarang j uga. Aku m enang, m enj adi put era paling
perkasa yang berhasil gem ilang m em bebaskan Em ak t ercint a dari
genggaman setan.
Kukira kesadaran sedang kem bali kepada diriku ket ika aku berdiri
kaku m enghadap t iga orang t ent ara yang m em andangku dengan
heran. Badanku basah oleh keringat dingin. Tangan dan kakiku
gem et ar. Tet api aku berusaha m em buat langkah pert am a ke arah
Sersan Slam et . Sayang aku t ak sam pai ke t uj uan. Kulihat segalanya
berput ar j ungkir- balik. Apa yang t erj adi kem udian aku t ak
mengetahuinya lagi.
125
sepenuhnya t erkendali m asih t erlont ar kat a- kat a, “ Mak, kau sudah
bebas sekarang. Mari pulang!”
“ Ya, kau sudah sadar. Kit a akan segera pulang,” uj ar Sersan Slam et .
Kata- kata itu membuatku lebih tersadar.
“ Aku harus m engert i lebih dulu m engapa sem ua ini kaulakukan. Kau
sudah bisa menerangkannya sekarang?”
“ Baik. Mari kit a pulang. Tet api kau harus berj anj i nant i akan
memberikan keterangan sejelas- jelasnya kepadaku.”
126
“Kau merasa sudah cukup kuat?”
“Sudah.”
Kepada t em an- t em annya di m arkas, kedua t ent ara yapg ikut berburu
m engat akan aku kem asukan set an di hut an. Maka beberapa orang
m em int a ket erangan langsung kepadaku, dan aku hanya cukup
m engiyakan. Tet api kepada Sersan Slam et di kam arnya kukat akan
dengan panj ang lebar m engapa aku m enem bak segum pal cadas it u.
Pak Sersan mengerti tentang alasan yang kukatakan itu.
“ Hanya kali ini kau kum aafkan. Kali lain t idak. Unt ung aku dapat
m em aham i penderit aan bat inm u karena selam a hidup engkau belum
pernah m elihat ibum u. Kalau t idak hukum an yang akan kaut erim a
cukup berat . Bayangkan, m engam bil dan m enggunakan bedil. Bahkan
seorang t ent ara harus m em enuhi syarat t ert ent u agar dibenarkan
berlaku demikian.”--/bp/
***
127
Kehadiran t ent ara di Dawuan t idak selam anya dapat m encegah
peram pokan di wilayah kecam at an t ersebut . Bahkan di beberapa
kam pung para peram pok sem akin berani. Pem bunuhan t erhadap para
korban m ulai berani m ereka lakukan. Usaha m engat asi m asalah it u
t ernyat a bukan t ugas m udah bagi Sersan Slam et bersam a anak
buahnya. Pat roli m alam hari t idak berhasil m enangkap seorang
peram pok pun. Sebaliknya seorang anggot a t ent ara t ewas dan
seorang lainnya t erluka ket ika segerom bolan peram pok m encegat
satuan patroli malam.
Sersan Slam et m enggant i t akt ik. Anggot anya dipecah m enj adi
kelompok- kelom pok kecil dengan anggot a dua sam pai t iga orang.
Set iap kelom pok bert ugas m engawasi rum ah- rum ah penduduk yang
diduga m enyim pan em as perm at a. Orang- orang inilah yang selalu
m enj adi sasaran peram pokan. Sat uan kecil it u m eninggalkan posnya
di Dawuan secara m enyam ar dan sudah siap di t em pat t ugas ket ika
matahari terbenam.
Nam un karena j um lah anggot a yang t erbat as, aku t erpaksa ikut
m enj adi anggot a sat uan, m eski aku belum m endapat kepercayaan
m em egang senj at a. Bersam a Kopral Puj o aku m endapat bagian
m engawasi Dukuh Paruk. Karena aku sangat m engenal pedukuhan it u,
kat a Sersan Slam et m em beri alasan. Di Dukuh Paruk ada t ersim pan
em as. Di m ana lagi kalau bukan di rum ah Srint il. Maka aku m enerim a
t ugas bersam a Kopral Puj o dengan senang hat i, m eski t erbersit
ketakutan akan bertemu langsung dengan para perampok itu.
128
Sesungguhnya aku t idak berharap, sesuat u akan m enim pa Dukuh
Paruk. Bet apapun dia adalah t anah airku yang kecil. Tet api pada
m alam kesem bilan, ket ika cahaya bint ang m am pu m enerangi
pedukuhan it u, dari t em pat pengint aian kulihat sinar lam pu sent er
mendekat. Kubuka
mataku lebar- lebar. Empat lima orang sedang berjalan beriring di atas
pem at ang. Sinar bint ang- bint ang m em ungkinkan m at aku m elihat
kelim a orang it u m asing- m asing m em bawa benda panj ang. Tak salah
lagi, bedil.
“ Seharusnya begit u. Tet api j angan gila. Hanya ada sepucuk senj at a
pada kita. Pada mereka ada lima bedil.”
129
“ Kit a perlu bant uan. Kopral t et ap di sini. Aku akan berlari secepat nya
ke Dawuan. Dalam dua puluh m enit kuharap aku sudah kem bali
bersama Sersan Slamet.”
“ Tet api dari t em pat ini isyarat it u t akkan t erlihat oleh Sersan Slam et .
Kopral harus lari sampai ke pertengahan pematang.”
“Tak mengapa.”
“ Nah inilah sent er yang Kopral m int a. Aku j uga akan m eninggalkan
tempat ini mengikuti para perampok itu dari belakang.”
“Ya.”
“Ya.”
130
Kulihat dua orang peram pok t et ap t inggal di luar, sat u di belakang
dan lainnya di halam an rum ah. Tiga lainnya m asuk ke beranda set elah
m em buka pint u dengan t endangan kaki. Sakarya yang t erkej ut ,
langsung m engert i apa yang akan t erj adi. Kakek Srint il it u keluar. Di
ruang t engah dia berhadapan dengan t iga orang yang m engacungkan
senj at a kepadanya. Nyai Sakarya yang m enyusul suam inya keluar
langsung tersimpuh di tanah.
“ I ni rum ah ronggeng Srint il, bukan?” bent ak salah seorang peram pok
kepada Sakarya. Yang dibentak menggigil ketakutan.
“ Aku m em ang kakek Srint il. Tet api dia t idak di sini lagi sekarang,”
j awab Sakarya dengan bibir gem et ar. Salah seorang peram pok
m enam par orang t ua it u sam pai t erhuyung. Lainnya m enggeledah ke
seluruh sudut rum ah. Tak m enem ukan Srint il m aupun hart anya, para
penjahat kembali berlaku kasar kepada Sakarya.
“ Jangan, j angan. Akan kukat akan, Srint il t inggal di rum ah Kart arej a,
t iga rum ah ke t im ur dari sini. Tet api j angan kalian apa- apakan dia.
Sungguh. Srint il cucu t unggal kam i. Am bil hart anya, t api j angan
cederai dia.”
131
m enuj u rum ah Kart arej a. Dukun ronggeng it u sudah m endengar
kegaduhan di rum ah Sakarya. Barang- barang em as m iliknya dan m ilik
Srintil disembunyikannya di dalam abu tungku.
Sepert i ket ika dat ang ke rum ah Sakarya, m aka dua orang peram pok
tetap tinggal di luar rumah. Aku berada di balik pohon hanya beberapa
langkah dengan salah seorang di ant ara m ereka. Kudengar pint u yang
didobrak. Suara- suara m enghardik dan suara- suara pukulan. Sesaat
berikut nya kudengar j erit Srint il. Aku m engut uk sengit m engapa
Kopral Puj o belum j uga m uncul. Karena t idak sabar m enunggu, m aka
timbul keberanianku.
Sesudah it u aku benar- benar m erasa t akut . Aku lari dan berbalik
sesaat unt uk m enghuj ani rum ah Kart arej a dengan peluru yang m asih
t ersisa. Kem udian aku berlari kem bali. Sam pai di sawah aku bert iarap
di balik pem at ang. Thom son it u t elah t ersem bunyi di dalam sebuah
parit.
Ket ika dalam kerem angan kulihat em pat sosok t ubuh berlari ke arah
pedukuhan, aku m engert i Kopral Puj o sudah dat ang m em bawa
bantuan.
132
“Tunggu, aku Rasus.”
“ Di rum ah Kart arej a. Cepat . Dua di ant ara m ereka t elah kubunuh,”
kataku dengan menggigil.
Terdengar let upan- let upan ram ai. Para peram pok t erm akan oleh
siasat Sersan Slam et . Mereka lari ke luar rum ah Kart arej a. Sat u orang
t ert em bak oleh Kopral Puj o. Sat u orang lolos, t et api senj at a Sersan
Slamet berhasil membunuh seorang lainnya.
Set elah suasana sepi Sersan Slam et m engaj akku m elihat rum ah
Kart arej a. Kopral Puj o dan dua t em annya sudah di sana. Dengan
lam pu sent er kucari Thom son bert angkai kayu yang t adi kulem par ke
dalam parit . Kupanggul dia dengan gagah. Di belakang rum ah
Kart arej a aku berhent i. Kepada Sersan Slam et kut unj ukkan dua
m ayat . Tet api aku ham pir m unt ah m elihat darah begit u banyak.
Sebuah senjata lagi tergeletak dekat salah seorang mayat.
Ketika aku dan Sersan Slam et m asuk, Kart arej a sedang m enggigil di
depan Kopral Puj o. I st rinya duduk t erm angu. Srint il t erbelalak m elihat
aku m em bawa bedil, schingga dia ragu- ragu m endekat . Dari
ket erangan Kart arej a diket ahui peram pok hanya berhasil m em bawa
perhiasan yang pada saat it u dikenakan Srint il; sepasang subang, dua
cincin dan seunt ai kalung. Kart arej a m enyuruh Srint il t et ap
133
m engenakan perhiasan it u unt uk m elindungi perhiasan lain yang lebih
mahal dari jarahan para perampok.
Orang- orang Dukuh Paruk keluar dan berkum pul di rum ah Kart arej a.
Dengan obor m ereka disuruh oleh Sersan Slam et m engum pulkan
em pat m ayat . Di hadapan orang banyak Sersan Slam et m em uj iku
sebagai seorang pem berani. Tent ara it u t idak t ahu aku paling t akut
m elihat darah. “ Rasus sangat pant as m enj adi t ent ara. Saya akan
berusaha agar dia diangkat secara resm i m enj adi anggot a kesat uan
saya,” kata Sersan Slamet yang disambut dengan gumam orang- orang
Dukuh Paruk.
Em pat m ayat akan dit anam besok pagi unt uk dikenali dulu
ident it asnya. Tengah m alam Sersan Slam et bersam a dua anggot anya
pulang ke Dawuan. Aku berdua Kopral Puj o t et ap t inggal di Dukuh
Paruk.
Srint il m engikut iku ket ika aku berj alan m enuj u rum ah Nenek. Ah,
sem akin t ua nenekku. Kurus dan m akin bungkuk. Kasihan, Nenek
tidak bisa banyak bert anya kepadaku. Linglung dia. Tet api aku
m erangkulnya sam bil berseru berulang- ulang m enyebut nam aku
sendiri. “Aku Rasus, Nek.”
“Ya, Nek.”
“Sudah. Sudah.”
134
“Jadi kamu mau tidur di sini?”
“ Ya, Nek. Malam ini Nenek kut em ani. Sekarang berbaringlah kem bali.
Ayo kubantu.”
Selagi orang- orang Dukuh Paruk m engerum uni rum ah Kart arej a, aku
duduk berdekat an dengan Srint il di beranda rum ah nenekku sendiri.
Pernah kubaca dongeng t ent ang seorang pahlawan yang pulang dari
peperangan dan kem bali disam but oleh seorang put eri j elit a. Aku
m engum pat habis- habisan m engapa dongeng sem acam it u sem pat
singgah dalam ingat an. Ket ika duduk berdua Srint il it u aku m em ang
m erasakan kepuasan yang am at sangat . Bukan oleh kenyat aan bahwa
Srint il t ak habis- habisnya m em uj iku at au karena dia berserah diri
sepenuhnya kepadaku. Bukan pula oleh pem bunuhan at as dua orang
m anusia yang t elah kulakukan m alam it u. Jiwaku t erlalu lem ah buat
m enghadapi perbuat an sem acam it u, m eski m ereka yang kubunuh
adalah peram pok- peram pok. Dalam hat i aku bersum pah, perbuat an
m encabut nyawa t akkan pernah kulakukan lagi baik t erhadap orang
jahat, apalagi terhadap orang- orang biasa.
Bukan. Kepuasan it u t elah berkem bang sej ak beberapa hari yang lalu
ket ika kepala m ant ri kut em bak hancur di t engah hut an. Orang lain
akan m engat akan perbuat anku it u t idak lebih dari ulah seorang bocah
ingusan yang t idak berm akna apa pun kecuali hanya m engundang
t awa. Ya, aku t idak berharap orang lain percaya bahwa aku t elah
m enghukum m at i m usuh yang t elah bert ahun- t ahun m engusik,
bahkan m em buat t eror berkepanj angan dalam kehidupan bat inku.
Kat akanlah, t ak seorang pun m em punyai kepent ingan dalam urusan
sepele itu, urusan yang tolol dan sinting.
Tet api aku m erasa dengan past i beban bat in yang selalu m enindih di
hat i sebagian besar t elah hilang. Kem ungkinan kebenaran cerit era
bahwa Em ak m elarikan diri bersam a m ant ri sam a sam a sekali. Jadi
135
Em ak, yang sudah kuyakini t idak sedikit pun m irip Srint il, m em ang
m at i t erm akan racunt em pe bongkrek. Mayat nya kem udian dipakai
dalam penyelidikan m edis unt uk m enget ahui segala t et ek- bengek
t ent ang racun bongkrek. Bila aku t elah m eninggalkan nilai- nilai asli
Dukuh Paruk, t ent ulah aku bisa m engat akan m ayat Em ak t elah
diabdikan unt uk kepent ingan kem anusiaan. Aku rela sudah, Em ak
dikubur di suat u t em pat ent ah di m ana. Tokh aku sudah t ahu, duniaku
sudah j auh lebih luas daripada sekedar pem ukim an sem pit yang
terpencil, Dukuh Paruk.
Pagi hari ketika semua orang Dukuh Paruk sibuk dengan empat mayat
penj ahat , aku sengaj a t idak keluar dari rum ah Nenek. Srint il yang
lekat sej ak m alam hari t ak m au berpisah, kecuali ket ika dia pulang
sebent ar buat m engam bil beras. Ronggeng it u cukup arif karena dia
t ahu di rum ah Nenek ham pir sepanj ang t ahun t idak t ersim pan beras
m eski hanya segenggam . Srint il m enanak nasi dan m erebus air buat
aku dan Nenek. Dia j uga m em buat t elur dadar, m akanan paling
m ewah yang sangat j arang dibuat orang di pedukuhan kecil it u. Pagi
it u, bahkan selam a beberapa hari kem udian, Srint il m enyediakan diri
m enj adi ist riku. Bukan hanya aku yang dim anj akannya secara
berlebihan, m elainkan j uga Nenek. Perem puan pikun it u past i m erasa
mendapat saat yang paling menyenangkan sepanjang usianya.
136
" Jangkrik! ” sahut ku dalam hat i. “ Kam u si Tua Bangka t elah m enj adi
kaya dengan cara memperdagangkan Srintil.”
“ Jadi, apakah engkau akan segera kem bali ke m arkas, cucuku wong
bagus?” tanya Sakarya.
“ Lho, j adi engkau t idak akan t inggal kem bali di Dukuh Paruk ini?”
tanya seorang perempuan, entah siapa dia.
“ Ah, it u t ak m ungkin. Rasus sudah m enj adi t ent ara. Kau t ak m elihat
bedil yang tergantung di tiang kayu itu?” ujar perempuan lainnya.
“ Aku harus segera bergabung kem bali dengan Sersan Slam et . Dia
besert a anak- anak buahnya sangat m em but uhkan t enagaku. Wilayah
kecam at an Dawuan belum am an, bukan?” kat aku yang segera
disambut dengan anggukan- anggukan kepala.
Malam t erakhir di Dukuh Paruk aku ham pir gagal m em ej am kan mata
hingga pagi hari. Sepanj ang m alam it u aku m enghadapi ulah seorang
perem puan yang sedang dit unt ut oleh nalurinya. Seorang perem puan
yang ingin kuanggap t anpa sebut an apa pun, baik sebut an ronggeng
at au sebut an perem puan Dukuh Paruk. Srint il hanya ingin disebut
sebagai seorang perem puan ut uh. Dia sungguh- sungguh ingin
m elahirkan anakku dari rahim nya. Dia ingin aku t et ap t inggal
bersam anya di Dukuh Paruk, at au ikut bersam aku, pergi bergabung
dengan kelompok Sersan Slamet.
137
“ Bila kau ingin bert ani, aku m am pu m em beli sat u hekt ar sawah buat
kaukerj akan. Bila kau ingin berdagang, akan kusediakan uang
secukupnya,” pinta Srintil di tengah malam yang amat sepi.
“ Srin, aku belum berfikir sedem ikian j auh. At au aku t akkan pernah
m em ikirkan hal sem acam it u. Lagipula aku m asih t eringat bet ul kat a-
katamu dulu bahwa kau senang menjadi ronggeng,” jawabku.
“ Eh, Rasus. Mengapa kau m enyebut hal- hal yang sudah lalu? Aku
m engaj ukan perm int aanku it u sekarang. Dengar Rasus, aku akan
berhent i m enj adi ronggeng karena aku ingin m enj adi ist ri seorang
tentara; engkaulah orangnya.”
Menj elang faj ar t iba, kudengar burung sikat an m encecet di rum pun
aur di belakang rum ah. Kelet ak- kelet ik bunyi t et es em bun yang j at uh
m enim pa daun kering. Kudengar dengung kum bang t ahi yang t erbang
m enuj u arah asal bau t inj a yang berserakan di pedukuhanku yang
kecil. Rengek bayi t et angga dan keribut an kecil di kandang ayam .
Keret ek t ahi kam bing yang t ercurah ke at as geladak kandangnya. Dan
kelepak sayap kampret di antara daun jambu di samping rumah.
138
Perlahan- lahan aku bangun. Lirih sekali. Aku t idak m enghendaki
terdengar derit pelupuh bambu yang dapat membangunkan Srintil. Dia
m asih lelap karena lelah. Malam it u Srint il t erlalu banyak
m engeluarkan keringat . Sepert i dulu, Srint il bert am bah cant ik dan
teduh bila sedang tidur. Dengan hati- hati kubenahi kainnya yang acak-
acakan. Ket ika Srint il m enggeliat , kuelus dia sepert i aku sedang
m engelus seorang anak kecil. Tidak lam a aku berdiri m enat ap
ronggeng Dukuh Paruk it u. Aku t idak ingin sesuat u yang berbau
sentimental menahan keberangkatanku.
Di dalam bilik lain kulihat Nenek, t idur m iring dan agak m elingkar.
Sinar pelit a kecil m em ungkinkan aku m elihat gerak paru- parunya.
Pelan sekali. Ah, nenekku. Mengapa bukan sej ak dulu aku m encari
gam bar waj ah Em ak pada kerent aanm u? Oh, t idak, t idak. Aku sudah
m endapat pelaj aran. Berusaha m encari gam baran Em ak yang selam a
ini kulakukan hanya m em buahkan hasil keresahan. Kekeliruan
semacam it u t akkan pernah kuulangi. Maka kut at ap garis- garis
kerent aan pada waj ah Nenek secara dam ai. Kem udian ke bawah
bantal kusisipkan semua uang yang ada di sakuku.
Aku berbalik. Tak kulupakan aku sudah m enj adi t ent ara m eski t anpa
pangkat. Jadi watak ragu harus kulenyapkan.
139
ut uh disana ; keram at Ki Secam enggala, kem elarat an, sum pah-
serapah, irama calung dan seorang ronggeng.
Tamat
140