Anda di halaman 1dari 2

Gembala punya cerita

UDANG BAU MAYAT


(Andreas Hutomo)

Sudah dua minggu ini hujan tidak turun di daerah Eromoko dan sekitar waduk Wonogiri.
Namun siang di akhir Nopember itu hujan turun dengan lebatnya begitu acara penahbisan
Pendeta Yehezkiel Prasetya Adi di GKJ Wuryantoro selesai. Banyak orang bilang bahwa
itu menandakan berkah bagi warga GKJ Wuryantoro karena mendapat pendeta baru.
Bus tiga perempat yang membawa rombongan Paguyuban Warga GKJ asal Wonogiri di
Jakarta meninggalkan Eromoko ketika hujan mulai reda, sesudah menghadiri acara
penahbisan itu. Masih terbayang kenangan masa kecil ketika dulu tinggal di daerah itu
yang kadang menimbulkan rasa rindu bercampur trenyuh mengingat masa-masa sulit
waktu itu. Betapa tidak, sekitar tahun 50-60 an kota kecamatan itu memang masih sepi
dan belum banyak kendaraan lalu-lalang kecuali sepeda onthel. Beruntung kota kecil itu
merupakan pertigaan yang dilewati dari arah Wonogiri menuju Pracimantoro dan
Baturetno. Anak-anak sekolah waktu itu boleh berbangga karena kalau ditanya mau
pulang kemana, dengan mantap mereka menjawab ke Eropa atau Prancis. Tentu yang
dimaksud adalah Eromoko dan Praci. Rute itu kalau tidak salah ingat hanya dilayani 2
buah bis yaitu bis Kresno dan bis Dwi Karya, disamping beberapa truck atau prahoto
yang mengangkut hasil bumi, kayu bakar atau batu kapur alias gamping.
Masih ingat betul tanjakan yang bernama Sendang Prampelan dan turunan kreteg Kedung
Areng yang konon masih angker waktu itu sehingga kalau lepas magrib orang mulai
sungkan lewat daerah itu. Kalau toh terpaksa jalan pasti dengan hati kebat-kebit.
Sekarang semua itu nyaris tak berbekas karena adanya pembangunan besar-besaran
untuk membuat waduk Gajah Mungkur di akhir tahun 70-an yang dengan santainya harus
menenggelamkan 6 kecamatan yang dihuni puluhan ribu orang. Ganti rugi yang memang
dirasa benar merugikan itu membuat 10.709 KK penduduk mesti bedhol desa dan hijrah
ke daerah transmigrasi Sitiung-Sumatera Barat, Rimbo Bujang-Jambi dan Bengkulu.
Sementara 12.500 KK lainnya lagi menyingkir ke daerah sekitar waduk atau justru ke
Solo untuk yang tidak bisa bertani. Ide pembangunan waduk itu dimulai ketika terjadi
banjir besar pada tahun 1966 yang nyaris menenggelamkan kota Solo akibat luapan
Bengawan Solo yang hulu dan mata airnya berada di daerah Wonogiri.
Bengawan Solo memang harus dibendung sebagai pengendali banjir, irigasi dan
pembangkit tenaga listrik, itu kata pemerintah. Memang menurut alm Gesang yang
menciptakan lagu Bengawan Solo yang terkenal di Jepang itu kalau musim kemarau tak
seberapa airnya sementara kalau musim hujan airnya meluap sampai jauh. Bendungan
dengan panjang hampir 1,5 km dengan daya tampung air sebanyak 450 juta m3 itu
memang merupakan bendungan terbesar di pulau Jawa.

Ketika bus rombongan melewati waduk itu segera masuk kelokasi wisata, bukan untuk
berdarmawisata tetapi memborong ikan. Rombongan itu tahu betul bahwa harga ikan di
waduk itu sangat murah karena sehari sebelumnya memang sudah mampir disitu bukan
untuk makan siang tapi makan ikan goreng. Maklum harga ikan di Jakarta mahalnya
bukan main sehingga begitu melihat harga ikan yang sangat murah mereka rame-rame
menyerbu. Bahkan ada yang mborong ikan goreng, wader dan udang sampai belasan
kilo untuk oleh-oleh.
Salah seorang anggota rombongan yang gemar makan udang, tidak tanggung-tanggung
langsung memborong udang goreng 5 kilo dengan niatan untuk bisa dinikmati di Jakarta.
Tiba-tiba seorang ibu yang juga anggota rombongan dan kebetulan berasal dari daerah itu
nyeletuk kalau waduk itu dulunya banyak kuburannya. Itu sudah pasti, karena ada 6
kecamatan wilayah yang ditenggelamkan dan bisa dihitung kalau 1 kecamatan saja ada
belasan kuburan maka total yang tergenang waduk bisa seratus kuburan lebih.
Rombongan kembali dengan sukacita karena disamping pulangnya disangoni nasi boks
oleh panitia penahbisan untuk bekal di jalan, masih membawa oleh-oleh mbrengkut
berupa ikan, wader dan udang goreng yang memenuhi bagasi bis.
Sampailah rombongan ini di halaman gereja Nehemia, sebagian membagi oleh-oleh tapi
disamping dibawa pulang ada juga yang langsung dibawa ke kantor untuk dibagi disana.

Alkisah beberapa hari kemudian terdengar cerita tentang sahabat saya yang mborong
udang goreng sampai 5 kilo itu. Niat untuk betul-betul bisa menikmati udang goreng itu
ternyata batal terlaksana. Ketika dia sedang mencicipi udang itu tiba-tiba “gaber-gaber”
karena teringat cerita seorang ibu yang menceritakan banyaknya kuburan yang terendam
waduk itu. Dalam benaknya terbayang udang ini pasti bau mayat karena makan isi
waduk antara lain ya mayat-mayat yang di kuburan itu.
Akhirnya udang goreng yang 5 kilo itu habis dibagi-bagikan ke para tetangganya, dan
tentu saja tidak diceritakan tentang adanya kuburan itu.
Rupanya sahabat saya itu lupa bahwa jenazah yang terakhir dikubur disitu sudah berumur
hampir 40 tahun sehingga sudah kembali menjadi tanah lagi dan tidak mungkin dimakan
udang. Jadi sebenarnya tidak ada udang bau mayat he . . he . .

Anda mungkin juga menyukai