Anda di halaman 1dari 5

Naskah Monolog

BARU KLINTING

Legenda Asal Usul Telaga Ngebel

(Berjalan ke panggung, duduk di kursi, mengambil sebuah buku kemudian membukanya)

Masih melekat di ingatanku. Tubuh kecil bermandikan keringat, merebahkan


punggung di pelataran yang masih beralas tanah, nafas terengah-engah selepas bermain
bentengan. Kerasnya riuh tawaku dan teman-teman membangunkan Mbah Rebo yang sedang
tertidur di atas dipan depan rumahnya. “Sini nduk…le…” begitu Mbah Rebo memanggil
kami, mengundang kami ke rumahnya yang masih bertembok “gedeg”. Dengan senyum
sumringah Mbah Rebo menawari kami minum. Air kendi memang terasa sangat
menyegarkan.

Sambil mengelap keringat, kami menikmati pemandangan telaga ditemani gending


jawa yang dinyanyikan Mbah Rebo. Kemudian Manto, salah seorang teman kami yang
bertubuh gembul seperti -buntelan apem- bertanya kepada Mbah Rebo darimana datangnya
air yang mengisi telaga itu hingga tak pernah habis. Mbah Rebo tersenyum, membuat kerutan
disekitar wajahnya makin nampak jelas. Kemudian mbah Rebo menceritakan sebuah kisah
pada kami asal mula bagaimana telaga itu terbentuk. Ya, sebuah kisah legenda. Kala itu kami
begitu terpukau dengan kisah yang disampaikan simbah.

Sampai saat ini kisah itu masih tersimpan rapi di kotak ingatanku. Apa? Kalian
memintaku menceritakannya? Tentu saja dengan senang hati aku akan menceritakan kisah itu
pada kalian. Kisah itu dimulai dengan sepasang suami istri yaitu Ki Ageng Mangir dan Nyai
Roro Kijang. Ki Ageng Mangir dan istrinya merantau ke Jawa Timur sampai di Daerah
Kabupaten Ngrowo yang akhirnya kini menjadi Tulungagung. Suatu hari ketika Nyai Roro
Kijang hendak makan sirih, dicarinya pisau untuk membelah pinang namun Nyai tidak dapat
menemukannya, akhirnya Nyai Roro Kijang meminta pisau kepada suaminya.

[1]

Pisau Pusaka tersebut diterima Nyai Roro Kijang lalu dipergunakannya untuk membelah
pinang, sambil makan sirih ia duduk – duduk, dengan enak ia menikmanati rasa daun sirih
dan pinangnya. Namun Nyai Roro Kijang terlena dan lupa akan pesan suaminya. Pisau
Pusaka itu ditaruh diatas pangkuannya, tetapi apa yang terjadi? ia amat terkejut dan heran
karena pisau pusaka diatas pangkuannya seketika itu musnah.

[2]

NyaiRoro Kijang menerima segala kesalahan yang dilimpahkan kepadanya dan dengan rasa
sedih hati ia melaksanakan perintah suaminya untuk bertapa di tengah Rawa sedang Ki
Ageng Mangir lalu kembali bertapa di kaki Gunung Wilis sebelah barat. Dalam
pertapaannya, kian hari perut Nyai Roro Kijang makin bertambah besar seperti orang
bunting. Setelah 9 bulan berlalu, benar saja, ia melahirkan seorang anak. Namun alangkah
terkejutnya, mengetahui anak yang dilahirkannya bukanlah anak manusia. Melainkan anak
ular yang memiliki mahkota dan bersisik emas.

[3]

Bayi Ular semakin besar hingga tempayan yang ditempatinya lama kelamaan makin sesak.
Akhirnya pecahlah tempayan itu. Sang ular yang telah tumbuh dewasa kebingungan mencari
kedua orangtuanya. Ia menjalar kesana kemari sambil menggerak – gerakan kepalanya
sehingga kelenting dilehemya berbunyi : kelinting – kelinting. Dan sisik emasnya akan
semakin terang serta bercahaya gemerlap ketika sinar matahari menyentuh kulitnya. Setelah
pencariannya yang jauh dan melelahkan, sang ular bertemu dengan seorang wanita tua yang
sedang bertapa di tengah hutan. Mata wanita tua itu berkaca-kaca ketika melihat sang ular.
Ya. Ia adalah Nyai Roro Kijang, ibu kandungnya.

[4]

Atas pesan dan saran ibunya, Baru Klinting mencari ayahnya yang sedang bertapa digunung
Wilis. Ki Ageng Mangir yang telah bertahun-tahun bertapa di Gunung Wilis berubah nama
menjadi Ajar Solokantoro. Sebagai seorang pertapa yang telah tinggi ilmunya, Ajar
Solokantoro tahu siapa ular yang ada dihadapannya dan rentetan peristiwa yang terjadi
setelah Pisau Pusaka miliknya musnah.

[5]

Baru Klinting menyanggupi dan melaksanakan perintah sang ayah. Dengan ridho Tuhan
Yang Maha Kuasa Baru Klinting dapat melingkari kaki Gunung Wilis. Baru Klinting
mencoba menyatukan ekor dan kepalanya tetapi gagal. Atas ijin sang ayah Baru Klinting
menjulurkan lidahnya sampai ke ujung ekor, dengan begitu sempurnalah ia untuk melingkari
kaki Gunung Wilis. Namun tiba-tiba sang ayah mengeluarkan pisau. Dipotonglah hingga
putus salah satu lidah Baru Klinting, sedangkan lidahnya yang sebelah masih menyambung
dengan ekornya. Baru Klinting kesakitan, marahlah ia lalu menganga lebar akan menelan
sang ayah.

[6]

Baru klinting menelan lidahnya kemudian lidah tersebut dikeluarkan melalui telinga. Tetapi
bukannya lidah yang keluar, melainkan sebuah Tombak Pusaka yang kelak sangat bermanfaat
untuk Baru Klinting.

[7]

Atas petunjuk Sang Ayah maka Baru Klinting meneruskan bertapa sampai berpuluh tahun
didalam hutan. Lama-kelamaan badannya tertimbun oleh tumbuhan dan tanah, terpendam dan
nampak seperti batang kayu.

Tiga ratus tahun berlalu, ada sebuah desa dilereng Gunung Wilis yang akan mengadakan
kegiatan bersih desa. Kepala desa meminta tolong kepada warganya agar memburu hewan
dihutan untuk jamuan.

[8]

Dari pagi hingga siang tidak ada satupun hewan yang bisa ditangkap. Semua mulai merasa
kelelahan. Akhirnya para warga beristirahat sambil menunggu jika ada hewan yang melintas.
Salah satu warga menancapkan kapaknya pada pohon besar yang roboh.

[9]

Dengan bersuka cita semua warga pulang ke desa. Kegiatan bersih desaberjalan lancar,
semua warga berkumpul dan menikmati makanan yang lezat. Orang dewasa berkumpul
dipendopo sambal bercengkrama, sedangkan anak-anak bermain di halaman berlarian kesana
kemari. Sewaktu anak-anak bermain, datanglah seorang anak dengan pakaian compang-
camping dan ada banyak luka di badannya.

[10]

Melihat kejadian tersebut, ada seorang nenek tua bernama Nyai Latung yang merasa iba. Dia
lantas memberikan anak itu makanan. Dengan senang anak itu melahap makanannya.

[11]
Selesai makan, seketika itu tubuh si anak menjadi sehat kembali, luka-luka ditubuhnya pun
hilang, ia menjadi “cah bagus” layaknya anak-anak desa disana.

[12]

Anak itu pergi ke pendopo dimana semua warga desa berkumpul. Ia menuju ke tengah-tengah
anak yang sedang bermain dan menancapkan sebatang lidi ke tanah.

[13]

Banyak warga yang mencoba mencabut lidi itu, namun tetap saja gagal. Setelah semua warga
menyerah, anak itu yang tak lain adalah Bru Klinting mencabut lidi yang menancap dengan
mudah. Dari bekas tertancapnya, keluar sumber air yang deras. Sampai menenggelamkan
halaman pendopo.

[14]

Karena derasnya air, pemukiman, persawahan, dan semua warga tenggelam. Semua mati dan
terapung-apung. Desa yang baru saja berpesta ria kini telah menjadi sebuah danau yang
selanjutnya dinamakan “Telaga Ngebel”.

Hanya dua orang yang selamat yaitu Nyai Latung dan Baru Klinting yang sebelumnya sudah
mempersiapkan lesung sebagai perahu dan centong nasi sebagai dayungnya. Mereka terus
mendayung, mendarat ke tepi danau. Nyai Latung memulai hidup baru disana sedangkan
Baru Klinting pergi ke gunung-gunung mencari tempat kedua orangtuanya bertapa. Baru
Klinting menghadap sang ayah sambil menyampaikan bahwa perintah Ayahnya telah
dilaksanakan dengan baik.

[15]

Joko Baru pergi kearah timur Gunung Wilis. Setelah berjalan berhari-hari sampailah ia di
tanah Ngrowo dan bertemu dengan sang ibu yang menerimanya dengan senang hati. Joko
Baru dan ibunya Nyai Roro Kijang memulai hidup baru bersama. Dan pusaka Baru Kuping
menjadi Pusaka Wasiat Kabupaten Bonorowo yang pindah ke utara menjadi Kabupaten
Tulungagung.

Sungguh membosankan bukan mendengar kisah ini dariku. Ya. Aku memang tidak begitu
baik dalam bercerita, apalagi sehebat Mbah Rebo. Ia selalu bisa membuat kami terhanyut
dalam setiap tutur katanya. Dan memperindahnya dengan gending jawa yang membuat kami
mabuk dan terhipnotis hingga lupa bahwa matahari telah melambai pada kami, mengajak
kami untuk segera pulang. Pesona dan karisma mbah Rebo akan selalu menjadi ingatan
istimewa bagi kami, anak-anak yang tumbuh bersama kisah legenda dan gending jawanya.

Anda mungkin juga menyukai