Anda di halaman 1dari 3

Sepur Lempung Ambarawa

Belum lama ini saya menghadiri reuni teman-teman SMP Negeri I Semarang lulusan 1964-1965-1966.
Memang, kami agak hiperaktif kalau soal reuni. Sekalipun sudah disepakati untuk reuni-an setiap tiga tahun,
tetap saja kami menyelenggarakan reuni setiap tahun. Belum terhitung arisan tetap yang membuat kami selalu
berkumpul setiap dua bulan sambil MEOK (Makan Enak Omong Kosong).

Memang, semakin tambah usia, rasanya kami semakin ingin mempunyai hubungan kekerabatan yang akrab.
Apalagi karena satu per satu di antara kami sudah bergiliran menghadap Al Khalik. Kami juga memakai wadah
ini untuk menolong teman-teman maupun guru yang perlu disantuni.

Setidaknya, reuni tiga tahunan masih dirayakan sebagai peristiwa yang lebih istimewa. Demikianlah kami
menyelenggarakan reuni di Bandungan, dekat Ambarawa, beberapa bulan yang silam. Bandungan adalah resor
wisata dataran tinggi, dekat situs Gedong Songo yang layak dikunjungi. Hampir dua ratus teman berhasil kami
kumpulkan kembali. Kami juga beruntung bahwa pada reuni itu kami masih dapat bertemu muka dengan
delapan mantan guru kami.

Seperti biasa pula, reuni besar kami selalu berlangsung lebih dari 24 jam – dengan merangkai berbagai acara
yang seronok. Maklum, sebagian dari kami memang sudah menjadi pensiunan yang kurang kerjaan. Tentu saja
kami harus menginap bersama pula di Bandungan itu. Acara ditutup dengan naik kereta api bersama, dari
Ambarawa ke Bedono, kembali lagi ke Ambarawa.

Ini memang bukan sembarang kereta api. Orang Jawa sering mengatakan “jaman sepur lempung” (zaman ketika
kereta api masih terbuat dari tanah liat) sebagai referensi untuk menyebut tempo doeloe. Kereta api yang kami
naiki adalah kereta dari zaman baheula. Lokomotifnya dibuat pada tahun 1902 di pabrik Emil Kessler, Jerman.
PT KAI (Kereta Api Indonesia) tampaknya sengaja menghidupkan kembali layanan kereta tua ini untuk
memenuhi luapan permintaan para railway afficionados.

Bukan hanya lokomotifnya yang antik. Rutenya juga unik. Lintasan Ambarawa-Bedono sepanjang 9,8 kilometer
ini merupakan jalur menanjak, sehingga relnya memakai gigi di tengahnya agar dapat menggigit roda gigi yang
khusus dipasang di badan bawah kereta untuk perjalanan mendaki dan menurun. Kereta dengan rangkaian dua
gerbong tua ini boleh dicarter dengan sewa sekitar Rp 2,3 juta untuk perjalanan Ambarawa-Bedono-Ambarawa.
Kabarnya, ada rencana untuk memperpanjang lintasan ini sampai ke Losari, karena di sana ada sebuah fasilitas
wisata unik yang dikembangkan oleh Gabriella, seorang perempuan Italia. Selain untuk perjalanan carter, pada
akhir pekan kereta khusus ini juga melayani penumpang individual secara terjadwal.

Kami berangkat dari stasiun lama Ambarawa yang masih terawat bagus. Beberapa penjual makanan dan suvenir
menjajakan dagangannya di sana. Wah, kami juga mendapat hidangan untuk perjalanan istimewa itu, yaitu dua
talam bambu berisi kacang rebus, ubi rebus, dan jagung rebus.

Lokomotif tua ini memakai tenaga uap dari 3000 liter air dalam tangki yang dipanaskan dengan kayu bakar.
Untuk perjalanan pergi-pulang menempuh jarak pendek itu, dihabiskan 2,8 ton kayu bakar. Karena itu, di masa
lalu kita mengenal dua jabatan penting di perusahaan kereta api, yaitu machinist (masinis) dan stoker (tukang
memasukkan kayu bakar ke tungku).

Tentu saja PT KAI harus sungguh-sungguh merawat lokomotif tua ini. Bayangkan, tangki tua itu harus tetap fit
untuk menahan tekanan uap hingga 12 atmosfir. Sang masinis tidak pernah lengah memantau tekanan uap
melalui manometer air. Terasa sekali kerentaan lokomotif itu ketika ia terengah-engah mendaki dalam kecepatan
rendah. Untungnya kami tidak sedang terburu-buru, dan justru sebetulnya ingin perjalanan pendek itu
berlangsung lebih lama.
Di stasiun Jambu, 474 meter di atas permukaan laut, kurang lebih di tengah perjalanan antara Ambarawa-
Bedono, kami berhenti untuk menukar posisi lokomotif. Bila semula lokomotifnya berada di depan menarik
rangkaian dua gerbong, kini lokomotif diposisikan di belakang untuk mendorong gerbong. Dengan posisi inilah
kereta terus melaju mencapai Bedono, 711 meter di atas permukaan laut.

Bedono adalah sebuah desa yang cukup terkenal di lintasan jalan darat Semarang-Magelang. Di desa ini
terdapat sebuah cafe yang sudah berdiri sejak akhir tahun 1950-an, dan menjadi tempat perhentian yang
populer. Cafe ini dioperasikan oleh pemilik kebun kopi yang memasarkan produknya dengan merek “Kopi
Eva”. Sayangnya, “Kopi Eva” tenggelam popularitasnya oleh berbagai merek kopi baru. Berbeda sekali dengan
“Kopi Aroma” di Banceuy, Bandung, yang berhasil mempertahankan tradisi koffiebranderij tempo doeloe dan
menikmati nilai tambah.

Selain sirup kopinya yang unik, warung kopi “Eva“ ini terkenal dengan gudeg manggar yang khas. Manggar
adalah kuncup bunga kelapa (heart of palm) yang memang mempunyai rasa manis dan gurih. “Eva Coffee
House” juga menyediakan kamar-kamar untuk menginap dan ruang konferensi bagi mereka yang ingin
menikmati suasana di tengah kebun kopi.

Pada jalur berikutnya, di lintasan Magelang-Yogyakarta juga ada sebuah warung gudeg yang tak boleh
dilewatkan. Nama kedainya “Gudeg Mbok Jayus”, di Muntilan – kota kelahiran almarhum Romo
Mangunwijaya. Hati-hati, banyak pihak yang ingin memanfaatkan popularitas Mbok Jayus, dan mengaku-aku
sebagai cabang. Mbok Jayus teguh tidak membuka cabang di mana pun. Kedainya terletak di dekat kuburan di
Jalan KH Dalhar, belok kiri dari Jalan Pemuda bila datang dari arah Yogyakarta.

Mbok Jayus sendiri sudah lama meninggal. Usahanya kini diteruskan oleh dua orang buyutnya. Salah satunya,
Mbak Kus, adalah seorang sarjana ekonomi, tetapi memilih untuk menekuni tradisi kuliner yang dimulai oleh
nenek buyutnya. Gudegnya adalah gudeg versi basah yang sangat khas. Bukan hanya nangka muda, tetapi
dicampur dengan kubis criwis (kol hijau). (Catatan: di Semarang gudegnya dicampur dengan daun singkong).

Lauk yang tak boleh dilewatkan di sini adalah ayam opornya yang sangat lekoh bumbunya, serta tahu dan tempe
bacem yang tidak digoreng. Jangan kesiangan datang! Warung ini sudah buka sejak subuh. Lewat pukul sepuluh
pagi mungkin Anda sudah tidak kebagian ayam yang legit itu. Maklum, stock terbatas. Sebuah filosofi dagang
Jawa yang kelihatannya tak juga berhasil ditembus oleh seorang pelaku bisnis yang memperoleh pendidikan
formal di bidang ekonomi seperti Mbak Kus.

Kota kecil Muntilan juga menyimpan pusaka kuliner lainnya, yaitu pecel wader yang sangat dikenal oleh para
motoris yang sering melintasi jalur ini. Letaknya di dekat Pesantren Pabelan yang legendaris, persis sebelum
jembatan memasuki Kota Muntilan, belok kiri sedikit. Gerainya bernama “Warung Makan Purnama”.

Sayur-mayur pecelnya terdiri atas sawi putih, kol, buncis muda, dan tauge – semuanya direbus sebentar.
Disiram dengan sambel kacang kasar yang mirip sambal pecel Madiun. Kemudian ditaburi dengan ikan wader
goreng – yaitu ikan sungai yang kecil-kecil, agak mirip ikan mas balita yang kini sedang populer.

Ketika singgah makan di sana, saya ditawari lauk istimewa berupa telur ikan mas yang digoreng dengan salut
telur. Lauk lain yang disukai orang di warung ini adalah mangut ikan lele dan mangut ikan bawal. Memang
suedep dep dep dep!

Di meja tersaji begitu banyak lauk dan jajanan yang menggoda. Ada tempe kemul (tempe goreng tepung),
rempeyek kacang, tempe dan tahu bacem, berbagai krupuk, dan trasikan. Kalau tidak dapat menahan diri,
tangan selalu ingin menjangkau berbagai sajian itu.

Nah, lain kali bila Anda berkendara di lintasan ini, Anda tidak perlu bete bila jalanan macet. Banyak tempat
singgah yang menyenangkan, murah dan meriah.

Anda mungkin juga menyukai