Anda di halaman 1dari 5

Menggali Referensi Cerita di Candi Sojiwan

Sebuah artikel
1
di Kompas.com pernah membahas mengenai manfaat dongeng bagi anak-anak, di
antaranya: mengembangkan imajinasi anak, meningkatkan keterampilan berbahasa, meningkatkan
minat baca anak, membangun kecerdasan emosional, dan membentuk anak yang mampu
berempati.
Dari keterangan Efnie Indrianie, seorang psikolog anak dalam artikel di atas, terlihat bahwa
membacakan dongeng relatif berpengaruh pada proses tumbuh-kembangnya seorang anak
hingga ia dewasa melalui kekuatan cerita yang didengar semasa kecil.
Lalu, kira-kira apa syarat minimal agar proses mendongeng atau bercerita bisa terlaksana? Selain
ada pendongeng atau pencerita dan orang yang mendengarkan cerita, adanya referensi cerita yang
akan disampaikan menjadi syarat utama yang harus dipenuhi.
Sebagai bangsa yang katanya didominasi oleh budaya tutur, alangkah beruntungnya kita karena
referensi cerita di negeri ini sangatlah kaya. Cerita seorang tokoh atau suatu kejadian, kisah
sejarah, atau dalam ranah budaya yang lebih luas, diwariskan kepada generasi berikutnya melalui
lisan, lewat cerita.
Budaya tulisan pada masa lalu Indonesia tidak sebanyak peradaban-peradaban besar yang lebih
tua seperti di Mesir, China, dan beberapa negara lainnya. Namun, ada beberapa bukti bahwa
budaya kita juga tak kalah menarik ketika ditelusuri, dan ternyata merupakan irisan dari budaya
tulisan dan budaya lisan.

1
http://female.kompas.com/read/2012/05/15/14183692/Manfaat.Dongeng.untuk.Anak
Salah satu bukti tersebut terlihat di Candi Sojiwan, candi yang terletak di Desa Kebondalem
kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten yang letaknya hanya 6,1 km dari Candi
Prambanan dan 7,6 km dari Candi Ratu Boko.

Pada candi Budha yang kemungkinan dibangun antara 842 dan 850 Masehi ini dapat dijumpai
cerita-cerita yang menitipkan pesan moral dan sisi edukasi yang menarik untuk dijadikan bahan
saat berinteraksi dengan anak-anak.
Cerita yang di jaman sekarang diasosiasikan dengan fabel yang terpahat dalam relief Candi
Sojiwan juga bisa dijadikan salah satu referensi dongeng anak-anak. Karena selain mengandung
ajaran budi pekerti, juga dibumbui sejarah, strategi, dan dibalut toleransi, yang cenderung masih
relevan untuk diceritakan kembali di jaman serba teknologis seperti sekarang.
Ada beberapa relief yang sudah bisa diterjemahkan di candi yang ditemukan kembali oleh anak
buah Raffles yang bernama Kolonel Colin Mackenzie pada 1813 ini, salah satunya adalah relief
yang melukiskan cerita seekor kera yang menyiasati seekor buaya sehingga dapat
menyeberangi sungai.
Dari salah satu sumber
2
mengungkapkan bahwa cerita kera dan buaya ini merupakan cerita
jataka. Pada jataka bahasa Pali nomor 208, cerita ini disebut sebagai umumra jtaka, kurang
lebih kisahnya adalah sebagai berikut:
Alkisah sang Bodhisattwa lahir sebagai raja kera dan hidup pada tepi sungai Gangga.
Seekor buaya betina melihatnya dan ingin memakan jantungnya. Maka untuk

2
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Sojiwan
menangkapnya, yang jantan ingin menyiasatinya dengan menawari Sang Kera naik di
punggungnya untuk menyeberangi sungai Gangga di mana ia dapat menemukan banyak
buah-buahan yang sedap. Si kera menerima tawarannya. Saat sampai di tengah sungai Si
buaya mengaku bahwa ia telah menipu Si kera. Lalu Si kera bersiasat untuk
menyelamatkan dirinya. Ia mengatakan bahwa jantungnya telah digantungkan pada
sebuah pohon. Kemudian ia bisa mengambilkannya kalau si buaya mengantarkannya ke
tepi sungai.

Kemudian relief yang paling populer di Candi Sojiwan yang menggambarkan cerita tentang angsa
dan kura-kura:
Konon, hiduplah sepasang kura-kura (Durbudi dan Kacapa) dan sepasang angsa (Cakrangga dan
Cakranggi) di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai, tunjungnya beranekawarna; putih,
merah dan biru.
Saat hampir tiba musim kemarau, air di Kumudawati semakin mengering. Kedua angsa lalu
berpamitan kepada kawan mereka, sepasang kura-kura. Kawan, kami meminta diri pergi dari sini,
sebab air di danau semakin mengering, apalagi menjelang kemarau. Kami tidak kuasa hidup jauh dari
air. Maka kami ingin terbang dari sini, mengungsi ke Danau Manasasana yang airnya bening dan
dalam di pegunungan Himawan. Di sana tidak mengering walau sedang kemarau. Di sanalah tujuan
kami kawan. Begitulah kata si angsa.
Maka si kura-kurapun menjawab, Sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda
akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri. Bukankah keadaannya sama antara
kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka
dan duka. Inilah hasil persahabatan kami dengan kalian.

Angsa kembali menjawab, Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pagutlah tengah-
tengahnya, kami akan memagut kedua ujungnya dengan istriku. Kami akan kuat membawamu
terbang, tapi janganlah longgar anda memagut, dan jangan berbicara selama terbang. Segala yang kita
alami selama kami menerbangkan anda nanti, hendaknya jangan anda tegur juga. Jika ada yang
bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan, taati kata-kata kami. Apabila anda
tidak mematuhi petunjuk kami, anda tak akan berhasil sampai ke tempat tujuan, dan akan berakhir
mati.
Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, kedua ujung kayu dipagut oleh sepasang
angsa. Mereka segera terbang mengembara ke telaga Manasasara.
Mereka telah terbang jauh. Lalu sampailah di atas ladang Wilanggala. Sepasang anjing (Nohan dan
Babyan) bernaung di bawah pohon mangga di ladang tersebut. Saat si Babyan mendongak, melihat si
angsa terbang bersama kura-kura, dia berujar Wahai bapak anakku, lihatlah di atas itu, ada hal
yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh sepasang angsa!
Kemudian si Nohan menjawab: Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-kura yang
dibawa terbang oleh angsa? Itu bukan kura-kura, tetapi kotoran kerbau kering! Oleh-oleh untuk anak
angsa! begitulah kata si anjing jantan.
Kura-kura mendengar kata-kata anjing itu, marahlah batinnya. Bergetarlah mulutnya karena
dianggap kotoran kerbau kering. Maka mengangalah mulut si kura-kura, sehingga terlepas dari kayu
yang dipagutnya. Kura-kura jatuh ke tanah. Akhirnya dimakan oleh serigala jantan dan betina.
Sepasang angsa tertegun dan malu karena nasihatnya tidak dipatuhi. Lalu mereka melanjutkan
perjalanan melayang ke Danau Manasasara.
Selain relief kera dan buaya serta angsa dan kura-kura, setidaknya ada 10 relief-fabel lainnya yang
ada di Candi Sojiwan; relief dua pria yang berkelahi, garuda dan kura-kura, tikus dan ular, serigala
dan wanita serong, raja dan putri patih, gajah dan kambing, manusia singa, serigala dan banteng,
kinnara, singa dan banteng.

Menurut saya sangat menarik jika cerita-cerita di Candi Sojiwandan cerita lokal lainnya
disajikan ke anak-anak sebagai referensi pilihan di tengah tumpukan cerita putri salju, Adventure
of Tintin, Tarzan, dan referensi cerita lainnya.
Kemudian dari sisi sejarah yang melatarbelakangi candi ini juga masih pantas untuk
dikomunikasikan. Yaitu cerita yang terekam dalam Prasasti Rukam yang berangka tahun 829 Saka
(907 M), yang menyebutkan mengenai upacara peresmian perbaikan Desa Rukam oleh Nini Haji
Rakryan Sanjiwana, sebelumnya desa ini hancur akibat letusan gunung berapi. Sebagai
balasannya, warga Desa Rukam diberi kewajiban menjaga dan memelihara bangunan suci yang
terletak di Limwung. Bangunan suci ini kemudian dikaitkan dengan Candi Sojiwan, sementara
tokoh pelindung yang disebutkan dalam prasasti ini: Nini Haji Rakryan Sanjiwana, disamakan
dengan Ratu Pramodhawardhani. Candi dinamai berdasarkan Ratu ini, dan dipercaya
dipersembahkan untuknya sebagai candi pedharmaan.
Saat saya berkunjung ke Candi Sojiwan beberapa waktu yang lalu, kondisinya masih relatif sepi.
Sangat tepat jika agenda liburan anda diisi dengan berkunjung ke candi yang di depannya masih
dipenuhi perkebunan tebu ini. Kompleks Candi yang rindang, rerumputan yang hijau dan tempat
duduk yang langsung menghadap ke candi membuat kita nyaman berlama-lama menggali nilai-
nilai luhur budaya bangsa di candi yang baru selesai dipugar 2011 yang lalu ini.

Anda mungkin juga menyukai