Anda di halaman 1dari 6

KISAH CINTA LĚMBANG SANGIANG

Cerita rakyat kampung Bentung


Disusun oleh : Alffian W.P. Walukow, S.Pd, M.Pd
Tahun : 2016

Tersebutlah dimasa silam sebuah bukit bernama Bowongsoļo yang dipenuhi dengan
pepohonan besar. Ditempat tersebut hiduplah seorang lelaki yang diyakini sebagai “upung
marange” (leluhur tua). Bukti sejarah keberadaan “upung marange” adalah sebuah kubur tua,
yang diyakini oleh penduduk kampung Bentung sebagai makam Gumansalangi.

Makam “Upung Marange” yang diyakini sebagai makam Gumanalangi.


Ukuran makam : 600 x 200 cm

Konstruksi awal dari makam tersebut terdiri dari susunan batu sungai yang licin (dalam
bahasa Sangihě disebut batu Lěnggihě). Desain seperti ini merupakan desain makam para Raja
dan Pemberani di era sebelum masuknya bangsa Eropa.
Bagian inti yang membedakan makam tersebut dengan makam lain yang se-zaman
dengannya adalah memiliki empat buah tiang batu, memiliki batu Pahesa atau Pahesě. (Kata lain
dari Pahesě adala Gati yang berarti wajah). Batu tersebut di pancang ditanah sebanyak dua
buah batu, bertepatan sejajar di atas kepala jenasah dan sejajar dengan pusar. Cara penguburan
seperti ini adalah cara yang sama dengan penguburan Muslim dimasa lalu di beberapa tempat
di pulau Sangihě.
Di masa kedatangan Bangsa Spanyol dan Portugis, makam ini direnovasi dengan
meletakkan batu karang jenis “himang manippi” di atas makam. Pada bagian kepala kubur,
dibangun susunan batu berbentuk menyerupai pyramid. Makam tersebut berkiblat ke Utara.

Susunan Batu berbentuk menyerupai pyramid di kepala makam

Penduduk Běntung meyakini bedasarkan cerita temurun, bahwa batu yang ada di makam
tersebut semuanya berjumlah enam buah, dua diantaranya ada di dekat lapangan Manganitu.
Batu-batu tersebut diambil dari Makalěkuhě, Tamako.

Batu yang serupa dengan batu di makam “Upung Marange” terdapat juga di Manganitu.
Sumber Foto : Alffian Walukow

Salah satu keturunan dari “ Upung Marange” adalah “Menekenusa”. Tua-tua kampung
Bentung juga meyakini bahwa Menekenusa adalah salah satu anak dari Gumansalangi yang
terbuang dari saudaranya Melintangnusa dan Melikûnusa. Manekenusa kemudian mendirikan
kerajaan yang berpusat di Bowongsoļo di kisaran tahun 1350, tetapi keberadaan kerajaan tersebut
masih merupakan misteri yang belum terungkap.
Manekenusa kemudian mempersunting seorang gadis bangsawan bernama
Hiwungsangiang. Hiwung dari kata Hiwu yang berati beribu dan Sangiang berarti Putri.
Hiwungsangiang diartikan sebagai “Putri yang amat tinggi.
Dari perkawinan tersebut memperanakkan empat orang anak yaitu :
- Kasiling Lěnganeng (kasili = Pangeran, Lenganeng = simpang
jalan )
- Pantung Biaļa (Pantung = kotor, hina – Biaļa =
penonton atau orang banyak)
- Maněndâ Bukidě (Manenda dari kata “těndâ yang berarti
pagar, Bukidě artinya Gunung = Penjaga
Gunung)
- Lěmbangsangiang. ( Lěmbang artinya “seperti tali yang
berputar”. Lembangsangiang memiliki
pengertian “putri yang panjang sabar”)
Empat orang anak inilah yang membentuk ”Klan” baru di Tabukan Selatan. Klan adalah
: kelompok orang yang disatukan oleh kekerabatan dan keturunan yang sebenarnya atau yang
dirasakan bersama. Meskipun detail garis keturunan mereka tidak diketahui, anggota klan dapat
diatur berdasarkan keturunan anggota yang mendirikan klan. Klan dapat sangat mudah
dijelaskan sebagai suku atau bagian dari suku. Kata klan diturunkan dari kata ‘clann’ yang
berarti ‘keluarga’ dalam bahasa irlandia. Kata tersebut digunakan dalam istilah inggris sekitar
tahun 1425 untuk melabeli asal kesukuan dari masyarakat irlandia dan scottish gaelic.
Cerita Lěmbang Sangiang telah diceritakan secara turun temurun di Kampung Bentung.
Cerita ini juga yang mewarnai awal perjalanan sejarah berdirinya Kampung Bentung.
Lěmbangsangiang adalah seorang putri cantik yang memiliki rambut panjang. Karena
rambutnya yang panjang , setiap hari Lěmbangsangiang harus mencuci rambutnya di sumur.
Menjelang dewasa, Lěmbangsangiang jatuh cinta kepada seorang Pangeran dari
Kesultanan Ternate, (masa yang sama saat Sultan Komala Pulu Memerintah di Kesultanan
Ternate 1377-1432).
Hubungan asmara mereka berdua tidak diketahui oleh tiga orang kakaknya. Untuk tetap
bisa bertemu dengan Lěmbang sangiang, sang pangeran menjelmahkan dirinya menjadi seekor
penyu berwarna keemasan (dalam bahasa sangihě disebut “puikang bomboļe”) sebagai pengobat
rindu. Penyu tersebut dipelihara disebuah wadah menyerupai lama maluku (piring maluku) yang
berisi air.
Ilustrasi penyu emas
Sumber : Indonesia alibaba.com

Saat sang putri merasa rindu, berubahlah wujud penyu menjadi Pangeran. Keadaan itu
berlanjut terus sampai perasaan cinta mereka sudah semakin dalam dan tak mungkin terpisahkan
lagi. Setiap hari Lěmbangsangiang selalu memandangi penyu itu sambil bermain-main
dengannya. Suatu saat merasa rindulah Lěmbangsangiang, dengan sekejap berubahlah wujud
penyu menjadi Pangeran.
Pada suatu hari, saat Lěmbangsangiang tidak ada dirumah saudarnya melihat seekor
penyu, merekapun menyembelih penyu tersebut lalu memakannya. Tanpa mereka ketahui
bahwa penyu tersebut adalah jelmaan sang Pangeran, kekasih Lembangsangiang.
Menjelang malam, sampailah Lěmbangsangiang di rumah. Karena capek,
Lěmbangsangiang langsung menuju kamar, lalu tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi, Pangeran
datang menemuinya dan berkata, “ Penyu jelmaanku telah disembelih oleh kakak-kakakmu, tapi
kamu jangan bersedih hati karna aku akan berubah wujud menjadi ular kecil putih. (dalam
bahasa sangihě disebut hamaghaěng uhisě) dan aku menunggu kamu di sumur. Tetapi ada satu
syarat, kata Pangeran. “ Jika suatu saat kamu datang di sumur dan melihat seekor ular,
janganlah di ganggu apalagi disentuh,”. Lěmbangsangiang kembali bertanya, “kenapa tidak
boleh disentuh?”. Pangeran menjawab “ kalau disentuh atau diganggu kamu akan dipatuk,
kalau luka patukan itu berdarah maka kamu akan mati.
Keesokan harinya beranjaklah Lěmbangsangiang dari tempat tidur ke dapur.
Diambilnyalah alat cukur kelapa lalu mulai mencukur kelapa. Hasil cukuran kelapa tersebut
akan digunakan untuk mencuci rambutnya yang panjang.
Lěmbangsangiang bergegas menuju sumur, setibanya di sumur langsung mencuci rambut dengan
kelapa (cuci rambut dengan kelapa kukur dalam bahasa sangihě disebut mě luwi). Setelah selesai
mencuci rambut, dilihatnya seekor ular kecil berwarna putih. Tidak ada rasa takut saat melihat
ular tersebut, karena sudah diketahuinya bahwa pangeran akan menjelmah menjdai seekor ular
dan menunggu di sumur.
Dalam keadaan hati yang sedih, tanpa berpikir panjang, disentuhnyalah ular tersebut
dengan kaki. Ularpun langsung mematuk jari kaki Lěmbangsangiang sampai kemudian berdarah.
Beberapa saat kemudian, Lěmbangsangiang pulang ke rumah lalu bersolek mempercantik diri,
menggunakan baju dan perhiasan yang indah. Setelah selesai mempercantik diri berbaringlah
Lěmbangsangiang di tempat tidur.
Malam semakin larut, Lěmbangsangiang belum juga bangun dari tempat tidurnya. Kakak
– kakak mulai risau, lalu menengok adiknya dikamar. Mereka berulangkali membangunkannya,
tetapi Lěmbangsangiang tidak bangun juga. Ternyata adik mereka telah menghembuskan nafas
dalam tidur yang indah.
Untuk mengabadikan cinta Lěmbangsangiang yang tulus, sang pangeran membuatkan
sebuah sumur baru berbentuk bulan sabit sebagai tanda cintanya kepada Lěmbangsangiang.

Sumur Lěmbangsangiang atau Sumur Bulan Sabit


(Akę u Buļang Sěmběka)
Sumber foto : Alffian Walukow

Sumur tersebut kemudian dinamakan Sumur Lěmbangsangiang dengan nama lain air
bulan sabit atau dalam bahasa Sangihě disebut ake u bulang sěmbeka. Sejak kepergian sang
pangeran ke Istananya di kesultanan Ternate, sumur itupun kering tak berair lagi.
Seterusnya, penduduk kampung Běntung merasa perlu mengeluarkan kembali air tersebut,
seperti yang dilakukan Lěmbangsangiang dimasa lalu. Tetapi untuk mengeluarkan air tersebut
harus melalui beberapa syarat yaitu :
- Dibacakan sebait doa yang sudah diajarkan sejak masa lalu. Pada awalnya, doa yang
digunakan adalah doa berbahasa Arab. Saat ini hanya menggunakan sebai doa
berbahasa Sangihe. Doa tersebut adalah …………
- Memasukkan koin bergambar “ratu willhelmina atau koin lain yang bergambar
perempuan.
- Memasukkan cincin emas.
- Memercikan minyak wangi
- Menunggu sampai airnya keluar
- Setelah selesai menggunakan, air dikunci lagi dengan doa.
Dimasa selanjutnya, sumur Lěmbangsangiang dijaga dan dirawat oleh kerabatnya.
Berdasarkan amanah, sumur itu harus dijaga oleh kaum perempuan. Dipilihlah dua orang
perempuan keturunan Kasili Lěnganeng kakak tertua Lěmbangsangiang untuk menjaga sumur
tersebut. Mereka adalah dua orang perempuan keturunan dari Nonta bernama Aminah dan
Rongkong. Mereka adalah keturunan dari Kasili Lěnganeng. Sejak masa lalu sampai saat ini,
sumur tersebut tidak pernah berisi air, kecuali diwaktu hujan terdapat air hujan. Air dari sumur
itu hanya bisa keluar atas isin Lěmbangsangiang. Dimasa-masa selanjutnya hanya Aminah
dan Rongkong lah yang bisa mengeluarkan air dari sumur dengan sebuah doa yang sudah
diajarkan sejak masa lalu. Beberapa penduduk Bentung meyakini bahwa air tersebut sangat
berkasiat untuk digunakan dalam kehidupan manusia.

Anda mungkin juga menyukai