Anda di halaman 1dari 18

Batu Tamin

Dahulu kala di sebuah kampung yang tenang dan damai hiduplah seorang lelaki
tua bernama Manjawari. Lelaki tua ini dikenal oleh penduduk setempat karena ia
seorang yang rajin, kreatif dan gigih bekerja setiap hari. Tidak pernah sekalipun
ia mensia-siiakan waktu untuk berleha-leha meski usianya tidak muda lagi.
Setiap hari manjawari bekerja membelah dan menyarut bambu di samping
rumahnya denga sebilah parang yang tajam dan mengkilap. Ia senantiasa
mengasah dan membersihkan parangnya dan setelah di gunakan ia selalu
memasukkan ke dalam sarugnya/warangka dari kayu berhias motif kelingking.
Kebiasaan Manjawari dengan hidup disiplin dan teratur dengan membuat dinding
bedek bambu yang rapi dan halus
--penduduk iri karena keindahan rumahnya
-mereka ingin merusak rumah dengan melempari dengan batu
Timbul rasa iba dan prihatin
Menyelidiki rumah
Memahami hal yg sebenarnya
Meminta maaf
Mengikuti jejak manjawari.

Ai Mangkung
Cerita Rakyat :

Berawal dari sebuah desa yang tentram dan damai bernama Jompang. Letaknya
di sebuah bukit dekat Olat Pamanto Asu. Di desa itu pemerintah seorang Datu
yang dikenal dengan sebutan Datu Palowe Datu. Ia mempunyai dua orang anak
terdiri dari seorang putra bernama Lalu Wanru dan seorang putri bernama Lala
Sri menanti putra Datu Paloweini terkenal terparas cantik dan rupawan sehingga
banyak orang tertarik di buatnya Lala Sri menanti merupakan satu- satunya anak
kesayangan Datu Palowe.

Demi anak semata wayang itu, segala kemauan dan keinginan anaknya selalu
dituruti oleh Datu Palowe. Mulai dari bermacam-macam pakaian yang dikenakan
Lala, sampai kepada berbagai perhiasan indah- indah. Suatu ketika Lala ingin
makan udang. Maka diperintahkan Bapak Bangkel dan Ina Bangkel dan
beberapa orang lainnya pergi nempas Mereka menempas kali yang ada di
sekitar Desa Jompong. Tidak ketinggalan Lala juga ikut serta.

Sambil menunggu undang hasil tangkapan , Lala duduk di atas sebuah batu
besar menyaksikan orang yang sedang nempas Bersamaan dengan itu tanp
sepengetahuan mereka datang pula empat orang dari Desa Tarusa untuk

menebang dan mengambil bambu yang banyak tumbuh di sekitar Olat Pemanto
Asu. Masing-masing mereka membawa seekor kuta untuk mengangkut. Dari
kejauhan mereka melihat sesuatu yang menarik didalam kali. Dan wajah mereka
terpana ketika melihat Lala yang sedang dudukdi atas batu. Mereka sangat
tertarik terhadap wajah yang sangat cantik dan rupawan Akan tetapi mereka
lebih tertarik dengan berbagai corak perhiasan yang dikenakan Lala Biar
bagaimanapun mereka tentu tahu siapa Lala Sri.Menanti sebenarnya sebagai
putri Datu Plowe yang sangat kesohor dan namanya terkenal kemana-mana.
Sedangkan mereka hanyalah rakyat biasa.
Mereka mencari cara untuk mendapatkan perhiasan itu. Sambil mengendapendap dari balik rimbunan semak belukar mereka mendekat ke tempat duduk L
ala Manusia yang telah dihinggapi niat jahat dan bejat itu. Demikian dengan
seketika mereka menyergap tubuh Lala. Salah seorang di antaramereka
menyumbat mulut Lala agar tidak bersuara. Dan selanjutnya dengan paksa
merampas segala perhiasan yang dikenakan Lala, terutama perhiasan yang ada
di lengannya. Lala Sri Menanti melonta-lonta berusaha untuk melepaskan diri.
Berkali-kali lengan Lala yapukalakan tetapi selalu saja gagal. Tetapi dasar orang
yang telah disaruki niat jahat dan bejat mereka pantang surut. Mereka terus
berusaha merampas perhiasan Lala. Salah seorang di antara mereka yang
bernama Ua Nyawa dengan mencabut parang yang diikatkan di pinggangnya
memotang tangan Lala. Dengan satu kali tebasan saja lengan Lala yang harus
mulus itu sudah buntus. Lala Sri Menanti tidak sempat menjerit. Putri malang itu
telah menemui ajalnya sebelum parang mengetahui tubuhnya.
Setelah berhasil merampas perhiasan dan membunuh Lala, mereka para
membunuh itu terus berlalu Lengan Lala yang terpotong dibuang di dalam kali.
Perhiasan yang berhasil di rampas dibawa pulang oleh empat orang itu ke Desa
Tarusa sempat pula mereka membawa bekasnya.
Sementara itu Ina Bangkel dan Bapak Bangkel serta temannya sedang asyik
bekerja sehingga tidak sempat mendengar dan melihat kejadian yang begitu
mengenaskan itu. Peristiwa itu begitu cepat terjadi. Dan ketika mereka menoleh
ke tempat duduk Lala. Dilihatnya tubuh itu telah tak bernyawa lagi.
Konon, lengan Lala yang terpotong itu menjelma menjadi seekor ikan tuna yang
buntung. Dan tempat tuna itu menjadi sebuah perigi yang airnya jernih bening.
Di dalamnya terdapat batu marmer. Tepat di hulu sungai Desa Jurumapin. Di
dekatnya terdapat lorong mirip gua.Orang orang yang datang bayar nasar
dapat masuk ke lorong itu. Tetapi sekarang karena perubahan alam, lorong itu
telah agak tertutup oleh pasir dan kerikil, sehingga orang tidak lagi leluasa
masuk ke dalamnya. Dan di bagian atas bukit terdapat sebuah batu berbentuk
dipan berukir. Di dekatnya terdapat batu batu lain yang mirip peti dan kursi.
Konon itu adalah bekas tempat tinggalnya Datu Palowe dahulu, yang hingga
sekarang dapat ditelusuri kebenarannya.
Menurut kepercayaan orang orang disana, rowe 11) dari orang yang
mengambil perhiasan Lala Sri Menanti waktu itu dari Desa Tarusa, tidak
dibolehkan minum air kali itu. Jika diminum juga, air itu terasa sepat, dan
menimbulkan penyakit. Air kali itu disebut Ai Mangkung. Terkadang pada musim
kemarau orang dari Desa Jurumapin, Desa Kalabeso, maupun Desa Tarusa selalu
datang ke Ai Mangkung untuk bayar Nsar. Orang yang datang bayar nsar dapat

melewati gua itu. Terkadang dilihatnya ikan tuna yang buntung sedang meloyong
112) di dalam air. Sedang mulut ikan tuna itu merah delima seperti bibir seorang
gadis.
Sumber : HU Gaung NTB

Lala Buntar (Lala Bunte)


Cerita Rakyat :

Pada zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Silang,
letaknya kira kira 35 kilometer sebelah timur Sumbawa sekarang, tepatnya di
Desa Pemasar di Kecamatan Plampang. Raja Silang mempunyai seorang Putri
yang sangat rupawan yang bernama Lala Buntar atau Lala Bunte panggilan
akrabnya. Diberikan nama demikian oleh ayahnya karena parasnya yang elok
dan rupawan bagaikan Bulan Purnama ( Buntar dalan Bahasa Sumbawa berarti
Purnama ).

Di samping parasnya yang rupawan Lala Bunte juga sangat boto ( boto berarti
terampil ) Salah satu keterampilannya adalah keahlian menenun kain. Kain tenun
hasil tenunannya sangat indah dengan motif motif khas yang mempesona, dan
tenunannya itu sangat baik kualitasnya. Hal ini membuat nama Lala Bunte
semakin terkenal ke seluruh pelosok negeri. Karena keterampilannya itu sang
ayah yang sangat menyayangi Lala Bunte memberika hadian kepada putrinya,
berupa seperangkat alat tenun terbuat dari emas.

Mendengar berita tentang Lala Bunte banyaklah putra putra raja bahkan raja
raja yang ingin melamar untuk dapat mempersunting Lala Bunte. Pada suatu
hari Raja Silang kedatangan beberapa orang tamu. Ada yang datang dari
kerajaan yang ada di Pulau Sumbawa, dan bahkan daru luar Sumbawa antara
lain dari kerajaan Gowa.
Mereka semua bermaksud sama yakni datang untuk meminang Lala Bunte. Hal
yang demikian itu membuat bingung Raja Silang, terlebih lebih semua tamu
yang datang masing masing bersikeras agar niat mereka dapat
dikabulkan.Suasana yang tadinya dirasa akrab berubah menjadi panas. Bahkan
satu sama lain dari tamu tersebut sudah saling tantang untuk melakukan adu
fisik dan kesaktian.
Melihat keadaan seperti itu, raja Silang berusaha untuk menenangkan keadaan,
dengan cara yang bijaksana. Raja Silang mengambil keputusan bahwa
permintaan dari tamu tamunya tidak ada yang diterima maupun ditolak,
karena terlebih dahulu akan dirembug dengan segenap keluarga dan para
penasehat termasuk dengan Lala Bunte sendiri. Raja menetapkan waktu satu
minggu untuk memberi keputusan. Kesempatan satu minggu itupun digunakan
oleh Raja Silang untuk bermusyawarah.
Pada malampertama dilakukannya musyawarah Raja Silang meminta pendapat
putrinya Lala Bunte sebagai putri satu satunya itu. Lala Bunte ternyata

memiliki pendapat yang sama sekali berbeda dengan yang diharapkan oleh
keluarganya. Semua yang hadir dalam pertemuan itu terperanjat dengan
keinginan Lala Bunte untuk pergi meninggalkan kerajaan agar perpecahan yang
bakal terjadi dapat dihindari. Lala Bunte berfikir bahwa dengan perginya dirinya
dari kerajaan akan dapat mencegah terjadinya pertumpahan darah karena yang
diperebutkan sudah tidak ada lagi.
Keputusan Lala Bunte sudah pasti tidak ada yang dapat merubahnya. Dengan
berat hati akhirnya seluruh keluarga menyetjui permintaan Lala Bunte. Dengan
diiringi oleh para Jowa Perjaka ( para pendamping/pengikut), keesokan harinya
berangkatlah Lala Bunte meninggalkan kerajaan, meninggalkan istana, dan
meninggalkan ayah ibunya. Lala Bunte pergi menuju ke satu tempat untuk
mengasingkan diri. Dalam kepergiannya itu Lala Bunte membawa serta
peralatan tenunnya yang terbuat dari emas.
Dalam perjalanannya Lala Bunte sempat berfikir bahwa kemanapun dia pergi
sepanjang masih dilihat orang maka dirinya tetap akan diperebutkan. Oleh sebab
itu, tidak terlalu jauh dari kerajaannya, Lala Bunte meminta kepada pengikutnya
untuk berhenti. Dalam perhentiannya itu Lala Bunte meminta kepada
pengikutnya untuk membuat timbunan batu dan tanah. Timbunan tersebut
dibentuk menyerupai bukit. Di tengah tengah timbunan tersebut terdapat
ruangan yang ditempati oleh Lala Bunte bersama pengikutnya. Dipuncak
timbunan tersebut dibuatkan lubang dengan maksud agar Lala Bunte dan
pengikutnya yang ada didalam timbunan itu dapat bernafas. Salah seorang
pengikutnya tetap berada diluar timbunan itu yang bertugas untuk menjemput
makanan dari Istana Kerajaan guna keperluan Lala Bunte.
Satu Bulan lamanya Lala Bunte di dalam timbunan tanah dan batu yang
meyerupai bukit itu menerima makanan yang diantarkan oleh pengikutnya.Pada
suatu saat setelah itu, Lala Bunte dan pengikutnya didalam sudah tidak lagi
muncul untuk menerima pasokan makanan.Pelayan yang betugas memasukkan
makanan itu berfikir tentunya Lala Bunte beserta pengikutnya yang ada didalam
timbunan tanah dan batu itu telah meninggal. Oleh pelayanan yang ada di luar,
akhirnya lubang yang ada di puncak bukit tersebut ditutup dan dibuatkan
kuburan diatasnya. Sampai sekarang kuburan tersebut dapat dilihat tepat di atas
sebuah bukit kira kra 5 km dari Desa Pemasar Kecamatan Plampang.
Pernah dua kali kuburannya ingin dibongkar oleh orang yang mengharap dapat
mengambil emas emas yang dibawa Lala Bunte beserta pengikutnya akan
tetapi selalu gagal. Mereka yang mencoba untuk mengambilnya selalu
berhadapan dengan peristiwa alam yang keras seperti hujan lebat,kilat dan petir
yang menyambar debu yang beterbangan dan lain lain peristiwa alam yang
menyeramkan.
Sumber : M. Nur Syiraj

Jompong Suar
Cerita Rakyat :

Ratusan tahun yang lalu tersebutlah seorang pemuda bernama Jompong Suar
wajahnya tampan tubuhnya kekar berisi walaupun umurnya baru menginjak lima
belas tahun. Dari penuturan orang, keluarga Jompong Suar adalah keluarga
pendatang. Mereka bukan asli dari desa itu. Ayahnya bernama Pandelala dan
ibunya dipanggil orang Dendelawi. Dahulunya mereka hanya sekedar mengungsi
akibat terusur dari tempat asalnya.Jompong Suar tiada beradik kakak. Ia adalah
anak tunggal. Tidak mengeherankan kalau ia menjadi anak yang manja.
Permintaannya kerap dikabulkan, hampir tidak pernah ditolak. Kepadanya
harapan masa depan orang tuanya ditumpahkan.
Namun pada diri Jompong Suar terdapat watak yang kurang baik. Ibarat kata
pepatah, tiada gading yang tak retak. Ia suka sekali mengganggu anak-anak
sepantarannya. Tak jarang menampar dan memukuli anak anak seumurnya.
Kelakuannya tidak saja mengusik, tetapi bahkan merampas dan menjarah
sesuatu yang bukan miliknya. Akibatnya teman sebayanya menyingkir dan
menjauhinya.

Tentang kelakuan Jompong Suar yang tidak baik itu telah banyak diberitahukan
orang kepada ayahnya. Tetapi ayahnya tak pernah mengindahkan. Bahkan
Pandelala justru mengelak tuduhan itu dan selalu membela Jompong Suar.
Ketua adat di desa setempat mencela sikap Pandelala. Tentang sikapnya itu
mereka semua berujar, Pandelala adalah sosok orangtua yang tidak bijaksana.
Sikap yang harus dihilangkan pada setiap orang, yakni membela yang salah
pada gilirannya kebatilan bertambah subur. Kebenaran semakin luntur. Benar
dan salah saling membentur. Keadilan makin terkubur, hati nurani menjadi
hancur. Sikap itu harus dihentikan, demikian tekad mereka.
Tetapi tabiat Jompong Suar tak kunjung berubah walaupun berkali kali
mendapat teguran dan diingatkan orang kepadanya. Warga desa setempat
menyindir,kecil teranja anja, besar terbawa bawa. Setelah tua takkan
berubah.
Demikian pulau keluh kesah para orang tua,Tak dibilang jadi binasa, dibilang
juga jadi bencana. Karena tak tahan lagi maka mufakatlah beberapa orang
kampung untuk melaporkan kelakuan buruk Jompong Suar kepada Sang Raja.
Kedatuan (kerajaan) Sadiwangi mempunyai wilayah cukup luas. Ke Utara sampai
ke Ai Sempang yaitu desanya Jompong Suar. Sedang ke selatan berkesudahan
dengan pantai laut. Kedautan ini diperintah oleh seorang Datu (Raja) yang
bernama Buntar Buana.
Baginda raja dikenal tegas dalam pendiriannya. Keamanan dan ketenteraman
rakyatnya adalah masalah utama yang sangat menjadi perhatian raja. Siapa saja
yang berbuat onar atau kerusuhan, pertengkaran, perampokan, baginda raja
tidak segan segan memberikan hukuman berat terhadap pelakunya. Baginda
menginginkan agar rakyatnya dapat melakukan setiap usaha mereka dengan
perasaan tenang tiada dihantui rasa takut dan was was. Sistem keamanan
lingkungan sangat diperkuat. Lebih lebih setelah peristiwa sedih menimpa
istana.

Sekitar setahun yang lalu putri bungsu baginda yang bernama Mandang Wulan
hilang dari istana. Tidak diketahui ke mana perginya. Apakah dilarikan orang
atau telah tewas, tiada seorang pun yang tahu. Ke seluruh penjuru kerajaan
telah dilakukan pencarian, namun tak seorang pun yang dapat memberikan
petunjuk di mana Mandang Wulan berada. Inilah yang membuat baginda raja
selalu masygul.
Pada suatu petang yang cerah tiada awan selembarpun menutupi langit. Angin
semilir menerpa dedaunan menambah kesejukan di sore itu. Paduka raja
bersama beberapa hulubalangnya sedang asyik berbincang bincang. Baginda
raja selalu berharap agar seluruh penghuni istana tetap berupaya menemukan
putri Mandang Wulan, hidup atau mati. Dan jika ditemukan supaya dibawa
pulang ke istana.
Tiada lama setelah bincang bincang selesai, masuklah seorang penjaga istana
dan langsung menghadap baginda. Setelah menghatur sembah, penjaga istana
itupun berkata.
Hamba datang untuk melaporkan bahwa di luar istana ada empat orang tamu
yang ingin menghadap baginda, kata penjaga istana.
Bawalah mereka masuk. Jawab baginda singkat
Setelah empat orang tamu itu bersimpuh di depan raja, salah seorang
berkata,Ampun tuanku. Hamba berempat datang dari tempat yang jauh dengan
maksud mohon perlindungan baginda yang mulia, katanya dengan nada penuh
harap.
Sambil memandang kepada tamu itu, bagindapun berkata. Dari manakah kalian
berempat ini ? Dan apa maksud kalian datang ke istan petang petang begini ?
Jika ada kabar penting sampaikanlah, mungkin dapat segera diselesaikan, ujar
paduka raja.
Benar tuanku. Hamba datang dari Desa Ai Sempang, yaitu desa di ujung utara
kerajaan baginda. Adapun maksud kedatangan hamba dan kawan kawan
adalah untuk melaporkan bahwa di desa kami ada seorang pemuda bernama
Jompong Suar yang selalu menggangu ketentraman di desa kami dan juga
ketentraman anak anak kami. Mohon perlindungan tuanku, ungkap pemuda
itu.
Mendengar laporan tersebut , paduka raja berucap. Baiklah laporan kalian aku
terima. Dan aku percaya bahwa kamu semua benar dan tidak berbohong. Besok
pemuda itu akan kupanggil. Dan sekarang kamu berempat pulanglah, pinta
baginda raja.
Setelah itu keempat orang yang melapor itu pun keluar meninggalkan istana
pulang kembali ke Ai Sempang.
Keesokan harinya tatkala sang surya naik sepenggalah, dibawalah Jompong Suar
beserta ayahnya menghadap paduka raja. Ibarat pesakitan di depan hakim,
keduanya duduk bersimpuh.Tiada berapa lama Paduka Raja berucap. Hai kalian
berdua. Manakah di antara kalian yang bernama Jompong Suar, tanya baginda.
Kemudian Jompong Suar memandang baginda dan menjawab. Ampun tuanku,

hambalah yang bernama Jompong Suar dan inilah ayah hamba bernama
Pandelala, terang Jompong Suar.
Baginda raja memandang tajam kepada kedua tamunya itu. Baginda kemudian
berucap. Dengarkanlah oleh kalian berdua. Ketenteraman adalah idaman semua
orang. Perusuh dan penjarah adalah musuh semua orang pula. Beberapa orang
telah datang ke istana melaporkan kelakuan yang tidak terpuji dari seorang
pemuda. Baginda raja lalu berhenti sejenak. Jompong Suar, engkau adalah
perusuh, perampok, bahkan besok kamu akan menjadi pembunuh yang kejam.
Engkau telah bersalah besar. Dan terhadap kesalahanmu, mulai hari ini juga
engaku kuperintahkan untuk mencari dan membawa ke istana sebatang bambu
berbatang perak, berdaun emas dan berbunga intan. Itulah hukumanmu sebagai
perusuh. Bila kau mendapatkannya aku akan memberiakan hadiah sangat
berharga kepadamu. Tetapi jika engkau kembali dengan tangan hampa, maka
hukuman lebih berat lagi akan kau terima, pinta Baginda.
Bagai petir menyambar di siang bolong setelah Jompong Suar mendengar
putusan sang Raja. Hampir saja ia jatuh pingsan. Untung ayahnya cepat
memegang pundaknya. Ia bangkit dari tempat duduknya setelah tangannya
diangkat untuk segera pergi dari ruangan itu.
Dalam perjalanan pulang, tak henti hentinya Jompong Suar menghela nafas
pertanda kesal atas putusan yang dijatuhkan kepadanya. Sekali-kali ia mengeluh
memikirkan hukuman yang berat itu. Ayahnya segera menenangkannya. Wahai
anakku, sabarlah menerima putusan itu. Yakinlah di balik kesulitan akan datang
kemudahan, imbau ayahnya.
Memang benar apa yang ayah katakan dan anakda akan rela menghadapi
cobaan ini. Hanya saja hukuman ini terlalu kejam, tidak adil dan tidak sebanding
dengan kesalahan yang anakda lakukan, ujarnya dengan nada kesal.
Sudahlah nak, tidak baik terlalu menyesali nasib. Ketahuilah anakku , sang Raja
sungguh sangat kuasa. Dan karena kekuasaannya seringkali memberikan
putusan yang tidak didasarkan atas pertimbangan, tetapi kadang kadang lebih
kepada kepentingan. Sebaiknya segera saja kau laksanakan, bujuk ayahnya.
Pada suatu pagi sebelum matahari terbit, Jompong Suar ke luar dari rumahnya
setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya. Dipeluknya ayah dan ibunya.
Lepas dari pelukan kedua orangtunya. Jompong Suar sekali lagi membungkuk
memberi hormat kepada orangtua yang dicintainya itu. Sekarang Jompong Suar
telah memulai pengembaraanya. Sang ayah mengiringi dengan doa. Sedang
ibunya tak kuasa menahan tangis sambil memikirkan nasib yang akan menimpa
anaknya. Kedua orangtua itu terus mengiringi keberangkatan anaknya dengan
pandangan mata, sampai akhirnya Jompong Suar tak terlihat lagi. Kedua
orangtua itupun kembali masuk rumahnya.
Hari demi hari, minggu berganti minggu dan minggupun berganti bulan telah
banyak desa didatanginya mencari berita tentang bambu emas itu. Setiap
bertemu orang selalu ditanyainya, namun belum seorangpun dapat
menunjukinya. Bahkan banyak yang menyatakan keheranannya mendengar
putuan raja yang diberikan kepadanya.
Kini Jompong Suar memutuskan untuk mengembara ke hutan rimba di mana
pohon bambu banyak tumbuh. Boleh jadi bambu emas itu dapat ditemukan di

antara rumpun bambu yang banyak itu. Tak terhitung bukit yang sudah didaki,
tak terbilang lembah yang sudah dituruni, namun nasibnya belum beruntung.
Sekarang badannya terasa sangat letih. Makanan yang sempat dibawanya telah
lama habis. Perutnya hanya diisi buah buahan yang dipetiknya dari pohon
pohon kayu di hutan. Tiada uang yang diberikan ayahnya, kecuali hanya sebilah
pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Di bahunya tergantung sebuah kantong
kecil berisikan selembar kain untuk pembalut tubuh tatkala kedinginan.
Tiga purnama sudah dilalui, namun belum juga ada tanda tanda dapat
menemukan apa yang dicarinya. Untunglah tiada seekorpun binatang buas yang
menggangu dalam pengembaraannya. Dalam berbagai kesulitan itu, Jompong
Suar tiada berputus asa. Teringat selalu pesan ayahnya bahwa di balik kesulitan
akan datang kemudahan. Kalimat ini membuat jiwanya semakin hidup, tulang
belulangnya semakin kokoh dan langkahnya kian mantap. Dalam dirinya tumbuh
tekad. Semboyannya adalah jauh berjalan banyak dilihat jauh merantau banyak
di dapat. Segar dalam ingatannya pepatah yang mengatakan,Berlayar sampai
ke pulau, berjalan sampai ke batas,.
Pada suatu siang di tengah belantara yang tidak pernah terinjak kaki manusia,
udaranya panas tiada angin bertiup, cahaya matahari seakan membakar
persada. Karena sangat letihnya, Jompong Suar beristirahat di bawah sebatang
kayu. Dalam kepenatannya dia akhirnya tertidur. Beberapa lama Jompong Suar
tertidur pulas, tiba tiba dia serentak bangun. Dalam tidurnya dia bermimpi
seolah olah ada yang memanggil namanya.
Dari manakah datangnya suara itu. Dan siapakah yang menyebut namaku di
belantara yang sesunyi ini, ujarnya sambil terheran-heran. Jompong Suar seolah
olah merasa yakin bahwa mimpinya itu akan ada maknanya. Perasaannya
semakin hidup dan bertekad keras akan mencari dari mana datangnya suara itu.
Kemudian ia bangkit dan berjalan. Ditengah keheranannya akan suara panggilan
tadi diteruskan juga langkahnya mengikuti irama hatinya. Sebuah batu besar
menghalang di depannya. Jompong Suar mendekati batu besar itu, mengitari
sekelilingnya untuk meneliti. Tanpa diduga, tiba-tiba dilihatnya sebuah gua
serangkaian dengan batu besar itu. Perasaan cemas pun bercampur takut. Tetapi
ia berusaha melawan rasa takutnya dan memberanikan diri dengan berjalan
perlahan lahan menghampiri mulut gua. Alangkah terkejutnya ketika dia
melihat jelas di dalam gua itu berdiri seorang gadis remaja cantik jelita. Jompong
Suar tertegun sejenak. Hati dan pikirannya belum percaya dengan pandangan
matanya. Diusapnya matanya berkali kali.
Apakah aku sedang berhayal. Benarkah gadis itu manusia biasa atau barangkali
sosok jin penghuni gua ini. Kalau gadis itu manusia biasa, maka anak siapakah
gerangan. Dan mengapa pula dia memilih hidup di tempat yang terasing seperti
ini, tanyanya kepada dirinya sendiri.
Sebelum berbagai pertanyaan itu terjawab, dengan langkah gontai gadis itu
menghampirinya. Dengan suara lembut gadis itu menyapa.
Duhai Pangeran, sipakah Pangeran sebenarnya. Dan apakah maksud pangeran
datang ke tempat yang jauh, seram dan angker ini, sapan gadis itu kepada
Jompong Suar. Jompong Suar masih saja terteguh atas segala peristiwa yang
dialaminya ini. Ia masih mencoba menyakinkan dirinya bahwa apa yang ada di
hadapannya ini bukanlah mimpi. Sambil mencoba untuk menenangkan

perasaannya. Sementara putri gua yang cantik jelita itu terus menatapnya
dengan pandangan malu malu tetapi penuh harap. Akhirnya Jompong Suar
menguasai segenap perasaan dan jiwanya, maka barulah ia mencoba menjawab
sang putri gua itu.
Ampun Tuan Putri. Hamba telah berani datang ke tempat ini yang menyebabkan
Tuan Putri terusik, sapa Jompong Suar merendah sebagaimana layaknya
seorang rakyat biasa.
Oh. Tidak apa apa. Saya sangat senang menerima kedatangan Pangeran, ujar
gadis itu.
Jompong Suar lalu mengelak bahwa dirinya bukanlah pangeran, melainkan
rakyat biasa. Tuan Putri, hamba bukanlah seorang Pangeran, hamba bukan dari
golongan berdarah biru. Hamba adalah rakyat biasa, jelas Jompong Suar.
Setelah mendengar penjelasannya, gadis itupun menyebut namanya.
Wahai kanda Jompong Suar, namaku Mandang Wulan. Tetapi panggil saja aku
dinda supaya pembicaraan kita lebih akrab, akunya.
Selanjutnya Jompong Suar melanjutkan pertanyaan. Wahai dinda Mandang
Wulan, gerangan apakah sebabnya dinda berada di tempat ini. Jika dinda
manusia juga seperti aku, tolong jelaskan kepada kanda siapakah ayah bunda
adinda dan di manakah mereka sekarang berada, tanyanya dengan santun.
Sejenak gadis itu terdiam. Matanya berkaca kaca. Bibirnya yang tipis mungil itu
bergetar seolah olah mencoba membendung sesuatu perasaan yang
menyesakkan di dadanya. Jompong Suar menatapnya dengan pandangan yang
sangat bersahabat, sehingga gadis itu merasa yakin untuk menjelaskan siapa
dirinya sebenarnya.
Baiklah kanda, akan kuceritakan semuanya. Tetapi sebaiknya kita duduk di
dalam saja. Tak baik bercakap sambil berdiri walaupun kita di tengah hutan dan
berdua pula, ajak gadis itu.
Gadis itu mengajak Jompong Suar menuju serambi depan gua. Setelah kedua
muda mudi itu duduk berhadapan mulailah Putri Mandang Wulan bercerita. Putri
menarik nafasnya dalam dalam seakan berpikir dari mana akan dimulai
ceritanya. Kanda Jompong Suar, di tempat yang sunyi ini, aku hidup
sebatangkara. Aku bagaikan anak terbuang dan tak ubahnya bagai dalam
penjara. Tiada ibu ataupun ayah apalagi sanak saudara. Tiada teman tempat
mengadu, tiada sahabat pelipur rindu. Hidupku terasa tersiksa walaupun kanda
melihatku gembira. Makan nasi serasa sekam, minum air serasa duri. Batinku
terkoyak dan harapanku hampir punah. Rumahku cuma gua angker ini. Hendak
pergi kemana lagi, katanya dengan lirih. Lalu gadis itu berhenti bercerita
sejenak untuk menarik nafasnya. Setetes air mata pun membasahi pipinya yang
merah. Bibirnya bergetar. Kembali ia mencoba menenangkan perasaan dan
pikirannya. Sesaat kemudian dia melanjutkan kembali kisahnya.
Satu satunya yang memberiku hidup di tempat ini ialah seorang raksasa
wanita. Dialah pengganti ibuku dan sehari hari kupanggil nenek, ungkap
Mandang Wulan. Tersirap darah Jompong Suar ketika Putri Mandang Wulan
menyebut raksasa sebagai nenek.

Duhai dinda putri jadi engaku ini anak raksasa. Oh kalau begitu sebaiknya
aku segera lari dari tempat ini, ujar Jompong Suar. Kemudian gadis itu
menyambung. Tenanglah kanda. Dengarlah kisahku sampai selesai. Bukankah
sudah kukatakan bahwa aku ini manusia, bukan peri dan juga bukan jin. Aku
takkan sampai hati untuk menipumu, ungkap gadis itu, lalu meneruskan
kisahnya.
Nenekku akan kembali ke gua setelah matahari terbenam. Karena itu
tenangkanlah diri kanda. Aku akan ceritakan lebih jauh tentang diriku ini. Kanda,
sebenarnya aku ini adalah putri seorang raja. Tetapi aku bernasib buruk. Dahulu
sewaktu aku berjalan jalan di halaman istana tiba tiba aku disambar oleh
seorang raksasa wanita dan membawaku ke tempat ini. Aku meronta ronta dan
minta tolong tetapi waktu itu tak ada yang mendengarku. Tak seorangpun dari
penghuni istana mengetahui kepergianku. Sekarang sudah setahun lamanya aku
tersiksa di tempat ini. Tinggal menunggu saatnya aku akan mati, tutur Mandang
Wulan mengakhiri ceritanya. Air matanya semakin deras mengalir. Segala
perasaan berkecamuk di dalam batinnya. Rindu ayahanda dan bunda, rindu
saudara saudaranya. Teringat saat saat bahagia bersama ayah bunda dan
segenap penghuni istana. Teringat inang pengasuhnya yang mengurusnya setiap
hari. Sekarang selama setahun, hati dan jiwanya kosong. Dengan kehadiran
Jompong Suar ada setitik harapan di dalam batinnya. Mungkinkah Yang Maha
Kuasa telah datang untuk menolongnya.
Iba hati Jompong Suar mendengar penuturan gadis jelita itu. Seperti halnya
Mandang wulan, maka sekarang Jompong Suar pun mencoba membagi perasaan
dengan wanita itu. Jompong Suar mencoba untuk menceritkan dirinya lebih jauh
lagi. Dinda Mandang Wulan tercinta. Jika demikian kisahmu, maka dengarlah
ceritaku, kata Jompong Suar. Bergetar hati Mandang Wulan menyimak kata
kata Jompong Suar. Ada perasaan lain yang menyejukkan hatinya. Kemudian
Jompong Suar melanjutkan kisahnya. Aku ini lelaki yang bernasib buruk, tak
ubahnya seperti engkau juga. Aku dituduh bersalah besar. Paduka raja
memberiku hukuman yang sangat berat. Sebenarnya tak kuasa aku untuk
melalukannya. Aku diperintahkan untuk mencari sebatang bambu berdaun emas,
berbunga intan. Jika aku menemukan bambu itu, maka aku akan beroleh hadiah
dari baginda Raja. Tetapi jika tidak, maka aku akan mendapatkan hukuman yang
lebih berat lagi. Telah habis daratan kudatangi, namun bambu itu tidak
kutemukan. Kini aku mencari di hutan rimba. Itulah sebabnya aku sampai ke
tempat ini. Jika tiada aku pun takkan kembali walaupun ayah dan ibu
menungguku di rumah. Demikian dinda kisahku sampai aku berada di
hadapanmu sekarang ini, ungkap Jompong Suar mengakhiri kisahnya.
Kini Mandang Wulan merasa agak tenang dan terhibur setelah hadir di
sampingnya seseorang di mana dia dapat membagi duka derita. Ada perasaan
senasib, ada kekuatan batin yang menyatu untuk menembus apapun
permasalahan dan penghalang dalam hidup ini. Dua kekuatan yang selama ini
beku dan hampir mati, kini saling mengisi kekosongan masing masing.
Duhai kanda Jompong Suar. Sama benar nasib kita, kata Mandang Wulan
memulai lagi pembicaraan. Kata kata itu kemudian dilanjutkannya dengan
senandung syair yang merdu dari bibir seorang Putri Raja.

Hendak ku pulang ke kampung halaman


Namun kemana kucari teman
Ingin bertemu ayah bundaku
Siapa pula sudi membantu

Akan halnya Jompong Suar yang mendapatkan tugas berat untuk memperoleh
bambu yang berdaun emas dan berbunga intan yang akan menentukan hidup
atau matinya, itulah yang masih tetap membebani pikirannya. Namun tak
disangka oleh Jompong Suar tiba tiba Mandang Wulan memberikannya
harapan.
Duhai kanda Jompong Suar. Pucuk dicinta ulam tiba. Segala titah baginda Raja
yang dibebankan kepadamu sebagai hukuman itu tentu akan berakhir, kata
Mandang Wulan.
Oh Dinda Mandang Wulan. Aku tidak mengerti maksudmu, sambut Jompong
Suar.
Dengarlah Kanda. Di tempat yang sunyi inilah aku diberi tugas oleh nenek
raksasa untuk menjaga sebuah bambu seperti yang kanda maksudkan itu,
tegas Mandang Wulan.
Oh. Benarkah kata katamu dinda, tanya Jompong Suar sambil tersentak
kaget.
Benar kanda, Tak mungkin aku membohongimu. Ayolah kanda, kita ke sana
untuk mengambilnya, lanjut Mandang Wulan.
Semakin besar harapan Jompong Suar untuk kembali ke kampung halamannya.
Mereka berjalan menuju pohon bambu itu. Jompong Suar tidak menyia nyiakan
waktunya. Sebentar saja bambu itu sudah berada di tangannya. Tiada terkira
gembira hati Jompong Suar. Ia akan membawa putri Mandang Wulan pergi ke
kampung bertemu dan bersatu dengan orangtuanya. Setelah bambu itu berada
di tanganya. Jompong Suar segera mengajak Mandang Wulan untuk
meninggalkan tempat itu.
Wahai Dinda bergegaslah secepatnya. Matahari telah condong ke barat.
Sebentar lagi tentu raksasa itu kembali, ajak Jompong Suar. Maka segeralah
Mandang Wulan mempersiapkan sesuatu yang mungkin masih dapat dibawanya
untuk bekal perjalanan. Terlontarlah harapan kepada Jomong Suar. Benar kanda.
Tak tahan aku di tempat ini. Perjumpaan kita yang tak terduga ini adalah
petunjuk Tuhan. Bawalah aku ke mana saja. Jangan tinggalkan aku kanda. Aku
tak ingin berpisah denganmu. Kalau aku harus mati, maka biarkanlah aku mati
asalkan tetap bersamu kanda, ujar Mandang Wulan.
Keduanya pun segera meninggalkan gua itu. Mereka membawa bambu berdaun
emas dan berbunga intan itu. Bambu itu adalah milik nenek raksasa tidak
sebatangpun terdapat di tempat lain. Bambu itu tingginya hanya sehasta,
mempunyai empat ruas dan empat buku. Pada setiap buku terdapat sebuah
tangkai. Dan di ujung tangkai terdapat sebuah daun emas dan masing masing
mempunyai sebuah kuncup yang warnanya berbeda pula. Tangkai pertama

berwarna hijau dinamakan kuncup angin. Tangkai kedua berwarna putih


dinamakan kuncup air. Tangkai ketiga warnanya merah dinamakan kuncup api.
Sedangkan yang keempat berwarna kuning dinamakan kuncup tanah. Dari
batangnya keluarlah sinar yang indah lebih lebih di malam hari. Karena itu
siang malam kedua remaja itu terus berjalan berkat adanya sinar terang bambu
emas itu menjadi penerang jalan yang dilaluinya.
Setelah tiga hari tiga malam lamanya mereka berjalan menyusuri belantara, tiba
tiba pada hari keempat terdengar oleh mereka suara menakutkan. Putri
Mandang Wulan maklum bahwa suara itu adalah suara raksasa. Rupanya
rakasasa itu sudah mengetahui kalau Mandang Wulan telah menghilang lari
meninggalkan gua. Raksasa itu terbang mengitari hutan mencari cahaya bambu
emas miliknya. Mandang Wulan telah melihat raksasa itu datang mengejar
mereka. Bagaikan akan tumbang pepohonan disebabkan tiupan angin yang
mengepakkan sayapnya. Jompong Suar mulai khawatir akan keselamatan
mereka berdua. Namun tidak demikian dengan Mandang Wulan.
Kanda, berikan bambu itu kepada dinda, agaknya kita dalam bahaya, ucapnya.
Segeralah Mandang Wulan meniup kuncup angin. Dengan seketika bertiuplah
angin yang sangat kencang dan kuat ke arah raksasa itu. Raksasa itu terlempar
dan kemudian terhempas ke tanah. Raksasa itu meraung raung kesakitan.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Namun tidak lama kemudian raksasa
itu datang lagi. Kali ini ia lebih geram. Suara teriakannya menggemuruh
menggema seolah olah akan meruntuhkan seluruh pepohonan yang ada.
Raksasa itu kini sangat marah. Jompong Suar sangat ketakutan. Mereka berdua
terus saja berjalan berlari, sementara raksasa itu terus mengejar. Ketika raksasa
itu sudah semakin mendekat, maka berkatalah Putri Mandang Wulan,Tenanglah
kanda, jangan jauh dari diriku, tegas Mandang Wulan dengan mantap.
Sementara raksasa itu terus mendekat. Mandang Wulan kembali meniup kuncup
bambu itu. Kali ini yang ditiup adalah kuncup air. Maka turunlah hujan yang
sangat deras disertai petir yang menyambar. Hujan yang deras membuat
raksasa itu basah kuyup dan menggigil kedinginan lalu tersungkur jatuh.
Putri Mandang Wulan mengajak Jompong Suar mempercepat perjalanan.
Mandang Wulan yakin bahwa raksasa itu tetap akan mengejar mereka. Mereka
terus mempercepat perjalanan. Tepat seperti apa yang dikatakan Mandang
Wulan, sekarang raksasa itu kembali mengejar. Terdengar di kejauhan suaranya
yang gemuruh melabrak pepohonan. Bunyi pohon patah gemeretak dan batu
batu pecah berhamburan dihantam oleh sang raksasa yang kian marah.
Mandang Wulan dan Jompong Suar melihat itu datang dari arah yang
berlawanan. Rupanya raksasa itu mengambil jalan melintas untuk menghadang
dan menyergap kedua remaja itu. Tampak oleh mereka berdua raksasa itu
membawa beberapa potong tali. Suaranya membelah hutan sekitar. Sekarang
kalian akan mampus. Akan kuikat leher kalian dan akan kubuang kalian ke
tengah laut agar kalian menjadi santapan buaya, geramnya.
Cepatlah Dinda, jangan biarkan dia menghampiri kita. Dia sangat berbahaya,
kata Jompong Suar.
Segeralah Putri Mandang Wulan mengangkat bambu itu tinggi tinggi sambil
berkata. Kesempatan ini akan kutamatkan riwayat raksasa itu. Kanda biarlah
supaya kita aman menempuh perjalanan ini, tandas Mandang Wulan.

Dengan sekuat tenaga kuncup ketiga dan keempat ditiupnya secara bersamaan,
yaitu kuncup api dan kuncup tanah. Alangkah ajaibnya dari kuncup sekecil itu
bersemburan api yang dahsyat melalap rakasasa yang galak dan jahat itu,
sehingga menghanguskan sayap dan seluruh tubuhnya. Pekik kesakitan
menggelegar dari mulut sang raksasa. Tanah tempat berdirinya terbelah
membenamkan tubuhnya hingga batas perutnya. Kendati raksasa yang kuat itu
berusaha melepaskan diri, tetapi jepitan tanah itu seolah olah semakin kuat
saja menjepitnya. Raksasa itu meraung raung kesakitan. Tulang belulangnya
remuk dan seluruh daging di tubuhnya telah hangus terbakar. Akhirnya sang
raksasa yang ganas itu rebah ke bumi tiada bangun lagi.
Mandang Wulan merasa terteguh juga. Raksasa yang selama lebih dari setahun
dipanggilnya dengan nenek itu, kini telah tewas. Ada juga kesedihan yang
menyelinap dalam batinnya. Dirinya memang telah dibuat tersiksa oleh raksasa
itu. Selama dalam sekapan, raksasa itu ternyata tidak pernah menyakiti
tubuhnya. Kendati demikian raksasa itu tetap saja punya tujuan akhir untuk
membuatnya menderita. Sekarang lepas sudah segala penderitaannya. Dalam
kelelahan perjalanan, Mandang Wulan mulai berbicara. Kini amanlah perjalanan
kita kanda. Bersyukurlah kepada Yang Maha Pengasih. Kita telah dilindungi dan
diselamatkan, kata Mandang Wulan.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan menuju kampung halaman yang
letaknya masih cukup jauh. Mandang Wulan sebagai putri seorang raja yang
masa kecilnya hidup dan dibesarkan dilingkungan istana tidak banyak
mengetahui perihal daerah di luar istana. Sehingga dalam perjalanan kerap kali
dia bertanya kepada Jompong Suar tentang nama tempat, nama kampung atau
nama desa yang dilaluinya.
Kangen dan rindu kampung halaman, rindu kepada ayah bunda dan sanak
saudara kian hari kian memuncak. Perjalanan yang sulit, jauh dan melelahkan itu
seolah-olah tidak dipedulikan lagi. Lebih lebih bahaya yang paling besar telah
mereka atasi berdua. Mereka terus berjalan. Akhirnya mereka sampai di batas
kota. Tiba tiba Mandang Wulan bertanya kepada Jompong Suar. Kanda, kalau
boleh dinda bertanya di kerajaan mana gerangan tujuan kita sekarang dan
siapakah pula paduka raja yang telah menjatuhkan hukuman itu, tanya
Mandang Wulan. Belum sempat Jompong Suar menjawab, Mandang Wulan
melanjutkan lagi pertanyaan. Bagaimana seandainya bambu yang kanda
persembahan ini ditolak oleh sang Paduka Raja, karena boleh jadi tidak serupa
dengan bambu yang dimaksudkan, tanya Mandang Wulan.
Mendapat pertanyaan itu Jompong Suar terteguh. Memang benar, sekiranya
paduka Raja menyatakan bahwa bukanlah bambu itu yang dimaksudkan, maka
tentulah sesuai dengan janji baginda bahwa kepadanya akan diberikan hukuman
yang lebih berat lagi. Namun hukuman itu tidak jelas dan tidak diketahui
bentuknya. Jompong Suar menyadari bahwa Mandang Wulan sedang merisaukan
nasib mereka berdua. Sekiranya Jompong Suar mendapat hukuman yang lebih
berat tentunya Mandang Wulan akan mengalami nasib yang tidak jelas pula.
Akankah dirinya dapat bertemu dengan ayah bundanya atau akan ikut dihukum
oleh sang Raja sekiranya raja itu adalah raja yang kejam. Berbagai pikiran dan
perasaan berkecamuk di dalam diri mereka. Atas pertanyaan Mandang Wulan
kemudian Jompang Suar menjawab. Tenangkanlah pikiran dan perasaan dinda.
Jangan terlalu dipikirkan berbagai nasib buruk yang mungkin kita alami. Bagiku

sudah mantap karena dulu ketika menerima hukuman ini dari baginda Raja aku
sudah berjanji kepada baginda Raja dan kepada diriku sendiri. Aku akan
menanggung apapun akibat dari semua ini, tegas Jompong Suar menenangkan
hati Putri Mandang Wulan.
Tidak Kanda, akupun akan ikut memikul tanggungjawab. Tak sampai hati dinda
membiarkan kanda menderita seorang diri. Bukankah kita telah berjanji untuk
sehidup semati dan takkan berpisah lagi, ucapnya.
Mendengar itu Jompong Suar kemudian melanjutkan pembicaraan. Dinda, untuk
langkah awal, sebelum menuju kepada baginda raja dimana kanda akan
menyerahkan bambu ini, maka sebaiknya kita berdua meneruskan perjalanan
menuju ke kampung halamanmu untuk mengantarkanmu kepada kedua
orangtuamu. Setelah itu barulah aku akan melanjutkan perjalanan menuju ke
istana raja kami yaitu Paduka Raja Buntar Buana, kata Jompong Suar.
Mendengar itu Mandang Wulan sangat terkejut bercampur gembira karena
ternyata Paduka Raja yang menjatuhkah hukuman kepada Jompong Suar untuk
mencari bambu emas itu, tidak lain adalah orang tuanya sendiri Raja Buntar
Buana.
Langsung saja Mandang Wulan memeluk Jompong Suar. Lalu mereka pun
bergegas menuju istana Raja Buntar Buana. Setelah mereka sampai ke pintu
gerbang istana, Jompong Suar menjelaskan kepada para pengawal istana akan
maksud dan tujuannya ke istana, dan mohon ijin untuk menghadap Paduka Raja
Buntar Buana. Maka pengawal pun segera melaporkan kepada Baginda Raja
akan adanya tamu yang bernama Jompong Suar beserta seorang gadis remaja
yang cantik. Baginda Raja pun segera memerintahkan pengawal untuk
mengijinkan Jompong Suar masuk ke istana. Akan halnya Mandang Wulan, tidak
ada di antara pengawal yang mengenalnya karena telah setahun lebih sang putri
ini menghilang. Mandang Wulan dan Jompong Suar juga mencoba menahan diri
untuk tidak memberikan keterangan kepada siapapun tentang sang Putri.
Maka masuklah mereka ke ruang istana di mana Raja Buntar Buana berada di
singgasana kerajaan itu. Di ruang istana hadir pula permaisuri yaitu ibunda dari
Putri Mandang Wulan. Di samping itu segenap menteri dan punggawa juga hadir.
Jompong Suar dan putri Mandang Wulan lalu duduk bersimpuh untuk mengatur
sembah. Seluruh isi istana di ruangan itu menatap kepada Mandang Wulan,
nampaknya permaisuri tergetar batin dan jiwanya seolah olah anaknya yang
hilang setahun lalu kini ada di hadapannya. Perasaan yang sama dialami juga
oleh baginda Raja Buntar Buana dan seluruh unsur pemerintahan istana.
Mandang Wulan menatap kedua ayah bundanya. Tampaknya permaisuri tak
kuasa menahan perasaannya untuk segera mengetahui siapa sebenarnya gadis
yang datang bersama Jompong Suar di hadapannya. Lalu permaisuri berucap.
Kakanda Baginda Raja, sungguh wajah gadis ini sangat mirip dengan Putri kita
Mandang Wulan, kata permaisuri.
Belum sempat baginda Raja menyahuti permaisuri, Mandang Wulan juga sudah
tak dapat menahan haru.
Benar Bunda Ratu dan Ayahanda Raja, hamba adalah Putri Mandang Wulan,
kata sang putri sambil menghambur memeluk kedua orangtuanya. Suasana jadi
berubah penuh tangis keharuan. Mereka berpelukan penuh kebahagiaan. Putri

yang menghilang lebih setahun lalu, kini telah kembali. Maka segeralah tersebar
berita itu ke seluruh pelosok kerajaan. Raja Buntar Buana dan seluruh istana
serta rakyat kerajaan sangat bersuka cita.
Kini, Jompong Suar yang dihukumnya telah berhasil melaksanakan hukuman
dengan penuh tanggungjawab. Bukan saja bambu itu yang telah diperoleh oleh
Baginda Raja, tetapi yang tak ternilai harganya adalah putri baginda Mandang
Wulan telah pula ditemukan. Seluruh rakyat mengelu elukan baginda Raja.
Akhir cerita, maka cinta kasih yang telah bersemi antara Jompong Suar dan
Mandang Wulan segeralah mendapat restu dari baginda Raja dan Permaisuri
berserta seluruh keluarga istana. Jompong Suar dianugerahi gelar Pangeran dan
dikawinkan dengan Putri Mandang Wulan. Mereka berdua kini hidup rukun penuh
kebahagiaan.
Sumber : Arpusda
Bakat Loka dan Buir
Cerita Rakyat :

Di jaman yang telah lampau tersebutlah di dalam kisah seorang putera raja yang
konon berasal dari Gowa Sulawesi Selatan. Ia datang ke tempat ini bukan untuk
memerintah tetapi untuk menyebarkan Agama Islam. Tempat ini dinamakan
Bekat Loka, suatu tempat yang dijadikan tempat tinggal dan lama kelamaan
menjadi sebuah dusun. Bekat asal katanya adalah berkat. Dusun yang diberkati
Allah tempat bermukim seorang alim dari Putera Raja Gowa.

Di Dusun Bekat Loka inilah akhirnya Putera Raja Gowa wafat. Kini lokasi itu dapat
dilihat lebih kurangseratus depa sebelah tenggara sebuah bukit kecil yang
dikenal dengan Ponan. Bukit Ponan sendiri terletak diantara tiga buah dusun
yaitu Dusun Poto, Dusun Malili, dan Dusun Lengas. Di Dusun Bekat Loka inilah
lahir seorang putera yang dikenal oleh penduduk setempat dengan nama Haji
Batu yang makamnya sekarang dapat dilihat dipuncak Bukit Ponan. Bekat Loka
merupakan asal muasal munculnya ketiga dusun yang disebutkan diatas yaitu
Dusun Poto, Dusun Malili, dan Dusun Lengas.Dusun Bekat Loka lama kelamaan
banyak ditinggalkan oleh penduduknya. Para penduduk lebih memilih bertempat
tinggal dekat dengan tanah garapannya yang dibukanya sendiri pada saat itu.
Akhirnya terbentuklah sebuah dusun yang lain yang diberi nama Samongal yang
letaknya juga diatas sebuah bukit berdekatan dengan sebuah sungai kirakira
berjarak seratus meter dari Dusun Poto, yaitu disebelah utara dusun Bekat
Lengas. Nama Samongal berasal dari kata Samonga artinya dalam bahasa
Sumbawa yang diandalkan. Di Dusun Samongal inilah sebagian besar keturunan
putera Raja Gowa bermukim dan lama kelamaan melahirkan dua bersaudara
yang kelak akan menjadi penyambung lidah Sultan Samawa Pertama.

Kedua orang bersaudara itu dalam perkembangannya diangkat menjadi


pemegang adat dan pemerintahan. Sebelum melaksanakan pemerintahan
keduanya lebih dahulu disumpah secara Islam oleh Datu Qadi. Kedua orang

bersaudara itu setelah disumpah diberi gelar masingmasing Dea Dasin Salidin
dan Dea Gamal. Dea Dasin Salidin memegang adat dan pemerintahan dari
Samongal Moyo Hilir (Paroso) sampai ke Buir (Juru Mapin) Alas. Sedang Dea
Gamal bertugas menjaga dan meneliti adat secara Islami.
Adat dalam penyelenggaraan pemerintahan saat itu adalah adat yang bersifat
asli (primitive) yang dilaksanakan secara Islami artinya bersendikan syara dan
Kitabullah. Sampai sekarang adat-adat ini sebagian masih dipertahankan sesuai
dengan jamannya.
Dalam melaksanakan tugasnya Dea Dasin Salidin diberikan imbalan tanah sawah
berlokasi di Orong Rea. Tanah Sawah ini disebut Uma Panyaka. Yang diberikan
kepercayaan untuk penyelenggaraan sawah itu adalah orangorang dari Dusun
Sengkal dan Dusun Batu Bulan. Mereka ini bukan budak tetapi disebut Tau Sanak
(artinya orang yang dipandang sebagai keluarga).
Dea Dasin Salidin adalah sosok pemimpin yang memiliki rasa kasih sayang yang
tinggi terhadap rakyatnya, sehingga rakyat pada waktu itu juga memiliki rasa
berbakti yang tinggi pula. Dalam perjalanan hidup akhirnya Dea Dasin Salidin
(pertama) wafat dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Tidak lama setelah Dea Dasin
1 wafat dan dimakamkan, diangkatlah Dea Dasin 2 yang merupakan putera dari
Dea Dasin 1. Dea Dasin 2 dikenal juga dengan nama Dea Dasin Ali. Dea Dasin 2
ini merupakan tokoh yang tangkas, tegap, jujur dan adil pula. Sebagai bukti
bahwa Dea Dasin 2 adalah sosok pemimpin yang jujur dan adil yaitu ketika
anaknya yang bernama Poro Ali (bakal Dea Dasin 3) menentang adat maka
anaknya itu dimasukkan bui. Kedatangan Belanda ke Sumbawa pada waktu itu
tidak banyak mempengaruhi perilaku rakyat karena adat dilaksanakan sangat
kuat sesuai dengan syariat Islam. Atas sikap adil yang luar biasa yang
ditunjukkan oleh Dea Dasin 2 maka pihak Belanda pada waktu itu memberikan
dan menyematkan Bintang Jasa dari emas.
Sesuai dengan adat maka disamping Dea Dasin ada Dea Gamal yang bertugas
menjaga dan meneliti adat secara Islami. Penjagaan adat itu mulai dari dalam
Istana sampai ke lapangan , yaitu misalnya adat di masjid, adat di rumah-rumah
pejabat, adat di rumah, adat berhadapan dengan guru agama, alim ulama, dan
lain-lain. Di Istana, dua jabatan adat yang dijabat oleh dua bersaudara ini urutan
duduknya sebagai berikut. Sultan berjejer dengan Menteri Lante. Dea Dasin dan
Dea Gamal berjejer dengan b>Adipati Raja. Mereka duduk berhadapan dengan
Raja (Sultan) dalam bermusyawarah adat atau lainnya. Jika salah seorang belum
hadir maka musyawarah adat belum dimulai.
Dea Gamal (1, 2 dan 3) pada jamannya masingmasing mempunyai tugas yang
sama. Imbalannya adalah sawah di Kecamatan Utan sekarang yang disebut
dengan Uma Gamal. Sampai sekarang ini sawah tersebut tetap dikenal dengan
nama Uma Gamal.
Asal usul Dea Dasin dan Dea Gamal ini adalah keturunan Sulawesi. Demikian
pula dengan Sultan Sumbawa. Buir identik dengan Bekat. Jika orang menyebut
Buir maka sudah termasuk di dalamnya Kalabeso, Tarusa, dan Jurumapin. Dan
jika orang menyebut Bekat maka termasuk didalamnya adalah Poto, Malili, dan
Lengas, yang masih dapat dilihat sekarang adalah pakaian adat istana yang
dulunya dipakai oleh kedua pejabat ini.

Sumber : A.W. Syihabuddin Z.

BATU BELA
Keluarga terdiri dari ibu dan anak perempuan
Tidak berbakti kepada orang tua
Dinasehati
Sombong dan pemalas
Pergi masuk hutan
Batu belah dan si durhaka masuk ke dalam
Ibu menyusul dan kasip

Ne Bote dan Ne Kakura


Monyet dan kura-kura berteman
Banjir datang
Kura-kura menyeret batang pohon pisang
Menanam pohon pisang
Pisang berbuah
Monyet memeriksa buah pisang
Tamak dan serakah
Monyet jatuh ke banjir keruh
Tamat riwayat

So Rojak

Datu Rango Berang


Kre kure
Tanjung menangis
Baham
Datu Getih Puti
Keramat Mampis

Anda mungkin juga menyukai