Karena ada amanah dari Tuan Tapa maka Raja Linge memutuskan
ikut mengantarkan ke Kuta Raja, karena itu kami kembali ke Linge
untuk mengantar obat istrinya. Namun di sepanjang jalan hamba
tergiur ingin menyantap daging kerbau putih tersebut maka
hamba mencuri 2 ekor kerbau tersebut dan hamba
menyantapnya, Raja Linge panik dan mencari pencurinya lalu
hamba memfitnah Kule si raja harimau sebagai pencurinya, lalu
Raja Linge membunuhnya.
Dalam perjalanan dari Linge ke Kuta Raja kami beristirahat di tepi
sungai Peusangan dan terbit lagi selera hamba untuk melahap
kerbau yang lezat itu, lalu hamba mencuri 2 ekor lagi, Raja Linge
marah besar lalu hamba memfitnah Buya si raja buaya sebagai
pencurinya maka dibunuhlah buaya itu. Saat akan masuk Kuta
Raja, Raja Linge membersihkan diri dan bersalin pakaian ditepi
sungai, lalu hamba mencuri 2 ekor kerbau dan menyantapnya
tetapi kali ini Raja Linge mengetahuinya lalu kami bertengkar dan
berkelahi, Raja Linge memiliki kesempatan membunuh hamba
tetapi dia tidak melakukannya sehingga hamba lah yang
membunuhnya,” cerita naga sambil berurai air mata.
Sultan yang memerintah kerajaan pada waktu itu adalah Sultan Aji
Muhammad. Sultan mempunyai seorang putri bernama Aji Tatin.
Putri tersebut menikah dengan Raja Kutai. Kepada ayahnya, Aji
Tatin meminta warisan untuk masa depannya. Sultan Aji
Muhammad kemudian memberikan wilayah teluk yang saat itu
memang belum memiliki nama.
Pada suatu hari, ketika orang-orang yang bertugas mengumpulkan
upeti dari rakyat untuk Aji Tatin sedang naik perahu, datanglah
angin topan yang dahsyat. Upeti dari rakyat yang sedang mereka
bawa saat itu berupa papan dengan jumlah yang sangat banyak.
Karena merasa tidak mampu untuk melawan badai, para
pendayung perahu tersebut berusaha merapat ke pantai. Namun,
karena gelombang yang sangat besar dan angin topan tersebut,
perahu pun terhempas ke sebuah karang. Alat untuk mendayung
(tokong/galah) pun patah dan perahu pun karam. Panglima
Sendong yang memimpin rombongan tersebut dan semua anak
buahnya meninggal.
Mbu’i Bungale sangat sedih setelah tidak dapat kembali ke Kahyangan. Ia menangis di pinggir mata air
Tupalo. Jilumoto lantas mendekati dan berpura-pura menanyakan penyebab sedihnya bidadari itu.
Jilumoto lalu melamar Mbu’i Bungale setelah mereka berkenalan beberapa saat, Mbu’i Bungale
menerima lamaran itu. Keduanya pun menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mereka dirikan di
puncak bukit Huntu Io Tiopol. Di ladang dekat rumahnya, Jilumoto kemudian bercocok tanam.
Setelah beberapa saat tinggal di bumi dan menjadi istri Jilumoto, Mbu’i Bungale mendapat kiriman dari
Kahyangan berupa bimulela, yaitu sebuah batu mustika sebesar telur itik. Mbu’i Bungale menyimpan
batu mustika berharga itu di dekat mata air Tupalo. Untuk menyamarkannya, Mbu’i Bungale menutupinya
dengan sebuah tudung.
Salah seorang dari empat orang itu mengetahui, kejadian aneh tersebut berhubungan dengan tudung
yang mereka lihat. Ia pun segera makan sirih dan meludahi tudung itu dengan air sepah yang telah
dimantrainya. Tudung itu akhirnya dapat mereka angkat dan terkejutlah mereka ketika mendapati
mustika sebesar telur itik di bawah tudung.
Sebelum empat orang itu mengambil mustika bimulela di bawah tudung itu, Mbu’i Bungale dan Jilumoto
datang ke tempat itu. Kedatangan suami istri itu hendak mengambil mustika bimulela.
“Jangan kalian sentuh atau ambil mustika milikku itu!” seru Mbu’i Bungale.
Terjadilah perselisihan pendapat karena empat orang itu mengaku sebagai pemilik mustika bimulela.
Bahkan, mereka juga mengaku sebagai pemilik wilayah itu. Mbu’i Bungale mengingatkan agar mereka
tidak berbohong dengan mengakui wilayah di mana mata air Tupalo berada itu sebagai milik mereka.
“Jika kalian mengaku pemilik wilayah ini, cobalah kalian memperluas mata air Tupalo itu,” tantang Mbu’i
Bungale.
Empat orang itu menerima tantangan Mbu’i Bungale. Keempatnya segera menyatukan kesaktian mereka
untuk memperluas mata air Tupalo. Meski mereka telah mengerahkan segenap kemampuan dan
kesaktian mereka, mata air Tupalo tidak bisa mereka perluas. Mereka akhirnya menyerah.
“Apakah engkau sendiri dapat memperluas mata air ini?” kata salah seorang dari empat orang itu.
Mbu’i Bungale tidak menjawab. Ia lalu duduk dan bersedekap kemudian berkata, “Woyi … air kehidupan,
mata air sakti, mata air yang mempunyai berkah, melebar dan meluaslah! Wahai mata air para bidadari
membesar dan meluaslah! Membesar dan meluaslah!”
Mbu’i Bungale lantas mengajak suaminya untuk naik ke atas pohon. Ia juga memperingatkan kepada
empat orang itu untuk segera menyingkir dari tempat itu karena tidak lama lagi wilayah itu akan
terendam air.
Setelah Mbu’i Bungale, Jilumoto, dan empat orang itu telah menyingkir, terdengar suara bergemuruh dari
dalam tanah. Perlahan-lahan mata air Tupalo membesar dan meluas. Air yang memancar keluar dari
mata air itu kian membesar dan terus membesar. Dengan cepat wilayah itu tergenang air. Air meninggi
dan terus rneninggi. Empat orang yang mengakui wilayah itu adalah wilayah mereka merasa takjub dan
tercengang. Mereka sangat takut tenggelam, terlebih-lebih air terus meninggi hingga hampir mengenai
tempat di mana mereka berada. Mereka berteriak-teriak, “Maafkan kami Mbu’i Bungale, ampun! Kami
mengaku salah! Kami bukan pemilik wilayah ini, engkaulah pemilik yang sesungguhnya! Maafkan kami!
Ampuni kami!”
Mbu’i Bungale kembali bersedekap dan berdoa. Tak berapa lama kemudian air tidak lagi cepat meninggi.
Semburan air dari mata air Tupalo kembali memancar seperti awalnya. Empat orang itu segera
menghampiri Mbu’i Bungale untuk menyatakan permohonan maaf mereka. Mbu’i Bungale menerima
permohonan maaf mereka.
Mbu’i Bungale memegang mustika bimulela. Keajaiban pun terjadi. Dari rnustika bimulela itu keluar bayi
perempuan. Wajah Si bayi terlihat cantik, bercahaya seperti rembulan. Mbu’i Bungale memberinya nama
Tolango Hula (Berasal dari Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya bulan). Mbu’i Bungale dan Jilumoto
segera membawa Tolango Hula ke rumah mereka. Namun, sebelum Mbu’i Bungale meninggalkan
tempat itu, ia melihat lima buah jeruk terapung-apung di tengah danau. Mbu’i Bungale mengambil buah
jeruk itu. Ia keheranan, buah jeruk itu sama dengan buah jeruk yang terdapat di Negeri Kahyangan.
Keheranan Mbu’i Bungale kian menjadi-jadi saat melihat satu pohon jeruk yang tengah berbuah amat
lebat. Segera clipanggilnya suminya, “Suamiku, lekaslah ke sini!”
Jilumoto datang mendekat. “Suamiku, bukankah pohon jeruk ini berasal dari Kahyangan?”
Jilumoto membenarkan pertanyaan istrinya. Ia juga keheranan mengapa pohon dari Kahyangan itu bisa
tumbuh di daerah tempat tinggal mereka.
Mbu’i Bungale yakin, tumbuhnya pohon jeruk yang biasa tumbuh di Kahyangan itu karena kebesaran
Tuhan. Oleh karena itu, untuk mengenang kejadian tersebut, Mbu’i Bungale dan Jilumoto kemudian
menamakan danau itu dengan nama Butalo lo limu o tutu’.
Masyarakat pun kemudian menyebut danau itu dengan nama Bulalo lo Limutu dan lebih terkenal ia
dengan nama danau Limboto.
MENAK JINGGO Dan DAMAR WULAN
Cerita Rakyat Jawa Tengah
Tak terkirakan kemarahan Adipati Menakjingga ketika utusannya kembali ke Kadipaten Blambangan dan
menyatakan lamaran sang adipati ditolak Ratu Majapahit. Tanpa berpikir panjang, Adipati Menakjingga
segera memerintahkan segenap prajurit Blambangan untuk bersiap-siap guna menyerang Majapahit.
Adipati Menakjingga Iangsung memimpin penyerangan tersebut.
Perang dahsyat segera meletus setelah kekuatan Majapahit dikerahkan untuk menghadapi kekuatan
Blambangan. Adipati Menakjingga mengamuk dalam peperangan dahsyat itu. Dengan senjata Gada
Wesi Kuning saktinya, ia menghadapi ratusan prajurit Majapahit yang ditugaskan untuk meringkusnya.
Benar-benar menggetarkan kesaktian Adipati Menakjingga, karena dengan sekali tebasan Gada Wesi
Kuning-nya, belasan hingga puluhan prajurit Majapahit tewas karenanya.
Para prajurit Majapahit akhirnya mundur karena tidak sanggup menghadapi amukan Adipati Menakjingga
dan juga keperkasaan para prajurit Blambangan. Ratu Ayu Kencana Wungu sangat bersedih mendapati
kekalahan para prajuritnya. Ia pun lantas bersemedi, memohon petunjuk dari Dewa untuk mengatasi
masalah besar yang tengah dihadapinya tersebut. Petunjuk itu pun didapatkan sang ratu. `Menakjingga
akan binasa jika berhadapan dengan pemuda bernama Damar Wulan!”
Ratu Ayu Kencana Wungu lantas memerinhkan Patih Logender untuk mencari pemuda bernama Damar
Wulan. Sosok pemuda yang dimaksud akhirnya diketemukan. la tinggal jauh di luar kotaraja Majapahit.
Dia segera diiringkan untuk menghadap Ratu Ayu Kencana Wungu di istana kerajaan Majapahit.
“Damar Wulan,” kata Ratu Ayu Kencana wungu setelah Damar Wulan duduk bersimpuh di hadapannya,
“kuperintahkan engkau untuk melenyapkan Adipati Menakjingga yang telah merusuh dan menyebabkan
kerusakan di Majapahit. Bawa kepala Menakjingga di hadapanku sebagai wujud rasa baktimu pada
Majapahit dan juga diriku!”
Setelah menghaturkan sembahnya, Damar Wulan segera menuju Blambangan seorang diri. Seketika
tiba di alun-alun Kadipaten Blambangan, Damar Wulan lalu menantang bertarung Adipati Menakjingga.
Tak terkirakan kemarahan Adipati Menakjingga. Segera dilayaninya tantangan Damar Wulan. Setelah
melalui pertarungan yang sengit, Adipati Menakjingga mampu mengalahkan Damar Wulan. Damar
Wulan pingsan terkena hantaman Gada Wesi Kuning. Para prajurit Blambangan lantas menangkap dan
memenjarakan Damar Wutan di penjara Kadipaten Blambangan. Pertolongan akhirnya tiba bagi Damar
Wulan. Tanpa diduganya, dua selir Adipati Menakjingga memberikan bantuannya. Dewi Wahita dan Dewi
Puyengan nama kedua selir tersebut. Keduanya sesungguhnya sangat membenci Adipati Menakjingga.
Mereka sangat berharap Damar Wulan mampu membunuh Adipati Menakjingga agar diri mereka
terbebas dari penguasa Kadipaten Blambangan yang kejam lagi sewenang-wenang itu.
Dewi Wahita dan Dewi Puyengan membuka rahasia kesaktian Adipati Menakjingga. “Rahasia kesaktian
Adipati Menakjingga berada pada Gada Wesi Kuningnya,” kata mereka. “Tanpa senjata sakti andalannya
itu, niscaya engkau akan dapat mengalahkannya.”
Damar Wulan meminta tolong kepada Dewi Wahita dan Dewi Puyengan untuk mengambil senjata
andalan Adipati Menakjingga tersebut. Dengan diam-diam, Gada Wesi Kuning itu akhirnya berhasil
diambil dua selir Adipati Menakjingga tersebut. Gada Wesi Kuning lantas diserahkan kepada Damar
Wulan. Dengan bersenjatakan Gada Wesi Kuning, Damar Wulan pun kembali menantang Adipati
Menakjingga.
Pertarungan antara Adipati Menakjingga dan Damar Wulan kembali terjadi. Sangat seru pertarungan
mereka. Akhirnya Adipati Blambangan yang terkenal sombong, kejam, lagi sewenang-wenang itu
menemui kematiannya setelah tubuhnya terkena hantaman Gada Wesi Kuning. Kepalanya dipenggal.
Damar Wulan lantas membawa potongan kepala Adipati Menakjingga kembali ke Majapahit.
Sesungguhnya perjalanan Damar Wulan ke Blambangan itu diikuti oleh dua anak Patih Logender yang
bernama Layang Seta dan Layang Kumitir. Keduanya mengetahui keberhasilan Damar Wulan
menjalankan titah Ratu Ayu Kencana Wungu. Keduanya lantas merencanakan siasat licik untuk merebut
potongan kepala Adipati Menakjingga dan mengakui sebagai pembunuh Adipati Menakjingga di hadapan
Ratu Ayu Kencana Wungu. Dengan demikian mereka berharap akan mendapatkan hadiah yang sangat
besar dari penguasa takhta Majapahit itu.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Majapahit, Damar Wulan dicegat Layang Seta dan Layang Kumitir.
Terjadilah pertarungan di antara mereka. Damar Wulan dikeroyok dua saudara kandung anak Patih
Logender tersebut. Pada suatu kesempatan, mereka berhasil merebut kepala Adipati Menakjingga dan
bergegas meninggalkan Damar Wulan. Setibanya di istana Majapahit, Layang Seta dan Layang Kumitir
segera menghadap Ratu Ayu Kencana Wungu. Mereka menyatakan bahwa mereka telah berhasil
mengalahkan Adipati Menakjingga. Mereka lantas menyerahkan potongan kepala Adipati Menakjingga
kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.
Sebelum Ratu Ayu Kencana Wungu berujar; datanglah Damar Wulan. Damar Wulan menyatakan
keberhasilannya mengalahkan Adipati Menakjingga dan memenggal kepalanya. “Ampun Gusti Prabu, di
tengah jalan hamba dihadang dua orang dan potongan kepala Adipati Menakjingga itu berhasil mereka
rebut.”
Ucapan Damar Wulan segera disanggah Layang Seta dan Layang Kumitir yang menyatakan jika mereka
itulah yang berhasil mengalahkan Adipati Menakjingga. Damar Wulan akhirnya mengetahui jika dua
orang itulah yang menghadangnya dan merebut potongan kepala Adipati Menakjingga.
Perselisihan antara Damar Wulan dan dua anak Patih Logender itu purl kian memanas. Ratu Ayu
Kencana Wungu menengahi perselisihan itu. Katanya, “Untuk membuktikan pengakuan siapakah di
antara kalian yang benar, maka selesaikan secara jantan. Bertarunglah kalian. Siapa yang menang di
antara kalian, maka dialah yang benar.”
Pertarungan antara Damar Wulan melawan Layang Seta dan Layang Kumitir kembali terjadi. Kebenaran
itu akhirnya terbuka setelah Damar Wulan berhasil mengalahkan kakak beradik anak Patih Logender
tersebut. Layang Seta dan Layang Kumitir akhirnya mengaku bahwa yang mengalahkan Adipati
Menakjingga sesungguhnya Damar Wulan. Meski mereka telah mengakui, namun tak lepas pula mereka
dari hukuman. Ratu Ayu Kencana Wungu memerintahkan prajurit untuk memenjarakan Layang Seta dan
Layang Kumitir karena telah berani berdusta kepadanya.
Ratu Ayu Kencana Wungu kemudian memberikan hadiah yang luar biasa bagi Damar Wulan. Damar
Wulan diperkenankan Ratu Ayu Kencana Wungu untuk menikahinya. Pesta pernikahan antara Ratu Ayu
Kencana Wungu dan Damar Wulan pun dilangsungkan secara besar-besaran. Segenap rakyat Majapahit
bergembira karena ratu mereka akhirnya bersuami. Suami sang ratu adalah sosok yang terbukti besar
rasa baktinya kepada Majapahit karena berhasil mengalahkan Adipati Menakjingga yang telah
memporak-porandakan kedamaian dan ketenteraman Majapahit.
Joko Dolog
Cerita Rakyat Madura
Syarat Purbawati itu, meski sesungguhnya sangat berat karena hutan itu terkenal angker dan
berbahaya, disanggupi Pangeran Situbondo. Dengan kesaktiannya, Pangeran Situbondo sangat yakin
mampu melaksanakan syarat yang diajukan putri Adipati Jayengrana yang sangat dicintainya itu,
Pangeran Situbondo lantas membuka hutan seperti yang dikehendaki Purbawati. Ketika Pangeran
Situbondo tengah membuka hutan, datanglah Pangeran Jaka Taruna ke Kadipaten Surabaya. Sangat
terperanjat ia ketika mengetahui Pangeran Situbondo tengah membuka hutan sebagai syarat sebelum
memperistri kekasih hatinya. Ia lantas memberanikan diri menghadap Adipati Jayengrana untuk melamar
Purbawati. Kepada Adipati Jayengrana, Pangeran Jaka Taruna menyatakan jika ia dan Purbawati telah
lama menjalin hubungan kasih.
Adipati Jayengrana tampak kebingungan. Agak menyesal ia mengapa Pangeran Jaka Taruna terlambat
datang sehingga Pangeran Situbondo telah tertebih dahulu melaksanakan sayembara yang diminta
Purbawati. Adipati Jayengrana kembali menyerahkan sepenuhnya masalah itu kepada putrinya
mengingat hubungan baiknya dengan Adipati Kediri dan juga dengan ayahanda Pangeran Situbondo.
Purbawati lantas meminta Pangeran Jaka Taruna yang dicintainya itu untuk turut membuka hutan.
Pangeran Jaka Taruna lalu turut membuka hutan di dekat tempat Pangeran Situbondo tengah membuka
hutan. Tak terkirakan kemarahan Pangeran Situbondo ketika mendapati Pangeran Jaka Taruna turut
membuka hutan. Perselisihan antara dua putra Adipati itu pun tak terelakkan lagi disusul dengan
pertarungan yang sengit. Kedua pangeran itu saling menumpahkan kesaktiannya untuk sating
mengalahkan demi mendapatkan Purbawati. Kesaktian Pangeran Situbondo masih di atas Pangeran
Jaka Taruna. Pangeran Situbondo mampu memukul putra Adipati Kediri itu hingga tubuh Pangeran Jaka
Taruna terpental jauh membumbung hingga tersangkut pada dahan pohon yang sangat tinggi. Pangeran
Situbondo lantas meninggalkan tempat itu begitu saja.
Pangeran Jaka Taruna berteriak-teriak meminta tolong karena tidak mampu melepaskan diri dari kondisi
yang menjeratnya. Suara teriakannya keras menggema di hutan belantara itu. Namun, tidak ada yang
datang menolongnya mengingat hutan belantara tersebut jarang dilewati orang. Pangeran Jaka Taruna
terus berteriak-teriak meminta tolong. Syandan, lewatlah seorang pemuda di hutan belantara itu. Jaka
Jumput namanya. Ia tengah mencari bahan-bahan untuk racikan obat-obatannya. Mendengar teriakan
Pangeran Jaka Taruna, Jaka Jumput segera memberikan pertolongannya. Dengan kesaktiannya, Jaka
Jumput berhasil melepaskan dan menurunkan Pangeran Jaka Taruna.
Pangeran Jaka Taruna lalu menceritakan kejadian yang dialaminya. Ia juga meminta agar Jaka Jumput
membantunya untuk mengalahkan Pangeran Situbondo.
“Jika hamba bisa mengalahkan Pangeran Situbondo,” kata Jaka Jumput, “apa imbalan yang akan hamba
dapatkan?”
“Apapun juga yang engkau kehendaki, niscaya aku akan memberikannya,” jawab Pangeran Jaka
Taruna.
Jaka Jumput lantas mencari Pangeran Situbondo. Seketika ditemukannya, Jaka Jumput lalu menantang
Pangeran Situbondo. Tak terkirakan kemarahan Pangeran Situbondo mendapat tantangan Jaka Jumput.
Keduanya segera terlibat dalam pertarungan yang sangat seru, sementara Pangeran Jaka Taruna hanya
menonton dari kejauhan. Jaka Jumput ternyata benar-benar tangguh. Amat tinggi kesaktiannya. Meski
Pangeran Situbondo mengerahkan segenap kemampuan dan kesaktiannya, tak berdaya pula pada
akhirnya menghadapi Jaka Jumput. Pangeran Situbondo lantas melarikan diri setelah merasa kalah. Ia
terus berlari, tidak kembali ke Madura melainkan ke sebuah wilayah di sebelah timur dari Kadipaten
Surabaya. Wilayah itu di kemudian hari disebut sesuai dengan nama pangeran dari Madura tersebut,
Situbondo.
Ketika mendapati Pangeran Situbondo telah kalah dan melarikan diri, Pangeran Jaka Taruna bergegas
kembali ke Kadipaten Surabaya. Segera ia menghadap Adipati Jayengrana dan menyatakan jika ia telah
mengalahkan Pangeran Situbondo.
“Benar, Paman Adipati,” sahut Pangeran Jaka Taruna. “Setelah kami bertarung, Pangeran Situbondo
dapat hamba kalahkan. Ia terus berlari ke arah timur tanpa berani lagi menghadapi hamha. Dengan ini
hamba mohon perkenan Paman Adipati untuk memberikan restu kepada hamba yang ingin menyunting
putri Paman.”
Namun, kebohongan Pangeran Jaka Taruna seketika itu terbongkar ketika Jaka Jumput juga datang di
Kadipaten Surabaya dan menyergah, “Bohong! Pangeran Jaka Taruna telah berbohong kepada Paduka,
Kanjeng Adipati!”
Adipati Jayengrana terperanjat mendengar sergahan Jaka Jumput. Tanyanya, “Bagaimana maksudmu
dengan menyebut Pangeran Jaka Taruna berbohong?”
“Hamba yang mengalahkan Pangeran Situbondo, Kanjeng Adipati,” jawab Jaka Jumput. Ia lantas
menceritakan kejadian yang dialaminya sejak ia bertemu dengan Pangeran Jaka Taruna yang tersangkut
di dahan pohon tinggi hingga akhirnya mengalahkan Pangeran Situbondo.
Pangeran Jaka Taruna mati-matian menyanggah ucapan Jaka Jumput. Ia terus mengemukakan
kebohongan demi kehohongan untuk menutupi kebohongan yang diucapkannya sebelumnya.
Adipati Jayengrana segera menengahi perselisihan pendapat antara Pangeran Jaka Taruna dan Jaka
Jumput. “Apa bukti yang kalian miliki jika kalian sama-sama mengaku mengalahkan Pangeran
Situbondo?”
Pangeran Jaka Taruna tidak mempunyai bukti. Ia hanya meminta agar Adipati Jayengrana memercayai
penjelasannya. Berbeda dengan Pangeran Jaka Taruna, Jaka Jumput mempunyai bukti berupa keris
milik Pangeran Situbondo. Bukti itu pun diserahkan Jaka Jumput kepada Adipati Jayengrana.
Adipati Jayengrana memeriksa keris itu. Katanya kemudian, “Benar, keris ini milik Pangeran Situbondo.”
Pangeran Jaka Taruna amat malu karena kebohongannya telah terbongkar. Namun, dia tetap bersikeras
menyatakan jika dirinyalah yang mengalahkan Pangeran Situbondo. Bahkan, untuk membuktikan
kesaktiannya, dia menantang Jaka Jumput untuk bertarung.
“Baiklah,” kata Adipati Jayengrana. “Siapa di antara kalian yang menang, maka berhak is menyunting
putriku.”
Pangeran Jaka Taruna dan Jaka Jumput segera terlibat dalam pertarungan yang seru. Pangeran Jaka
Taruna bersenjatakan keris pusakanya, sementara Jaka Jumput menghadapinya dengan senjata
andalannya berupa cambuk yang diberinya Hama Kyai Gembolo Geni. Beberapa saat terlibat dalam
pertarungan, Pangeran Jaka Taruna tak mampu menandingi kesaktian Jaka Jumput. Tubuh Pangeran
Jaka Taruna tergeletak di atas tanah setelah terkena cambuk sakti Kyai Gembolo Geni. Pangeran Jaka
Taruna kalah.
“Hei Pangeran Jaka Taruna!” seru Adipati Jayengrana, “Telah terbukti engkau membohongiku! Betapa
beraninya engkau berbohong kepadaku dengan mengaku mampu mengalahkan Pangeran Situbondo!”
Pangeran Jaka Taruna hanya terdiam. Ia benar-benar malu. “Mengapa engkau hanya terdiam saja, hei
Pangeran Jaka Taruna?” tanya Adipati Jayengrana dengan perasaan jengkel. “Mengapa engkau tidak
menjawab pertanyaanku?”
Pangeran Jaka Taruna tetap terdiam. Adipati Jayengrana kian jengkel mendapati Pangeran Jaka Taruna
tetap terdiam. “Jaka Taruna!” seru Adipati Jayengrana, “Mengapa engkau hanya diam seperti patung?”
Keajaiban pun terjadi. Ucapan Adipati Jayengrana menjadi kenyataan. Tubuh Pangeran Jaka Taruna
seketika itu berubah menjadi patung yang di kemudian hari dinamakan patung Joko Dolog.
Batu Raden
Cerita Rakyat Banyumas, Jawa Tengah
Suta baru saja melewati sebuah pohon mangga ketika ia mendengar jeritan seorang perempuan. Dia pun
berlari menuju sumber suara. Tampaklah seekor ular besar di balik pohan mahoni sedang membuka lebar-
lebar mulutnya, dan siap memangsa seorang perempuan di hadapannya. Perempuan itu berdiri kaku dengan
wajah pucat pasi.
Meskipun sempat takut melihat ular yang demikian besar, namun tanpa berpikir panjang Suta bergerak maju
mendekat. Dia berusaha menolong perempuan yang tak berdaya itu. Pengurus kuda Adipati ini memang
bukan seorang pemain pedang yang hebat, tetapi tekad kuat melawan ular besar itu membuatnya berani
menghadapi ular itu. Dengan susah payah pemuda kurus itu menaklukkan sang ular. Cabikan dan sabetan
pedangnya akhirnya berhasil mematikan hewan berbisa itu.
Seketika pula perempuan yang hampir dimangsa ular itu jatuh tergolek dan pingsan di tanah. Seorang emban
(inang pengasuh) membopongnya ke sisi pendopo tak jauh dari pohon mahoni. Suta pun mendatanginya. Ia
terkejut ketika mengetahui siapa yang telah dia selamatkannya tadi. Ternyata perempuan tersebut adalah putri
Adipati Kutaliman.
Sebagai salah satu penghuni kadipaten, Suta sebelumnya sudah sering mendengar tentang kecantikan dan
kehalusan budi pekerti putri Adipati. Tetapi, tak pernah jua dia bertemu. Dia sangat bahagia dapat bertatapan
langsung dengannya. Sang putri sangat berterima kasih pada Suta yang telah menyelamatkan nyawanya.
Sejak peristiwa tersebut, Suta dan putri Adipati menjadi akrab. Mereka sering bertemu dan mengobrol. Lama-
kelamaan mereka menjadi saling menyayangi. Hingga akhirnya Suta memberanikan diri melamar sang putri
kepada ayahnya, Adipati Kutaliman.
Adipati sebelumnya sudah mendengar kabar kedekatan putrinya dengan si pengurus kuda. Namun, dia tak
mengira Suta akan nekat melamar putrinya, mengingat status sosial keduanya yang jauh berbeda. Ketika suta
mengutarakan niatnya, Adipati murka. Dia merasa terhina. “Kuu ini seorang batur (pembantu). Tak pantas kau
berdampingan dengan putriku,” katanya.
Kemudian Adipati memerintahkan pengawal untuk memenjarakan abdinya tersebut di penjara bawah tanah.
Suta dinilai lancang karena berani meminang putri Adipati.
Mengetahui hal itu, sang putri pun sedih. Dia tak menyangka bila ayahnya akan sangat marah. Apalagi Suta
tak pernah di beri makan dan minum selama ia berada di dalam penjara yang lembap, gelap dan, pengap.
Hatinya perih mengetahui pria yang dicintainya itu menderita.
Putri Adipati kemudian menyusun rencana. Dia meminta bantuan seorang emban kepercayaannya
untuk mengeluarkan Suta dari penjara bawah tanah. Sementara itu ia menunggu bersama kudanya di salah
satu sisi di Kadipaten. Rencana pun dilaksanakan pada suatu malam, si emban mengendap-endap menuju
penjara bawah tanah. Dia berhasil melewati penjaga yang tertidur karena memakan kue yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Emban pun menemui Suta.
Di dalam sel, Suta terkapar lemah. Badannya yang semula kurus menjadi makin kurus. Dia juga
menggigil. Emban memberinya pakaian. Mereka kemudian keluar dan mendatangi putri Adipati yang sudah
berpakian layaknya warga desa.
Suta dan Putri menaiki kuda dan melaju ke luar Kadipaten. Untunglah malam itu sangat gelap pekat
sehingga sulit mengenali mereka berdua. Putri memacu kudanya semakin kencang. Dia mengarahkan
kudanya kearah selatan lereng Gunung Selamet.
Ketika hari beranjak siang, mereka lelah dan beristirahat di dekat sungai. Putri baru menyadari
bahwa Suta sedang sakit demam, dia pun merawat suta dengan penuh kasih sayang. Karena kesabarannya,
Suta pun berangsur pulih.
Suta dan Putri menyukai lokasi tempat mereka berada. Hawa yang sejuk serta pemandangannya
yang asri membuat mereka jatuh cinta. Akhirnya mereka menikah dan membina keluarga di sana. Kini tempat
tersebut di kenal dengan nama Baturaden yang artinya pembantu dan bangsawan.
Kelana Sakti
Cerita Rakyat Sumatrea Utara
***
Demikian cerita Kisah Putri Ular dari Simalungun, Sumatera Utara. Cerita di atas termasuk cerita rakyat
teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satunya adalah akibat buruk dari sifat putus asa. Sifat ini
tercermin pada sikap sang putri yang memohon kepada Tuhan agar dirinya dihukum, dan akhirnya ia
menjelma menjadi seekor ular besar. Sifat ini termasuk sifat tercela dan sangat dipantangkan dalam
kehidupan orang Melayu.