Anda di halaman 1dari 20

CERITA ALUE NAGA

Cerita Rakyat Sumatera

Suatu hari Sultan Meurah


mendapat khabar tentang
keresahan rakyatnya di suatu
tempat, lalu beliau mengunjungi
tempat tersebut yaitu sebuah
desa di pinggiran Kuta Raja untuk
mengetahui lebih lanjut keluhan
rakyatnya.

“Tuanku banyak ternak kami raib


saat berada di bukit Lamyong,” keluh seorang peternak.
“Terkadang bukit itu menyebabkan gempa bumi sehingga sering
terjadi longsor dan membahayakan orang yang kebetulan lewat
dibawahnya,” tambah yang lainnya. “Sejak kapan kejadian itu?”
Tanya Sultan Meurah. “Sudah lama Tuanku, menjelang Ayahanda
Tuanku mangkat,” jelas yang lain.

Sesampai di istana Sultan memanggil sahabatnya Renggali, adik


dari Raja Linge Mude. “Dari dulu aku heran dengan bukit di
Lamnyong itu,” kata Sultan Meurah. “Mengapa ada bukit
memanjang disana padahal disekitarnya rawa-rawa yang selalu
berair,” sambung Sultan Meurah. “Menurut cerita orang tua, bukit
itu tiba-tiba muncul pada suatu malam,” jelas Renggali, “abang
hamba, Raja Linge Mude, curiga akan bukit itu saat pertama sekali
ke Kuta Raja, seolah-olah bukit itu mamanggilnya,” tambahnya.
“Cobalah engkau cari tahu ada apa sebenarnya dengan bukit itu!”
Perintah Sultan.

Maka berangkatlah Renggali menuju bukit itu, dia menelusuri


setiap jengkal dan sisi bukit tersebut, mulai dari pinggir laut di
utara sampai ke kesisi selatan, “bukit yang aneh, “bisik Renggali
dalam hati. Kemudian dia mendaki bagian yg lebih tinggi dan
berdiri di atasnya, tiba-tiba dari bagian di bawah kakinya mengalir
air yang hangat. Renggali kaget dan melompat kebawah sambil
berguling. “Maafkan hamba putra Raja Linge!” Tiba-tiba bukit yang
tadi di pinjaknya bersuara. Renggali kaget dan segera bersiap-
siap, “siapa engkau?” Teriaknya. Air yg mengalir semakin banyak
dari bukit itu membasahi kakinya, “hamba naga sahabat
ayahmu,” terdengar jawaban dari bukit itu dikuti suara gemuruh.

Renggali sangat kaget dan di perhatikan dengan seksama bukit itu


yang berbentuk kepala ular raksasa walaupun di penuhi semak
belukar dan pepohonan. “Engkaukah itu? Lalu di mana ayahku?
Tanya Renggali. Air yang mengalir semakin banyak dan
menggenangi kaki Renggali. “Panggilah Sultan Alam, hamba akan
buat pengakuan!” Isak bukit tersebut. Maka buru-buru Renggali
pergi dari tempat aneh tersebut. Sampai di istana hari sudah
gelap, Renggali menceritakan kejadian aneh tersebut kepada
Sultan.

“Itukah Naga Hijau yang menghilang bersama ayahmu?” Tanya


Sultan Meurah penasaran. “Mengapa dia ingin menemui ayahku,
apakah dia belum tahu Sultan sudah mangkat?” tambah Sultan
Meurah. Maka berangkatlah mereka berdua ke bukit itu, sesampai
disana tiba-tiba bukit itu bergemuruh. “Mengapa Sultan Alam tidak
datang?” Suara dari bukit. “Beliau sudah lama mangkat, sudah
lama sekali, mengapa keadaanmu seperti ini Naga Hijau? Kami
mengira engkau telah kembali ke negeri mu, lalu dimana Raja
Linge?” Tanya Sultan Meurah. Bukit itu begemuruh keras sehingga
membuat ketakutan orang-orang tinggal dekat bukit itu.

“Hukumlah hamba Sultan Meurah,” pinta bukit itu. “Hamba sudah


berkhianat, hamba pantas dihukum,” lanjutnya. “Hamba sudah
mencuri dan menghabiskan kerbau putih hadiah dari Tuan Tapa
untuk Sultan Alam yang diamanahkan kepada kami dan hamba
sudah membunuh Raja Linge,” jelasnya. Tubuh Renggali bergetar
mendengar penjelasan Naga Hijau, “bagaimana bisa kamu
membunuh sahabatmu sendiri?” Tanya Renggali.

“Awalnya hamba diperintah oleh Sultan Alam untuk mengantar


hadiah berupa pedang kepada sahabat-sahabatnya, semua sudah
sampai hingga tinggal 2 bilah pedang untuk Raja Linge dan Tuan
Tapa, maka hamba mengunjungi Raja Linge terlebih dahulu, beliau
juga berniat ke tempat Tuan Tapa untuk mengambil obat istrinya,
sesampai di sana Tuan Tapa menitipkan 6 ekor kerbau putih untuk
Sultan Alam, kerbaunya besar dan gemuk.

Karena ada amanah dari Tuan Tapa maka Raja Linge memutuskan
ikut mengantarkan ke Kuta Raja, karena itu kami kembali ke Linge
untuk mengantar obat istrinya. Namun di sepanjang jalan hamba
tergiur ingin menyantap daging kerbau putih tersebut maka
hamba mencuri 2 ekor kerbau tersebut dan hamba
menyantapnya, Raja Linge panik dan mencari pencurinya lalu
hamba memfitnah Kule si raja harimau sebagai pencurinya, lalu
Raja Linge membunuhnya.
Dalam perjalanan dari Linge ke Kuta Raja kami beristirahat di tepi
sungai Peusangan dan terbit lagi selera hamba untuk melahap
kerbau yang lezat itu, lalu hamba mencuri 2 ekor lagi, Raja Linge
marah besar lalu hamba memfitnah Buya si raja buaya sebagai
pencurinya maka dibunuhlah buaya itu. Saat akan masuk Kuta
Raja, Raja Linge membersihkan diri dan bersalin pakaian ditepi
sungai, lalu hamba mencuri 2 ekor kerbau dan menyantapnya
tetapi kali ini Raja Linge mengetahuinya lalu kami bertengkar dan
berkelahi, Raja Linge memiliki kesempatan membunuh hamba
tetapi dia tidak melakukannya sehingga hamba lah yang
membunuhnya,” cerita naga sambil berurai air mata.

“Maafkanlah hamba, hukumlah hamba!” terdengar isak tangis


sang naga. Mengapa engkau terjebak disini?” Tanya Sultan
Meurah. “Raja Linge menusukkan pedangnya ke bagian tubuh
hamba sehingga lumpuhlah tubuh hamba kemudian terjatuh dan
menindihnya, sebuah pukulan Raja Linge ke tanah membuat tanah
terbelah dan hamba tertimbun di sini bersamanya,” jelas sang
naga.

“Hamba menerima keadaan ini, biarlah hamba mati dan terkubur


bersama sahabat hamba,” pinta Naga Hijau. “Berilah dia hukuman
Renggali, engkau dan abangmu lebih berhak menghukumnya,”
kata Sultan Meurah. “Ayah hamba tidak ingin membunuhnya,
apalagi hamba, hamba akan membebaskannya,” jawab Renggali.
“Tidak! Hamba ingin di hukum sesuai dengan perbuatan hamba,”
pinta Naga Hijau. “Kalau begitu bebaskanlah dia!” Perintah Sultan
Meurah.

Maka berjalanlah mereka berdua mengelilingi tubuh naga untuk


mencari pedang milik Raja Linge, setelah menemukannya,
Renggali menarik dengan kuat dan terlepaslah pedang tersebut
namun Naga Hijau tetap tidak mau bergerak. “Hukumlah hamba
Sultan Meurah!” Pinta Naga Hijau. “Sudah cukup hukuman yang
kamu terima dari Raja Linge, putranya sudah membebaskanmu,
pergilah ke negerimu!” Perintah Sultan Meurah.

Sambil menangis naga tersebut menggeser tubuhnya dan


perlahan menuju laut. Maka terbentuklah sebuah alur atau sungai
kecil akibat pergerakan naga tersebut. Maka di kemudian hari
daerah di pinggiran Kuta Raja itu disebut Alue Naga, disana
terdapat sebuah sungai kecil yang disekitarnya di penuhi rawa-
rawa yang selalu tergenang dari air mata penyesalan seekor naga
yang telah mengkhianati sahabatnya.
ASAL MULA BALIKPAPAN
Cerita Rakyat KALIMANTAN TIMUR

Menurut cerita rakyat yang


diceritakan secara turun temurun
di kalangan masyarakat
Kalimantan Timur, sejak tahun
1700 an di tanah Pasir sudah ada
sistem pemerintahan kerajaan
yang sangat teratur. Di bawah
pemerintahan kerajaan tersebut,
rakyat hidup sejahtera. Kekuasaan
raja yang memimpin pada waktu itu sangat luas, membentang
hingga ke bagian selatan. Daerah tersebut merupakan sebuah
teluk yang kaya akan hasil laut, dan pemandangan disana pun
sangat indah. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di
sepanjang teluk hidup sebagai nelayan dan petani yang sangat
makmur.

Sultan yang memerintah kerajaan pada waktu itu adalah Sultan Aji
Muhammad. Sultan mempunyai seorang putri bernama Aji Tatin.
Putri tersebut menikah dengan Raja Kutai. Kepada ayahnya, Aji
Tatin meminta warisan untuk masa depannya. Sultan Aji
Muhammad kemudian memberikan wilayah teluk yang saat itu
memang belum memiliki nama.
Pada suatu hari, ketika orang-orang yang bertugas mengumpulkan
upeti dari rakyat untuk Aji Tatin sedang naik perahu, datanglah
angin topan yang dahsyat. Upeti dari rakyat yang sedang mereka
bawa saat itu berupa papan dengan jumlah yang sangat banyak.
Karena merasa tidak mampu untuk melawan badai, para
pendayung perahu tersebut berusaha merapat ke pantai. Namun,
karena gelombang yang sangat besar dan angin topan tersebut,
perahu pun terhempas ke sebuah karang. Alat untuk mendayung
(tokong/galah) pun patah dan perahu pun karam. Panglima
Sendong yang memimpin rombongan tersebut dan semua anak
buahnya meninggal.

Jadi, menurut legenda atau cerita rakyat Kalimantan Timur ini,


nama Balikpapan diambil dari kejadian saat perahu yang berisi
papan terbalik karena diterpa badai. Sedangkan pulau karang
yang tertabrak oleh perahu hingga karam kini dinamakan Pulau
Tukung.

ASAL MULA DANAU LIMBOTO


Cerita Rakyat Gorontalo

Wilayah Limboto pada masa lampau merupakan wilayah


laut yang luas. Suatu ketika air laut surut hingga wilayah itu
pun menjadi hamparan hutan yang luas. Di hutan itu
muncul beberapa mata air. Salah satunya adalah mata air
Tupalo yang berair sangat jernih. Tujuh bidadari bersaudara
dari Kahyangan kerap mandi di mata air Tupalo itu.

Tersebutlah seorang penduduk Kahyangan datang


berkunjung ke bumi. Ia menjelma menjadi manusia.
Jilumoto sebutannya. Jilumoto yang berwajah tampan itu suatu hari melintas di dekat mata air Tupalo.
Pada saat yang bersamaan tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan tengah mandi di mata air Tupalo.
Jilumoto terperanjat mendapati kecantikan tujuh bidadari itu. Ia pun sangat berhasrat memperistri salah
satu bidadari itu. Ia lalu mengambil dan menyembunyikan salah satu sayap yang ditanggalkan para
bidadari itu selama mereka mandi.
Menjelang sore, tujuh bidadari itu selesai mandi. Mereka hendak kembali ke Kahyangan. Bidadari tertua,
Mbu’i Bungale namanya, tidak menemukan sayapnya. Enam adiknya telah berusaha mencari, sayap
Mbu’i Bungale tidak juga mereka temukan. Mereka terpaksa meninggalkan kakak sulung mereka di
bumi.

Mbu’i Bungale sangat sedih setelah tidak dapat kembali ke Kahyangan. Ia menangis di pinggir mata air
Tupalo. Jilumoto lantas mendekati dan berpura-pura menanyakan penyebab sedihnya bidadari itu.
Jilumoto lalu melamar Mbu’i Bungale setelah mereka berkenalan beberapa saat, Mbu’i Bungale
menerima lamaran itu. Keduanya pun menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mereka dirikan di
puncak bukit Huntu Io Tiopol. Di ladang dekat rumahnya, Jilumoto kemudian bercocok tanam.

Setelah beberapa saat tinggal di bumi dan menjadi istri Jilumoto, Mbu’i Bungale mendapat kiriman dari
Kahyangan berupa bimulela, yaitu sebuah batu mustika sebesar telur itik. Mbu’i Bungale menyimpan
batu mustika berharga itu di dekat mata air Tupalo. Untuk menyamarkannya, Mbu’i Bungale menutupinya
dengan sebuah tudung.

Beberapa waktu kemudian terdapat empat orang yang


melintas di dekat mata air Tupalo. Mereka kehausan setelah
menempuh perjalanan jauh. Empat orang itu lantas meminum
air dari mata air Tupalo. Salah seorang dari mereka melihat
tudung. Ia memberitahukan hal itu pada tiga temannya. Ketika
mereka mencoba mendekati, tiba-tiba muncul angin besar
yang menderu ke arah mereka. Hujan yang sangat lebat
seketika itu juga mengguyur tempat itu. Empat orang itu
terpaksa berlarian untuk berlindung. Ketika mereka telah
menjauh dari tudung, mendadak angin pun mereda dan hujan berhenti.

Salah seorang dari empat orang itu mengetahui, kejadian aneh tersebut berhubungan dengan tudung
yang mereka lihat. Ia pun segera makan sirih dan meludahi tudung itu dengan air sepah yang telah
dimantrainya. Tudung itu akhirnya dapat mereka angkat dan terkejutlah mereka ketika mendapati
mustika sebesar telur itik di bawah tudung.

Sebelum empat orang itu mengambil mustika bimulela di bawah tudung itu, Mbu’i Bungale dan Jilumoto
datang ke tempat itu. Kedatangan suami istri itu hendak mengambil mustika bimulela.

“Jangan kalian sentuh atau ambil mustika milikku itu!” seru Mbu’i Bungale.

Terjadilah perselisihan pendapat karena empat orang itu mengaku sebagai pemilik mustika bimulela.
Bahkan, mereka juga mengaku sebagai pemilik wilayah itu. Mbu’i Bungale mengingatkan agar mereka
tidak berbohong dengan mengakui wilayah di mana mata air Tupalo berada itu sebagai milik mereka.

“Jika kalian mengaku pemilik wilayah ini, cobalah kalian memperluas mata air Tupalo itu,” tantang Mbu’i
Bungale.

Empat orang itu menerima tantangan Mbu’i Bungale. Keempatnya segera menyatukan kesaktian mereka
untuk memperluas mata air Tupalo. Meski mereka telah mengerahkan segenap kemampuan dan
kesaktian mereka, mata air Tupalo tidak bisa mereka perluas. Mereka akhirnya menyerah.

“Apakah engkau sendiri dapat memperluas mata air ini?” kata salah seorang dari empat orang itu.
Mbu’i Bungale tidak menjawab. Ia lalu duduk dan bersedekap kemudian berkata, “Woyi … air kehidupan,
mata air sakti, mata air yang mempunyai berkah, melebar dan meluaslah! Wahai mata air para bidadari
membesar dan meluaslah! Membesar dan meluaslah!”

Mbu’i Bungale lantas mengajak suaminya untuk naik ke atas pohon. Ia juga memperingatkan kepada
empat orang itu untuk segera menyingkir dari tempat itu karena tidak lama lagi wilayah itu akan
terendam air.

Setelah Mbu’i Bungale, Jilumoto, dan empat orang itu telah menyingkir, terdengar suara bergemuruh dari
dalam tanah. Perlahan-lahan mata air Tupalo membesar dan meluas. Air yang memancar keluar dari
mata air itu kian membesar dan terus membesar. Dengan cepat wilayah itu tergenang air. Air meninggi
dan terus rneninggi. Empat orang yang mengakui wilayah itu adalah wilayah mereka merasa takjub dan
tercengang. Mereka sangat takut tenggelam, terlebih-lebih air terus meninggi hingga hampir mengenai
tempat di mana mereka berada. Mereka berteriak-teriak, “Maafkan kami Mbu’i Bungale, ampun! Kami
mengaku salah! Kami bukan pemilik wilayah ini, engkaulah pemilik yang sesungguhnya! Maafkan kami!
Ampuni kami!”

Mbu’i Bungale kembali bersedekap dan berdoa. Tak berapa lama kemudian air tidak lagi cepat meninggi.
Semburan air dari mata air Tupalo kembali memancar seperti awalnya. Empat orang itu segera
menghampiri Mbu’i Bungale untuk menyatakan permohonan maaf mereka. Mbu’i Bungale menerima
permohonan maaf mereka.

Mbu’i Bungale memegang mustika bimulela. Keajaiban pun terjadi. Dari rnustika bimulela itu keluar bayi
perempuan. Wajah Si bayi terlihat cantik, bercahaya seperti rembulan. Mbu’i Bungale memberinya nama
Tolango Hula (Berasal dari Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya bulan). Mbu’i Bungale dan Jilumoto
segera membawa Tolango Hula ke rumah mereka. Namun, sebelum Mbu’i Bungale meninggalkan
tempat itu, ia melihat lima buah jeruk terapung-apung di tengah danau. Mbu’i Bungale mengambil buah
jeruk itu. Ia keheranan, buah jeruk itu sama dengan buah jeruk yang terdapat di Negeri Kahyangan.
Keheranan Mbu’i Bungale kian menjadi-jadi saat melihat satu pohon jeruk yang tengah berbuah amat
lebat. Segera clipanggilnya suminya, “Suamiku, lekaslah ke sini!”

Jilumoto datang mendekat. “Suamiku, bukankah pohon jeruk ini berasal dari Kahyangan?”

Jilumoto membenarkan pertanyaan istrinya. Ia juga keheranan mengapa pohon dari Kahyangan itu bisa
tumbuh di daerah tempat tinggal mereka.

Mbu’i Bungale yakin, tumbuhnya pohon jeruk yang biasa tumbuh di Kahyangan itu karena kebesaran
Tuhan. Oleh karena itu, untuk mengenang kejadian tersebut, Mbu’i Bungale dan Jilumoto kemudian
menamakan danau itu dengan nama Butalo lo limu o tutu’.

Masyarakat pun kemudian menyebut danau itu dengan nama Bulalo lo Limutu dan lebih terkenal ia
dengan nama danau Limboto.
MENAK JINGGO Dan DAMAR WULAN
Cerita Rakyat Jawa Tengah

Menakjingga adalah seorang adipati di daerah Blambangan.


Terkenal sakti mandraguna dirinya. Ia mempunyai pusaka yang luar
biasa ampuh lagi bertuah. Gada Wesi Kuning namanya. Merasa
dirinya sakti dan juga mempunyai senjata yang luar biasa ampuh,
Menakjingga menjadi sosok yang angkuh, kejam, lagi sewenang-
wenang. Apapun juga yang dikehendakinya harus terwujud dalam
kenyataan. Ia akan mengamuk sejadi jadinya jika keinginannya
tidak dituruti.

Suatu hari Adipati Menakjingga mengirimkan utusan ke Kerajaan


Majapahit. Adipati Menakjingga hendak melamar penguasa Majapahit, Ratu Ayu Kencana Wungu, yang
belum bersuami itu. Ratu Ayu Wungu Wungu menolak pinangan Adipati Menakjingga itu. Sang ratu tak
ingin diperistri adipati yang congkak, kejam, lagi telah banyak mempunyai istri itu.

Tak terkirakan kemarahan Adipati Menakjingga ketika utusannya kembali ke Kadipaten Blambangan dan
menyatakan lamaran sang adipati ditolak Ratu Majapahit. Tanpa berpikir panjang, Adipati Menakjingga
segera memerintahkan segenap prajurit Blambangan untuk bersiap-siap guna menyerang Majapahit.
Adipati Menakjingga Iangsung memimpin penyerangan tersebut.

Perang dahsyat segera meletus setelah kekuatan Majapahit dikerahkan untuk menghadapi kekuatan
Blambangan. Adipati Menakjingga mengamuk dalam peperangan dahsyat itu. Dengan senjata Gada
Wesi Kuning saktinya, ia menghadapi ratusan prajurit Majapahit yang ditugaskan untuk meringkusnya.
Benar-benar menggetarkan kesaktian Adipati Menakjingga, karena dengan sekali tebasan Gada Wesi
Kuning-nya, belasan hingga puluhan prajurit Majapahit tewas karenanya.

Para prajurit Majapahit akhirnya mundur karena tidak sanggup menghadapi amukan Adipati Menakjingga
dan juga keperkasaan para prajurit Blambangan. Ratu Ayu Kencana Wungu sangat bersedih mendapati
kekalahan para prajuritnya. Ia pun lantas bersemedi, memohon petunjuk dari Dewa untuk mengatasi
masalah besar yang tengah dihadapinya tersebut. Petunjuk itu pun didapatkan sang ratu. `Menakjingga
akan binasa jika berhadapan dengan pemuda bernama Damar Wulan!”

Ratu Ayu Kencana Wungu lantas memerinhkan Patih Logender untuk mencari pemuda bernama Damar
Wulan. Sosok pemuda yang dimaksud akhirnya diketemukan. la tinggal jauh di luar kotaraja Majapahit.
Dia segera diiringkan untuk menghadap Ratu Ayu Kencana Wungu di istana kerajaan Majapahit.

“Damar Wulan,” kata Ratu Ayu Kencana wungu setelah Damar Wulan duduk bersimpuh di hadapannya,
“kuperintahkan engkau untuk melenyapkan Adipati Menakjingga yang telah merusuh dan menyebabkan
kerusakan di Majapahit. Bawa kepala Menakjingga di hadapanku sebagai wujud rasa baktimu pada
Majapahit dan juga diriku!”

“Hamba, Gusti Prabu.”

Setelah menghaturkan sembahnya, Damar Wulan segera menuju Blambangan seorang diri. Seketika
tiba di alun-alun Kadipaten Blambangan, Damar Wulan lalu menantang bertarung Adipati Menakjingga.
Tak terkirakan kemarahan Adipati Menakjingga. Segera dilayaninya tantangan Damar Wulan. Setelah
melalui pertarungan yang sengit, Adipati Menakjingga mampu mengalahkan Damar Wulan. Damar
Wulan pingsan terkena hantaman Gada Wesi Kuning. Para prajurit Blambangan lantas menangkap dan
memenjarakan Damar Wutan di penjara Kadipaten Blambangan. Pertolongan akhirnya tiba bagi Damar
Wulan. Tanpa diduganya, dua selir Adipati Menakjingga memberikan bantuannya. Dewi Wahita dan Dewi
Puyengan nama kedua selir tersebut. Keduanya sesungguhnya sangat membenci Adipati Menakjingga.
Mereka sangat berharap Damar Wulan mampu membunuh Adipati Menakjingga agar diri mereka
terbebas dari penguasa Kadipaten Blambangan yang kejam lagi sewenang-wenang itu.

Dewi Wahita dan Dewi Puyengan membuka rahasia kesaktian Adipati Menakjingga. “Rahasia kesaktian
Adipati Menakjingga berada pada Gada Wesi Kuningnya,” kata mereka. “Tanpa senjata sakti andalannya
itu, niscaya engkau akan dapat mengalahkannya.”

Damar Wulan meminta tolong kepada Dewi Wahita dan Dewi Puyengan untuk mengambil senjata
andalan Adipati Menakjingga tersebut. Dengan diam-diam, Gada Wesi Kuning itu akhirnya berhasil
diambil dua selir Adipati Menakjingga tersebut. Gada Wesi Kuning lantas diserahkan kepada Damar
Wulan. Dengan bersenjatakan Gada Wesi Kuning, Damar Wulan pun kembali menantang Adipati
Menakjingga.
Pertarungan antara Adipati Menakjingga dan Damar Wulan kembali terjadi. Sangat seru pertarungan
mereka. Akhirnya Adipati Blambangan yang terkenal sombong, kejam, lagi sewenang-wenang itu
menemui kematiannya setelah tubuhnya terkena hantaman Gada Wesi Kuning. Kepalanya dipenggal.
Damar Wulan lantas membawa potongan kepala Adipati Menakjingga kembali ke Majapahit.

Sesungguhnya perjalanan Damar Wulan ke Blambangan itu diikuti oleh dua anak Patih Logender yang
bernama Layang Seta dan Layang Kumitir. Keduanya mengetahui keberhasilan Damar Wulan
menjalankan titah Ratu Ayu Kencana Wungu. Keduanya lantas merencanakan siasat licik untuk merebut
potongan kepala Adipati Menakjingga dan mengakui sebagai pembunuh Adipati Menakjingga di hadapan
Ratu Ayu Kencana Wungu. Dengan demikian mereka berharap akan mendapatkan hadiah yang sangat
besar dari penguasa takhta Majapahit itu.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Majapahit, Damar Wulan dicegat Layang Seta dan Layang Kumitir.
Terjadilah pertarungan di antara mereka. Damar Wulan dikeroyok dua saudara kandung anak Patih
Logender tersebut. Pada suatu kesempatan, mereka berhasil merebut kepala Adipati Menakjingga dan
bergegas meninggalkan Damar Wulan. Setibanya di istana Majapahit, Layang Seta dan Layang Kumitir
segera menghadap Ratu Ayu Kencana Wungu. Mereka menyatakan bahwa mereka telah berhasil
mengalahkan Adipati Menakjingga. Mereka lantas menyerahkan potongan kepala Adipati Menakjingga
kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.

Sebelum Ratu Ayu Kencana Wungu berujar; datanglah Damar Wulan. Damar Wulan menyatakan
keberhasilannya mengalahkan Adipati Menakjingga dan memenggal kepalanya. “Ampun Gusti Prabu, di
tengah jalan hamba dihadang dua orang dan potongan kepala Adipati Menakjingga itu berhasil mereka
rebut.”

Ucapan Damar Wulan segera disanggah Layang Seta dan Layang Kumitir yang menyatakan jika mereka
itulah yang berhasil mengalahkan Adipati Menakjingga. Damar Wulan akhirnya mengetahui jika dua
orang itulah yang menghadangnya dan merebut potongan kepala Adipati Menakjingga.

Perselisihan antara Damar Wulan dan dua anak Patih Logender itu purl kian memanas. Ratu Ayu
Kencana Wungu menengahi perselisihan itu. Katanya, “Untuk membuktikan pengakuan siapakah di
antara kalian yang benar, maka selesaikan secara jantan. Bertarunglah kalian. Siapa yang menang di
antara kalian, maka dialah yang benar.”

Pertarungan antara Damar Wulan melawan Layang Seta dan Layang Kumitir kembali terjadi. Kebenaran
itu akhirnya terbuka setelah Damar Wulan berhasil mengalahkan kakak beradik anak Patih Logender
tersebut. Layang Seta dan Layang Kumitir akhirnya mengaku bahwa yang mengalahkan Adipati
Menakjingga sesungguhnya Damar Wulan. Meski mereka telah mengakui, namun tak lepas pula mereka
dari hukuman. Ratu Ayu Kencana Wungu memerintahkan prajurit untuk memenjarakan Layang Seta dan
Layang Kumitir karena telah berani berdusta kepadanya.

Ratu Ayu Kencana Wungu kemudian memberikan hadiah yang luar biasa bagi Damar Wulan. Damar
Wulan diperkenankan Ratu Ayu Kencana Wungu untuk menikahinya. Pesta pernikahan antara Ratu Ayu
Kencana Wungu dan Damar Wulan pun dilangsungkan secara besar-besaran. Segenap rakyat Majapahit
bergembira karena ratu mereka akhirnya bersuami. Suami sang ratu adalah sosok yang terbukti besar
rasa baktinya kepada Majapahit karena berhasil mengalahkan Adipati Menakjingga yang telah
memporak-porandakan kedamaian dan ketenteraman Majapahit.
Joko Dolog
Cerita Rakyat Madura

Tersebutlah seorang pangeran dari Madura Situbondo namanya. Ia


putra Adipati Cakraningrat. Pada suatu hari Pangeran Situbondo
berlayar ke Kadipaten Surabaya dengan diiringi Gajah Seta dan Gajah
Menggala. Ia disambut dengan ramah oleh Adipati Jayengrana, sang
Adipati Surabaya.
Maksud kedatangan Pangeran Situbondo ketika itu adalah untuk
melamar Purbawati, putri Adipati Jayengrana.

Adipati Jayengrana mempersilakan putrinya untuk menjawab sendiri


lamaran yang ditujukan kepadanya itu. Purbawati sesungguhnya tidak
mencintai Pangeran Situbondo. Cintanya hanya pada Pangeran Jaka
Taruna dari Kadipaten Kediri. Namun, untuk menolak lamaran
Pangeran Situbondo, Purbawati merasa tidak enak hati. Masalahnya,
ayahandanya dan ayahanda Pangeran Situbondo sangat karib
persahabatannya. Jika ia langsung menyatakan penolakannya, ia
khawatir persahabatan antara ayahandanya dan ayahanda Pangeran Situbondo akan putus. Bahkan,
tidak tertutup kemungkinan akan terjadi peperangan antara Surabaya dan Madura itu!
Purbawati lantas menolak secara halus. Katanya kepada Pangeran Situbondo, “Aku bersedia diperistri
Kanda Pangeran Situbondo, asalkan Kanda Pangeran Situbondo dapat membuka hutan di wilayah
Kadipaten Surabaya ini. Hutan yang dibuka itu kelak akan menjadi tempat hunian anak keturunan kami.”

Syarat Purbawati itu, meski sesungguhnya sangat berat karena hutan itu terkenal angker dan
berbahaya, disanggupi Pangeran Situbondo. Dengan kesaktiannya, Pangeran Situbondo sangat yakin
mampu melaksanakan syarat yang diajukan putri Adipati Jayengrana yang sangat dicintainya itu,
Pangeran Situbondo lantas membuka hutan seperti yang dikehendaki Purbawati. Ketika Pangeran
Situbondo tengah membuka hutan, datanglah Pangeran Jaka Taruna ke Kadipaten Surabaya. Sangat
terperanjat ia ketika mengetahui Pangeran Situbondo tengah membuka hutan sebagai syarat sebelum
memperistri kekasih hatinya. Ia lantas memberanikan diri menghadap Adipati Jayengrana untuk melamar
Purbawati. Kepada Adipati Jayengrana, Pangeran Jaka Taruna menyatakan jika ia dan Purbawati telah
lama menjalin hubungan kasih.

Adipati Jayengrana tampak kebingungan. Agak menyesal ia mengapa Pangeran Jaka Taruna terlambat
datang sehingga Pangeran Situbondo telah tertebih dahulu melaksanakan sayembara yang diminta
Purbawati. Adipati Jayengrana kembali menyerahkan sepenuhnya masalah itu kepada putrinya
mengingat hubungan baiknya dengan Adipati Kediri dan juga dengan ayahanda Pangeran Situbondo.

Purbawati lantas meminta Pangeran Jaka Taruna yang dicintainya itu untuk turut membuka hutan.
Pangeran Jaka Taruna lalu turut membuka hutan di dekat tempat Pangeran Situbondo tengah membuka
hutan. Tak terkirakan kemarahan Pangeran Situbondo ketika mendapati Pangeran Jaka Taruna turut
membuka hutan. Perselisihan antara dua putra Adipati itu pun tak terelakkan lagi disusul dengan
pertarungan yang sengit. Kedua pangeran itu saling menumpahkan kesaktiannya untuk sating
mengalahkan demi mendapatkan Purbawati. Kesaktian Pangeran Situbondo masih di atas Pangeran
Jaka Taruna. Pangeran Situbondo mampu memukul putra Adipati Kediri itu hingga tubuh Pangeran Jaka
Taruna terpental jauh membumbung hingga tersangkut pada dahan pohon yang sangat tinggi. Pangeran
Situbondo lantas meninggalkan tempat itu begitu saja.

Pangeran Jaka Taruna berteriak-teriak meminta tolong karena tidak mampu melepaskan diri dari kondisi
yang menjeratnya. Suara teriakannya keras menggema di hutan belantara itu. Namun, tidak ada yang
datang menolongnya mengingat hutan belantara tersebut jarang dilewati orang. Pangeran Jaka Taruna
terus berteriak-teriak meminta tolong. Syandan, lewatlah seorang pemuda di hutan belantara itu. Jaka
Jumput namanya. Ia tengah mencari bahan-bahan untuk racikan obat-obatannya. Mendengar teriakan
Pangeran Jaka Taruna, Jaka Jumput segera memberikan pertolongannya. Dengan kesaktiannya, Jaka
Jumput berhasil melepaskan dan menurunkan Pangeran Jaka Taruna.

Pangeran Jaka Taruna lalu menceritakan kejadian yang dialaminya. Ia juga meminta agar Jaka Jumput
membantunya untuk mengalahkan Pangeran Situbondo.

“Jika hamba bisa mengalahkan Pangeran Situbondo,” kata Jaka Jumput, “apa imbalan yang akan hamba
dapatkan?”

“Apapun juga yang engkau kehendaki, niscaya aku akan memberikannya,” jawab Pangeran Jaka
Taruna.

“Baiklah,” kata Jaka Jumput.

Jaka Jumput lantas mencari Pangeran Situbondo. Seketika ditemukannya, Jaka Jumput lalu menantang
Pangeran Situbondo. Tak terkirakan kemarahan Pangeran Situbondo mendapat tantangan Jaka Jumput.
Keduanya segera terlibat dalam pertarungan yang sangat seru, sementara Pangeran Jaka Taruna hanya
menonton dari kejauhan. Jaka Jumput ternyata benar-benar tangguh. Amat tinggi kesaktiannya. Meski
Pangeran Situbondo mengerahkan segenap kemampuan dan kesaktiannya, tak berdaya pula pada
akhirnya menghadapi Jaka Jumput. Pangeran Situbondo lantas melarikan diri setelah merasa kalah. Ia
terus berlari, tidak kembali ke Madura melainkan ke sebuah wilayah di sebelah timur dari Kadipaten
Surabaya. Wilayah itu di kemudian hari disebut sesuai dengan nama pangeran dari Madura tersebut,
Situbondo.

Ketika mendapati Pangeran Situbondo telah kalah dan melarikan diri, Pangeran Jaka Taruna bergegas
kembali ke Kadipaten Surabaya. Segera ia menghadap Adipati Jayengrana dan menyatakan jika ia telah
mengalahkan Pangeran Situbondo.

“Benar engkau mengalahkan Pangaeran Situbondo?” tanya Adipati Jayengrana.

“Benar, Paman Adipati,” sahut Pangeran Jaka Taruna. “Setelah kami bertarung, Pangeran Situbondo
dapat hamba kalahkan. Ia terus berlari ke arah timur tanpa berani lagi menghadapi hamha. Dengan ini
hamba mohon perkenan Paman Adipati untuk memberikan restu kepada hamba yang ingin menyunting
putri Paman.”

Namun, kebohongan Pangeran Jaka Taruna seketika itu terbongkar ketika Jaka Jumput juga datang di
Kadipaten Surabaya dan menyergah, “Bohong! Pangeran Jaka Taruna telah berbohong kepada Paduka,
Kanjeng Adipati!”

Adipati Jayengrana terperanjat mendengar sergahan Jaka Jumput. Tanyanya, “Bagaimana maksudmu
dengan menyebut Pangeran Jaka Taruna berbohong?”

“Hamba yang mengalahkan Pangeran Situbondo, Kanjeng Adipati,” jawab Jaka Jumput. Ia lantas
menceritakan kejadian yang dialaminya sejak ia bertemu dengan Pangeran Jaka Taruna yang tersangkut
di dahan pohon tinggi hingga akhirnya mengalahkan Pangeran Situbondo.

Pangeran Jaka Taruna mati-matian menyanggah ucapan Jaka Jumput. Ia terus mengemukakan
kebohongan demi kehohongan untuk menutupi kebohongan yang diucapkannya sebelumnya.

Adipati Jayengrana segera menengahi perselisihan pendapat antara Pangeran Jaka Taruna dan Jaka
Jumput. “Apa bukti yang kalian miliki jika kalian sama-sama mengaku mengalahkan Pangeran
Situbondo?”

Pangeran Jaka Taruna tidak mempunyai bukti. Ia hanya meminta agar Adipati Jayengrana memercayai
penjelasannya. Berbeda dengan Pangeran Jaka Taruna, Jaka Jumput mempunyai bukti berupa keris
milik Pangeran Situbondo. Bukti itu pun diserahkan Jaka Jumput kepada Adipati Jayengrana.

Adipati Jayengrana memeriksa keris itu. Katanya kemudian, “Benar, keris ini milik Pangeran Situbondo.”

Pangeran Jaka Taruna amat malu karena kebohongannya telah terbongkar. Namun, dia tetap bersikeras
menyatakan jika dirinyalah yang mengalahkan Pangeran Situbondo. Bahkan, untuk membuktikan
kesaktiannya, dia menantang Jaka Jumput untuk bertarung.

“Baiklah,” kata Adipati Jayengrana. “Siapa di antara kalian yang menang, maka berhak is menyunting
putriku.”

Pangeran Jaka Taruna dan Jaka Jumput segera terlibat dalam pertarungan yang seru. Pangeran Jaka
Taruna bersenjatakan keris pusakanya, sementara Jaka Jumput menghadapinya dengan senjata
andalannya berupa cambuk yang diberinya Hama Kyai Gembolo Geni. Beberapa saat terlibat dalam
pertarungan, Pangeran Jaka Taruna tak mampu menandingi kesaktian Jaka Jumput. Tubuh Pangeran
Jaka Taruna tergeletak di atas tanah setelah terkena cambuk sakti Kyai Gembolo Geni. Pangeran Jaka
Taruna kalah.

“Hei Pangeran Jaka Taruna!” seru Adipati Jayengrana, “Telah terbukti engkau membohongiku! Betapa
beraninya engkau berbohong kepadaku dengan mengaku mampu mengalahkan Pangeran Situbondo!”

Pangeran Jaka Taruna hanya terdiam. Ia benar-benar malu. “Mengapa engkau hanya terdiam saja, hei
Pangeran Jaka Taruna?” tanya Adipati Jayengrana dengan perasaan jengkel. “Mengapa engkau tidak
menjawab pertanyaanku?”

Pangeran Jaka Taruna tetap terdiam. Adipati Jayengrana kian jengkel mendapati Pangeran Jaka Taruna
tetap terdiam. “Jaka Taruna!” seru Adipati Jayengrana, “Mengapa engkau hanya diam seperti patung?”

Keajaiban pun terjadi. Ucapan Adipati Jayengrana menjadi kenyataan. Tubuh Pangeran Jaka Taruna
seketika itu berubah menjadi patung yang di kemudian hari dinamakan patung Joko Dolog.

Batu Raden
Cerita Rakyat Banyumas, Jawa Tengah

Pada zaman dahulu kala di tanah Jawa ada seorang


pemuda tampan bernama Suta. Pemuda tersebut
merupakan seorang pembantu di Kadipaten Kutaliman,
Banyumas, Jawa Tengah. Tugas pemuda tadi adalah
merawat kuda dan membersihkan istal (kandang kuda).
Kuda milik Adipati Kutaliman

Suta merupakan sosok pekerja keras dan jujur. Oleh


karena itu, ia tidak pernah mendapatkan masalah selama
bekerja di Kadipaten. Pada suatu hari, seperti biasa setelah
mengurus kuda Adipati Kutaliman, Suta berkeliling
Kadipaten. Dia senang berjalan-jalan untuk melepas lelah sekaligus mengenal lingkungan tempatnya bekerja.
Kadipaten yang luas tentu tidak dapat ia kelilingi dalam satu kali perjalanan. Maka setiap hari pemuda
sederhana ini akan berjalan di lokasi berbeda.

Suta baru saja melewati sebuah pohon mangga ketika ia mendengar jeritan seorang perempuan. Dia pun
berlari menuju sumber suara. Tampaklah seekor ular besar di balik pohan mahoni sedang membuka lebar-
lebar mulutnya, dan siap memangsa seorang perempuan di hadapannya. Perempuan itu berdiri kaku dengan
wajah pucat pasi.

Meskipun sempat takut melihat ular yang demikian besar, namun tanpa berpikir panjang Suta bergerak maju
mendekat. Dia berusaha menolong perempuan yang tak berdaya itu. Pengurus kuda Adipati ini memang
bukan seorang pemain pedang yang hebat, tetapi tekad kuat melawan ular besar itu membuatnya berani
menghadapi ular itu. Dengan susah payah pemuda kurus itu menaklukkan sang ular. Cabikan dan sabetan
pedangnya akhirnya berhasil mematikan hewan berbisa itu.

Seketika pula perempuan yang hampir dimangsa ular itu jatuh tergolek dan pingsan di tanah. Seorang emban
(inang pengasuh) membopongnya ke sisi pendopo tak jauh dari pohon mahoni. Suta pun mendatanginya. Ia
terkejut ketika mengetahui siapa yang telah dia selamatkannya tadi. Ternyata perempuan tersebut adalah putri
Adipati Kutaliman.

Sebagai salah satu penghuni kadipaten, Suta sebelumnya sudah sering mendengar tentang kecantikan dan
kehalusan budi pekerti putri Adipati. Tetapi, tak pernah jua dia bertemu. Dia sangat bahagia dapat bertatapan
langsung dengannya. Sang putri sangat berterima kasih pada Suta yang telah menyelamatkan nyawanya.

Sejak peristiwa tersebut, Suta dan putri Adipati menjadi akrab. Mereka sering bertemu dan mengobrol. Lama-
kelamaan mereka menjadi saling menyayangi. Hingga akhirnya Suta memberanikan diri melamar sang putri
kepada ayahnya, Adipati Kutaliman.

Adipati sebelumnya sudah mendengar kabar kedekatan putrinya dengan si pengurus kuda. Namun, dia tak
mengira Suta akan nekat melamar putrinya, mengingat status sosial keduanya yang jauh berbeda. Ketika suta
mengutarakan niatnya, Adipati murka. Dia merasa terhina. “Kuu ini seorang batur (pembantu). Tak pantas kau
berdampingan dengan putriku,” katanya.

Kemudian Adipati memerintahkan pengawal untuk memenjarakan abdinya tersebut di penjara bawah tanah.
Suta dinilai lancang karena berani meminang putri Adipati.

Mengetahui hal itu, sang putri pun sedih. Dia tak menyangka bila ayahnya akan sangat marah. Apalagi Suta
tak pernah di beri makan dan minum selama ia berada di dalam penjara yang lembap, gelap dan, pengap.
Hatinya perih mengetahui pria yang dicintainya itu menderita.
Putri Adipati kemudian menyusun rencana. Dia meminta bantuan seorang emban kepercayaannya
untuk mengeluarkan Suta dari penjara bawah tanah. Sementara itu ia menunggu bersama kudanya di salah
satu sisi di Kadipaten. Rencana pun dilaksanakan pada suatu malam, si emban mengendap-endap menuju
penjara bawah tanah. Dia berhasil melewati penjaga yang tertidur karena memakan kue yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Emban pun menemui Suta.
Di dalam sel, Suta terkapar lemah. Badannya yang semula kurus menjadi makin kurus. Dia juga
menggigil. Emban memberinya pakaian. Mereka kemudian keluar dan mendatangi putri Adipati yang sudah
berpakian layaknya warga desa.
Suta dan Putri menaiki kuda dan melaju ke luar Kadipaten. Untunglah malam itu sangat gelap pekat
sehingga sulit mengenali mereka berdua. Putri memacu kudanya semakin kencang. Dia mengarahkan
kudanya kearah selatan lereng Gunung Selamet.
Ketika hari beranjak siang, mereka lelah dan beristirahat di dekat sungai. Putri baru menyadari
bahwa Suta sedang sakit demam, dia pun merawat suta dengan penuh kasih sayang. Karena kesabarannya,
Suta pun berangsur pulih.
Suta dan Putri menyukai lokasi tempat mereka berada. Hawa yang sejuk serta pemandangannya
yang asri membuat mereka jatuh cinta. Akhirnya mereka menikah dan membina keluarga di sana. Kini tempat
tersebut di kenal dengan nama Baturaden yang artinya pembantu dan bangsawan.
Kelana Sakti
Cerita Rakyat Sumatrea Utara

Di daerah Sumatera Utara, telah berkembang sebuah cerita


lama, namun alur ceritanya sedikit berbeda dengan apa yang
telah dikemukakan di atas. Cerita ini mengisahkan bahwa pada
zaman dahulu kala di daerah Sumatera Utara, berdiri sebuah
kerajaan besar bernama Kerajaan Purnama yang diperintah
oleh Raja Indra Sakti, seorang Raja yang terkenal adil dan
bijkasana. Negeri yang dipimpinnya tersebut selalu dalam
suasana aman sejahtera dan makmur sentosa. Setelah
mangkat, sang Raja tidak digantikan oleh putranya, karena
masih kecil. Maka kemudian, sang Raja digantikan oleh seorang
Panglima Kerajaan bernama Badau yang memiliki sifat angkuh
dan sombong. Sejak Panglima Badau memerintah, Negeri Purnama menjadi kacau balau. Seluruh rakyatnya
menjadi resah dan menderita. Di akhir cerita ini, yang memulihkan keadaan yang sedang kacau balau
tersebut, bukan dari keluarga raja, melainkan seorang pemuda dari keluarga rakyat biasa bernama Kelana
Sakti. Cerita ini sangat populer di kalangan masyarakat Sumatera Utara, Indonesia, yang dikenal dengan Kisah
Kelana Sakti. Konon, di daerah Sumatera Utara berdiri sebuah kerajaan besar bernama Purnama. Kerajaan itu
dipimpin oleh raja Indra Sakti yang adil dan bijaksana. Seluruh rakyatnya hidup makmur dan sejahtera. Pada
zaman itu, di salah satu desa terpencil yang menjadi wilayah kerajaan Purnama, hiduplah sepasang suami istri
dengan seorang putra yang sudah remaja bernama Kelana Sakti. Kelana Sakti adalah anak yang baik hati dan
rajin. Setiap hari dia membantu ayah dan ibunya bekerja di sawah dan di kebun. Karena semua anggota
keluarga itu rajin bekerja, maka kebutuhan hidup mereka tercukupi. Kehidupan mereka pun sangat tenteram.
Suatu hari, tersebar kabar bahwa Raja Indra Sakti sakit keras. Banyak sudah tabib yang didatangkan dari
berbagai negeri. Namun, sang Raja masih juga terbaring lemah. Permaisuri dan kerabat raja sudah pasrah
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hari terus berjalan. Kesehatan sang Raja semakin memburuk. Sepertinya sang
Raja mempunyai firasat yang kurang baik. “Permaisuriku, sepertinya hidupku tidak akan lama lagi. Tolong
panggilkan Panglima Badau,” kata sang Raja dengan suara lemah. Mendengar perintah sang Raja, Permaisuri
pun segera memanggil Panglima Badau. Tak lama, Panglima Badau pun sudah berdiri di samping
pembaringannya. Sang Raja kemudian menitipkan kerajaan dan putranya yang masih kanak-kanak kepada
Panglima Badau. “Panglima Badau! seru sang Raja. “Hamba Baginda Raja. Ada apa gerangan Baginda
memanggil Hamba,” sahut Panglima Badau. “Hidupku mungkin tak akan lama lagi. Tolong pelihara kerajaan
ini dengan baik. Aku titipkan putraku kepadamu. Kelak jika sudah besar, nobatkan dia menjadi Raja di Negeri
ini”, pesan sang Raja pada Panglima Badau. “Baik, Baginda. Hamba akan laksanakan semua pesan Baginda,”
jawab Panglima Badau sambil memberi hormat. Tak lama berselang, sang Raja menghembuskan napasnya
yang terakhir. Kabar kematian sang Raja membuat rakyat Purnama bersedih hati. Seluruh negeri turut
berduka. Pada hari pemakaman sang Raja, langit tampak kelabu seperti turut bersedih. Apakah ini sebuah
pertanda? Pertanda negeri ini akan ada bencana besar. Ah, semoga saja tidak terjadi apa-apa di negeri ini.
Tidak berapa lama setelah kematian sang Raja, Panglima Badau menobatkan dirinya sebagai raja sampai sang
Pangeran dewasa. Sejak menjadi raja, Badau suka berfoya-foya. Setiap hari berpesta pora dan bermabuk-
mabukan. Badau lupa pada tugasnya sebagai raja. Kerajaan tak terurus dan kacau balau. Kesejahteraan rakyat
pun tidak diperhatikan. Karena setiap hari digunakan untuk berpesta, lama-kelamaan harta istana habis.
Badau kemudian memerintahkan prajuritnya untuk menarik pajak lebih banyak lagi. Tak jarang, harta rakyat
diminta dengan paksa oleh raja yang zalim itu. Jika melawan, mereka akan disiksa dan dipenjarakan. Sejak
dipimpin Badau, rakyat sangat menderita. Kejahatan merajalela. Pasar-pasar menjadi sepi. Para pedagang
takut dagangannya dirampas prajurit-prajurit raja. Para petani juga takut meninggalkan rumahnya, karena
takut hartanya dicuri. Akibatnya, hasil pertanian mereka kurang baik. Melihat keadaan itu, keluarga raja
sangat kecewa. Tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Badau yang kejam itu akan memenjarakan siapa
saja yang menentangnya. Suatu sore, Kelana Sakti terlihat duduk-duduk bersama ayah dan ibunya. Tiba-tiba
datang beberapa prajurit mendatangi rumahnya. “Serahkan harta kalian!” bentak salah seorang prajurit
dengan kasar. Kelana dan ayahnya berusaha mempertahankan harta benda yang mereka miliki. Namun
mereka kalah kuat. Kelana dan ayahnya dihajar para prajurit itu. “Tolong, jangan sakiti anak dan suamiku.
Ambillah harta yang kalian inginkan,” Ibu Kelana mengiba. “Sudah, jangan cerewet. Ayo ikut kami ke istana!”
bentak seorang prajurit sambil menyeret ibu dan ayah Kelana. Melihat ibu dan ayahnya diseret, Kelana
berteriak-teriak memanggil ibu dan ayahnya, “Ayah…Ibu…, jangan bawa ibu dan ayah saya, tuan!” Teriakan
Kelana itu membuat para prajurit kerajaan tambah jengkel. Tiba-tiba, beberapa prajurit mendekati Kelana
dan menghajarnya hingga pingsan. Setelah itu, prajurit tersebut pergi meninggalkan Kelana yang masih
tergeletak di tanah. Beberapa saat kemudian, Kelana siuman. “Saya ada dimana? Bagaimana dengan ayah dan
ibu saya?” tanya Kelana bingung. “Janganlah bersedih, cucuku. Ayah dan ibumu telah dibawa oleh para
prajarit ke istana. Tenanglah, kakek akan menolongmu. Tinggallah bersama kakek di sini,” jawab kakek yang
tak dikenalnya itu. Kelana kemudian tinggal bersama sang Kakek. Dia diajari berbagai ilmu beladiri dan ilmu
pengobatan. Kelana tumbuh menjadi pemuda yang pemberani dan baik budi. Dia telah menguasai berbagai
ilmu yang telah diberikan sang Kakek. Sementara itu, kekacauan dan kejahatan di Kerajaan Purnama semakin
merajalela. Sebagai pemuda yang mencintai kedamaian, Kelana tidak tega melihat penderitaan rakyat. Dia
sering duduk termenung memikirkan rakyat. Dia juga selalu teringat ayah dan ibunya yang dibawa prajurit.
“Aku harus melawan raja zalim itu. Aku juga harus membebaskan ayah-ibu dan rakyat Purnama yang tidak
berdosa,” gumam Kelana. Kelana kemudian mengumpulkan para pemuda di Kerajaan Purnama. Mereka
dilatih beladiri dan dibekali strategi berperang oleh kakek itu. Setelah melakukan persiapan secukupnya,
Kelana dan para pemuda pun menyerang istana. Raja Badau yang kejam itu pun dapat dikalahkan. Keluarga
raja dan rakyat Purnama pun menjadi senang, karena mereka tidak diperintah lagi oleh raja yang zalim itu.
Atas jasa-jasanya tersebut, Kelana diangkat menjadi raja sampai putra Raja Indra Sakti dewasa. Dia memimpin
Kerajaan Purnama dengan adil dan bijaksana. Negeri Purnama kembali menjadi kerajaan yang makmur.
Kisah Putri Ular
Cerita Rakyat Sumatra Utara

Simalungun merupakan salah satu suku asli Sumatera Utara, Indonesia.


Simalungun juga merujuk pada nama sebuah kabupaten, yaitu Kabupaten
Simalungun dengan ibukota Pematang Raya. Dalam bahasa Simulungun,
kata “simalungun” memiliki kata dasar “lungun” yang berarti “sunyi”.
Diberikan nama demikian, karena penduduk daerah itu masih sedikit dan
pemukiman mereka terletak saling berjauhan. Orang Batak Toba
menyebutnya “Si Balungu”, sedangkan orang Karo menyebutnya “Batak
Timur”, karena bertempat di sebelah timur mereka. Kabupaten
Simalungun memiliki ragam warisan tradisi, salah satunya adalah cerita
rakyat. Di daerah ini, terdapat cerita rakyat yang sangat terkenal, yaitu
Kisah Putri Ular. Cerita ini mengisahkan kegagalan seorang putri raja yang
cantik jelita untuk dijadikan permaisuri oleh seorang raja muda yang
tampan, karena sang putri tiba-tiba menjelma menjadi seekor ular. Peristiwa apa sebenarnya yang terjadi,
sehingga sang putri cantik itu menjelma menjadi seekor ular? Berikut kisahnya. * * * Alkisah, di suatu negeri
di kawasan Simalungun, Sumatera Utara, berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang arif
dan bijaksana. Sang Raja memiliki seorang putri yang kecantikannya sungguh luar biasa. Berita tentang
kecantikan putri raja itu tersebar ke berbagai pelosok negeri. Berita tersebut juga didengar oleh seorang raja
muda yang memerintah di sebuah kerajaan yang letaknya tidak jauh dari kerajaan ayah sang Putri.
Mendengar kabar tersebut, Raja Muda yang tampan itu berniat untuk melamar sang Putri. Sang Raja
kemudian mengumpulkan para penasehat kerajaan untuk memusyawarahkan keinginannya tersebut. “Wahai,
para penasehatku! Apakah kalian sudah mendengar berita kecantikan putri itu?” tanya sang raja kepada
penasehatnya. “Sudah, Tuan!” jawab para penasehat serantak. “Bagaimana menurut kalian, jika sang putri itu
aku jadikan sebagai permaisuri?” sang Raja kembali bertanya. “Hamba setuju, Tuan!” jawab salah seorang
penasehat. “Iya, Tuan! Hamba kira, Tuan dan Putri adalah pasangan yang sangat serasi. Tuan seorang raja
muda yang tampan, sedangkan sang putri seorang gadis yang cantik jelita,” tambah seorang penasehat.
“Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan untuk meminang sang putri,” perintah sang raja.
“Baik, Baginda!” jawab seluruh penasehat serentak. Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda
meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan
dijamu dengan baik oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan
maksud kedatangan mereka. “Ampun, Baginda! Maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak
menyampaikan pinangan Raja kami,” jawab salah seorang utusan yang bertindak sebagai juru bicara. “Kami
menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan bersatu untuk mewujudkan
masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” jawab sang raja. “Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini
segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima
pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi,” ujar utusan tersebut. “Kenapa begitu lama?” tanya sang Raja
tidak sabar. “Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara besar-besaran,” jawab utusan itu. “Baiklah
kalau begitu, kami siap menunggu,” jawab sang Raja. Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada
sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu
kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
“Kalau begitu, mulai saat ini kita harus menyiapkan segala keperluan untuk upacara pernikahan ini!” seru Raja
Muda. “Baiklah, Tuan! Segera kami kerjakan,” jawab seorang utusan. Sementara itu, setelah para utusan Raja
Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
“Wahai, putriku! Tahukah engkau maksud kedatangan para utusan itu?” tanya sang Raja kepada putrinya.
“Tidak, ayah! Memangnya ada apa, yah?” sang putri balik bertanya. “Ketahuilah, putriku! Kedatangan mereka
kemari untuk menyampaikan pinangan raja mereka yang masih muda. Bagaimana menurutmu?” tanya sang
Ayah. “Jika ayah senang, putri bersedia,” jawab sang Putri malu-malu. “Ayah sangat bangga memiliki putri
yang cantik dan penurut sepertimu, wahai putriku!” sanjung sang Ayah. “Putriku, jagalah dirimu baik-baik!
Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahanmu,” tambah sang ayah. “Baik, ayah!”
jawab sang putri. Menjelang hari pernikahannya, sebagaimana biasa, setiap pagi sang putri pergi mandi
dengan ditemani beberapa orang dayangnya di sebuah kolam yang berada di belakang istana. Di pinggir
kolam disiapkan sebuah batu besar untuk tempat duduk sang putri. Usai berganti pakaian, sang putri segera
masuk ke dalam kolam berendam sejenak untuk menyejukkan sekujur tubuhnya. Setelah beberapa saat
berendam, sang putri duduk di atas batu di tepi kolam. Sambil menjuntaikan kakinya ke dalam air, sang putri
membayangkan betapa bahagianya saat pernikahan nanti, duduk bersanding di pelaminan bersama sang
suami, seorang Raja Muda yang gagah dan tampan. Di tengah-tengah sang putri asyik mengkhayal dan
menikmati kesejukan air kolam itu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah ranting pohon yang
sudah kering mendadak jatuh tepat mengenahi ujung hidung sang putri. “Aduuuh, hidungku!” jerit sang putri
sambil memegang hidungnya. Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil
menahan rasa sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan
kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba
menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini wajah sang putri tidak
cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun bercucuran keluar dari kelopak matanya.
“Celaka! Pernikahanku dengan raja muda akan gagal. Ia pasti akan mencari putri lain yang tidak memiliki
cacat. Jika aku gagal menikah dengan raja muda, ayah dan ibu pasti kecewa dan malu di hadapan rakyatnya,”
pikir sang putri. Sang putri sangat tertekan. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di kepalanya. Hatinya pun
semakin bingung. Ia tidak ingin membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia tidak mampu
mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyesali
nasibnya yang malang itu. Sang putri pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia menengadahkan kedua
tangannya ke atas, lalu berdoa: “Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan kecewa
orang tuanya!” doa sang putri dengan mata berkaca-kaca. Baru saja doa itu terucap dari mulut sang putri,
tiba-tiba petir menyambar-nyambar sebagai tanda doa sang putri didengar oleh Tuhan. Beberapa saat
kemudian, tubuh sang putri mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Kakinya yang putih mulus tiba-
tiba mengeluarkan sisik. Sisik tersebut semakin merambat ke atas. Dayang-dayangnya pun tersentak kaget
saat melihat peristiwa itu. Ketika sisik itu mencapai dada, sang putri segera memerintahkan seorang dayang-
dayangnya untuk memberi tahu ayah dan ibunya di dalam istana. “Ampun, Tuan!” hormat sang dayang
kepada raja. “Ada apa, dayang-dayang?” tanya sang raja. “Ampun, Tuan! Kulit tuan putri mengeluarkan sisik
seperti ular,” lapor sang dayang. “Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!” tanya sang raja tersentak kaget. “Benar,
Tuan! Hamba sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi,” jawab sang dayang. Setelah mendengar laporan
itu, sang raja dan permaisuri segera menuju ke kolam permandian. Sesampainya di tempat itu, mereka sudah
tidak melihat tubuh sang putri. Yang tampak hanya seekor ular besar yang bergelung di atas batu yang biasa
dipakai sang putri untuk duduk. “Putriku!” seru sang raja kepada ular itu. Ular itu hanya bisa menggerakan
kepala dan menjulurkan lidahnya dengan tatapan mata yang sayu. Ia seakan hendak berbicara, namun tak
satu kata pun yang terucap dari mulutnya. “Putriku! Apa yang terjadi denganmu?” tanya permaisuri cemas.
Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apaapa. Tak
lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak
belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih
dan menangis atas nasib malang yang menimpa sang putri. Peristiwa penjelmaan sang putri menjadi seekor
ular adalah hukuman dari Yang Kuasa atas permintaannya sendiri, karena keputusasaannya. Ia putus asa
karena telah membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Ia tidak berhasil menjaga amanah ayahnya
untuk selalu jaga diri agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahannya dengan Raja Muda
yang tampan itu.

***

Demikian cerita Kisah Putri Ular dari Simalungun, Sumatera Utara. Cerita di atas termasuk cerita rakyat
teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satunya adalah akibat buruk dari sifat putus asa. Sifat ini
tercermin pada sikap sang putri yang memohon kepada Tuhan agar dirinya dihukum, dan akhirnya ia
menjelma menjadi seekor ular besar. Sifat ini termasuk sifat tercela dan sangat dipantangkan dalam
kehidupan orang Melayu.

Anda mungkin juga menyukai