Anda di halaman 1dari 10

Asal mula telaga biru

Di belahan bumi Halmahera Utara tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa, di tengah
ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya terdiri dari beberapa rumah
atau dadaru), penduduk Lisawa tersentak gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar
dari antara bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk
sebuah telaga.

Airnya bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini membuat
bingung penduduk. Mereka bertanya-tanya dari manakah asal air itu? Apakah ini berkat ataukah
pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa gerangan yang membuat fenomena ini
terjadi?
Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu tergolong sulit
air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar
untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa
pemanggilan terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou
maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.

Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu
de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan
air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).

Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa
berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan
disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran
angin dan desahan nafas penduduk yang terdengar.

Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga
tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk
menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui
bahwa ada dua keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua
anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona)
dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu.

Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat
sudah dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian
Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka
sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan akan
kembali.

Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk pergi
merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau musim berganti,
bulan dan tahun berlalu tapi hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika
tidak lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.

Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai rupanya
menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu.

Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir
disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika
mendengar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah
menjadi bumerang kematian.

Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari
menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah
cintanya.

Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus
mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah
pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.

Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo
Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara
telaga yang mereka namakan Telaga Biru.

Telaga biru kala itu selalu tampak bersih. Airnya sejernih kristal berwarna kebiruan. Setiap
dedaunan yang jatuh di atasnya tidak akan tenggelam karena seolah terhisap untuk dibersihkan
oleh bebatuan yang ada di tepian telaga.
Sampai saat ini mitos asal-mula telaga Biru masih terus terjaga di masyarakat. Pasangan muda-
mudi dari Galela dan Tobelo ada yang datang ke telaga ini untuk saling mengikat janji. Sebagai
tanda ikatan mereka akan mengambil air dengan daun Cingacinga dan lalu meminumnya
bersama. Air yang masih tersisa biasanya akan dipakai untuk membasuh kaki dan wajah.
Maknanya adalah supaya jangan ada lagi air mata yang mengalir dari setiap ikatan janji dan
hubungan.

Penduduk dusun Lisawa mula-mula kini telah tiada dan hanya menyisakan telaga Biru. Sayang
kondisi telaga Biru saat ini kian merana akibat ditebangnya pepohonan di sekitar telaga. Hal ini
semakin diperparah dengan hilangnya bebatuan di sekitar telaga yang telah berganti dengan
tanggul beton. Masyarakat sekitar juga memanfaatkan telaga ini sebagai tempat MCK sehingga
banyak sampah plastik yang kini sangat merusak pemandangan. Belum lagi batang-batang pohon
yang sengaja ditebang tidak pernah diangkat tetapi dibiarkan membusuk didalam air telaga.

Telaga Biru kini kembali menangis dan bertanya adakah orang yang dapat bertahan jika di dalam
matanya kemasukan butiran pasir atau terkena pedihnya air sabun. Jika masih ada maka jangan
wariskan derita ini pada anak cucumu. Ingat dan camkan bahwa negeri ini adalah pinjaman dari
anak cucu kita!
Nenek luhu

Pada zaman penjajahan Belanda, ada sebuah negeri yang bernama Luhu. Negeri itu
terletak di Pulau Seram, Maluku. Negeri Luhu adalah negeri yang kaya dengan hasil cengkeh.
Negeri yang jumlah warganya tidak terlalu banyak itu diperintah oleh Raja Gimelaha Luhu
Tuban atau yang lebih dikenal dengan nama Raja Luhu. Sang Raja mempunyai permaisuri
bernama Puar Bulan dan seorang putri bernama Ta Ina Luhu yang cantik jelita. Ta Ina Luhu
berarti anak perempuan dari Luhu atau Putri Negeri Luhu atau Puteri Luhu. Ia adalah anak
sulung sang raja yang memiliki perangai yang baik, yaitu penurut, berbudi pekerti luhur, rajin
beribadah, mandiri, serta sayang kepada seluruh keluarganya. Selain Ta Ina Luhu, Raja Luhu
mempunyai dua orang putra, yaitu Sabadin Luhu dan Kasim Luhu.

Suatu ketika, kabar tentang kekayaan Negeri Luhu di Pulau Seram terdengar oleh penjajah
Belanda yang berkedudukan di Ambon. Mendengar kabar tersebut, Belanda berniat untuk
menguasai pulau itu. Dengan persenjataan lengkap, Belanda menyerang Negeri Luhu. Raja Luhu
dan pasukannya berusaha untuk mengadakan perlawanan sehingga peperangan pun tak
terelakkan. Perang itu dikenal dengan nama Perang Pongi, dan ada juga yang menyebutnya
Perang Huamual. Dalam pertempuran itu, penjajah Belanda berhasil menguasai Negeri Luhu.
Raja Luhu berserta keluarga dan seluruh rakyatnya tewas. Satu-satunya orang yang selamat
ketika itu adalah putri raja, Ta Ina Luhu. Namun, ia ditangkap dan dibawa oleh penjajah Belanda
ke Ambon untuk dijadikan istri panglima perang Belanda.

Setibanya di Benteng Victoria, Ambon, Ta Ina Luhu menolak untuk dijadikan istri oleh panglima
perang Belanda. Akibatnya, ia pun diperkosa oleh sang panglima. Putri cantik yang malang itu
tidak dapat berbuat apa-apa. Namun, karena tidak ingin terus-terusan diperlakukan tidak senonoh
oleh panglima itu, Ta Ina Luhu selalu berpikir keras untuk mencari cara agar keluar dapat dari
Kota Ambon.

Suatu malam, Ta Ina Luhu berhasil mengelabui tentara Belanda sehingga ia dapat melarikan diri
dari kota Ambon. Ia berjalan menuju ke sebuah Negeri yang bernama Soya. Di negeri itu, ia
disambut baik oleh Raja Soya. Bahkan, ia kemudian dianggap sebagai keluarga istana Soya. Ia
diberi kamar tidur yang bagus dan indah. Atas sambutan tersebut, Ta Ina Luhu sangat terharu
karena teringat ketika ia dulu menjadi putri di negerinya. Tak terasa, air matanya menetes
membasahi kedua pipinya. Wajah kedua orangtua dan adik-adiknya kembali terbayang di
hadapannya. Ta Ina Luhu sangat merindukan keluarganya tersebut.

Ayah, Ibu! Adikku, Sabadin dan Kasim! Beta sangat merindukan kalian. Beta hanya bisa berdoa
semoga kalian hidup tenang di alam sana!

Setelah beberapa bulan tinggal di dalam istana Soya, Ta Ina Luhu diketahui hamil. Keadaan
demikian membuatnya semakin merasa berat tinggal di istana karena tentu akan semakin
merepotkan keluarga Raja Soya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk meninggalkan istana.

O, Tuhan! Beta tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini. Tapi, kehadiran beta di tempat ini
hanya akan merepotkan keluarga Raja Soya. Beta harus pergi dari istana ini. Berilah beta
petunjuk-Mu, Tuhan! pinta Ta Ina Luhu.

Pada suatu malam, saat suasana di dalam istana sudah sepi, Ta Ina Luhu mengendap-endap
berjalan menuju ke pintu belakang istana sambil mengawasi keadaan sekelilingnya. Rupanya, ia
benar-benar ingin pergi dari istana secara diam-diam. Ia sengaja tidak memberitahukan
kepergiannya kepada keluarga Raja Soya karena sudah tentu mereka tidak akan mengizinkannya.
Setelah sampai di halaman belakang istana, ia melihat ada seekor kuda sedang ditambatkan di
bawah sebuah pohon. Kuda itu adalah milik Raja Soya yang biasa dipakai ketika akan
menghadap Gubernur Ambon. Dengan hati-hati, Ta Ina Luhu naik di atas punggung kuda itu.
Sebelum meninggalkan negeri itu, sang putri berbisik dalam hati.
Maafkan beta, Baginda! Maafkan beta, wahai seluruh keluarga istana! Kalian sungguh baik hati
kepada beta. Tapi, beta terpaksa harus pergi karena beta tidak ingin merepotkan kalian.
Relakanlah beta pergi dan kalian jangan mencari beta lagi!

Setelah itu, Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu segera pergi sebelum ada warga istana
yang melihatnya. Ia menyusuri hutan belantara yang sepi dan mencekam. Meskipun suasana
malam terasa sangat dingin, Putri Raja Luhu itu terus memacu kuda yang ditungganginya
menuju ke puncak gunung. Setibanya di sana, sang putri pun berhenti. Ia sangat takjub melihat
pemandangan Teluk Ambon yang sungguh mempesona. Pemandangan itu sejenak mengobati
luka-lara sang putri.

Oh, Negeriku! Keindahanmu sungguh mempesona, ucap Ta Ina Luhu dengan kagum.

Usai berucap demikian, sang putri tiba-tiba terjatuh dari kudanya hingga tak sadarkan diri.
Rupanya, ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa lelah yang begitu berat setelah menempuh
perjalanan jauh. Tak berapa lama kemudian, ia kembali sadar. Dengan sisa-sisa tenaga yang
dimilikinya, perlahan-lahan sang putri berusaha bangkit dan berdiri di samping kudanya. Dalam
keadaan setengah sadar, ia menarik kudanya menuju ke sebuah pohon jambu yang rindang dan
berbuah lebat.

Setelah menambatkan kudanya pada batang pohon jambu, sang putri segera membaringkan
tubuhnya. Dalam sekejap, ia pun langsung tertidur pulas dan baru terbangun pada keesokan
harinya ketika matahari mulai beranjak tinggi. Begitu ia terbangun, perutnya terasa kosong.
Dengan kondisi tubuh yang masih lemas, ia berusaha meraih buah jambu yang sudah matang.
Setelah memakan beberapa buah jambu tersebut, tenaganya pun berangsur-angsur pulih.

Sementara itu, di istana Soya, sang raja menjadi panik ketika mengetahui Ta Ina Luhu tidak ada
di kamarnya. Seluruh keluarga istana telah mencarinya ke seluruh ruangan istana namun belum
juga menemukannya. Para pengawal istana yang mencarinya di jalan-jalan Kota Soya juga tidak
menemukannya. Pada saat pencarian dilakukan, tiba-tiba seorang pengawal datang menghadap
kepada Raja Soya.

Ampun, Baginda! Hamba ingin melaporkan sesuatu, lapor pengawal itu.

Hai, apakah kamu sudah menemukan Putri Ta Ina Luhu? Di mana dia sekarang? tanya Raja Soya
dengan penasaran.

Ampun, Baginda Raja! Hamba hanya ingin melaporkan bahwa kuda milik Baginda yang
ditambatkan di belakang istana juga hilang. Jadi, hamba berpikir bahwa Putri Ta Ina Luhu pergi
dengan menunggang kuda, jelas pengawal itu.

Mendengar laporan itu, Raja Soya semakin panik. Ia sangat mencemaskan keadaan Putri Ta Ina
Luhu yang sedang mengandung itu. Tanpa berpikir panjang, ia segera membunyikan tifa
(gendang kecil) sebanyak empat kali untuk memanggil marinyo (seorang petugas tifa), dan
kemudian kembali memukulnya sebanyak enam kali untuk memanggil Kepala Soa (penasehat
raja). Tak berapa lama kemudian, kedua pejabat istana tersebuat datang menghadap kepadanya.

Ampun, Baginda! Ada apa Baginda memanggil kami? tanya kedua pejabat itu serentak.

Segera kumpulkan semua laki-laki yang berumur enam belas tahun hingga empat puluh tahun.
Setelah itu, perintahkan mereka untuk pergi mencari dan membawa pulang Putri Ta Ina Luhu
dalam keadaan selamat! titah Raja Soya.

Titah Baginda kami laksanakan, jawab keduanya seraya memberi hormat.

Setelah orang-orang tersebut berkumpul, mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok.


Kemudian, mereka pergi mencari sang putri dengan mengikuti jejak tapak kaki kuda yang
ditunggangi oleh sang putri.
Sementara itu, Ta Ina Luhu masih berada di puncak gunung. Ketika hari menjelang siang, tiba-
tiba ia mendengar suara orang yang memanggilnya dari jauh. Ia pun sadar bahwa orang-orang
tersebut pastilah para pengawal Raja Soya yang datang mencarinya. Oleh karena itu, ia segera
meninggalkan tempat itu. Tak begitu lama setelah kepergiannya, sebagian rombongan pengawal
Raja Soya tiba di tempat itu. Akhirnya, mereka tidak berhasil menemukan sang putri kecuali
kulit jambu bekas sisi-sisa makanan sang putri. Konon, rombongan itu kemudian menamakan
tempat itu Gunung Nona.

Ta Ina Luhu terus memacu kudanya menuruni lereng gunung itu menuju ke pantai Amahusu.
Karena begitu kencangnya, topi yang dikenakannya diterbangkan angin. Menurut cerita, ketika ia
ingin berhenti hendak mengambilnya, topi itu tiba-tiba menjelma menjadi sebuah batu. Batu itu
kemudian diberi nama Batu Capeu.

Ta Ina Luhu terus menelusuri pantai Amahusu hingga akhirnya sampai ke Ambon. Tumbuh sang
putri tampak begitu lemah karena lapar dan haus. Demikian pula dengan kuda tunggangannya.
Setelah beberapa jauh berjalan mencari air minum, akhirnya ia menemukan sebuah mata air. Ta
Ina dan Luhu segera meminum air dari mata air tersebut dengan sepuasnya. Konon, mata air itu
dinamakan Air Putih.

Setelah sejenak beristirahat di tempat itu, Ta Ina Luhu berniat untuk kembali ke puncak Gunung
Nona dengan melalui jalan yang berbeda agar tidak bertemu dengan para pengawal Raja Soya.
Namun, ketika hendak beranjak dari tempat itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang
memanggilnya.

Putri, Putri, Putri Ta Ina Luhu! Kembalilah Baginda Raja Soya sedang menunggumu!

Ta Ina Luhu pun segera naik ke atas kudanya hendak melarikan diri. Namun, begitu ia akan
memacu kudanya, tiba-tiba rombongan Raja Soya datang menghadangnya. Dalam keadaan
terdesak, Ta Ina Luhu segera turun dari kudanya seraya berlutut memohon kepada Tuhan agar
rombongan itu tidak membawanya pulang ke istana Soya.

Oh, Tuhan! Tolonglah beta ini! Beta tidak mau kembali ke istana Soya. Beta tidak mau
merepotkan orang lain. Biarkanlah beta hidup sendirian! pinta Ta Ina Luhu.

Ketika salah seorang pengawal akan menarik tangannya, tiba-tiba Ta Ina Luhu menghilang
secara gaib. Rombongan pengawal tersebut pun tersentak kaget. Mereka hanya terperangah
menyaksikan peristiwa ajaib itu.

Sejak peristiwa itu, penduduk Ambon sering diganggu oleh sesosok makhluk halus. Jika hujan
turun bersamaan dengan cuaca panas, seringkali ada wargaterutama anak-anakyang hilang.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, makhluk halus yang suka mengambil anak-anak
tersebut adalah penjelmaan dari Ta Ina Luhu. Sejak itu pula, Ta Ina Luhu dipanggil dengan
sebutan Nenek Luhu. Hanya saja, hingga saat ini tak seorang pun yang tahu mengapa Nenek
Luhu suka mengganggu orang, terutama anak-anak.

***
Legenda Empat Kapitan

Daerah Nunusaku, dahulu kala merupakan pusat kegiatan pulau Seram, yang biasa juga
disebut Nusa Ina. Penduduk pulau tersebut mulai tersebar ke tempat-tempat lain yang dipimpin
oleh empat orang kapitan. Mereka berempat bermusyawarah untuk menyepakati tujuan arah
pengembaraannya. Sasaran mereka yaitu akan menghilir sepanjang sungai Tala, sebab sungai ini
memiliki banyak kekayaan.

Perbekalan dan persiapan dalam perjalanan disiapkan dengan cepat. Sebagaimana biasa, upacara
adatpun dilakukan sebelum perjalanan dimulai, yaitu dengan jalan kaki ke negeri Watui.

Sesampai di negeri Watui, mereka mulai membuat sebuah rakit (gusepa) yang di buat dari batang
dan bilah-bilah bambu. Rakit ini dipakai untuk menghilir sungai Tala. Sungai ini terkenal dengan
keganasannya, airnya sangat deras dan terdapat banyak batu-batu besar di sepanjang alirannya.

Pelayaran pun dimulai dan sebagai pimpinannya adalah Kapitan Nunusaku, yang merupakan
Kapitan besar turunan moyang Patola. Moyang inilah yang menjadi moyang dari mata rumah
Wattimena Wael di Mahariki. Harta milik Kapitan Nunusaku dibawanya semua, tidak lupa pula
seekor burung nuri atau burung kasturi raja. Selain itu juga dibawanya sebuah pinang putih yang
diletakkan dalam tempat sirih pinang.

Di belakang kemudi duduk kapitan yang akan menjadi moyang dari mata rumah Wattimury. Di
tengah rakit adalah kapitan yang akan menjadi moyang Nanlohy. Di belakang sebelah kanan
duduk kapitan yang akan menjadi moyang Talakua. Untuk menjaga harta milik mereka ditunjuk
Kapitan Nanlohy. Di dalam hukum adat, ia bertindak sebagai seorang Dati yang akan
menentukan pembagian-pembagian, baik milik pribadi maupun milik bersama. Oleh sebab itu,
maka semua harta milik dan pembekalan diletakkan di tengah rakit berdekatan dengan Kapitan
Nanlohy.

Rakit melaju karena kekuatan air yang mengalir turun menuju Tala. Namun ketika tiba di tempat
yang bernama Batu Pamali, rakit mereka kandas dan hampir terbaik. Kapitan Wattimena Wael
terkejut dan berteriak kepada kapitan yang berada di dekatnya. “Talakuang!!” Yang artinya
”tikam tahan gusepa” Dan kapitan yang mendapat perintah tersebut dinamakan ”Talakua” yang
kemudian menjadi moyang dari mata rumah Talakua di negeri Portho hingga sekarang.

Ketika rakit hampir berbalik, saat itu Kapitan Wattimena tengah menbuka tempat sirih pinagnya
menjadi terjatuh. Pada saat yang sama burung nurinya pun terbang. Kejadian ini sangat
mengecewakan kapitan yang langsung terucap menikrarkan sumpah hingga merupakan
pantangan bagi mata rumah Wattimena Wael. Bunyi sumpah tersebut, bahwa turun temurun
mata rumah Wattimena Wael dan para menantu tak boleh memelihara burung nuri dan memakan
sirih pinang. Kemudian yang berada di sungai tersebut dinamakan Batu Pamali hingga sekarang.

Perjalanan pun dilanjutkan dan akhirnya mereka tiba di Tala. Di tempat itu mereka membuat
suatu perjanjian dengan menanam sebuah batu perjanjian, yang kemudian dinamakan
Manuhurui, lalu berubah menjadi Huse. Perjanjian yang mereka ikrarkan ialah walaupun mereka
nanti bercerai berai, hubungan persaudaraan yang terbina selama ini haruslah dipertahankan.

Selain itu pula, mereka harus saling tolong menolong dalam segala hal, kunjug mengunjungi satu
dengan yang lain. Tempat ini kemudian menjadi suatu batu pertanda tempat kenang-kenangan
dari keturunan negeri Mahariki, Amahai, Luhu dan Portho.

Setelah proses perjanjian selesai, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimuri beristirahat tidur.
Sementara itu Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua naik ke atas rakit. Tiba-tiba rakit itu
terbawa arus dan hanyut, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimuri yang terbangun dari
tidurnya melihat rakit itu hanyut yang semakin ke tengah laut hanya bisa melambaikan
tangannya.
Rakit yang membawa Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua terkatung-katung di Tanjung
Hualoi. Mereka hanya bisa membalas lambaian tangan kedua kapitan yang berada di darat.
Mereka tak bisa menbawa rakitnya menepi. Kapiatan Nanlohy meloncat dan berenang melawan
arus. Tapi naas, karena letih dan kecapaian akhirnya ia terdampar di tempat yang bernama
Nanaluhu, yang berarti ”berenang dan terdampar di hulu’.

Sementara itu, Kapitan Talakua terus hanyut berbawa arus hingga melewati Tanjung Uneputty.
Pelayaran yang hanyut itu akhirnya terdampar juga pada suatu teluk di pulau Saparua. Dimana
dibangunnya negeri yang diberi nama Portho. Hal itu didengar oleh Kapitan Nanlohy dan ia pun
pindah dari Luhu ke Portho untuk hidup bersama dan mengembangkan keturunannya menjadi
satu mata rumah yang besar.

Kapitan Wattimena Wael dan Kapitan Wattimuri yang tetap tinggal di daerah Manuhurui di
kampung Sanuhu, banyak mempuyai sahabat. Antara lain Kapitan kampung tersebut. Kapitan itu
kemudian dijadikan pengitai oleh Kapitan Wattimena Wael.
Batu Badaong

Kisah O Bia Moloku dan O Bia Mokara

Dahulu, jauh di belahan bumi sebelah utara kepulauan Maluku yang terdapat suatu daerah yang
disebut Tobelo. Konon daerah yang diliputi lautan yang membiru itu menyimpan suatu kisah
yang menarik.

Beratus tahun yang lalu di suatu rumah yang berdindingkan daun rumbia diamlah satu keluarga.
Ayahnya seorang nelayan yang siang dan malam hidupnya diatas lautan, bertarung nyawa untuk
menghidupkan anak istrinya. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang setia dan sangat
bijaksana. Mereka memiliki dua orang anak. Yang sulung seorang anak perempuan bernama O
Bia Moloku. Kecantikannya melebihi kecantikan ibunya. Sedangkan adiknya yang laki-laki
bernama O Bia Mokara. Umurnya 1 tahun, tampan dan berperawakan mirip ayahnya.

Pada suatu hari ayah mereka pergi melaut dan seperti biasa sebelum ayah mereka bertolak ke
laut, tak lupa ditinggalkannya makanan dan telur ikan pepayana di rumahnya.

Beberapa hari setelah kepergian ayahnya melaut, ibunya pergi ke kebun. Sebelum ibunya pergi
ia berpesan kepada kedua anaknya, Hai anak-anakku, jangan kamu makan telur ikan yang
ditinggalkan ayahmu ini. Apabila kamu memakannya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Ibunya berkata dengan sungguh-sungguh tetapi mereka berdua hanya tertawa saja. Setelah
ibunya selesai memberi nasihat maka pergilah ibunya ke kebun.

Kira-kira tiga jam berlalu, adiknya O Bia Mokara merasa lapar. Dimintanya makanan dan telur
ikan. Kakaknya O Bia Moloku tak mau memberikan permintaan adiknya. Adiknya menangis
tersedu-sedu tetapi O Bia Moloku tetap tidak mau memberikan telur ikan itu. Semakin lama
semakin keras saja tangisan adiknya. Akhirnya O Bia Moloku tak tega melihat adiknya menangis
terus-menerus dan telur ikan itu segera diberikan kepada adiknya. Sambil tertawa adiknya
memakan telur ikan itu dengan lahapnya. Setelah memakan telur itu sampai habis, beberapa sisa
telur ikan itu melekat pada gigi adiknya.

Tak lama kemudian ibunya kembali dari kebun membawa singkorig, pepaya dan sayur-sayuran.
Setelah selesai membersihkan badannya, ibunya pun menggendong O Bia Mokara dan segera
menyusui si O Bia Mokara. Setelah itu, ibunya dengedenge (menyanyi sambil menari) sambil
menggendong O Bia Mokara yang tertawa gembira karena sangat senang berada dalam pelukan
ibunya yang sangat didambakannya. Namun tiba-tiba ayunan mesra ibunya dikejutkan dengan
terlihatnya sisa telur ikan yang melekat pada gigi O Bia Mokara. Suasana sukacita segera
berubah menjadi keheningan yang mendalam. Ibunya tertegun sebentar, sekujur badannya
menjadi dingin gemetar dan marah sekali kepada kedua anaknya. Amarah ibunya tak dapat
ditekan lagi. Ia segera melepaskan O Bia Mokara dan segera melarikan diri menyusuri pesisir
pantai. Sambil menggendong O Bia Mokara yang menangis terus, O Bia Moloku mengejar
ibunya sambil memanggil-manggil ibunya.

Mama, mama, O Bia Mokara menangis terus, Mama! Namun, panggilannya hanya dijawab oleh
mamanya. Peras saja daun katang-katang, ada air susunya!

Setelah tiga kali O Biao Moloku memberikan air susu dari daun katang-katang kepada adiknya,
ibunya pun menerjunkan diri ke laut. Sementara menyelam ia menemukan sebuah batu yang
timbul di permukaan air. Naiklah ibunya ke atas batu itu dan berkata, Terbukalah agar aku dapat
masuk. Batu itu terbuka, lalu ibunya pun masuk ke dalam batu itu. Dengan segera ia pun
berteriak, Tutuplah. Maka batu itu pun tertutup selama-lamanya tanpa berbekas.

Cerita ini merupakan suatu mitos yang dipercayai oleh masyarakatnya. Dan cerita ini pula
menyatakan kepada kita agar mendengar nasihat atau petuah orang tua.
Ini lagunya yang dinyanyikan sang ibu sebelum ditelan “batu”

Batu badaong,batulah bertangkai


Buka mulutmu,terangkan beta 2x

Buatlah apa beta tinggal sendiri


Sedangkan ibu telah tarada
Hidup sendiri talalu susah

Batu badaong,batulah bertangkai


Buka mulutmu terangkan beta 2x

Batu badaong

Buaya Tembaga

Pulau Ambon adalah salah satu pulau yang indah di Indonesia. Di sana terdapat lautan yang
membiru dipenuhi ikan yang beraneka ragam. Ada pula ikan yang dapat terbang mencecah laut.
Taman lautnya yang penuh dengan berbagai jenis hewan laut, membuatnya semakin indah
dipandang mata.

Dikisahkan pada zaman dahulu, kota Ambon yang terletak pada jazirah Lei Timur dan jazirah
Lei Hitu itu dihubungkan oleh satu tanah genting yang bernama Tanah Genting Baguala. Di
tempat ini hidup seekor buaya yang sangat besar. Panjang badannya kira-kira 5 meter dan warna
kulitnya kuning. Oleh sebab itu, penduduk di sana memberinya nama Buaya Tembaga. Keadaan
alam di Baguala yang begitu indah dan nyaman, membuat Buaya Tembaga itu merasa betah
tinggal di sana. Apalagi penduduknya sangat memuja buaya tersebut.

Tak jauh dari tempat itu, di pesisir pantai selatan Pulau Buru, hiduplah seekor ular besar yang
bertengger di atas sebatang pohon Mintaggor. Pohon itu tumbuh di tepi pantai dan selalu
condong ke arah laut. Ular tersebut selalu mengganggu ketenteraman hidup semua penghuni
tempat itu. Hampir semua ikan ditelannya, buaya-buaya pun turut dimangsanya juga. Oleh
karena itu, ikan-ikan, buaya, dan binatang lain berkumpul untuk mengadakan musyawarah
dengan tujuan untuk mengatasi serta membasmi ular raksasa itu. Akhirnya, mereka sepakat
bahwa yang dapat menandingi ular tersebut adalah Buaya Tembaga.

Setelah selesai bermusyawarah mereka mengirim utusan untuk menemui Buaya Tembaga.
Tujuannya yaitu meminta bantuan agar dapat menghancurkan ular pemangsa itu. Mereka
kemudian menjemput Buaya Tembaga dari Teluk Baguala, sementara ikan-ikan dan buaya yang
lain sibuk mempersiapkan upacara penyambutan bagi Buaya Tembaga.

Setibanya mereka di Teluk Baguala, Buaya Tembaga mengabulkan permohonan mereka dan
bersedia untuk berangkat bersama dengan para utusan itu menuju pantai selatan Pulau Buru.
Setibanya di Pulau Buru, Buaya Tembaga disambut dengan hangat dalam suatu upacara yang
meriah. Upacara pun dihadiri oleh para penghuni laut seperti keong laut, berjenis ikan, para
buaya, aneka macam burung laut. Mereka beramah-tamah dan bersuka-ria dengan Buaya
Tembaga selama dua hari.

Pada hari yang ketiga, berangkatlah Buaya Tembaga melaksanakan tugasnya. Ia mulai berjalan,
berenang ke sana-kemari mengintai musuhnya dan mendekati pohon mintanggor tempat ular
raksasa itu berada. Ketika buaya melewati pohon itu, ia berpapasan dengan sang ular. Seketika
itu ular langsung melilitkan ekornya pada batang pohon mintanggor dan menjulurkan badannya
ke laut seraya memagut Buaya Tembaga.

Pagutan ular itu segera ditangkis Buaya Tembaga dengan mengibaskan ekornya yang keras dan
tajam. Perang tanding pun terjadi antara keduanya dan peristiwa ini disaksikan oleh semua
penghuni laut yang berada di sekitar tempat itu. Pertarungan tersebut terjadi selama lebih dari
sehari.

Ketika pertarungan itu sudah berlangsung selama dua hari, terjadilah saat-saat yang menentukan.
Sang ular, seperti biasa, melilitkan ekornya kuat-kuat pada batang pohon mintanggor dan
memagut mata sang buaya. Buaya pun dengan sigap segera mengelak dari serangan ular dan
membalas dengan pu*kulan yang keras dan cepat. Lalu ia hempaskan ekor tajamnya ke arah
kepala ular raksasa itu. Hal ini terjadi berulang kali. Akibatnya, sang ular pun babak belur
terkena sambaran ekor Buaya Tembaga. Kepalanya remuk, lilitan ekornya terlepas dari batang
pohon mintanggor dan terhempas ke laut. Maka berakhirlah sudah riwayat ular raksasa tersebut.

Para penghuni laut yang menyaksikannya serentak bersorak-sorai. Dengan demikian, mereka
telah bebas dari ancaman sang ular yang selama ini menghantui mereka. Setelah kejadian itu,
Buaya Tem*baga dianugerahi gelar Yang Dipertuan di daerah Teluk Baguala. Hadiah itu
dipersembahkan pada sebuat tagala dan diisi dengan beberapa jenis ikan seperti ikan parang,
make, papere, dan salmaneti. Selanjutnya, Buaya Tembaga pun kembali ke tempat asalnya
dengan membawa hadiah tersebut. Sejak saat itu, ikan-ikan tersebut berkembang-biak dengan
baik di Teluk Baguala. Hingga kini, ikan jenis itu sangat banyak terdapat di teluk tersebut.
Bahkan banyak penduduk yang percaya, terutama yang tinggal di sekitar Teluk Baguala bahwa
bila Buaya Tembaga itu muncul pertanda akan datang banyak ikan. Sehingga masyarakat
bersiap-siap untuk menangkap ikan dan menjualnya. Kemunculan Buaya Tembaga membawa
keberuntungan bagi penduduk Baguala.

Anda mungkin juga menyukai