Anda di halaman 1dari 49

CERITA RAKYAT SANGKURIANG

Awalnya diceritakan di kahyangan ada sepasang dewa dan dewi yang


berbuat kesalahan, maka oleh Sang Hyang Tunggal mereka dikutuk turun ke bumi
dalam wujud hewan. Sang dewi berubah menjadi babi hutan (celeng) bernama
celeng Wayung Hyang, sedangkan sang dewa berubah menjadi anjing bernama si
Tumang. Mereka harus turun ke bumi menjalankan hukuman dan bertapa mohon
pengampunan agar dapat kembali ke wujudnya menjadi dewa-dewi kembali.

Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara tengah pergi berburu. Di


tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring
(keladi hutan), dalam versi lain disebutkan air kemih sang raja tertampung dalam
batok kelapa. Seekor babi hutan betina bernama Celeng Wayung Hyang yang
tengah bertapa sedang kehausan, ia kemudian tanpa sengaja meminum air seni
sang raja tadi. Wayung Hyang secara ajaib hamil dan melahirkan seorang bayi
yang cantik, karena pada dasarnya ia adalah seorang dewi. Bayi cantik itu
ditemukan di tengah hutan oleh sang raja yang tidak menyadari bahwa ia adalah
putrinya. Bayi perempuan itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama
Dayang Sumbi alias Rarasati. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang amat
cantik jelita. Banyak para raja dan pangeran yang ingin meminangnya, tetapi
seorang pun tidak ada yang diterima.

Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi


pun atas permintaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani
seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik menenun kain,
torompong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah bale-
bale. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia
berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin
laki-laki, akan dijadikan suaminya, jika perempuan akan dijadikan saudarinya. Si
Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Akibat
perkataannya itu Dayang Sumbi harus memegang teguh persumpahan dan
janjinya, maka ia pun harus menikahi si Tumang. Karena malu, kerajaan
mengasingkan Dayang Sumbi ke hutan untuk hidup hanya ditemani si Tumang.
Pada malam bulan purnama, si Tumang dapat kembali ke wujud aslinya sebagai
dewa yang tampan, Dayang Sumbi mengira ia bermimpi bercumbu dengan dewa
yang tampan yang sesungguhnya adalah wujud asli si Tumang. Maka Dayang
Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Sangkuriang.
Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang kuat dan tampan.

Suatu ketika Dayang Sumbi tengah mengidamkan makan hati menjangan,


maka ia memerintahkan Sangkuriang ditemani si Tumang untuk berburu ke hutan.
Setelah sekian lama Sangkuriang berburu, tetapi tidak nampak hewan buruan

1
seekorpun. Hingga akhirnya Sangkuriang melihat seekor babi hutan yang gemuk
melarikan diri. Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk mengejar babi hutan
yang ternyata adalah Celeng Wayung Hyang. Karena si Tumang mengenali
Celeng Wayung Hyang adalah nenek dari Sangkuriang sendiri maka si Tumang
tidak menurut. Karena kesal Sangkuriang menakut-nakuti si Tumang dengan
panah, akan tetapi secara tak sengaja anak panah terlepas dan si Tumang terbunuh
tertusuk anak panah. Sangkuriang bingung, lalu karena tak dapat hewan buruan
maka Sangkuriang pun menyembelih tubuh si Tumang dan mengambil hatinya.
Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak
dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya
adalah hati si Tumang, suaminya sendiri, maka kemarahannya pun memuncak
serta-merta kepala Sangkuriang dipukul dengan sendok yang terbuat dari
tempurung kelapa sehingga terluka.

Sangkuriang ketakutan dan lari meninggalkan rumah. Dayang Sumbi yang


menyesali perbuatannya telah mengusir anaknya, mencari dan memanggil-
manggil Sangkuriang ke hutan memohonnya untuk segera pulang, akan tetapi
Sangkuriang telah pergi. Dayang Sumbi sangat sedih dan memohon kepada Sang
Hyang Tunggal agar kelak dipertemukan kembali dengan anaknya.

Untuk itu Dayang Sumbi menjalankan tapa dan laku hanya memakan
tumbuh-tumbuhan dan sayuran mentah (lalapan). Sangkuriang sendiri pergi
mengembara mengelilingi dunia. Sangkuriang pergi berguru kepada banyak
pertapa sakti, sehingga Sangkuriang kini bukan bocah lagi, tetapi telah tumbuh
menjadi seorang pemuda yang kuat, sakti, dan gagah perkasa. Setelah sekian lama
berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah
tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, ibunya berada. Sangkuriang tidak
mengenali bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya.
Karena Dayang Sumbi melakukan tapa dan laku hanya memakan tanaman
mentah, maka Dayang Sumbi menjadi tetap cantik dan awet muda.

Dayang Sumbi pun mulanya tidak menyadari bahwa sang ksatria tampan
itu adalah putranya sendiri. Lalu kedua insan itu berkasih mesra. Saat
Sangkuriang tengah bersandar mesra dan Dayang Sumbi menyisir rambut
Sangkuriang, tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang
adalah putranya, dengan tanda luka di kepalanya, bekas pukulan sendok Dayang
Sumbi. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang
Sumbi sekuat tenaga berusaha untuk menolak. Maka ia pun bersiasat untuk
menentukan syarat pinangan yang tak mungkin dipenuhi Sangkuriang. Dayang
Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam

2
waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang
menyanggupinya.

Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur,
tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya
ditumpukkan di sebelah barat dan menjadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan
para guriang (makhluk halus), bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi
Dayang Sumbi memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar niat Sangkuriang
tidak terlaksana. Dayang Sumbi menebarkan helai kain boeh rarang (kain putih
hasil tenunannya), maka kain putih itu bercahaya bagai fajar yang merekah di
ufuk timur. Para guriang makhluk halus anak buah Sangkuriang ketakutan karena
mengira hari mulai pagi, maka merekapun lari menghilang bersembunyi di dalam
tanah. Karena gagal memenuhi syarat Dayang Sumbi, Sangkuriang menjadi gusar
dan mengamuk. Di puncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang
Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur
dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi
surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke
arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.

Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang lari menghindari kejaran


anaknya yang telah kehilangan akal sehatnya itu. Dayang Sumbi hampir
tertangkap oleh Sangkuriang di Gunung Putri dan ia pun memohon kepada Sang
Hyang Tunggal agar menyelamatkannya, maka Dayang Sumbi pun berubah
menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah
tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib
(ngahiyang).

Asal Mula Telaga Biru

3
Dibelahan bumi Halmahera Utara tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa, di
tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya terdiri
dari beberapa rumah atau dadaru), penduduk Lisawa tersentak gempar dengan
ditemukannya air yang tiba-tiba keluar dari antara bebatuan hasil pembekuan
lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk sebuah telaga.Airnya
bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini
membuat bingung penduduk. Mereka bertanya-tanya dari manakah asal air itu?
Apakah ini berkat ataukah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa
gerangan yang membuat fenomena ini terjadi?

Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu
tergolong sulit air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran
penduduk. Upacara adat digelar untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu.
Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan terhadap roh-roh leluhur sampai
kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah yang Esa atau
Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.

Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi
Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah
hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi
sumber mata air).

Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk


dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil
temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah
menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan nafas penduduk yang
terdengar.

Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak
hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling
memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari
jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga yang
kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu,
mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru
(nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal
kedua anak itu.

Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara
dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat
dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua

4
Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau
ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan akan kembali.

Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit


untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati.
Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi hubungan dan cinta
kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak lebih baik mati dari pada
hidup menanggung dusta.

Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun,
badai rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang
tak bertepi itu.

Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan


tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya
seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona
laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi bumerang kematian.

Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat
berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon
Beringin sambil meratapi kisah cintanya.

Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas,
airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan
tajam yang ada di bawah pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh
air matanya sendiri.

Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil
mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji
akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka namakan Telaga Biru.

(Legenda Rakyat Halmahera Utara diceritakan kembali oleh Theo S. Sosebeko)

Legenda Batu Menangis

5
Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda
miskin dan seorang anak gadisnya.

Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku
yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.

Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus
dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa
memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang
mencari sesuap nasi.

Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak
pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup
melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang
bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi
kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang
dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak
seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan
anak.

Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka.


Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda
desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat
orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu
membuat orang bertanya-tanya.

Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya
kepada gadis itu, "Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?"
Namun, apa jawaban anak gadis itu?

"Bukan," katanya dengan angkuh. "Ia adalah pembantuku !"


Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh,
mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.

"Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?"


"Bukan, bukan," jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. " Ia adalah
budakk!"
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang
menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai

6
pembantu atau budaknya.

Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si
ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya
jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang
itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.

"Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu
teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak
durhaka ini ! Hukumlah dia...."
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu
berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah
mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada
ibunya.

" Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini.


Ibu...Ibu...ampunilah anakmu.." Anak gadis itu terus meratap dan menangis
memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh
gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang
dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang
menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan
ibunya itu disebut " Batu Menangis ".

Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat


dipercaya bahwa kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang
mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan membesarkannya, pasti
perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Asal Mula Danau Limboto

7
Danau Limboto merupakan sebuah danau yang terletak di Kecamatan Limboto,
Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo Indonesia. Dulunya, danau ini bernama
Bulalo lo limu o tutu, yang berarti danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, keberadaan danau seluas kurang lebih
3.000 hektar ini disebabkan oleh sebuah peristiwa ajaib yang terjadi di daerah itu.
Peristiwa apakah yang menyebabkan terjadinya Danau Limboto? Ikuti kisahnya
dalam cerita Asal Mula Danau Limboto berikut ini!
***
Dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Di tengahnya
terdapat dua buah gunung yang tinggi, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung
Tilongkabila. Kedua gunung tersebut merupakan petunjuk arah bagi masyarakat
yang akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut. Gunung Bilohuto menunjukkan
arah barat, sedangkan Gunung Tilongkabila menunjukkan arah timur.
Pada suatu ketika, air laut surut, sehingga kawasan itu berubah menjadi daratan.
Tak beberapa lama kemudian, kawasan itu berubah menjadi hamparan hutan yang
sangat luas. Di beberapa tempat masih terlihat adanya air laut tergenang, dan di
beberapa tempat yang lain muncul sejumlah mata air tawar, yang kemudian
membentuk genangan air tawar. Salah satu di antara mata air tersebut
mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata air yang berada di tengah-
tengah hutan dan jarang dijamah oleh manusia tersebut bernama Mata Air Tupalo.
Tempat ini sering didatangi oleh tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan untuk
mandi dan bermain sembur-semburan air.
Pada suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan
bersendau gurau di sekitar mata air Tupalo tersebut, seorang pemuda tampan
bernama Jilumoto melintas di tempat itu. Jilumoto dalam bahasa setempat berarti
seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi dengan menjelma menjadi
manusia. Melihat ketujuh bidadari tersebut, Jilumoto segera bersembunyi di balik
sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia memerhatikan ketujuh bidadari yang
sedang asyik mandi sampai matanya tidak berkedip sedikitpun.
“Aduhai.... cantiknya bidadari-bidadari itu!” gumam Jilumoto dengan takjub.
Melihat kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto tiba-tiba timbul niatnya untuk
mengambil salah satu sayap mereka yang diletakkan di atas batu besar, sehingga
si pemilik sayap itu tidak dapat terbang kembali ke kahyangan. Dengan begitu,
maka ia dapat memperistrinya. Ketika para bidadari tersebut sedang asyik
bersendau gurau, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat sayap-sayap
tersebut diletakkan. Setelah berhasil mengambil salah satu sayap bidadari tersebut,
pemuda tampan itu kembali bersembunyi di balik pohon besar.
Ketika hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi dan bersiap-
siap untuk pulang ke Kahyangan. Setelah memakai kembali sayap masing-

8
masing, mereka pun bersiap-siap terbang ke angkasa. Namun, salah seorang di
antara mereka masih tampak kebingungan mencari sayapnya.
“Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?”.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari tertua yang bernama
Mbu`i Bungale. Keenam adiknya segera membantu sang Kakak untuk mencari
sayap yang hilang tersebut. Mereka telah mencari ke sana kemari, namun sayap
tersebut belum juga ditemukan. Karena hari mulai gelap, keenam bidadari itu
pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di dekat Mata Air Tupalo.
“Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik!” seru bidadari yang bungsu.
“Adikku...! Jangan tinggalkan Kakak!” teriak Mbu`i Bungale ketika melihat
keenam adiknya sedang terbang menuju ke angkasa.
Keenam adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Tinggallah Mbu`i
Bungale seorang diri di tengah hutan. Hatinya sangat sedih, karena ia tidak bisa
bertemu lagi dengan keluarganya di Kahyangan. Beberapa saat kemudian,
Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera menghampiri Mbu`i
Bungale.
“Hai, Bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu?” tanya Jilumoto dengan
berpura-pura tidak mengetahui keadaan sebenarnya.
“Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke Kahyangan,” jawab
Mbu`i Bungale.
Mendengar jawaban itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto segera mengajak Mbu`i
Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu pun bersedia menikah dengan
Jilumoto. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk tinggal bersama di bumi.
Mereka pun mencari tanah untuk bercocok tanam. Setelah berapa lama mencari,
akhirnya sepasang suami-istri itu menemukan sebuah bukit yang terletak tidak
jauh dari Mata Air Tupalo. Di atas bukit itulah mereka mendirikan sebuah rumah
sederhana dan berladang dengan menanam berbagai macam jenis tanaman yang
dapat dimakan. Mereka menamai bukit itu Huntu lo Ti`opo atau Bukit Kapas..
Pada suatu hari, Mbu`i Bungali mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika
sebesar telur itik dari Kahyangan. Bimelula itu ia simpan di dekat mata air Tupalo
dan menutupinya dengan sehelai tolu atau tudung. Beberapa hari kemudian, ada
empat pelancong dari daerah timur yang melintas dan melihat mati air Tupalo
tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin itu, mereka segera
meminumnya karena kehausan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh.
Usai minum, salah seorang di antara mereka melihat ada tudung tergeletak di
dekat mata air Tupalo.
“Hai, kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankah itu tudung?” seru salah
seorang dari pelancong itu.
“Benar, kawan! Itu adalah tudung,” kata seorang pelancong lainnya.
“Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini?” sahut pelancong yang

9
lainnya dengan heran.
Oleh Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud
untuk menangkatnya. Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu, tiba-
tiba badai dan angin topan sangat dahsyat datang menerjang, kemudian disusul
dengan hujan yang sangat deras. Keempat pelancong itu pun berlarian mencari
perlindungan agar terhindar dari marabahaya. Untungnya, badai dan angin topan
tersebut tidak berlangsung lama, sehingga mereka dapat selamat.
Setelah badai dan hujan berhenti, keempat pelancong itu kembali ke mata air
Tupalo. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Oleh
karena masih penasaran ingin mengetahui benda yang ditutupi tudung itu, mereka
pun bermaksud ingin mengangkat tudung itu. Sebelum mengangkatnya, mereka
meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang yang sudah dimantrai agar
badai dan topan tidak kembali terjadi. Betapa terkejutnya mereka ketika
mengangkat tudung itu. Mereka melihat sebuah benda bulat, yang tak lain adalah
mustika Bimelula. Mereka pun tertarik dan berkeinginan untuk memiliki mustika
itu. Namun begitu mereka akang mengambil mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i
Bungale datang bersama suaminya, Jilumoto.
“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk
mengambilnya, karena benda itu milik kami!” pinta Mbu`i Bungale.
“Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika
ini!” seru seorang pemimpin pelancong.
“Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil
mustika itu,” jawab Mbu`i Bungale dengan tenang.
“Hai, Mbu`i Bungale! Tempat ini adalah milik kami. Jadi, tak seorang pun yang
boleh mengambil barang-barang yang ada di sini, termasuk mustika ini!” bentak
pemimpin pelancong itu.
“Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik kalian?” tanya Mbui`i
Bungale.
Pemimpin pelancong itu pun menjawab:
“Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu! Kamilah
yang telah memberinya,” ujar pemimpin pelancong.
Mendengar pengakuan para pelancong tersebut, Mbu`i Bungale hanya tersenyum.
“Hai, aku ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini diturunkan oleh Tuhan
Yang Mahakuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama
makhluk di dunia ini. Bukan diberikan kepada orang-orang tamak dan rakus
seperti kalian. Tapi, jika memang benar kalian pemilik dan penguasa di tempat ini,
perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan kalian, aku siap untuk
menantang kalian!” seru Mbu`i Bungale.
Keempat pelancong itu pun bersedia menerima tantangan Mbu`i Bungale. Si
pemimpin pelancong segera membaca mantradan mengeluarkan seluruh

10
kemampuannya.
“Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah,” demikian bunyi mantranya.
Berkali-kali pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun tak sedikit pun
menunjukkan adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan membesar.
Melihat pemimpin mereka sudah mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah
pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah menyatukan kekuatan
dan kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun. Lama-kelamaan
keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat mereka kelelahan dan
bercucuran keringat, Mbu`i Bungale kembali tersenyum.
“Hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu milik
kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!” seru Mbu`i Bungale.
“Diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya pandai bicara!” sergah
pemimpin pelancong itu balik menantang Mbu`i Bungale. “Jika kamu pemilik
mata air ini, buktikan pula kepada kami!”
“Baiklah, Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Tuhan Maha Tahu mana hambanya yang
benar, permintaannya akan dikabulkan!” ujar jawab Mbu`i Bungale dengan penuh
keyakinan.
Usai berkata begitu, Mbu`i Bungale segera duduk bersila di samping suaminya
seraya bersedekap. Mulutnya pun komat-kamit membaca doa.
“Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar dan
meluaslah wahai mata air para bidadari.... membesarlah....!!!” demikian doa
Mbu`i Bungale.
Usai berdoa, Mbu`i Bungale segera mengajak suaminya dan memerintahkan
keempat pelancong tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling tinggi, karena
sebentar lagi kawasan itu akan tenggelam. Doa Mbu`i Bungale pun dikabulkan.
Beberapa saat kemudian, perut bumi tiba-tiba bergemuruh, tanah bergetar dan
menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar dan meluas, kemudian
menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap, tempat itu tergenang
air. Keempat pelancong tersebut takjub melihat keajaiban itu dari atas pohon
kapuk.
Semakin lama, genangan air itu semakin tinggi hingga hampir mencapai tempat
keempat pelancong yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka pun berteriak-
teriak ketakutan.
“Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik tempat ini dan
seisinya!” teriak pemimpin pelancong itu.
Mbu`i Bungale adalah bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada
Tuhan agar semburan mata air Tupalo dikembalikan seperti semula, sehingga
genangan air itu tidak semakin tinggi dan menenggelamkan keempat pelancong
tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air pada mata air Tupalo kembali
seperti semula. Mereka pun turun dari pohon. Mbu`i Bungale segera mengambil

11
tudung dan mustika Bimelula. Ajaibnya, ketika ia meletakkan di atas tangannya,
mustika yang menyerupai telur itik itu tiba-tiba menetas dan keluarlah seorang
bayi perempuan yang sangat cantik. Wajahnya bercahaya bagaikan cahaya bulan.
Mbu`i Bungale pun memberinya nama Tolango Hula, diambil dari kata Tilango lo
Hulalo yang berarti cahaya bulan. Menurut cerita, Tolango Hula itulah yang kelak
menjadi Raja Limboto.
Setelah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya segera membawa gadis kecil itu dan
mengajak keempat pelancong tersebut ke rumah mereka. Ketika hendak
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale melihat lima buah benda
terapung-apung di tengah danau.
“Hai, benda apa itu?” seru Mbu`i Bungale dengan heran sambil menunjuk ke arah
benda tersebut.
Karena penasaran, Mbu`i Bungale segera mengambil kelima benda tersebut.
“Bukankah ini buah jeruk?” pikirnya saat mengamati buah tersebut.
Setelah mencubit dan mencium buah tersebut, lalu mengamatinya, maka yakinlah
Mbu`i Bungale bahwa buah jeruk itu sama seperti yang ada di Kahyangan. Untuk
lebih meyakinkan dirinya, ia bermaksud untuk memeriksa pepohonan yang
tumbuh di sekitar danau.
“Kanda, tolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa pepohonan di
sekitar danau ini. Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon jeruk yang
tumbuh,” ujar Mbu`i Bungale seraya menyerahkan bayinya kepada sang Suami,
Jilumoto.
Setelah beberapa saat mencari dan memeriksa, akhirnya Mbu`i Bungale
menemukan beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat. Untuk memastikan
bahwa pohon yang ditemukan itu benar-benar pohon jeruk dari Kahyangan, ia
segera memanggil suaminya untuk mengamatinya.
“Kanda, kemarilah sebentar!” seru Mbu`i Bungale.
“Coba perhatikan pohon dan buah jeruk ini! Bukankah buah ini seperti jeruk
Kahyangan, Kanda?” ujarnya.
Suaminya pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil menggendong bayi
mereka. Setelah memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa pohon dan
buah jeruk itu berasal dari Kahyangan.
“Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini seperti yang ada di Kahyangan,” kata
Jilumoto.
“Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh di sekitar danau ini?”
ucap Mbu`i Bungale dengan heran.
Beberapa saat kemudian, Mbu`i Bungale baru menyadari bahwa keberadaan
pohon jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang
Mahakuasa. Untuk mengenang peristiwa yang baru saja terjadi di daerah itu,
Mbu`i Bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu, yang

12
artinya danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Lama-kelamaan,
masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau lebih dikenal
dengan sebutan Danau Limboto.
***
Demikian cerita Asal Mula Danau Limboto dari Provinsi Gorontalo, Indonesia.
Hingga kini Danau Limboto menjadi salah satu obyek wisata menarik di
Gorontalo. Para pengunjung dapat menikmati berbagai kegiatan seperti
memancing, lomba berperahu, dan menikmati ikan bakar segar. Pesan moral yang
dapat dipetik dari cerita di atas dapat dilihat pada keberanian dan kegigihan Mbu`i
Bungale mempertahankan hak miliknya dengan menantang keempat orang
pelancong untuk memperluas mata air Tupalo. Dalam kehidupan orang Melayu,
mempertahankan hak milik sendiri sangatlah dianjurkan sebagaimana dikatakan
dalam tunjuk ajar berikut ini:

apa tanda melayu bertuah,


hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela

Demikianlah cerita rakyat kali ini, semoga memberikan inspirasi dan pesan
moral.

Asal Usul Kota Banyuwangi

13
Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat
sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana.
Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang.
Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke
hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah
peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat
ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang
melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan.
Ia terpisah dengan para pengiringnya.

“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan


jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang
menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu
tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar
nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang
dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah
berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.

“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-


jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden
Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau
penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil
tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu
menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya
berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya
telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar
ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan
puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya
pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga
bahagia.

Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar


istana. “Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-
camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di
depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan
Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden
Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau
diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati
tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar
jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat

14
kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat
tidurmu,” pesan Rupaksa.

Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden


Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden
Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh
kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping. “Tuangku, Raden
Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan
sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat
kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki
yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan
kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius.
Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun
segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju
ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki
berpakaian compang-camping yang telah menemui di hutan. “Ha! Benar kata
lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau membunuhku
dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh Raden Banterang
kepada istrinya. “ Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden
Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh
Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun
Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong
itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden
Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.

Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai.


Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan
seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun
menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-
camping seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak kandung
Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati
menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden
Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda
suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan
Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal
pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati
mengingatkan.

“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati


bantuan, tetapi Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang
tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini

15
menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika
tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden
Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang
segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati
melompat ke tengah sungai lalu menghilang.

Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di
sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara
gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya
Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya.
Namun sudah terlambat.

Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut
Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi
kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.

16
Asal usul Danau Toba
Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah
danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan
pulau ditengahnya dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari
kutukan dewa.

Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang


petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa
mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya
usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di
suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-
mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam
hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-
goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah
mendapat seekor ikan cukup besar.

Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna
kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol
memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku
akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut
terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang
ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah
wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam
petani.

“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang
budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu.
“Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah
mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri.
Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh
menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar
maka akan terjadi petaka dahsyat.

Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik


jelita bersama petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,”
gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang
baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan
ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu
hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka
menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani.
“Aku tahu Petani itu pasti memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada

17
temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak
merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja

Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri


Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan
mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak
yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu
kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar.
Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.

Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh


membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu
mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan
bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya.
“Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah
yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh
Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan
minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak
memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus
dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola.
Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau
diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si Petani tanpa sadar telah
mengucapkan kata pantangan itu.

Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan


istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-
tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa
sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga
membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu
akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya
dikenal dengan nama Pulau Samosir.

18
Lutung Kasarung

Pada jaman dahulu kala di tatar pasundan ada sebuah kerajaan yang pimpin oleh
seorang raja yang bijaksana, beliau dikenal sebagai Prabu Tapak Agung.

Prabu Tapa Agung mempunyai dua orang putri cantik yaitu Purbararang dan
adiknya Purbasari.

Pada saat mendekati akhir hayatnya Prabu Tapak Agung menunjuk Purbasari,
putri bungsunya sebagai pengganti. “Aku sudah terlalu tua, saatnya aku turun
tahta,” kata Prabu Tapa.

Purbasari memiliki kakak yang bernama Purbararang. Ia tidak setuju adiknya


diangkat menggantikan Ayah mereka. “Aku putri Sulung, seharusnya ayahanda
memilih aku sebagai penggantinya,” gerutu Purbararang pada tunangannya yang
bernama Indrajaya. Kegeramannya yang sudah memuncak membuatnya
mempunyai niat mencelakakan adiknya. Ia menemui seorang nenek sihir untuk
memanterai Purbasari. Nenek sihir itu memanterai Purbasari sehingga saat itu
juga tiba-tiba kulit Purbasari menjadi bertotol-totol hitam. Purbararang jadi punya
alasan untuk mengusir adiknya tersebut. “Orang yang dikutuk seperti dia tidak
pantas menjadi seorang Ratu !” ujar Purbararang.

Kemudian ia menyuruh seorang Patih untuk mengasingkan Purbasari ke hutan.


Sesampai di hutan patih tersebut masih berbaik hati dengan membuatkan sebuah
pondok untuk Purbasari. Ia pun menasehati Purbasari, “Tabahlah Tuan Putri.
Cobaan ini pasti akan berakhir, Yang Maha Kuasa pasti akan selalu bersama
Putri”. “Terima kasih paman”, ujar Purbasari.

Selama di hutan ia mempunyai banyak teman yaitu hewan-hewan yang selalu baik
kepadanya. Diantara hewan tersebut ada seekor kera berbulu hitam yang
misterius. Tetapi kera tersebut yang paling perhatian kepada Purbasari. Lutung
kasarung selalu menggembirakan Purbasari dengan mengambilkan bunga –bunga
yang indah serta buah-buahan bersama teman-temannya.

Pada saat malam bulan purnama, Lutung Kasarung bersikap aneh. Ia berjalan ke
tempat yang sepi lalu bersemedi. Ia sedang memohon sesuatu kepada Dewata. Ini
membuktikan bahwa Lutung Kasarung bukan makhluk biasa. Tidak lama
kemudian, tanah di dekat Lutung merekah dan terciptalah sebuah telaga kecil,
airnya jernih sekali. Airnya mengandung obat yang sangat harum.

19
Keesokan harinya Lutung Kasarung menemui Purbasari dan memintanya untuk
mandi di telaga tersebut. “Apa manfaatnya bagiku ?”, pikir Purbasari. Tapi ia mau
menurutinya. Tak lama setelah ia menceburkan dirinya. Sesuatu terjadi pada
kulitnya. Kulitnya menjadi bersih seperti semula dan ia menjadi cantik kembali.
Purbasari sangat terkejut dan gembira ketika ia bercermin ditelaga tersebut.

Di istana, Purbararang memutuskan untuk melihat adiknya di hutan. Ia pergi


bersama tunangannya dan para pengawal. Ketika sampai di hutan, ia akhirnya
bertemu dengan adiknya dan saling berpandangan. Purbararang tak percaya
melihat adiknya kembali seperti semula. Purbararang tidak mau kehilangan muka,
ia mengajak Purbasari adu panjang rambut. “Siapa yang paling panjang
rambutnya dialah yang menang !”, kata Purbararang. Awalnya Purbasari tidak
mau, tetapi karena terus didesak ia meladeni kakaknya. Ternyata rambut Purbasari
lebih panjang.

“Baiklah aku kalah, tapi sekarang ayo kita adu tampan tunangan kita, Ini
tunanganku”, kata Purbararang sambil mendekat kepada Indrajaya. Purbasari
mulai gelisah dan kebingungan. Akhirnya ia melirik serta menarik tangan Lutung
Kasarung. Lutung Kasarung melonjak-lonjak seakan-akan menenangkan
Purbasari. Purbararang tertawa terbahak-bahak, “Jadi monyet itu tunanganmu ?”.

Pada saat itu juga Lutung Kasarung segera bersemedi. Tiba-tiba terjadi suatu
keajaiban. Lutung Kasarung berubah menjadi seorang Pemuda gagah berwajah
sangat tampan, lebih dari Indrajaya. Semua terkejut melihat kejadian itu seraya
bersorak gembira. Purbararang akhirnya mengakui kekalahannya dan
kesalahannya selama ini. Ia memohon maaf kepada adiknya dan memohon untuk
tidak dihukum. Purbasari yang baik hati memaafkan mereka. Setelah kejadian itu
akhirnya mereka semua kembali ke Istana.

Purbasari menjadi seorang ratu, didampingi oleh seorang pemuda idamannya.


Pemuda yang ternyata selama ini selalu mendampinginya dihutan dalam wujud
seekor lutung.

BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH


Cerita Rakyat Riau, Sumatera

20
Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari
Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka
adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa,
namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit
keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian
pula ayahnya.

Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang
Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering
berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan,
membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang
Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa
mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya
Bawang putih tidak kesepian lagi.

Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah
dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah
sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai
kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan
berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus
mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya
hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya,
karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.

Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak
saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap
Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus
bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi
Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak,
menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika,
membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang

21
putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu
saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.

Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan
dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di
pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang
putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu
asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwasalah satu baju telah hanyut
terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya.
Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang
putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil
menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya
kepada ibunya.

“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu
harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum
menemukannya. Mengerti?”

Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri
sungai tempatnya mencuci tadi. Mataharisudah mulai meninggi, namun Bawang
putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti
diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju
ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong
ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan
kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah
paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus
menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu
mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.

“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali
menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa.
Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya

22
lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera
menghampiri rumah itu dan mengetuknya.

“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.


“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.

“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut.
Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya
Bawang putih

“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.

“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai
baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus
menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol
dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak.
Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya
akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,”
kata Bawang putih dengan tersenyum.

Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari
Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek
itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun
memanggil bawang putih.

“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang
rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu
pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai
hadiah!” kata nenek.

Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya.
Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat

23
membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan
Bawang putih hingga depan rumah.

Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya
sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah
terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi
emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan
memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan
serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang
putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut.
Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.

Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk
melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya.
Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir
sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk
menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama
seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang
dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan
asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah
untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah
karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu
terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang
ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa
mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.

Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan


gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan
meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu
dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas
permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa

24
seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung
menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang
yang serakah.

Keong emas

Alkisah pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda bernama Galoran. Ia
termasuk orang yang disegani karena kekayaan dan pangkat orangtuanya.
Namun Galoran sangatlah malas dan boros. Sehari-hari kerjanya hanya
menghambur-hamburkan harta orangtuanya, bahkan pada waktu orang tuanya

25
meninggal dunia ia semakin sering berfoya-foya. Karena itu lama kelamaan
habislah harta orangtuanya. Walaupun demikian tidak membuat Galoran sadar
juga, bahkan waktu dihabiskannya dengan hanya bermalas-malasan dan
berjalan-jalan. Iba warga kampung melihatnya. Namun setiap kali ada yang
menawarkan pekerjaan kepadanya, Galoran hanya makan dan tidur saja tanpa
mau melakukan pekerjaan tersebut. Namun akhirnya galoran dipungut oleh
seorang janda berkecukupan untuk dijadikan teman hidupnya. Hal ini membuat
Galoran sangat senang ; "Pucuk dicinta ulam pun tiba", demikian pikir Galoran.

Janda tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang sangat rajin dan
pandai menenun, namanya Jambean. Begitu bagusnya tenunan Jambean sampai
dikenal diseluruh dusun tersebut. Namun Galoran sangat membenci anak tirinya
itu, karena seringkali Jambean menegurnya karena selalu bermalas-malasan.

Rasa benci Galoran sedemikian dalamnya, sampai tega merencanakan


pembunuhan anak tirinya sendiri. Dengan tajam dia berkata pada istrinya : " Hai,
Nyai, sungguh beraninya Jambean kepadaku. Beraninya ia menasehati orangtua!
Patutkah itu ?" "Sabar, Kak. Jambean tidak bermaksud buruk terhadap kakak"
bujuk istrinya itu. "Tahu aku mengapa ia berbuat kasar padaku, agar aku pergi
meninggalkan rumah ini !" seru nya lagi sambil melototkan matanya. "Jangan
begitu kak, Jambean hanya sekedar mengingatkan agar kakak mau bekerja"
demikian usaha sang istri meredakan amarahnya. "Ah .. omong kosong.
Pendeknya sekarang engkau harus memilih .. aku atau anakmu !" demikian
Galoran mengancam.

Sedih hati ibu Jambean. Sang ibu menangis siang-malam karena bingung
hatinya. Ratapnya : " Sampai hati bapakmu menyiksaku jambean. Jambean
anakku, mari kemari nak" serunya lirih. "Sebentar mak, tinggal sedikit
tenunanku" jawab Jambean. "Nah selesai sudah" serunya lagi. Langsung
Jambean mendapatkan ibunya yang tengah bersedih. "Mengapa emak bersedih
saja" tanyanya dengan iba. Maka diceritakanlah rencana bapak Jambean yang

26
merencanakan akan membunuh Jambean. Dengan sedih Jambean pun berkata : "
Sudahlah mak jangan bersedih, biarlah aku memenuhi keinginan bapak. Yang
benar akhirnya akan bahagia mak". "Namun hanya satu pesanku mak, apabila
aku sudah dibunuh ayah janganlah mayatku ditanam tapi buang saja ke
bendungan" jawabnya lagi. Dengan sangat sedih sang ibu pun mengangguk-
angguk. Akhirnya Jambean pun dibunuh oleh ayah tirinya, dan sesuai
permintaan Jambean sang ibu membuang mayatnya di bendungan. Dengan ajaib
batang tubuh dan kepala Jambean berubah menjadi udang dan siput, atau disebut
juga dengan keong dalam bahasa Jawanya.

Tersebutlah di Desa Dadapan dua orang janda bersaudara bernama Mbok Rondo
Sambega dan Mbok Rondo Sembadil. Kedua janda itu hidup dengan sangat
melarat dan bermata pencaharian mengumpulkan kayu dan daun talas. Suatu hari
kedua bersaudara tersebut pergi ke dekat bendungan untuk mencari daun talas.
Sangat terpana mereka melihat udang dan siput yang berwarna kuning
keemasan. "Alangkah indahnya udang dan siput ini" seru Mbok Rondo Sambega
"Lihatlah betapa indahnya warna kulitnya, kuning keemasan. Ingin aku bisa
memeliharanya" serunya lagi. "Yah sangat indah, kita bawa saja udang dan
keong ini pulang" sahut Mbok Rondo Sembadil. Maka dipungutnya udang dan
siput tersebut untuk dibawa pulang. Kemudian udang dan siput tersebut mereka
taruh di dalam tempayan tanah liat di dapur. Sejak mereka memelihara udang
dan siput emas tersebut kehidupan merekapun berubah. Terutama setiap sehabis
pulang bekerja, didapur telah tersedia lauk pauk dan rumah menjadi sangat rapih
dan bersih. Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil juga merasa
keheranan dengan adanya hal tersebut. Sampai pada suatu hari mereka
berencana untuk mencari tahu siapakah gerangan yang melakukan hal tersebut.

Suatu hari mereka seperti biasanya pergi untuk mencari kayu dan daun talas,
mereka berpura-pura pergi dan kemudian setelah berjalan agak jauh mereka
segera kembali menyelinap ke dapur. Dari dapur terdengar suara gemerisik,
kedua bersaudara itu segera mengintip dan melihat seorang gadis cantik keluar

27
dari tempayan tanah liat yang berisi udang dan Keong Emas peliharaan mereka.
"tentu dia adalah jelmaan keong dan udang emas itu" bisik Mbok Rondo
Sambega kepada Mbok Rondo Sembadil. "Ayo kita tangkap sebelum menjelma
kembali menjadi udang dan Keong Emas" bisik Mbok Rondo Sembadil. Dengan
perlahan-lahan mereka masuk ke dapur, lalu ditangkapnya gadis yang sedang
asik memasak itu. "Ayo ceritakan lekas nak, siapa gerangan kamu itu" desak
Mbok Rondo Sambega "Bidadarikah kamu ?" sahutnya lagi. "bukan Mak, saya
manusia biasa yang karena dibunuh dan dibuang oleh orang tua saya, maka saya
menjelma menjadi udang dan keong" sahut Jambean lirih. "terharu mendengar
cerita Jambean kedua bersaudara itu akhirnya mengambil Keong Emas sebagai
anak angkat mereka. Sejak itu Keong Emas membantu kedua bersaudara
tersebut dengan menenun. Tenunannya sangat indah dan bagus sehingga
terkenallah tenunan terebut keseluruh negeri, dan kedua janda bersaudara
tersebut menjadi bertambah kaya dari hari kehari.

Sampailah tenunan tersebut di ibu kota kerajaan. Sang raja muda sangat tertarik
dengan tenunan buatan Jambean atau Keong Emas tersebut. Akhirnya raja
memutuskan untuk meninjau sendiri pembuatan tenunan tersebut dan pergi
meninggalkan kerajaan dengan menyamar sebagai saudagar kain. Akhirnya
tahulah raja perihal Keong Emas tersebut, dan sangat tertarik oleh kecantikan
dan kerajinan Keong Emas. Raja menitahkan kedua bersaudara tersebut untuk
membawa Jambean atau Keong Emas untuk masuk ke kerajaan dan meminang si
Keong Emas untuk dijadikan permaisurinya. Betapa senang hati kedua janda
bersaudara tersebut

TIMUN MAS
Cerita Rakyat Jawa Tengah

Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di
sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum
saja dikaruniai seorang anak pun. Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha
Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang

28
raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri
itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.

“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata
Raksasa. “Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya.
Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa.
Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir
panjang mereka setuju.

Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari
mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin.
Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.

Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu
masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu.
Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi
perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi
nama bayi itu Timun Mas.

Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik.
Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut.
Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali.
Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.Petani itu mencoba
tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan
memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku,
ambillah ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan
menolongmu melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya.
Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.

Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau
anaknya menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi

29
tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan
pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.

Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun
Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu
ditaburkan ke arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar.
Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.

Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya.
Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil
segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan
ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan.
Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.

Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka
Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji
mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa
sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu
dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.

Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan
tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya.
Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun
melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi
terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa
terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi
danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu
tenggelam.

Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang
tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat.

30
Mereka menyambutnya. “Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan
anakku,” kata mereka gembira.

Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka
dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.

CINDE LARAS

Kerajaan Jenggala dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Putra. Ia
didampingi oleh seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang
memiliki sifat iri dan dengki. Raja Putra dan kedua istrinya tadi hidup di dalam

31
istana yang sangat megah dan damai. Hingga suatu hari selir raja merencanakan
sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut dilakukan karena selir
Raden Putra ingin menjadi permaisuri.

Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib istana untuk melaksanakan
rencana tersebut. Selir baginda berpura-pura sakit parah. Tabib istana lalu segera
dipanggil sang Raja. Setelah memeriksa selir tersebut, sang tabib mengatakan
bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri.
"Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri," kata sang tabib. Baginda
menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan
patih untuk membuang permaisuri ke hutan dan membunuhnya.

Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke tengah
hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuh sang
permaisuri. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. "Tuan
putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan
putri sudah hamba bunuh," kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih
melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja merasa puas
ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.

Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang permaisuri melahirkan seorang


anak laki-laki. Anak itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi
seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan
binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor
rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam. Cindelaras kemudian mengambil telur
itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3 minggu, telur itu menetas menjadi
seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras memelihara anak ayamnya
dengan rajin. Kian hari anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang
gagah dan kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam tersebut. Bunyi kokok
ayam itu berbeda dengan ayam lainnya. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras,

32
rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...", kokok
ayam itu

Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya itu dan segera


memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul
mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya,
Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda.
Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam
jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung
ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. "Ayo, kalau
berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya. "Baiklah," jawab
Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan
perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah
beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.

Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat hingga sampai
ke Istana. Raden Putra akhirnya pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden
Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras ke istana.
"Hamba menghadap paduka," kata Cindelaras dengan santun. "Anak ini tampan
dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata," pikir baginda. Ayam
Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam
Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya
menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.

Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat,
ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak
sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. "Baiklah aku mengaku kalah.
Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?" Tanya
Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan
sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi.
"Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun

33
kelapa, ayahnya Raden Putra...," ayam jantan itu berkokok berulang-ulang.
Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. "Benarkah itu?"
Tanya baginda keheranan. "Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba
adalah permaisuri Baginda."

Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua
peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. "Aku telah melakukan
kesalahan," kata Baginda Raden Putra. "Aku akan memberikan hukuman yang
setimpal pada selirku," lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden
Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta
maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera
menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan
Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia,
Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan
adil dan bijaksana

MALIN KUNDANG

Cerita Rakyat Sumatera Barat

34
Dalam Cerita rakyat ini banyak makna yang tersirat didalamnya seperti kita harus
berbakti kepada orang tua, Karena Orang Tua kususnya Berbakti kepada Ibu. Ada
pepatah surga ada ditelapak kaki Ibu dan anjuran kepada anak-anak agar berbakti
kepada Ibu, okelah langsung saja untuk menyimak Cerita Rakyat Malin Kundang
dibawah ini.

Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra.
Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang.
Karena kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin
memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.

Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan
membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-
hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang,
dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.

Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di


negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman,
ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut
berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung
halamannya yang sudah sukses.

Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran
pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun
tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan
akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.

Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah


perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut.
Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh
bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal
tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya

35
tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin
segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang


ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin
Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di
desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah
sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin
terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya
dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya.
Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari
100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang
gadis untuk menjadi istrinya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan
kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang
banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal
yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang
sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu
adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup
dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin
yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang,
anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?", katanya
sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan
ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan
saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang
pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua
dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu ibumu?", Tanya istri
Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku

36
sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin
Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka.
Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya
sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi
sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan
badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh
Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk
menjadi sebuah batu karang

Roro Jonggrang

37
12Alkisah pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaan yang sangat besar
yang bernama Prambanan. Rakyat Prambanan sangat damai dan makmur di
bawah kepemimpinan raja yang bernama Prabu Baka. Kerajaan-kerajaan kecil di
wilayah sekitar Prambanan juga sangat tunduk dan menghormati kepemimpinan
Prabu Baka.

Sementara itu di lain tempat, ada satu kerajaan yang tak kalah besarnya dengan
kerajaan Prambanan, yakni kerajaan Pengging. Kerajaan tersebut terkenal sangat
arogan dan ingin selalu memperluas wilayah kekuasaanya. Kerajaan Pengging
mempunyai seorang ksatria sakti yang bernama Bondowoso. Dia mempunyai
senjata sakti yang bernama Bandung, sehingga Bondowoso terkenal dengan
sebutan Bandung Bondowoso. Selain mempunyai senjata yang sakti, Bandung
Bondowoso juga mempunyai bala tentara berupa Jin. Bala tentara tersebut yang
digunakan Bandung Bondowoso untuk membantunya untuk menyerang kerajaan
lain dan memenuhi segala keinginannya.

Hingga Suatu ketika, Raja Pengging yang arogan memanggil Bandung


Bondowoso. Raja Pengging itu kemudian memerintahkan Bandung Bondowoso
untuk menyerang Kerajaan Prambanan. Keesokan harinya Bandung Bondowoso
memanggil balatentaranya yang berupa Jin untuk berkumpul, dan langsung
berangkat ke Kerajaan Prambanan.

Setibanya di Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana


Prambanan. Prabu Baka dan pasukannya kalang kabut, karena mereka kurang
persiapan. Akhirnya Bandung Bondowoso berhasil menduduki Kerajaan
Prambanan, dan Prabu Baka tewas karena terkena senjata Bandung Bondowoso.

Kemenangan Bandung Bondowoso dan pasukannya disambut gembira oleh Raja


Pengging. Kemudian Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung Bondowoso
untuk menempati Istana Prambanan dan mengurus segala isinya,termasuk
keluarga Prabu Baka.

38
Pada saat Bandung Bondowoso tinggal di Istana Kerajaan Prambanan, dia
melihat seorang wanita yang sangat cantik jelita. Wanita tersebut adalah Roro
Jonggrang, putri dari Prabu Baka. Saat melihat Roro Jonggrang, Bandung
Bondowoso mulai jatuh hati. Dengan tanpa berpikir panjang lagi, Bandung
Bondowoso langsung memanggil dan melamar Roro Jonggrang.

“Wahai Roro Jonggrang, bersediakah seandainya dikau menjadi permaisuriku?”,


Tanya Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang.

Mendengar pertanyaan dari Bandung Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang


hanya terdiam dan kelihatan bingung. Sebenarnya dia sangat membenci
Bandung Bondowoso, karena telah membunuh ayahnya yang sangat dicintainya.
Tetapi di sisi lain, Roro Jonggrang merasa takut menolak lamaran Bandung
Bondowoso. Akhirnya setelah berfikir sejenak, Roro Jonggrang pun menemukan
satu cara supaya Bandung Bondowoso tidak jadi menikahinya.

“Baiklah,aku menerima lamaranmu. Tetapi setelah kamu memenuhi satu syarat


dariku”,jawab Roro Jonggrang.

“Apakah syaratmu itu Roro Jonggrang?”,Tanya Bandung Bandawasa.

“Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu satu malam”,
Jawab Roro Jonggrang.

Mendengar syarat yang diajukan Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso


pun langsung menyetujuinya. Dia merasa bahwa itu adalah syarat yang sangat
mudah baginya, karena Bandung Bondowoso mempunyai balatentara Jin yang
sangat banyak.

Pada malam harinya, Bandung Bandawasa mulai mengumpulkan balatentaranya.


Dalam waktu sekejap, balatentara yang berupa Jin tersebut datang. Setelah

39
mendengar perintah dari Bandung Bondowoso, para balatentara itu langsung
membangun candi dan sumur dengan sangat cepat.

Roro Jonggrang yang menyaksikan pembangunan candi mulai gelisah dan


ketakutan, karena dalam dua per tiga malam, tinggal tiga buah candi dan sebuah
sumur saja yang belum mereka selesaikan.

Roro Jonggrang kemudian berpikir keras, mencari cara supaya Bandung


Bondowoso tidak dapat memenuhi persyaratannya.

Setelah berpikir keras, Roro Jonggrang akhirnya menemukan jalan keluar. Dia
akan membuat suasana menjadi seperti pagi,sehingga para Jin tersebut
menghentikan pembuatan candi.

Roro Jonggrang segera memanggil semua dayang-dayang yang ada di istana.


Dayang-dayang tersebut diberi tugas Roro Jonggrang untuk membakar jerami,
membunyikan lesung, serta menaburkan bunga yang berbau semerbak mewangi.

Mendengar perintah dari Roro Jonggrang, dayang-dayang segera membakar


jerami. Tak lama kemudian langit tampak kemerah merahan, dan lesung pun
mulai dibunyikan. Bau harum bunga yang disebar mulai tercium, dan ayam pun
mulai berkokok.

Melihat langit memerah, bunyi lesung, dan bau harumnya bunga tersebut, maka
balatentara Bandung Bondowoso mulai pergi meninggalkan pekerjaannya.
Mereka pikir hari sudah mulai pagi, dan mereka pun harus pergi.

Melihat Balatentaranya pergi, Bandung Bondowoso berteriak: “Hai


balatentaraku, hari belum pagi. Kembalilah untuk menyelesaikan pembangunan
candi ini !!!”

Para Jin tersebut tetap pergi, dan tidak menghiraukan teriakan Bandung
Bondowoso. Bandung Bondowoso pun merasa sangat kesal, dan akhirnya

40
menyelesaikan pembangunan candi yang tersisa. Namun sungguh sial, belum
selesai pembangunan candi tersebut, pagi sudah datang. Bandung Bondowoso
pun gagal memenuhi syarat dari Roro Jonggrang.

Mengetahui kegagalan Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang lalu menghampiri


Bandung Bondowoso. “Kamu gagal memenuhi syarat dariku, Bandung
Bondowoso”, kata Roro Jonggrang.

Mendengar kata Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso sangat marah.


Dengan nada sangat keras, Bandung Bondowoso berkata: “Kau curang Roro
Jonggrang. Sebenarnya engkaulah yang menggagalkan pembangunan seribu
candi ini. Oleh karena itu, Engkau aku kutuk menjadi arca yang ada di dalam
candi yang keseribu !”

Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang berubah menjadi


arca/patung. Wujud arca tersebut hingga kini dapat disaksikan di dalam
kompleks candi Prambanan, dan nama candi tersebut dikenal dengan nama candi
Roro Jonggrang. Sementara candi-candi yang berada di sekitarnya disebut
dengan Candi Sewu atau Candi Seribu.

Cerita Rakyat Si pahit lidah dan si empat mata

41
adalah cerita rakyat yang berasal dari Lampung dan merupakan salah satu cerita
rakyat Indonesia yang popular di kalangan masyarakat Lampung. Cerita ini
mengisahkan tentang dua orang yang sombong karena memiliki kelebihan dari
orang lain. Pengajaran yang bisa di petik dari cerita ini adalah jangan menjadi
orang yang sombong walaupun memiliki kelebihan dari orang lain. Berikut
marilah kita simak bersama cerita rakyat dari Lampung yang berjudul Si Pahit
Lidah dan Si Empat Mata

Serunting adalah orang yang sakti mandraguna. Dia berasal dari Majapahit yang
kemudian diusir dari istana lalu berkelana ke Sumatera. Adik ipar Serunting
yang bernama Arya Tebing merasa iri dengan kesaktian Serunting. Dia lalu
memujuk kakaknya untuk memberitahu di mana letak kelemahan Serunting.
Karena rasa sayang kepada adiknya akhirnya istri Serunting memberi tahun letak
kelemahan Serunting.
Setelah mengetahuinya Arya Tebing mengajak Serunting untuk adu kekuatan.
Mereka pun berkelahi, ketika itu Arya Tebing menusuk Serunting di tempat
kelemahannya. Serunting terluka parah dan kemudian mengasingkan diri di
Gunung Siguntang. Dalam pengasingannya Serunting mengobati lukanya dan
tidak jemu berdoa pada Tuhan agar mengembalikan kesaktiannya. Karena
ketekunan Serunting akhirnya dia diberi kelebihan bahwa apapun yang
diucapkannya menjadi kenyataan.

Pada suatu hari Serunting sedang berjalan-jalan di sebuah kampung. Masyarakat


kampung tersebut sedang menanam padi. Hamparan sawah yang menguning
sangat indah di pandang mata. Namun Serunting malah mengatakan bahwa itu
bukan sawah melainkan hamparan batu. Ketika itu tiba-tiba saja ucapan
Serunting menjadi kenyataan. Melihat hal itu warga menjuluki Serunting dengan
julukan Si Pahit Lidah. Masyarakat tidak ada yang berani melawan Si Pahit
Lidah karena mereka takut terkena kutukannya. Si Pahit Lidah menjadi sombong
dan kasar sehingga warga tidak menyukai dirinya.

42
Kesaktian Si Pahit Lidah terdengar oleh Si Empat Mata seorang yang juga
memiliki kesaktian dari negeri India. Si Empat Mata merasa tersaingi
kesaktiannya dan bermaksud untuk menantang Si Pahit Lidah. Kemudian dia
berlayar menuju Sumatera untuk menemui Si Pahit Lidah. Ketika bertemu Si
Empat Mata menantang Si Pahit Lidah untuk berkelahi. Berhari-hari mereka
berkelahi dan mengeluarkan seluruh kesaktiannya namun tidak ada yang menang
atau kalah.

Ketika itulah seorang tetua kampung mengajukan pertandingan untuk kedua


orang tersebut. Meraka harus memakan buah aren yang tersedia. Si Pahit Lidah
mendapat giliran pertama untuk memakan buah tersebut. Dengan sombong Si
Pahit Lidah memakan buah aren itu sambil berfikir karena tidak mungkin dia
akan mati dengan buah sekecil itu. Namun apa yang terjadi Si Pahit Lidah
menggelepar lalu mati. Melihat Si Pahit Lidah mati Si Empat Mata merasa
senang karena sekarang dialah orang yang paling sakti di negeri itu. Namun, Si
Empat Mata merasa aneh karena Si Pahit Lidah bisa mati hanya dengan sebiji
buah aren. Si Empat Mata lalu menimang-nimang buah aren sisa Si Pahit Lidah,
dia memakan buah aren tersebut dan tidak lama kemudian Si Empat Mata
menggelepar lalu mati. Akhirnya mereka berdua mati dengan kesombongan
sendiri lalu keduanya di makamkan di Danau Ranau. Cerita Rakyat Si Pahit
Lidah dan Si Empat Mata menceritakan tentang kesombongan akan
mengakibatkan celaka pada diri sendiri. Semua kekuatan tiadalah berguna jika
diiringi dengan kesombongan.

43
Si Pitung

Pitung adalah salah satu pendekar orang asli Indonesia berasal dari daerah
betawi yang berasal dari kampung Rawabelong Jakarta Barat. Pitung dididik
oleh kedua orang tuanya berharap menjadi orang saleh taat agama. Ayahnya
Bang Piun dan Ibunya Mpok Pinah menitipkan Si Pitung untuk belajar mengaji
dan mempelajari bahasa Arab kepada Haji Naipin. Setelah dewasa Si Pitung
melakukan gerakan bersama teman-temannya karena ia tidak tega melihat
rakyat-rakyat yang miskin. Untuk itu ia bergerilya untuk merampas dan
merampok harta-harta masyarakat yang hasil rampasannya ini dibagikan kepada
rakyat miskin yang memerlukannya. Selain itu Pitung suka membela kebenaran
dimana kalau bertemu dengan para perampas demi kepentingannya sendiri maka
sama Si Pitung akan dilawan dan dari semua lawannya Pitung selalu unggul.

Gerakan Pitung semakin meluar dan akhirnya kompeni Belanda yang saat itu
memegang kekuasan di negeri Indonesia melakukan tindakan terhadap Si
Pitung. Pemimpin polisi Belanda mengerahkan pasukannya untuk menangkap Si
Pitung, namun berkali-kali serangan tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Pitung
selalu lolos dan tidak mudah untuk ditangkap oleh pasukan Belanda. Ditambah-
tambah Si Pitung mempunyai ilmu kebal terhadap senjata tajam dan sejata api.
Kompeni Belanda pun tidak kehilangan akal, pemimpin pasukan Belanda
mencari guru Si Pitung yaitu Haji Naipin. Disandera dan ditodongkan sejata ke
arah Haji Naipin agar memberikan cara melemahkan kesaktian Si Pitung,
akhirnya Haji Naipin menyerah dan memberitahu kelemahan-kelemahan Si
Pitung.
Pada suatu saat, Belanda mengetahui keberadaan Si Pitung dan langsung
menyergap dan menyerang secara tiba-tiba. Pitung mengadakan perlawan, dan
akhirnya Si Pitung tewas karena kompeni Belanda sudah mengetahui kelemahan
Si Pitung dari gurunya Haji Naipin

44
Danau Situ Bagendit

Danau Situ Bagendit terletak di Desa Bagendit, Kecamatan Banyuresmi,


Jawa Barat, sekitar empat kilometer dari Kota Garut. Nama danau diambil
dari nama seorang janda kaya yang tamak dan kikir. Karena kekikiran dan
ketamakannya, suatu hari janda itu mendapat pelajaran dari seorang
kakek tua, sehingga ia dan seluruh harta kekayaannya ditenggelamkan
air. Berikut kisahnya:

Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Jawa Barat, ada seorang


janda muda yang kaya raya dan tidak mempunyai anak. Hartanya yang
melimpah ruah dan rumah sangat besar yang ditempatinya merupakan
warisan dari suaminya yang telah meninggal dunia. Namun sungguh
disayangkan, janda itu sangat kikir, pelit, dan tamak. Ia tidak pernah mau
memberikan bantuan kepada warga yang membutuhkan. Bahkan jika
ada orang miskin yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan, ia
tidak segan-segan mengusirnya. Karena sifatnya yang kikir dan pelit itu,
maka masyarakat di sekitarnya memanggilnya Bagenda Endit, yang
artinya orang kaya yang pelit.

Selain memiliki harta warisan yang melimpah, Bagende Endit juga


mewarisi pekerjaan suaminya sebagai rentenir. Hampir seluruh tanah
pertanian di desa itu adalah miliknya yang dibeli dari penduduk sekitar
dengan cara memeras, yaitu meminjamkan uang kepada warga dengan
bunga yang tinggi dan memberinya tempo pembayaran yang sangat
singkat. Jika ada warga yang tidak sanggup membayar hutang hingga
jatuh tempo, maka tanah pertaniannya harus menjadi taruhannya. Tak
heran jika penduduk sekitarnya banyak yang jatuh miskin karena tanah
pertanian mereka habis dibeli semua oleh janda itu.

45
Suatu hari, ketika Bagende Endit sedang asyik menghitung-hitung emas
dan permatanya di depan rumahnya, tiba-tiba seorang perempuan tua
yang sedang menggendong bayi datang menghampirinya.

“Bagende Endit, kasihanilah kami! Sudah dua hari anak saya tidak
makan,” kata perempuan itu memelas.

“Hai perempuan tua yang tidak tahu diri! Makanya, jangan punya anak
kalau kamu tidak mampu memberinya makan! Enyahlah kau dari
hadapanku!” bentak Bagende Endit.

Bayi di gendongan perempuan itu pun menangis mendengar suara


bentakan Bagende Endit. Karena kasihan melihat bayinya, pengemis tua
itu kembali memohon kepada janda kaya itu agar memberikan sesuap
nasi untuk anaknya. Tanpa sepatah kata, Bagende Endit masuk ke
dalam rumah. Alangkah senangnya hati perempuan tua itu, karena
mengira Bagende Endit akan mengambil makanan.

“Cup... cup... cup...! Diamlah anakku sayang. Sebentar lagi kita akan
mendapatkan makanan,” bujuk perempuan itu sambil menghapus air
mata bayinya.

Tak berapa lama kemudian, Bagende Endit pun keluar. Namun,


bukannya membawa makanan, melainkan sebuah ember yang berisi air
dan tiba-tiba Bagende Endit menyiramkannya ke arah perempuan tua itu.

“Byuuurrr...! Rasakanlah ini hai perempuan tua!” seru Bagende Endit.

Tak ayal lagi, sekujur tubuh perempuan tua dan bayinya menjadi basah
kuyup. Sang bayi pun menangis dengan sejadi-jadinya. Dengan hati pilu,
perempuan tua itu berusaha mendiamkan dan menyeka tubuh bayinya
yang basah kuyup. Melihat perempuan tua belum juga pergi, janda kaya

46
yang tidak berpesan itu semakin marah. Dengan wajah garang, ia segera
mengusir perempuan tua itu keluar dari pekarangan rumahnya. Setelah
perempuan tua itu pergi, Bagende Endit kembali masuk ke dalam
rumahnya.

Keesokan harinya, beberapa warga datang ke rumah Bagende Endit


meminta air sumur untuk keperluan memasak dan mandi. Kebetulan di
desa itu hanya janda kaya itulah satu-satunya yang memiliki sumur dan
airnya pun sangat melimpah. Sementara warga di sekitarnya harus
mengambil air di sungai yang jaraknya cukup jauh dari desa.

“Bagende Endit, tolonglah kami! Biarkanlah kami mengambil air di sumur


Bagende untuk kami pakai memasak. Kami sudah kelaparan,” iba
seorang warga dari luar pagar rumah Bagende Endit.

“Hai, kalian semua! Aku tidak mengizinkan kalian mengambil air di


sumurku! Jika kalian mau mengambil air, pergilah ke sungai sana!” usir
Bagende Endit.

Para warga tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, mereka pun
terpaksa pergi ke sungai untuk mengambil air. Tak berapa lama setelah
warga tersebut berlalu, tiba-tiba seorang kakek tua renta berdiri sambil
memegang tongkatnya di depan rumah Bagenda Endit. Kakek itu juga
bermaksud untuk meminta air tapi hanya untuk diminum.

“Ampun Bagende Endit! Berilah hamba seteguk air minum. Hamba


sangat haus,” iba Kakek itu.

Bagende Endit yang sejak tadi sudah merasa kesal menjadi semakin
kesal melihat kedatangan kakek tua itu. Tanpa sepata kata pun, ia keluar
dari rumahnya lalu menghampiri dan merampas tongkat sang kakek.
Dengan tongkat itu, ia kemudian memukuli kakek itu hingga babak belur

47
dan jatuh tersungkur ke tanah. Melihat kakek itu tidak sudah tidak
berdaya lagi, Bagende Endit membuang tongkat itu di samping kakek itu
lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya.

Sungguh malang nasib kakek tua itu. Bukannya air minum yang
diperoleh dari janda itu melainkan penganiayaan. Sambil menahan rasa
sakit di sekujur tubuhnya, kakek itu berusaha meraih tongkatnya untuk
bisa bangkit kembali. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, kakek itu
menancapkan tongkatnya di halaman rumah Bagende Endit. Begitu ia
mencabut tongkat itu, tiba-tiba air menyembur keluar dari bekas
tancapan tongkat itu. Bersamaan dengan itu, kakek itu pun menghilang
entah ke mana.

Semakin lama semburan air itu semakin besar dan deras. Para warga
pun berlarian meninggalkan desa itu untuk menyelamatkan diri.
Sementara itu, Bagende Endit masih berada di dalam rumahnya hendak
menyelamatkan semua harta bendanya. Tanpa disadarinya, ternyata air
telah menggenangi seluruh desa. Ia pun berusaha untuk menyelamatkan
diri sambil berteriak meminta tolong.

“Tolooong.... Toloong... Tolong aku! Aku tidak bisa berenang!” teriak


Bagende Endit meminta tolong sambil menggendong sebuah peti emas
dan permatanya.

Bagende Endit terus berteriak hingga suaranya menjadi parau. Namun


tak seorang pun yang datang menolongnya karena seluruh warga telah
pergi meninggalkan desa. Janda kaya yang pelit itu tidak bisa lagi
menyelamatkan diri dan tenggelam bersama seluruh harta kekayaannya.
Semakin lama, desa itu terus tergenang air hingga akhirnya lenyap dan
menjadilah sebuah danau yang luas dan dalam. Oleh masyarakat
setempat, danau itu diberi nama Situ Bagendit. Kata situ berarti danau
yang luas, sedangkan kata bagendit diambil dari nama Bagende Endit

48
49

Anda mungkin juga menyukai