Anda di halaman 1dari 16

LITERASI TEKS CERITA SEJARAH

12 SEPTEMBER 2022
Kisah Sangkuriang dan Dayang Sumbi
Awalnya diceritakan di kahyangan ada sepasang dewa dan dewi yang berbuat kesalahan,
maka oleh Sang Hyang Tunggal mereka dikutuk turun ke bumi dalam wujud hewan. Sang
dewi berubah menjadi babi hutan (celeng) bernama Celeng Wayung Hyang (atau
Wayungyang), sedangkan sang dewa berubah menjadi anjing bernama si Tumang. Mereka
harus turun ke bumi menjalankan hukuman dan bertapa mohon pengampunan agar dapat
kembali ke wujudnya menjadi dewa-dewi kembali.

Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara tengah pergi berburu. Di tengah hutan Sang
Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan), dalam versi lain
disebutkan air kemih sang raja tertampung dalam batok kelapa. Seekor babi hutan betina
bernama Celeng Wayung Hyang yang tengah bertapa sedang kehausan, ia kemudian
tanpasengaja meminum air seni sang raja tadi. Wayung Hyang secara ajaib hamil dan
melahirkan seorang bayi yang cantik, karena pada dasarnya ia adalah seorang dewi. Bayi
cantik itu ditemukan di tengah hutan oleh sang raja yang tidak menyadari bahwa ia adalah
putrinya. Bayi perempuan itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang
Sumbi alias Rarasati. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang amat cantik jelita. Banyak
para raja dan pangeran yang ingin meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang
diterima.

Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas
permintaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit karena terkena penyakit kelamin.
Ketika sedang asyik menenun kain, torompong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain
terjatuh ke bawah balai-balai. Karena merasa malas, terlontar ucapan Dayang Sumbi tanpa
dipikir dulu, dia berjanji bahwa siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh, bila laki-
laki akan dijadikan suaminya, dan jika perempuan akan dijadikan saudarinya. Si Tumang
mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Akibat perkataannya itu Dayang
Sumbi harus memegang teguh sumpah dan janjinya, maka ia pun mengawini si Tumang.
Karena malu, kerajaan mengasingkan Dayang Sumbi ke hutan untuk hidup hanya ditemani si
Tumang. Pada malam bulan purnama, si Tumang dapat kembali ke wujud aslinya sebagai
dewa yang tampan, Dayang Sumbi mengira ia bermimpi dengan dewa yang tampan yang
sesungguhnya adalah wujud asli si Tumang. Maka Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi
laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang kuat dan
tampan.

Suatu ketika Dayang Sumbi tengah mengidamkan makan hati menjangan (rusa), maka ia
memerintahkan Sangkuriang ditemani si Tumang untuk berburu ke hutan. Setelah sekian
lama Sangkuriang berburu, tetapi tidak tampak hewan buruan seekorpun. Hingga akhirnya
Sangkuriang melihat seekor babi hutan yang gemuk melarikan diri. Sangkuriang menyuruh si
Tumang untuk mengejar babi hutan yang ternyata adalah Celeng Wayung Hyang. Karena si
Tumang mengenali Celeng Wayung Hyang, yang adalah nenek dari Sangkuriang sendiri,
maka si Tumang tidak mau menuruti perintah itu. Saking kesalnya Sangkuriang kemudian
menakut-nakuti si Tumang dengan panah, akan tetapi secara tak sengaja anak panahnya
terlepas dan si Tumang terbunuh tertusuk oleh anak panah. Sangkuriang menjadi bingung;
dan lalu karena tidak memperoleh hewan buruan maka Sangkuriang pun menyembelih
tubuh si Tumang dan mengambil hatinya. Oleh Sangkuriang, hati si Tumang itu diberikannya
kepada Dayang Sumbi, yang kemudian dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi
mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, suaminya sendiri, maka
kemarahannya pun meledak; dengan serta-merta kepala Sangkuriang dipukul dengan
centong (sendok nasi) yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka.

Kesakitan dan ketakutan, Sangkuriang lari meninggalkan rumah. Dayang Sumbi, yang
menyesali perbuatannya telah mengusir anaknya, mencari Sangkuriang ke hutan dan
memanggil-manggil serta memohonnya untuk segera pulang; akan tetapi Sangkuriang telah
pergi jauh. Dayang Sumbi sangat sedih dan memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar
kelak dipertemukan kembali dengan anaknya. Untuk itu Dayang Sumbi menjalankan tapa
dan laku hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan sayuran mentah (lalapan). Sangkuriang
sendiri pergi mengembara mengelilingi dunia. Sangkuriang pergi berguru kepada banyak
pertapa sakti, sehingga Sangkuriang setelah beberapa tahun telah tumbuh menjadi seorang
pemuda yang kuat, sakti, dan gagah perkasa. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur
akhirnya sampailah Sangkuriang di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di
tempat Dayang Sumbi berada. Namun Sangkuriang tidak mengenali bahwa putri cantik yang
ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya. Karena Dayang Sumbi melakukan tapa dan
laku hanya memakan tanaman mentah, maka Dayang Sumbi menjadi tetap cantik dan awet
muda. Dayang Sumbi pun mulanya tidak menyadari bahwa sang ksatria tampan itu adalah
putranya sendiri. Saat Sangkuriang tengah bersandar dan Dayang Sumbi menyisir rambut
Sangkuriang, tanpa sengaja Dayang Sumbi melihat tanda luka di kepala Sangkuriang, bekas
pukulan sendok Dayang Sumbi; dengan demikian ia mengetahui bahwa Sangkuriang adalah
putranya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi
sekuat tenaga berusaha untuk menolak. Maka ia pun bersiasat untuk menentukan syarat
pinangan yang tak mungkin dipenuhi Sangkuriang. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang
membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung aliran
Sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.

Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon besar yang tumbuh di sebelah timur; kelak,
tunggul atau pangkal pohon itu berubah menjadi gunung yang bernama Bukit Tunggul.
Rantingnya (Sd.: rangrang) ditumpukkan di sebelah barat dan kelak menjadi Gunung
Burangrang. Dengan bantuan para guriang (makhluk halus), lewat tengah malam bendungan
pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi memohon kepada Sang Hyang Tunggal
agar niat Sangkuriang tidak terlaksana. Dayang Sumbi lalu membentangkan helai kain boeh
rarang (kain putih hasil tenunannya) di atas bukit di timur, sehingga kain putih itu tampak
bercahaya bagai fajar yang merekah di ufuk timur. Sementara itu ia pun berulang-ulang
memukulkan alu ke lesung, seolah-olah sedang menumbuk padi. Para guriang makhluk
halus anak buah Sangkuriang pun ketakutan karena mengira hari mulai pagi, mereka lalu lari
menghilang bersembunyi di dalam tanah. Dengan demikian pembuatan bendungan pun
tidak terselesaikan. Karena gagal memenuhi syarat Dayang Sumbi, Sangkuriang menjadi
gusar dan mengamuk. Perahu yang telah dikerjakannya dengan bersusah payah lalu
ditendangnya ke arah utara dan jatuh menangkup menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Di
puncak kemarahannya, dinding bendungan yang berada di sebelah barat dijebolnya; kelak
lubang tembusan air Citarum ini dikenal sebagai Sanghyang Tikoro (Sd.: tikoro, tenggorokan
atau kerongkongan). Sumbat aliran Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma
menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali; bekas danau
ini kelak menjadi lokasi Kota Bandung.
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang berlari menghindari kejaran anaknya yang
telah kehilangan akal sehatnya itu. Dayang Sumbi hampir tertangkap oleh Sangkuriang di
Gunung Putri dan ia pun memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar menyelamatkannya,
maka Dayang Sumbi pun berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang
setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung Berung akhirnya menghilang
ke alam gaib (ngahiyang).
LITERASI TEKS CERITA SEJARAH
13 SEPTEMBER 2022
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
KAPAL Van Der Wijck yang tenggelam di laut Jawa merupakan kisah nyata yang terjadi di
Kabupaten Lamongan, Perairan Brondong. Kapal Van der Wijck milik maskapai pelayaran
Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Namanya diambil dari Gubernur
Jenderal Hindia Belanda Carel Herman Aart van der Wijck (1840-1914), yang berkuasa dari
1893 hingga 1899.

Dalam Report on Commerce, Industry and Agriculture in the Netherlands East Indies (1922:
170) dituliskan, kapal uap ini diluncurkan sebagai kapal penumpang, dibuat tahun 1921 oleh
Maatschappij Fijenoord N.V., pabrik galangan kapal di Fyenoord, Rotterdam. Kapal Van der
Wijck dapat mengangkut 60 orang; kelas dua 34 orang, dan geladaknya mampu
menampung 999 orang. Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir naik kapal ini ketika dibuang ke
Doven Digul, Papua.

Kapal ini mendapat nama panggilan “de meeuw” atau “The Seagull”, karena sosok dan
penampilan kapal ini yang tampak sangat anggun dan tenang. Saat pelayarannya yang
terakhir, kapal Van der Wijck berangkat dari Bali ke Semarang, singgah terlebih dahulu di
Surabaya. Rute yang disinggahi kapal Van der Wijck menurut Pedoman Masjarakat
(28/04/1937) antara lain: Makassar-Tanjung Perak (Surabaya)-Tanjung Mas (Semarang)-
Tanjung Priok (Jakarta)-Palembang. Sebelum karam, kapal ini berlayar dari Makassar dan
Buleleng.

Menurut Pandji Poestaka, kapal ini memuat 250 orang ketika lepas jangkar dari Surabaya.
Beredar kabar, geladak van der Wijk membawa muatan kayu besi. Muatan kayu ini
rencananya dipindahkan ke kapal lain setelah tiba di Tanjung Priok dan akan dibawa ke
Afrika. Kapal ini tenggelam di kawasan yang disebut Westgat, selat di antara Pulau Madura
dan Surabaya, sekitar 22 mil di sebelah barat laut Surabaya. Kapal Van Der Wijk pada hari
selasa tanggal 20 Oktober 1936 tenggelam ketika berlayar di perairan Lamongan, tepatnya
12 mil dari pantai Brondong.
Ketika tenggelam, kapal ini baru beroperasi 15 tahun. Kapal jenis ini biasanya berada dalam
bahaya ketika berumur 25 hingga 30 tahun. Jumlah penumpang pada saat itu adalah 187
warga pribumi dan 39 warga Eropa. Sedangkan jumlah awak kapalnya terdiri dari seorang
kapten, 11 perwira, seorang telegrafis, seorang steward, 5 pembantu kapal dan 80 ABK dari
pribumi.

Koran De Telegraaf, 22 Oktober 1936, menulis sekitar 42 orang korban yang hilang. Versi
lain menyebutkan, jumlah penumpang yang berhasil diselamatkan adalah 153 orang.
Sementara ada 70 orang, baik penumpang maupun awak kapal, dilaporkan hilang. Jumlah
yang tidak pasti ini dikarenakan jumlah penumpang kapal tidak sesuai dengan manifes. Ada
banyak kuli angkut pribumi yang tidak tercatat, kemungkinan merekalah yang banyak hilang.

Pandji Poestaka edisi 23 Oktober 1936 memberitakan kejadian tenggelamnya kapal ini.
Bertindak sebagai nahkoda kapal adalah B.C. Akkerman, yang usianya kala itu 43 tahun, dan
sudah berdinas selama 25 tahun dan baru dua minggu bekerja di Van der Wijck. Delapan
pesawat udara jenis Dornier yang bisa mendarat di permukaan air dikirim untuk
penyelamatan penumpang. Kapal dan perahu nelayan juga bergerak menyelamatkan korban
Van der Wijck.

Sekitar 20 penumpang berhasil dievakuasi dengan pesawat dan dibawa ke Surabaya.


Sementara perahu nelayan menyelamatkan puluhan penumpang, baik orang Eropa maupun
bumiputera ke daratan. Untuk memperingati peristiwa itu, sebuah monumen didirikan
daerah kecamatan Brondong-Lamongan. Monumen Van Der Wijk ini berada di halaman
kantor Perum Prasana Perikanan Samudra Cabang Brondong, yang berada di belakang
gapura menuju Pelabuhan dan Tempat PeIelangan Ikan - Brondong.

Di Monumen Van Der Wijk itu terdapat dua prasasti yang berada di dinding barat dan timur
monumen. Prasasti itu terbuat dari pelat besi dan bertuliskan dalam bahasa Belanda dan
bahasa Indonesia. Monumen itu dibangun oleh pihak Belanda untuk mengenang kisah
tenggelamnya kapal itu di perairan Lamongan. Monumen itu juga dituliskan ucapan terima
kasih dari pihak Negara Belanda kepada warga Lamongan yang pada saat musibah terjadi
telah memberikan bantuan.
Siapa Carel Herman Aart van der Wijck yang namanya diabadikan untuk kapal Van Der
WIjck? Jonkheer Carel Herman Aart van der Wijck (lahir di Ambon, 29 Maret 1840 –
meninggal di Baarn, 8 Juli 1914 pada umur 74 tahun) adalah seorang Gubernur-Jenderal
Hindia-Belanda. Ia diangkat menjadi Gubernur-Jenderal oleh Ratu Emma van Waldeck-
Pymont pada tanggal 15 Juni 1893. Ia lalu mulai memerintah antara tanggal 17 Oktober
1893 sampai tanggal 3 Oktober 1899.

Di masa pemerintahannya dilakukan operasi "pengendalian Lombok" (Lombok pacificatie)


karena orang Lombok (Sasak) memberontak terhadap orang Bali yang menguasai daerah
itu. Belanda membantu Lombok menyerang istana Cakranegara di Ampena.
Setelah kerajaan ini takluk dan istananya dibakar, Belanda mengklaim Lombok sebagai
wilayahnya. Dari operasi inilah naskah Negarakretagama diselamatkan dari pembakaran dan
dibawa ke Belanda.

Pada tahun 1921, namanya diabadikan sebagai nama kapal mewah yang tenggelam di
perairan Jawa pada tahun 1936. Kisah tenggelamnya kapal ini dituangkan Buya Hamka
dalam novelnya yang berjudul "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. " Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck adalah sebuah novel yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau
lebih dikenal dengan nama Hamka. Novel ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di
Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta
sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian.

Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah
yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938. Dalam novel ini, Hamka
mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama
mengenai kawin paksa.

Diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck terus
mengalami cetak ulang sampai saat sekarang. Novel ini juga diterbitkan dalam bahasa
Melayu sejak tahun 1963 dan telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di
Indonesia dan Malaysia.
LITERASI TEKS CERITA SEJARAH
14 SEPTEMBER 2022
Kisah Perjuangan Soepratman
Wage Rudolf Soepratman, bukan nama asing di telinga orang Indonesia mengingat dia
adalah pencipta lagu kebangsaan kita, Indonesia raya. Sebagai pahlawan nasional,
Soepratman meninggal dengan usia yang cukup muda, yaitu di umur 35 tahun.

Kisah hidup W.R. Soepratman tertuang pada banyak tulisan, namun satu literasi yang
dipercaya mampu memberikan gambaran nyata kehidupan musisi sekaligus pahlawan
nasional itu adalah buku yang ditulis oleh Oerip Kasangsengari, saudara ipar Soepratman.
Buku berjudul “Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja” yang
dirilis pada 1967 itu ditulis berdasarkan kisah yang diceritakan sendiri oleh Soepratman
kepada Oerip. Soerachman Kasangsengari selaku anak dari Oerip menceritakan ulang kisah
pencipta lagu Indonesia Raya itu ketika IDN Times menemuinya di rumahnya, yang ada di
area Ketintang, Surabaya.

Dari cerita panjang yang dilantunkan Soerachman, ternyata ada banyak kisah menarik yang
tak banyak diketahui orang akan sosok musisi pahlawan tersebut. Berikut ini adalah kisah
hidup dari pencipta lagu Indonesia Raya, W.R. Soepratman.

1. Soepratman adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara


Layaknya kehidupan anak manusia ke dunia ini, Wage Soepratman dilahirkan dari
satu keluarga yang dibangun oleh Djoemeno Senen Sastrosoehardjo dan Siti Senen
pada 9 Maret 1903 di Meester Cornelis atau sekarang disebut Jatinegara, Jakarta.
Dirinya merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Kala itu, Soepratman
belum menyandang nama Rudolf sebagai nama tengahnya.

2. Diberikan nama Rudolf saat pindah ke Makassar


Kisah W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Pada 1911, saat Soepratman berumur delapan tahun, sang ibu meninggal dunia.
Ketiadaan ibu membuat hak asuh Soepratman dialihkan kepada kakak tertuanya,
Roekijem Soepratijah yang pada saat itu telah menikah dengan seorang tentara
Belanda Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) bernama W.M. Van Eldik. Alhasil,
Soepratman mengikutinya kakaknya yang berpindah ke Makassar demi mengikuti
suaminya pada 1914.

Pada tahun tersebut dan di Makassar itulah, Soepratman mendapatkan nama tengah
Rudolf. Dikarenakan Van Eldik seorang Belanda, Soepratman diberikan nama
tambahan yang diletakkan di tengah, yaitu Rudolf, menjadi Wage Rudolf
Soepratman. Tujuannya tak lain agar Soepratman dikenal sebagai bagian keluarga
Van Eldik dan Roekijem.

3. Dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan bukan anak Van Eldik


Kisah W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Saat masih di Jawa, Soepratman disekolahkan di sekolah Boedi Soetomo. Tentu saja
perpindahan tempat tinggal itu mengharuskan dirinya bersekolah di tempat lain. Van
Eldik pun menyekolahkan Soepratman di satu sekolah Belanda.

Sayangnya, pihak sekolah Belanda mengetahui bahwa Soepratman bukanlah anak


dari Van Eldik dan Roekijem. Itu mengakibat Soepratman dikeluarkan dari sekolah.
Tak mau terluntang-lantung tanpa pendidikan, Soepratman kembali disekolahkan di
Normaalschool Makassar dan akhirnya berhasil menamatkan sekolah itu.

4. Tak boleh menjadi guru, Soepratman mulai belajar bermain musik


Kisah W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Tak berhenti belajar Normaalschool, Soepratman mendapatkan pendidikan lebih
tentang bahasa Belanda serta menjadi guru. Latar belakang pendidikan ini sempat
membuatnya mau menjadi guru di Singkawang.

“Tetapi sama bu Roekijem tidak boleh karena jauh dari Makassar. Katanya ‘Mau apa
kamu ke sana? Sudah, di sini saja,’” cerita Soerachman tentang kisah Soepratman
yang mau menjadi guru itu.
Pada akhirnya, masa remaja Soepratman dihabiskan sepenuhnya di Makassar dan
saat itulah, Soepratman memperoleh ilmu bermusiknya. Di suatu ketika, Van Eldik
mencoba mengajarkan cara bermain gitar dan setelah bisa bermain, Van Eldik lanjut
mengajarkan cara bermain biola. Di saat bertemu dengan biola inilah, Soepratman
“jatuh cinta” kepada musik dan alat tersebut.

5. Soepratman sempat menjadi anak band jazz dan hidup berlebih


Kisah W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Ada momen kemakmuran dari seorang remaja W.R. Soepratman. Itu adalah kala
Soepratman diajak menjadi bagian dari band yang dibentuk Van Eldik. Setelah
mengajarkan Soepratman cara bermain biola, Van Eldik sadar kemampuan
Soepratman akan terbuang sia-sia jika dibiarkan begitu saja.

Oleh karena itu, Van Eldik pun membuat band jazz bersama kawan-kawannya dan
mengajak Soepratman menjadi bagian kelompok musisi itu. Dikenal selalu memakai
seragam hitam putih, kelompok jazz itu dinamakan Black and White Jazz Band.

Di dalam momen menjadi anak band itu, Soerachman bercerita bahwa hidup W.R.
Soepratman lebih dari berkecukupan. Dirinya mendapatkan banyak pemasukan dan
itu semua didapat dari hasil menghibur sinyo-sinyo Belanda.

“Pokoknya dengan uang itu, W.R. Supratman bisa hidup berlebih-lebih menurut
cerita bapak,” kenang Soerachman akan cerita kehidupan Soepratman dari ayahnya.
LITERASI TEKS CERITA SEJARAH
15 SEPTEMBER 2022
Kisah Perjuangan Soepratman
6. Bosan dengan kehidupan band-nya, Soepratman pulang ke tanah Jawa
Kisah W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Walaupun punya banyak uang dari bermain band, Soepratman memiliki kekosongan
pada hatinya. “Umur bertambah, keadaannya begitu-begitu saja. Soepratman pun
jadi bosan,” cerita Soerachman. Kondisi inilah yang membuatnya kembali pulang
merantau ke tanah Jawa dan mendekam sejenak di Surabaya, di rumah kakak nomor
tiganya, Roekinah Soepratirah.

Kehidupan di Surabaya pun tak berlangsung mulus seperti yang dikira W.R.
Soepratman. Tak ada pekerjaan dan bingung mau bekerja apa, musisi itu kembali
memutuskan untuk menuju ke rumah ayahnya yang ada di Cimahi yang sudah
memiliki istri dan anak tiri. “Itu sekitar 1925,” ingat Soerachman.

7. Dari menjadi musisi radio hingga bekerja sebagai wartawan Sin Po


Kisah W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Bertaruh kehidupan di Cimahi cukup memberikan hasil mengejutkan. Entah dari
mana datangnya, Soepratman dapat bertemu dengan dua orang bersaudara
Harahap. Mereka mengajak Soepratman tinggal di Bandung untuk bekerja sebagai
musisi di radio Kaoem Moeda. Soepratman mengiyakan tawaran itu dan, seperti di
Makassar, Soepratman kembali menjadi musisi yang tugas utamanya menghibur
orang-orang Belanda.

Tak berlangsung lama hingga akhirnya radio Kaoem Moeda bangkrut. Uang yang
sudah didapat Soepratman dari hasil bekerjanya di radio itu digunakan untuk
kembali ke Jakarta. Di kota inilah, Soepratman kembali mendapatkan pekerjaan,
namun bukan lagi menjadi musisi, melainkan sebagai wartawan di surat kabar Sin Po.

Tugas yang diberikan Sin Po mengantarkannya mengetahui perjuangan anak muda


dalam memerdekakan Indonesia. Itu karena redaksi Sin Po menugaskan Soepratman
untuk menulis artikel tentang rapat-rapat perjuangan yang kala itu marak
diselenggarakan di Jakarta.

“Setiap hari dia memberitakan rapat-rapat itu dan itu terjadi pada 1926. Sepertinya
ini yang membuat W.R. Soepratman menemukan semangatnya,” ujar Soerachman.

8. Menuju penciptaan lagu Indonesia Raya


Kisah W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Suatu ketika di 1926, Soepratman mendapatkan satu surat kabar terbitan dari Solo.
Dalam surat kabar tersebut, terdapat satu artikel yang menanyakan seperti ini:
adakah musisi Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan? Pertanyaan itu
seketika membuat bersemangat W.R. Soepratman untuk menguji keterampilan
bermusiknya dalam mencipta musik lagu kebangsaan.

Menarik untuk diketahui, karena di dalam proses penciptaan Indonesia Raya,


Soerachman bercerita bahwa ayahnya dan Soepratman bertemu di Batavia saat itu.
Di sana Oerip memberikan secercah ilmu mengenai musik negara, bahwa di tiap
negara punya lagu kebangsaan sendiri-sendiri.

“Diajarkan juga lagu tentang bendera, lagu tentang perempuan atau ibu pertiwi.
Pokoknya diberikan wawasanlah dari bapak,” kisah Soerachman.

Dari momen bertemu dan mendapat ilmu itu, dua tahun lamanya Soepratman
mencipta lagu Indonesia Raya. Dia mulai mengotak-atik lirik hingga not musik
Indonesia Raya dengan bersenjatakan biolanya. Lagu itu baru selesai dan akhirnya
diperdengarkan pada saat Kongres Pemuda II.

“Indonesia Raya itu ada 3 stansa. Stansa 1 untuk berjuang, stansa 2 untuk
mendoakan, dan stansa 3 untuk kemakmuran Indonesia. Nah, itu teks aslinya ke
mana? Itu yang saya cari,” ucap Soerachman sambil tersenyum kecil kala itu.
9. Semenjak menggaungkan Indonesia Raya, Soepratman menjadi target pengawasan
Belanda
Kisah W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Tidak ada catatan pasti bagaimana proses kreatif yang dialami seorang W.R.
Soepratman, tetapi Soerachman berpendapat bila seluruh pengalaman hidup musisi
tersebut dituangkan semuanya dalam lagu tersebut. Sangat disayangkan, selain
menenarkan namanya, lagu Indonesia Raya juga menjadikan W.R. Soepratman
menjadi target operasi pemerintah Belanda.

Indonesia Raya yang mulai marak karena dikabarkan pertama kali oleh surat kabar
Sin Po dan diteruskan kepada surat kabar lain, membuat pemerintah Belanda
menjadi waspada. Belanda memutuskan memanggil Soepratman.

Dalam pertemuan itu, Belanda menyatakan keberatan dengan lirik Indonesia Raya
yang memiliki kata “merdeka” di dalamnya. Mereka pun menyuruh mengganti kata-
kata tersebut.

Agar tidak memperpanjang perdebatan, Soepratman pun mengganti kata-kata


“merdeka” itu menjadi “mulia” untuk sementara waktu. “Tapi ini sudah kadung
tersebar,” tambah cerita pelukis ini.

Semenjak saat itu, pergerakan Soepratman diawasi terus oleh pemerintah Belanda
dan itu membuat dirinya tak mampu menghasilkan uang. Soerachman diceritakan
oleh ayahnya bahwa W.R. Soepratman sampai harus menjual buku, baju, hingga
lagunya demi mendapatkan uang.
LITERASI TEKS CERITA SEJARAH
16 SEPTEMBER 2022
Kisah Perjuangan Soepratman
10. Kondisi serba tak mengenakkan mendesak Soepratman untuk terus berpindah kota
Kisah W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Tak bisa terus berada di pengawasan Belanda, W.R. Soepratman mengungsikan
dirinya ke Cimahi pada 1930 dan lanjut ke Pemalang, ke rumah kakaknya, pada 1935
akibat masih kuatnya pengawasan.

Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya gangguan kesehatan yang didapat
W.R. Soepratman, yaitu penyakit jantung, serta patah hati.

“W.R. Soepratman itu nggak mau ngomong siapa orang yang membuatnya patah
hati ke bapak. Pokoknya dia ngomong patah hati,” kenang Soerachman.

W.R. Soepratman tidak lama tinggal di Pemalang dan itu akibat alasan yang sama,
yaitu diintai pemerintah Belanda. Oleh karena itu, pada 1937 Soepratman melarikan
diri ke Surabaya, hidup bersama Roekijem dan Van Eldik yang kembali dari Makassar,
dan tinggal di kota itu. “Rumahnya tepatnya di jalan Mangga No. 21, Tambaksari.” Di
kota inilah Soepratman kembali bertemu Oerip, ayah Soerachman, dan
menghabiskan hidupnya di sana.

11. Soepratman berkesempatan bertemu dr. Soetomo dan membuatkan beberapa lagu
untuknya
Kisah W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Saat di Surabaya, Oerip sering meluangkan waktunya untuk berkunjung menemui
Soepratman. Soerachman menceritakan bahwa suatu minggu pagi, sang ayah
mengajak Soepratman jalan-jalan dari Tambaksari ke Bubutan untuk berkunjung ke
Gedung Nasional Indonesia (GNI). Saat itulah Soepratman berjumpa dengan sosok
dr. Soetomo.
Dr. Soetomo yang saat itu membuat Parindra (Partai Indonesia Raya) mengetahui
bahwa Soepratman punya latar belakang sebagai wartawan Sin Po, yang melihat
Kongres Pemuda serta rapat-rapat lainnya. Dari sini dr. Soetomo meminta
Supratman untuk bercerita apa saja yang dia lihat pada anggota-anggota Parindra.
Tak hanya itu, dr. Soetomo juga meminta W.R. Soepratman untuk membuatkan lagu.

“Maka, jadilah dua lagu. Yang satu mars Parindra dan satunya lagi mars KBI
(Kepanduan Bangsa Indonesia),” lanjut Soerachman bercerita. Lagu ini nantinya
diputar di radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio-Omroep Maatschappij).

12. Soepratman ditangkap dan sempat dimasukkan ke penjara Kalisosok


Kisah W.R. Soepratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Pada tanggal 7 Agustus, W.R. Soepratman diminta menyanyikan dua lagu yang sudah
diciptakan atas permintaan dr. Soetomo. Dua lagu itu akhirnya dinyanyikan di radio
NIROM bersama anak-anak KBI. Dari acara di radio ini, pemerintah Belanda kembali
mengendus keberadaan Soepratman dan segera menangkapnya.

Musisi yang menciptakan Indonesia Raya itu akhirnya dijebloskan ke dalam Penjara
Kalisosok dan diinterogasi. Tidak ada yang tahu pasti seperti apa kondisi yang dialami
Soepratman pada saat mendekam di penjara.

Dalam penginterogasian, pemerintah Belanda tidak menemukan adanya sesuatu


dalam lagu mars KBI dan Parindra. Mereka akhirnya membebaskan Soepratman di
1938, namun saat dibebaskan, kondisi musisi itu sudah sakit berat.

Soerachman bercerita bahwa sang ayah tiap hari menjenguk Soepratman di


rumahnya, di Tambaksari tersebut. Pada dua hari sebelum kematian, Soepratman
berpesan kepada Oerip:

“Mas, beginilah nasibku. Pemerintah Belanda menghendaki demikian ini. Saya ikhlas.
Toh saya sudah berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Cuman saya yakin,
Indonesia pasti merdeka.”
W.R. Soepratman meninggal pada 17 Agustus 1938 dan dikebumikan di jl. Kenjeran,
Surabaya. Saat ini kamu bisa mengenali makamnya dengan mudah, karena didesain
seperti biola dan dipisahkan tersendiri dari makam-makam lain.

Anda mungkin juga menyukai