Anda di halaman 1dari 35

Nenek Luhu

Pada zaman penjajahan Belanda, ada sebuah negeri yang bernama Luhu.
Negeri itu terletak di Pulau Seram, Maluku. Negeri Luhu adalah negeri yang
kaya dengan hasil cengkeh. Negeri yang jumlah warganya tidak terlalu
banyak itu diperintah oleh Raja Gimelaha Luhu Tuban atau yang lebih
dikenal dengan nama Raja Luhu. Sang Raja mempunyai permaisuri bernama
Puar Bulan dan seorang putri bernama Ta Ina Luhu yang cantik jelita. Ta Ina
Luhu berarti anak perempuan dari Luhu atau Putri Negeri Luhu atau Putri
Luhu. Ia adalah anak sulung sang raja yang memiliki perangai baik, penurut,
berbudi pekerti luhur, rajin beribadah, mandiri, serta sayang kepada seluruh
keluarganya. Selain Ta Ina Luhu, Raja Luhu mempunyai dua orang putra,
yaitu Sabadin Luhu dan Kasim Luhu.
Suatu ketika, kabar tentang kekayaan Negeri Luhu di Pulau Seram terdengar
oleh penjajah Belanda yang berkedudukan di Ambon. Mereka pun berniat
untuk

menguasai

menyerang

Negeri

pulau
Luhu.

itu.
Raja

Dengan
Luhu

persenjataan
dan

lengkap,

pasukannya

pun

mereka
berusaha

melakukan perlawanan sehingga pertempuran sengit pun terjadi. Perang itu


dikenal dengan nama Perang Pongi, dan ada juga yang menyebutnya Perang
Huamual. Dalam pertempuran itu, penjajah Belanda berhasil menguasai
Negeri Luhu. Raja Luhu berserta keluarga dan seluruh rakyatnya tewas.
Satu-satunya orang yang selamat ketika itu adalah putri raja, Ta Ina Luhu.
Namun, ia ditangkap dan dibawa oleh penjajah Belanda ke Ambon untuk
dijadikan istri panglima perang Belanda.
Setibanya di Benteng Victoria, Ambon, Ta Ina Luhu menolak untuk dijadikan
istri oleh panglima perang Belanda. Akibatnya, ia pun diperkosa oleh sang
panglima. Putri cantik yang malang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Namun,
karena tidak ingin terus-terusan diperlakukan tidak senonoh oleh panglima
itu, sang putrid selalu berpikir keras untuk mencari cara agar dapat keluar
dari Kota Ambon.
Suatu malam, Ta Ina Luhu berhasil mengelabui tentara Belanda sehingga ia
dapat melarikan diri dari kota Ambon. Ia berjalan menuju ke sebuah negeri
yang bernama Soya. Di negeri itu, ia disambut baik oleh Raja Soya. Bahkan,

ia kemudian dianggap sebagai keluarga istana Soya. Ia diberi kamar tidur


yang bagus dan indah. Atas sambutan tersebut, Ta Ina Luhu sangat terharu
karena teringat ketika dulu dirinya menjadi putri raja. Tak terasa, air
matanya menetes membasahi kedua pipinya. Wajah kedua orangtua dan
adik-adiknya kembali terbayang di hadapannya. Ia sangat merindukan
mereka.
Ayah, Ibu! Adikku, Sabadin dan Kasim! Beta sangat merindukan kalian.
Beta hanya bisa berdoa semoga kalian hidup tenang di alam sana!
Setelah beberapa bulan tinggal di dalam istana Soya, Ta Ina Luhu diketahui
hamil. Keadaan demikian membuatnya semakin merasa berat tinggal di
istana karena tentu akan semakin merepotkan keluarga Raja Soya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk meninggalkan istana tersebut.
O, Tuhan! Beta tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini. Tapi, kehadiran
Beta di tempat ini hanya akan merepotkan keluarga Raja Soya. Beta harus
pergi dari istana ini. Berilah Beta petunjuk-Mu, Tuhan! pinta Ta Ina Luhu.
Pada suatu malam, saat suasana di dalam istana sudah sepi, Ta Ina Luhu
mengendap-endap

berjalan

menuju

ke

pintu

belakang

istana

sambil

mengawasi keadaan sekelilingnya. Rupanya, ia benar-benar ingin pergi dari


istana secara diam-diam. Ia sengaja tidak memberitahukan kepergiannya
kepada keluarga Raja Soya karena sudah tentu mereka tidak akan
mengizinkannya. Setelah sampai di halaman belakang istana, ia melihat ada
seekor kuda sedang ditambatkan di bawah sebuah pohon. Kuda itu adalah
milik Raja Soya yang biasa dipakai ketika akan menghadap Gubernur
Ambon. Dengan hati-hati, Ta Ina Luhu naik di atas punggung kuda itu.
Sebelum meninggalkan negeri itu, sang putri berbisik dalam hati.
Maafkan Beta, Baginda! Maafkan Beta, wahai seluruh keluarga istana!
Kalian sungguh baik hati kepada Beta. Tapi, Beta terpaksa harus pergi
karena tidak ingin merepotkan kalian. Relakanlah Beta pergi dan kalian
jangan mencari Beta lagi!
Setelah itu, Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu segera pergi sebelum
ada warga istana yang melihatnya. Ia menyusuri hutan belantara yang sepi
dan mencekam. Meskipun suasana malam terasa sangat dingin, Putri Raja

Luhu itu terus memacu kuda yang ditungganginya menuju ke puncak


gunung. Setibanya di sana, sang putri pun berhenti. Ia sangat takjub
melihat

pemandangan

Teluk

Ambon

yang

sungguh

mempesona.

Pemandangan itu sejenak mengobati luka-lara sang putri.


Oh, Negeriku! Keindahanmu sungguh mempesona, ucap Ta Ina Luhu
dengan kagum.
Usai berucap demikian, sang putri tiba-tiba terjatuh dari kudanya hingga tak
sadarkan diri. Rupanya, ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa lelah yang
begitu berat setelah menempuh perjalanan jauh. Tak berapa lama kemudian,
ia kembali sadar. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, perlahan-lahan
sang putri berusaha bangkit dan berdiri di samping kudanya. Dalam keadaan
setengah sadar, ia menarik kudanya menuju ke sebuah pohon jambu yang
rindang dan berbuah lebat.
Setelah menambatkan kudanya pada batang pohon jambu itu, sang putri
segera membaringkan tubuhnya. Dalam sekejap, ia pun langsung tertidur
pulas dan baru terbangun pada keesokan harinya saat matahari mulai
beranjak tinggi. Begitu ia terbangun, perutnya terasa kosong. Dengan
kondisi tubuh yang masih lemas, ia berusaha meraih buah jambu yang
sudah matang. Setelah memakan beberapa buah jambu tersebut, tenaganya
pun berangsur-angsur pulih.
Sementara itu, di istana Soya, sang raja menjadi panik ketika mengetahui Ta
Ina Luhu tidak ada di kamarnya. Seluruh keluarga istana telah mencarinya
ke seluruh ruangan istana namun belum juga menemukannya. Para
pengawal istana yang mencarinya di jalan-jalan Kota Soya juga tidak
menemukannya. Pada saat pencarian dilakukan, tiba-tiba seorang pengawal
datang menghadap kepada Raja Soya.
Ampun, Baginda! Hamba ingin melaporkan sesuatu, lapor pengawal itu.
Hai, apakah kamu sudah menemukan Putri Ta Ina Luhu? Di mana dia
sekarang? tanya Raja Soya dengan penasaran.
Ampun, Baginda Raja! Hamba hanya ingin melaporkan bahwa kuda milik
Baginda yang ditambatkan di belakang istana juga hilang. Jadi, hamba

berpikir bahwa Putri Ta Ina Luhu pergi dengan menunggang kuda milik
Baginda, jelas pengawal itu.
Mendengar laporan itu, Raja Soya semakin panik. Ia sangat mencemaskan
keadaan Putri Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu. Tanpa berpikir
panjang, ia segera membunyikan tifa (gendang kecil) sebanyak empat kali
untuk memanggil marinyo (seorang petugas tifa), dan kemudian kembali
memukulnya sebanyak enam kali untuk memanggil Kepala Soa (penasehat
raja). Tak berapa lama kemudian, kedua pejabat istana tersebut datang
menghadap kepadanya.
Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil kami? tanya
kedua pejabat itu serentak.
Segera kumpulkan semua laki-laki yang berumur enam belas tahun hingga
empat puluh tahun. Setelah itu, perintahkan mereka untuk pergi mencari
dan membawa pulang Putri Ta Ina Luhu dalam keadaan selamat! titah Raja
Soya.
Titah Baginda kami laksanakan, jawab keduanya seraya memberi hormat.
Setelah orang-orang tersebut berkumpul, mereka dibagi ke dalam beberapa
kelompok. Kemudian, mereka pergi mencari sang putri dengan mengikuti
jejak tapak kaki kuda yang ditunggangi oleh sang putri.
Sementara itu, Ta Ina Luhu masih berada di puncak gunung. Ketika hari
menjelang siang, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang memanggilnya
dari jauh. Ia pun sadar bahwa orang-orang tersebut pastilah para pengawal
Raja Soya yang datang mencarinya. Oleh karena itu, ia segera meninggalkan
tempat itu. Tak begitu lama setelah kepergiannya, sebagian rombongan
pengawal Raja Soya yang tiba di tempat itu tidak menemukan sang putri
kecuali kulit jambu bekas sisi-sisa makanan sang putri. Konon, rombongan
itu kemudian menamakan tempat itu Gunung Nona.
Ta Ina Luhu terus memacu kudanya menuruni lereng gunung menuju pantai
Amahusu. Karena begitu kencangnya, topi yang dikenakannya diterbangkan
angin. Menurut cerita, ketika sang putrid hendak berhenti mengambilnya,
topi itu tiba-tiba menjelma menjadi sebuah batu. Batu itu kemudian diberi
nama Batu Capeu.

Ta Ina Luhu terus menelusuri pantai Amahusu hingga akhirnya sampai ke


Ambon. Tumbuh sang putri tampak begitu lemah karena lapar dan haus.
Demikian pula dengan kuda tunggangannya. Setelah beberapa jauh berjalan
mencari air minum, akhirnya ia menemukan sebuah mata air. Ta Ina dan
Luhu segera meminum air dari mata air tersebut dengan sepuasnya. Konon,
mata air itu dinamakan Air Putri.
Setelah sejenak beristirahat di tempat itu, Ta Ina Luhu berniat untuk kembali
ke puncak Gunung Nona dengan melalui jalan yang berbeda agar tidak
bertemu dengan para pengawal Raja Soya. Namun, ketika hendak beranjak
dari tempat itu, ia kembali mendengar suara orang-orang memanggilnya.
Putri, Putri, Putri Ta Ina Luhu! Kembalilah Baginda Raja Soya sedang
menunggumu!
Ta Ina Luhu pun segera naik ke atas kudanya hendak melarikan diri. Namun,
begitu ia akan memacu kudanya, tiba-tiba rombongan Raja Soya datang
menghadangnya. Dalam keadaan terdesak, Ta Ina Luhu segera turun dari
kudanya seraya berlutut memohon kepada Tuhan agar rombongan itu tidak
membawanya pulang ke istana Soya.
Oh, Tuhan! Tolonglah Beta ini! Beta tidak mau kembali ke istana Soya. Beta
tidak mau merepotkan orang lain. Biarkanlah Beta hidup sendirian! pinta Ta
Ina Luhu.
Ketika salah seorang pengawal akan menarik tangannya, tiba-tiba Ta Ina
Luhu menghilang secara gaib. Rombongan pengawal tersebut tersentak
kaget. Mereka hanya terperangah menyaksikan peristiwa ajaib itu.
Sejak peristiwa itu, penduduk Ambon sering diganggu oleh sesosok makhluk
halus. Jika hujan turun bersamaan dengan cuaca panas, seringkali ada
wargaterutama anak-anakyang hilang. Menurut kepercayaan masyarakat
setempat, makhluk halus yang suka mengambil anak-anak tersebut adalah
penjelmaan dari Ta Ina Luhu. Sejak itu pula, Ta Ina Luhu dipanggil dengan
sebutan Nenek Luhu. Hanya saja, hingga saat ini tak seorang pun yang tahu
mengapa Nenek Luhu suka mengganggu penduduk Ambon, terutama anakanak.

Empat Kapiten Maluku

Dahulu, Negeri Nunusaku atau lebih dikenal Negeri Nusa Ina merupakan
pusat kegiatan penduduk yang mendiami Pulau Seram, Maluku. Negeri itu
dipimpin oleh empat kapiten yaitu Kapitan Wattimena, Kapitan Wattimury,
Kapitan Nanlohy, dan Kapitan Talakua. Keempat kapiten tersebut mempunyai
wilayah kekuasaan masing-masing sehingga penduduk mereka tersebar di
berbagai daerah di pulau tersebut. Meskipun demikian, mereka senantiasa
saling membantu dan bekerjasama dalam berbagai hal. Mereka juga suka
berpetualang hingga ke daerah pelosok secara bersama-sama.
Suatu hari, kempat kapiten tersebut bermaksud mengadakan petualangan
yaitu menyusuri Sungai Tala. Segala keperluan seperti bekal makanan dan
minuman segera mereka siapkan. Setelah itu, berangkatlah mereka ke
daerah Watui yang terletak di tepi sungai. Di sana, mereka membuat gusepa
(rakit) yang terbuat dari batang dan bilah-bilah bambu. Gusepa itulah yang
akan mereka gunakan untuk mengarungi Sungai Tala menuju ke hilir.
Sebelum berangkat, keempat kapiten tersebut berbagi tugas. Kapitan
Wattimena ditunjuk sebagai pemimpin, Kapitan Wattimury bertugas sebagai
pengemudi, Kapitan Nanlohy ditunjuk sebagai penjaga harta milik mereka
dan duduk di tengah gusepa, sedangkan Kapitan Talakua duduk bagian
belakang sebelah kanan. Menurut adat, Kapitan Nanlohy adalah seorang
Kepala Dati yang berhak menentukan pembagian harta milik pribadi maupun
milik bersama. Itulah sebabnya, semua harta dan perbekalan diletakkan di
dekatnya. Dalam petualangan kali ini, Kapitan Wattimena juga membawa
burung nuri kesayangannya dan sebuah pinang putih yang disimpan dalam
tempat sirih pinang.
Setelah persiapan selesai, gusepa pun siap meluncur. Perlahan-lahan,
Kapitan

Wattimury

mengarahkan

gusepa

ke

tengah

sungai

dengan

menggunakan galah dari bambu panjang. Begitu tiba di tengah sungai,


gusepa itu pun meluncur dengan cepat terbawa arus sungai yang sangat
deras. Ketika keempat kapiten tersebut tiba di sebuah tempat bernama Batu
Pamali, gusepa yang mereka tumpangi kandas dan hampir terbalik. Mereka

pun panik. Kapitan Wattimena yang terkejut kemudian berteriak dan


menyerukan kepada Kapitan Talakua yang berada di belakang.
Talakuang! serunya. Kata tersebut artinya tikam dan tahan gusepa!
Konon, Kapitan Talakua yang mendapat perintah itu kemudian menjadi
nenek moyang masyarakat Maluku dengan memakai mata rumah atau
marga Talakua di Negeri Portho. Sementara itu, pada saat yang bersamaan,
Kapitan Wattimena segera membuka tempat sirih pinangnya. Namun,
tempat sirih pinang itu tiba-tiba terjatuh dan burung nurinya pun terbang
entah ke mana. Kejadian itu benar-benar membuat hati Kapitan Wattimena
kecewa dan mengucapkan sumpah.
Aku bersumpah, seluruh keturunan marga Wattimena dan para menantu
tidak boleh memelihara burung nuri dan memakan sirih pinang! ucap
Kapitan Wattimena.
Setelah itu, keempat kapiten tersebut melanjutkan perjalanan menuju
daerah Tala. Setiba di sana, mereka kemudian membuat batu perjanjian
yang dinamakan Manuhurui. Mereka berikrar bahwa jika suatu saat nanti
mereka berpisah atau tercerai-berai, hubungan persaudaraan harus tetap
berbina. Mereka harus tolong-menolong dalam segala hal dan selalu saling
mengunjungi satu sama lain.
Keempat Kapiten tersebut tampaknya sudah mulai kelelahan sehingga
mereka pun memutuskan untuk beristirahat beberapa hari. Suatu ketika,
Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury sedang istirahat di darat,
sedangkan Kapitan Nanholy dan Kapitan Talakua berisitirahat di atas gusepa.
Tanpa disadari, gusepa itu hanyut terbawa arus. Keduanya pun panik dan
berteriak meminta tolong.
Tolong Tolong! seru Kapitan Nanlohy meneriaki kedua saudaranya yang
sedang tidur di darat. Mendengar teriakan itu, Kapitan Wattimena dan
Kapitan Wattimury terbangun. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat
kedua saudara mereka hanyut terbawa arus. Mereka hendak menolong,
namun kedua saudara mereka sudah jauh terbawa arus hingga ke tengah
laut. Kapitan Nanholy berusaha berenang ke daratan dan terdampar ke
sebuah tempat. Tempat itu kemudian diberi nama Nanuhulu yang berarti

berenang dan terdampar di hulu. Sejak itu, Kapitan Nanholy menetap di


daerah tersebut. Sementara itu, Kapitan Talakua terus hanyut hingga
melewati Tanjung Uneputty dan terdampar di Teluk Pulau Saparua. Di situ, ia
membangun negeri yang diberi nama Portho.
Sementara itu di tempat lain, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury
tetap mendiami daerah Manuhurui di Kampung Sanuhu. Keduanya pun hidup
saling tolong-menolong dan menyayangi. Suatu ketika, mereka mendengar
kabar bahwa kampung mereka akan diserang musuh yang datang dari
kampung sebelah.
Apa yang harus kita lakukan, Wattimena? tanya Kapitan Wattimury
bingung.
Kita

harus

segera meninggalkan

kampung

ini

dan mencari

tempat

persembunyian yang aman, kata Kapitan Wattimena,


Kapitan Wattimury pun menyetujui keputusan itu. Akhirnya, kedua orang
bersaudara itu bersembunyi di suatu tempat yang aman dari kejaran musuh.
Namun sayang, tempat gersang dan tandus sehingga air sulit didapatkan.
Kapitan Wattimury kembali dilanda kebingungan.
Bagaimana kita bisa hidup di tempat ini? Air untuk diminum saja susah,
keluh Kapitan Wattimury.
Kapitan Wattimena tidak menjawab. Ia langsung mengambil sebuah tombak
lalu ditancapkan ke tanah. Seketika, air pun menyembur keluar dengan
sangat deras. Akhirnya, keduanya pun dapat minum air sampai kenyang.
Tempat itu kemudian mereka beri nama Hule yang berarti kekenyangan.
Mereka pun menetap di daerah itu, namun tidak beberapa lama. Mereka
bersepakat untuk membuka daerah baru di tempat lain.
Kedua kapiten itu kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri daerah
Seram Selatan hingga ke bagian timur daerah Boboth. Namun, hingga
malam hari, mereka belum juga menemukan tempat yang cocok. Pada
malam yang gelap gulita itu, keduanya tetap melanjutkan perjalanan. Tibatiba, Kapiten Wattimena mengentikan langkahnya.
Hai, kenapa berhenti, Wattimena? tanya Kapiten Wattimury heran.

Kita beristirahat sejenak di sini, ujar Kapitan Wattimena, Sudah jauh kita
berjalan tapi tidak ada tempat yang cocok untuk dijadikan tempat menetap.
Lalu, apa yang harus kita lakukan? tanya Kapitan Wattimury bingung.
Sebaiknya kita buat lobe (obor). Tempat di mana obor ini nanti padam,
maka di situlah kita menetap, ujar Kapitan Wattimena.
Setelah menyalakan obor, keduanya pun melanjutkan perjalanan. Ketika
obor itu padam, keduanya pun berhenti dan menjadi tempat itu sebagai
tempat tinggal mereka. Tempat itu kemudian mereka beri nama Japisuru
atau Api Lobe dan kini nama tempat itu telah berganti menjadi Mahariki.
Selang beberapa waktu tinggal di daerah itu, Kapiten Wattimury bermaksud
untuk pindah ke daerah lain.
Saudaraku,

perkenankanlah

aku

untuk

mencari

daerah

lain

untuk

membangun negeri sendiri, pinta Kapiten Wattimury.


Baiklah, kalau itu keinginanmu. Tapi, jangan lupa dengan ikrar yang pernah
kita ucapkan dulu bahwa kita akan saling mengunjungi, ujar Kapitan
Wattimena.
Tentu, Wattimena, jawab Kapitan Wattimena.
Akhirnya, Kapitan Wattimury menuju ke sebuah tempat yang jaraknya
kurang lebih tujuh kilometer dari dari Mahariki. Ia pun menamai tempat itu
dengan nama Amahai. Kini, nama tempat itu telah berubah menjadi Ruta.

Laba-Laba Emas
ADA sepasang laba-laba jantan dan betina yang tinggal di Pulau Seram dan
oleh penduduk yang tinggal disekitar tempat itu menamakan binatang itu
laba-laba raja mas karena kulitnya dilapisi oleh emas.
Tubuh binatang itu besar, memiliki jari- jari yang panjang, keras dan tajam.
Pokoknya laba-laba itu dianggap sebagai binatang yang kuat dan ditakuti.
Mereka menganggap laba-laba raja itu sebagai makhluk yang harus
dihormati sehingga tidak sembarang orang dapat melewati daerah yang
ditempati oleh sepasang laba-laba itu.
Laba-laba rasa mas memiliki wilayah kekuasaan yang terbentang luas yaitu
dari wilayah timur sampai ke barat , dimana hampir setiap hari binatang
tersbeut terbang kesana dan kemari mengawasi wilayahnya serta ingin
mengetahui situasi keamanan kalau-kalau ada musuh yang datang
menganggu. Pada suatu hari, kedua ekor laba-laba raja itu terbang ke arah
Asia Barat dan tiba di sebuah lembah yang bernama Line, tepat di
pegunungan Ararat di tanah Armenia. Disitu, keduanya mulai bekerja
membangun sebuah jalan.
Dengan jari-jarinya yang panjang dan kuat itu dibangunlah jalan dengan
cara menyngkut tali-tali-tali sarangnya dari sebuah gunung le unung yang
lain. Hampir sepanjang hari laba-laba mas itu memintal benangnya sehingga
jadilah sebuah jalan.
Usai membuat jalan tersebut dan merasa lelah, sepasang laba-laba itu
datang ke sebuah gunung yang berada di daerah Nunusaku untuk
beristirahat. Daerah itu memiliki udara yang dingin dan sejuk karena
lokasinya ditumbuhi lumut-lumut yang tebal.

Ditempat itu, tinggalah orang Alifuru. Ketika orang-orang Alifuru mengetahui


ada laba- laba mas berunjung di daerahnya merekapun menjumpai binatang
itu. Dari hasil perundingan diantara mereka, terjadilah sebuah kesepakatan
yaitu orang-orang Alifuru memberikan izin kepada binatang tersebut untuk
tinggal bersama-sama di Nunusaku. Laba-Laba raja dan orang Alifuru
kemudian hidup rukun dan damai.
Orang-orang Alifuru meminta agar laba-laba raja dapat membuat sebuah
jalan sehingga mereka dapat berpergian ke daerah seberang dan hal itu
disetujui oleh laba-laba raja mas.
Untuk itu, dibangunlah sebuah pondasi yang kuat diatas gunung lumut.
Jalan yang dibuat oleh jaring laba-laba yaitu melintasi Gunung Binaya dan
Manusela sampai kea rah Pasifik Utara dan Selatan. Dari tempat inilah
orang-orang Alifuru memantau orang yang akan datang ke Asia Timur dan
Tenggara. Bila musuh ingin menyerang, mereka sulit mencapai daerah
kediaman orang-orang Alifuru karena sangat tinggi. Setiap hari sepadang
laba-laba raja mas itu terus membuat jaringnya menjadi panjang dan
akhirnya sampai ke Asia Timur, Asia Tenggara, Lautan Pasifik terus ke
Hawai-Honolulu.

Asal Usul Tanjung Menangis di HALMAHERA


Dahulu kala terdapat kerajaan besar di Pulau Halmahera. Rajanya belum
lama meninggal dunia. Ia meninggalkan dua anak laki-laki dan satu anak
perempuan. Mereka bernama Baginda Arif, Putra Baginda Binaut, dan Putri
Baginda Nuri. Putra Baginda Binaut sangat menginginkan kedudukan sebagai
raja untuk menggantikan ayahnya. Keinginan itu disampaikan kepada patih
kerajaan. Aku harus menggantikan kedudukan ayahku. Kata Binaut kepada
sang Patih dengan penuh keyakinan.
Agar sang Patih ikut mendukung rencana tersebut, maka Binaut memberi
janji bahwa jabatan sang Patih akan tetap dipertahankan, dan ia akan diberi
hadiah emas berlian. Berkat bujuk rayu dan janji itulah, Sang Patih bersedia
mendukung Binaut menjadi raja. Sang Patih segera mengatur para pengawal
kerajaan untuk menangkap Sri Baginda Ratu, Putra Baginda Arif dan Putri
Baginda Nuri. Setelah ditangkap, mereka dijebloskan di penjara bawah
tanah.
Kanda Binaut benar-benar kejam! Tamak! Tak tahu diri! umpat Putri
Baginda Nuri dengan penuh emosi. Namun, Sri Baginda Ratu meminta agar
Nuri bersabar dan tawakal dalam menghadapi cobaan ini. Yang benar akan
tampak benar dan yang salah akan tampak salah. Dan yang salah itu, kelak
akan mendapatkan hukuman yang setimpal, kata Sri Baginda Ratu
menghibur dengan penuh keibuan, betapapun sangat sakit hati melihat
kekejaman putra kandungnya.
Binaut merasa gembira setelah menjebloskan ibu dan saudara kandungnya
ke penjara. Ia mengumumkan kepada rakyat kerajaan bahwa Sri Baginda
Ratu dan putra-putrinya mengalami musibah di laut. Saat itu pula, Putra
Baginda Binaut minta kepada para pembesar istana untuk segera dilantik
menjadi raja. Sejak itu, Sri Baginda Binaut bersikap angkuh dan tinggi hati.
Ia menganggap sebagai raja yang paling berkuasa di muka bumi ini.
Demi kepentingan dirinya, ia memerintahkan kepada seluruh rakyat
kerajaan agar bekerja giat untuk membangun istana megah. Selain itu,
diberlakukan berbagai pungutan pajak, diantaranya pajak hasil bumi, pajak

hewan, pajak tanah. Bukan main! Raja Binaut penghisap dan penindas
rakyat! kata salah seorang penduduk kepada yang lain. Mereka mengeluh
dengan peraturan yang dikeluarkan Raja Binaut yang sangat merugikan
rakyat. Tetapi, mereka takut membantah, apalagi berani melawan perintah
raja, pasti kena hukuman berat.
Ada seorang pelayan istana raja bernama Bijak. Ia melarikan diri dari istana
dan membentuk sebuah pasukan tangguh melawan raja Binaut. Paling tidak,
mereka dapat membebaskan Sri Baginda Ratu dan putra-putrinya. Kita
harus segera bertindak menyelamatkan mereka, kata Bijak dengan penuh
harap. Hal ini didukung teman-temannya.
Waktu itu, banyak para pegawai istana yang telah membelot bergabung
dengan Bijak. Bijak pun telah mempelajari bagaimana mengadakan
penyelamatan itu. Bila penyelamatan berhasil, direncanakan mengadakan
penyerangan ke istana Raja Binaut. Berkat kepemimpinan Bijak, dalam
sekejap mereka berhasil menyelamatkan Sri Baginda Ratu dan putraputrinya yang dipenjara Binaut. Mereka langsung dibawa ke hutan.
Kuucapkan terima kasih tak terhingga, ucap Sri Baginda Ratu dengan
tersendat. Mereka tampak kurus kering karena selama dipenjara di bawah
tanah jarang makan dan minum. Bijak pun menyampaikan kepada Sri
Baginda Ratu akan mengadakan penyerangan ke istana. Tetapi, Sri Baginda
Ratu tidak setuju, ia tidak mau berlumuran darah bangsanya sendiri.
Ketamakan, kebengisan, iri dan dengki akan kalah dengan doa permohonan
yang disampaikan kepada Tuhan.
Raja Binaut berlaku semena-mena terhadap rakyatnya. Sang Patih yang
selalu mendukung keputusan Raja Binaut lama-kelamaan tidak senang
dengan perilaku Raja. Tetapi ia tidak berani mengeluarkan sikap yang
melawan. Kalau itu dilakukan pasti ia langsung dipecat dan dijebloskan
penjara. Saat itu penjara penuh dengan tahanan. Siapa yang melawan
Raja, hukuman penjaralah tempatnya. Itulah kesombongan Raja Binaut.
Karena ia merasa yang paling berkuasa dan paling tinggi.
Namn tak disangka, sebuah bencana alam terjadi. Sebuah gunung meletus
dengan sangat dahsyat. Lahar panas mengalir ke segala penjuru. Istana

Raja Binaut pun menjadi sasaran lahar panas. Ternyata sebagian besar lahar
panas telah meluluh lantakkan bangunan istana yang baru saja selesai
dibangun dari hasil keringat rakyat. Raja Binaut kebingungan mencari
perlindungan. Ia lari pontang-panting tak tahu arah tujuan.
Anehnya, lahar seolah-olah mengejar kemanapun Raja Binaut lari. Tolongtolong! teriak Binaut. Lahar panas itu sedikit demi sedikit menempel di kaki
Binaut. Seketika itu juga kakinya melepuh dan kulitnya terkelupas. Ia
berusaha untuk tidak berhenti berlari. Lahar panas mulai menjalar ke
tubuhnya. Ia sangat tersiksa. Ketika ia mengalami siksaan lahar panas itu ia
ingat ibunya. Ia mohon ampun. Ampunilah aku, bu! Maafkanlah aku, bu!
Aku sudah tidak kuat menanggung penderitaan ini! Aku tidak akan
mengkhianati ibu, kakak Arif dan adik Nuri lagi. Maafkanlah aku! Ibu! Ibu!
teriak Binaut karena kesakitan. Namun teriakan itu hilang perlahan-lahan
dan akhirnya ia meninggal.
Jasad Binaut terdampar di sebuah pantai. Seketika itu juga tempat itu
berubah menjadi sebuah Tanjung. Konon, tanjung itu sering terdengar orang
menangis minta belas kasihan karena mengalami siksaan yang amat sangat.
Kini tempat terdamparnya Binaut itu dinamakan Tanjung Menangis.
Moral : Moral : Sifat iri, dengki dan tamak akan membawa celaka dan
pembalasan setimpal. Karenanya jauhilah sifat-sifat tersebut.

BATU BADAONG (CERITA RAKYAT MALUKU)


Di sebuah desa di pulau Tanimbar (Maluku), hiduplah seorang pria kaya
bersama istri dan 2 orang anak yang sudah tumbuh menjadi seorang
pemuda dan seorang gadis, mereka berdua sangat dimanjakan oleh ayah
mereka sehingga mereka mempunyai sifat yang malas dan sombong.
Mereka memiliki banyak pelayan yang siap melayani semua keinginan
mereka.
Ketika ayah mereka meninggal, semua pelayan pergi karena tidak tahan
dengan perlakuan mereka. Sehingga sang ibulah yang menggantikan tugastugas para pelayan itu. Mulai dari mempersiapkan makanan, menyapu,
mengepel, hingga menyetrika dikerjakan oleh ibunya dengan ikhlas. Namun,
sungguh tidak terpuji. Kedua anak itu memperlakukan ibu mereka seperti
pelayan. Jika ada yang salah mereka tak segan-segan membentak, seperti
seorang majikan yang sedang marah kepada budaknya.
Hati ibu yang malang sungguh sangat sakit, tetapi hanya bisa pasrah.
Bagimanapun juga, mereka adalah putra-putrinya tercinta. Sekurang-ajar
apapun perlakuan mereka, ibunya tetap melayani kebutuhan mereka seperti
biasanya. Sering ibu yang malang itu melakukan pekerjaannya sambil
meneteskan air mata dan berdoa
Ampunilah hamba, ya Tuhanku
Hamba gagal mendidik mereka
Hamba gagal menjadikan mereka anak-anak yang berbakti
Ya Tuhanku
Bukalah mata hati mereka
Berilah mereka kesadaran
Agar mereka bisa menjadi anak-anak yang insyaf;

Insyaf akan dirinya;


Dan kembali ke jalanMu

Suatu hari ketika mereka bangun tidur dan ingin makan, mereka terkejut
melihat meja dalam keadaan kosong. Tak ada makanan dan minuman yang
tersaji. Hanya ada panci diatas kompor. Mereka berdua marah dan
membanting apapun yang ditemukan sambil mencari ibu mereka.
Si pemuda berpikir pasti ibunya sedang mencuci pakaian di sungai.
Merekapun bergegas menuju kes ungai. Dan, ternyata benar dugaan
pemuda itu; sang ibu sedang mencuci pakaian.
Dalam keadaan marah pemuda itu mengahmpiri ibunya. Tanpa bertanya,
langsung wesss.. gubrakkk, pemuda itu menendang cucian sang ibu
hingga terjatuh ke sungai. Ibunya tidak kuasa berbuat apa-apa selain
menangis. Tak hanya itu, si gadis pun tidak mau ketinggalan. Sementara
tangan kirinya memegangi tangan ibunya, tangan kanannya mengayunkan
pukulan bertubi-tubi ke tubuh ibunya.
Ampun nak. Ada apa gerangan, kenapa kalian memperlakukan ibumu
seperti ini? tanya sang ibu dengan diriingi isakan tangis dan cucuran air
mata.
Dasar kau perempuan tua, sampai jam begini aku belum makan. Aku lapar!
Kau tak ikhlas yah memasak untukku? hardik gadis itu sambil terus
memukuli tubuh ibunya.
Si Ibu menangis dengan nyaring dan memohon, tapi kedua anak itu tidak
mau mendengarkannya. Malah mereka memukulnya lagi dan lagi. Ibu yang
malang mendapatkan perlakuan buruk dari sang anak.

Tiba-tiba sang Ibu berhenti menangis, tubuhnya lemah, dan dengan suara
tertahan berkata:
Ayahmu memang meninggalkan banyak kekayaan, tapi tidak akan
berlangsung lama. Dan meskipun aku yang melahirkan kalian kedunia ini,
mulai sekarang kalian bukan lagi anak-anakku. Aku tidak akan pernah mau
kembali kerumah kalian lagi. Kalian bebas melakukan apapun, aku sudah
tidak peduli lagi.
Setelah mengatakan itu, si ibu menyeret tubuhnya ke sebuah batu besar di
pinggir sungai. Lalu berujar:
Wahai batu besar terbukalah. Biarkan aku masuk kedalam. Jadikan aku
bunga yang wangi seperti melati putih
Tak lama setelah itu, perlahan batu itu terbuka. Lalu masuklah sang ibu
kedalam batu itu. Dalam sekejap mata batu itu telah tertutup kembali.
Setelah beberapa hari, pada batu itu muncul dedaunan dan bunga-bunga
berwarna putih yang wangi semerbak.
Apa yang terjadi pada kedua anak tersebut?
Penduduk desa marah serta mengusir mereka. Hartanypun dijarah untuk
dibagikan kepada orang-orang miskin di desa tersebut. Kini yang tertinggal
hanya penyesalan. Menyesal telah berlaku kasar kepada ibu yang telah
melahirkan dan merawat mereka. Namun penyesalan tinggal penyesalan,
sang ibu telah tiada.
Mereka mendatangi batu dimana ibu mereka tertelan. Sambil mengelus batu
yang telah ditumbuhi dedaunan dan bunga putih, mereka menangis tersedusedu. berharap batu itu membuka dan menelan mereka agar bisa bertemu

kembali dengan sang ibu tercinta

"Buaya Putih dari maluku"


Pernahkah anda datang ke Danau Wisata Tolire, Ternate, Maluku?? tahukah
anda danau tersebut bukan hanya indah tetapi juga menyimpan
kemisteriusan. Salah satunya adalah jika kita melempar apapun, sekeras
apapun kedalam danau maka benda tersebut tidak akan pernah mengenai
permukaan air danau tersebut. Dipercaya juga Buaya Putih hidup didanau
tersebut. Aneh? Misterius? Tidak logis? sudah jelas. Menurut penduduk
setempat kejadian tersebut tidak lepas dari legenda danau tersebut secara
turun temurun.
Biasanya saya lebih suka menulis artikel2 luar yang berbau misteri. Kali ini
saya berinisiatif untuk mengangkat salah satu kekayaan Indonesia yaitu
"legenda". Sangat banyak legenda dan kebudayaan Indonesia yang
mengandung misteri yang hingga sekarang dapat dirasakan secara nyata
namun tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Legenda buaya putih dari Maluku
ini adalah salah satunya.
Sebelum menuju ke cerita legenda, saya akan menjelaskan lokasi terjadinya
kejadian tersebut.
Danau Tolire
Maluku memang masih sangat terasa kental keindahan alamnya, salah
satunya yang dikenal adalah danau Tolire. Danau wisata yang terletak
sekitar 10 km dari pusat kota Ternate ini selain mengandung keindahan juga
menyimpan misteri.
Danau Tolire berada di bawah kaki Gunung Gamalama, gunung api tertingi di
Maluku Utara. Di sisi kanan hamparan tanaman jati emas dan pepohonan
Jambulang (buah khas Ternate, Disisi barat, atau di belakang saat
menghadap danau, deretan pohon kelapa dan luasnya laut dan sunset sore
hari merupakan pemandangan spesial khas Tolire.

Danau Tolire terdiri dari dua buah danau, yaitu Danau Tolire Besar dan
Danau Tolire Kecil. Jarak antara keduanya hanya sekitar 200 meter. Uniknya
danau Tolire besar sekilas terlihat seperti kuali besar karena dikelilingi
tebing2 tinggi dari gunung Gamalama. Danau air tawar ini juga dihuni oleh
banyak ikan2 air tawar.
Berdasarkan sejarah geologi, terbentuknya Danau Tolire adalah akibat dari
letusan freatik yang pernah terjadi daerah ini.
Legenda
Dahulu kala dilokasi tersebut merupakan sebuah desa/perkampungan.
Warga desa tersebut hidup sejahtera dan mempunyai tali persaudaraan yang
kuat, sehingga tidaklah aneh jika semua warga didesa tersebut saling
mengenal pribadi satu sama lain. Sampai suatu ketika terjadi kejadian yang
diluar dugaan.
Seorang bapak menghamili anaknya sendiri. Kejadian tersebut akhirnya
diketahui masyarakat sekitar dan membuat seluruh warga marah. Mereka
mengutuk sang ayah dan anak tersebut dan mengusir mereka dari desa.
Karena terpaksa dan merasa malu maka ayah dan anak tersebut pergi
meninggalkan desa. Ketika mereka melangkahkan kaki pergi dari desa suatu
kejadian aneh terjadi.
Konon katanya seketika tempat mereka (ayah dan anak itu) berpijak
terbelah akibat gempa dahsyat secara tiba-tiba. Sang penguasa murka dan
menghukum ayah, anak, beserta desa tersebut menjadi dua buah danau.
Satu danau besar yang kemudian disebut tolire besar (lamo) yang
menggambarkan sang ayah. Satu lagi danau yang lebih kecil yang disebut
tolire kecil (ici) yang mencerminkan sang anak.
Sampai sekarang kedua danau tersebut masih ada sampai sekarang.

Menurut masyarakat kedalaman danau Tolire tidak terukur


Konon katanya para warga desa tersebut sekarang berubah menjadi buaya
putih yang melindungi danau sampai sekarang. Penduduk setempat
meyakini danau tersebut dihuni oleh ratusan buaya putih berukuran sekitar
10 meter yang kerap kali menampakkan dirinya. Itu sebabnya mengapa
pengunjung dilarang berendam, berenang, bahkan memancing di danau
Tolire, karena mereka percaya barang siapa yang mengganggu danau akan
menjadi mangsa buaya putih.

Buaya putih hanya bisa dilihat oleh orang2 tertentu yang memiliki hati yang
bersih, jadi tidak semua orang bisa melihatnya. Tapi memang ada beberapa
wisatawan yang bisa melihat Buaya Putih tersebut.
Pernah suatu ketika seorang perantau dari luar negeri tidak percaya akan
adanya legenda tersebut. Dia memaksa untuk berenang di danau tersebut
untuk membuktikan kebenaran legenda itu walaupun sudah dilarang warga.
Diapun akhirnya berenang di danau dan hilang begitu saja. Warga percaya
kalau perantau itu telah dimangsa oleh buaya putih.
Danau ini juga menyimpan keanehan lainnya. Katanya jika kita melempar
benda ke danau tersebut sekeras apapun benda tersebut tidak akan pernah
menyentuh permukaan danau. Kebanyakan wisatawan yang datang ke
danau ini tidak hanya menikmati pemandangan tetapi juga ingin mencoba
kebenaran legenda setempat.
Akibatnya disekeliling danau dijual batu kerikil khusus untuk dilempar
kedalam danau. Benar saja, tidak ada satu orang pun yang berhasil
menyentuh permukaan danau. Batu yang dilempar seperti ditahan oleh

kekuatan gravitasi tertentu. Menurut penduduk setempat kekuatan Buaya


Putihlah yang menahan batu2 tersebut agar tidak mengenai permukaan
danau.
Apakah yang menyebabkan batu2 itu bisa tertahan? apakah mungkin ada
kekuatan gaib yang menahannya???
Menurut pendapat saya mungkin didasar kedalaman danau tersebut terdapat
suatu gas atau zat tertentu yang dapat mengurangi kekuatan gravitasi
sehingga terasa seperti melayang (apalagi batu kerikil). Kalau mengenai
Buaya Putih selama saya belum pernah melihat sendiri jadi saya tidak
percaya, tapi memang Indonesia kaya akan hal2 gaib seperti ini, ada yang
nyata ada juga yang tidak, jadi mungkin keberadaan buaya putih itu
memang ada.
Yang harus diperhatikan adalah semua legenda pasti berasal dari
kisah/kejadian nyata yang mungkin salah diinterpretasikan.
Namun itu hanya pendapat saya, mungkin benar mungkin juga tidak. Satu
hal yang pasti, karena kemisteriusannya itu danau Tolire sampai sekarang
belum pernah diteliti secara serius. Kedalaman danaunya saja belum
diketahui, apalagi yang terkandung didalamnya.

Si Rusa dan Si Kulomang


Pada jaman dahulu di sebuah hutan di kepulauan Aru, hiduplah sekelompok
rusa. Mereka sangat bangga akan kemampuan larinya. Pekerjaan mereka
selain merumput, adalah
menantang binatang lainnya untuk adu lari. Apabila mereka itu dapat
mengalahkannya, rusa itu akan mengambil tempat tinggal mereka.
Ditepian hutan tersebut terdapatlah sebuah pantai yang sangat indah.
Disana hiduplah siput laut yang bernama Kulomang. Siput laut terkenal
sebagai binatang yang cerdik dan sangat setia kawan. Pada suatu hari, si
Rusa mendatangi si Kulomang. Ditantangnya siput laut itu untuk adu lari
hingga sampai di tanjung ke sebelas. Taruhannya adalah pantai tempat
tinggal sang siput laut.
Dalam hatinya si Rusa itu merasa yakin akan dapat mengalahkan si
Kulomang. Bukan saja jalannya sangat lambat, si Kulomang juga
memanggul cangkang. Cangkang itu biasanya lebih besar dari badannya.
Ukuran yang demikian itu disebabkan oleh karena cangkang itu adalah
rumah dari siput laut. Rumah itu berguna untuk menahan agar tidak hanyut
di waktu air pasang. Dan ia berguna untuk melindungi siput laut dari terik
matahari.
Pada hari yang ditentukan si Rusa sudah mengundang kawan-kawannya
untuk menyaksikan pertandingan itu. Sedangkan si Kulomang sudah
menyiapkan sepuluh teman-temannya. Setiap ekor dari temannya
ditempatkan mulai dari tanjung ke dua hingga tanjung ke sebelas. Dia
sendiri akan berada ditempat mulainya pertandingan.

Diperintahkannya

agar teman-temanya menjawab setiap pertanyaan si Rusa.


Begitu pertandingan dimulai, si Rusa langsung berlari secepat-cepatnya
mendahului si Kulomang. Selang beberapa jam is sudah sampai di tanjung
kedua. Nafasnya terengah-engah. Dalam hati ia yakin bahwa si Kulomang
mungkin hanya mencapai jarak beberapa meter saja. Dengan sombongnya
ia berteriak-teriak, "Kulomang, sekarang kau ada di mana?" Temannya si
Kulomang pun menjawab, "aku ada tepat di belakangmu." Betapa

terkejutnya si Rusa, ia tidak jadi beristirahat melainkan lari tunggang


langgang.
Hal yang sama terjadi berulang kali hingga ke tanjung ke sepuluh. Memasuki
tanjung ke sebelas, si Rusa sudah kehabisan napas. Ia jatuh tersungkur dan
mati. Dengan demikian si Kulomang dapat bukan saja mengalahkan tetapi
juga memperdayai si Rusa yang congkak itu.

ASAL MULA MAHAKIRI, AMAHAI,


LUHU, DAN PORTHO
Dahulu daerah nunusaku merupakan pusat kegiatan pulau seram
yang biasa juga disebut nusa ina. Penduduknya mulai tersebar ketempattempat lain yang dipimpin olah orang kapitan. Mereka berempat
bermusyawarah untuk menyepakati tujuan arah pengembaraannya. Sasaran
mereka yaitu akan mengilir sepanjang sungai talasebab sungai ini memilki
banyak kekayaan alam.
Persiapan temasuk segala perbekalan dalam perjalanan dikemas
cepat. Sebagaimana biasa upacara adat pun diadakan sebelum mengadakan
perjalanan yaitu dengan berjalan kaki kenegri watui. Disana mereka mulai
mengerjakan sebuah rakit (gusepa)yang dibuat dari batang bilah-bilah
bambu. Rakit ini dipakai untuk menghilir sungai tala.berbeda dengan air
laut, air yang terdapat didaratan yaitu air air didalam tanah dan air disungai,
semuanya berasal dri air hujan. Air ini rasanya tidak asin. Disamping
kekayaan alam, sungai tala ini terkenal juga dengan keganasan dan terdapat
banyak batu-batu besar disepanjang alirannya.
Pelayaran pun dimulai dan sebagai pemimipinnya adalah kapitan
nunusaku yang juga merupakan besar dari tiga batang turunan moyang
patola. Kemudian, moyang inilah yang akan menjadi moyang dari mata
rumah wattimena wael di Mahariki. Harta milik kapitan dibawahnya dan lupa
pula seekor burung nuri atau burung kasturi raja. Sayang ditinggalkan karna
nuri berwarna terang.apalagi nuri menyukai hiruk-pikuk dan suka
berkelompo, jadi cocok dibawa dalam perjalanan. Selain itu nuri mereka
juga membawa pinang putih yang diletakkan dalam sirih pinang.
Di belakang kemudi duduk kapitan yang akan menjadi moyang
dari mata rumah Wattimury. Di tengah rakit adalh kapitan yang akan
menjadi moyang nanlohy. Di belakang sebelah kanan duduk kapitan yang
akan menjadi nenek moyang Talakua.
Kapitan Nanlohy ditunjuk untuk menjaga harta milik mereka. Di
dalam hukum adat ia brtindak sebagai kepala dati yang akan menentukan

pembagian-pembagian baik milik pribadi maupun milik bersama.oleh sebab


itu semua harta dan perbekalan diletakan ditengah rakit berdekatan dengan
kapitan Nanlohy.
Peleyaran dimulai dan mereka berempat hanyut dengan rakit
karena kekuatan air yang mengalir turun menuju Tala. Begitu tiba ditempat
yang disebut batu Pamali\rakit mereka kandas dan hampir terbalik. Kapitan
Wattimena wael terkejut dan berteriak kepada kapitan yang berada
didekatnya, Talakuang! yang artinyatikam tahan gusepa.dengan demikian,
kapitan yang mendapatkan tugas tersebut dinamakan Talakuayang
kemudian menjadi moyang dari mata rumah Talakua di negri portho hingga
kini.
Ketika rakit hampir terbalik,Kapitan Wattimena Wael sementara
membuka tempat sirih pinangnya untuk makan, tetapi tib-tiba jatuh. Pada
saat yang sama burung nuri pun terbang.kejadian ini sangat mengecewakan
kapitan dan langsung mengucapkan dan mengikrarkan sumpah yang
merupakan pantangan bagi mata rumah Wattimena Wael dan para menantu
tidak boleh memelihara burung nuri dan memakan sirih pinang. Kemudian
Batu yang ada di sungai tersebut dinamakan batu pamali hingga sekarang.

Perjalanan pun dilanjutkan hingga tiba di Tala. Di san amereka


membuat perjanjian dengan menanam sebuah batu perjanjiandan
dinamakan manuhurui kemudian berubah huse. Perjanjian yang mereka
ingkarkan ialah walaupun nanti bercerai berai hubungan persaudaraan yang
terbina selama ini haruslah dipertahankan. Selain itu pula mereka hrus
saling tolong menolong dalam segala hal, kunjug mengunjungi satu dengan
yang lain. Tempat ini kemudian suatu batu pertanda kenangan-kenangan
dari negri Mahariki, Amahai, Luhu,dan Portho.
Beberapa hari kemudian selesai proses perjanjian, Kapita
Wattmena Wael dan Kapitan Wattimury sedang tidur, ketika itu pula Ketika
itu Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakuanaik keatas rakit untuk bermainmain. Tetapi rakit itu hanyut terbawa arus semakin jauh dari tengah lau.

Wattimury terbangun dan melambaikan tangan melihat rakit mereka hanyut


bersama Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua yang terkatung-katung di
tanjung Hualoi. Kapitan Nanlohy membalas lambaian tangan kedua kapitan
yang ada di daratan tetapi mereka tidak bisa kembalil. Niat untuk berenang
kembali kedarat tidak tercapai jarena letih dan tak mampu berenang
melawan arus. Selanjutnya mereka terdampar ditempat yang bernama
Nanuluhu yang berarti berenang dan terdampar di Hulu.
Selanjutnya, Kapitan Talakua sendiri terus hanyut terbawa arus
hingga melewati Tanjung Uneputty. Pelayaran hanyut ini akhirnya terdampar
juga pada suatu teluk dipulau saparua. Disana dibangunnya negri yang
diberi nama portho. Hal ini didengar oleh Kapitan Nanlohy dan beliau pun
pun pindah dari Luhu ke Portho. Untuk hidup bersama.
Keadaan Kapitan Wattimena Wael dan Wattimury tetap mendiami
daerah Manuhurui di kampun sanuhu. Mereka hidup saling mengasihi dan
banyak sahabatnya, antara lain kapitan kampung tersebut. Kapitan ini
kemudian dijadikan pengintai oleh Kapitan Wattimena Wael. Suatu ketika
kedua kapitan mendengar berita dari pengintai bahwa ada kapitan dari
gunung sembilan bersama laskarnya. Mereka sedang menuju negeri di mana
kedua kapitan berada dengan tujuan akan membunuh. Kedua kapitan
bersiap-siap untuk menantang musu apabila mereka diserang. Namun hal
ini tidak terjadi karena ternyata lawannya tidak ada.
Di tempat persembunyian mereka yang sangat aman tetapi tak
ada air. Tiba-tiba kapitan Watimena Wael berdiri mengambil tombak dan
langsung ditancapkan ke tanah. Saat itu pula mencuatlah air dari dalam
tanah. Dengan demikian mereka boleh makan dan minum banyak
sekenyang-kenyangnya. Oleh karena itu tempat itu diberi nama Hule
(kekenyangan).
Kemudian, kedua kapitan ingin melanjutkan perjalanan membuka
daerah baru. Penduduk di kampung tersebut tak rela melepaskan kedua
kapitan. Tetapi, karena kedua kapitan berkeras hati, akhirnya mereka
dilepaskan juga. Sebelum berpisah mereka saling berjanji untuk saling
membantu dan mengujungi.

Perjalanan pun dilanjutkan ke arah sepanjang Seram Selatan


hingga ke bagian timur tempat yang bernama Boboth. Walau pun hari
hampir malam, mereka belum juga mendapatkan tempat yang baik. Mereka
pun kembali ke selatan dan tiba-tiba Kapitan Wattimuri diajak berhenti oleh
Kapitan WattimenaWael sambil berkata, Di sini kita berhenti dan akan
membuat suluh (lobe), kemuduian kita akan melanjutkan prjalanan. Tempat
dimana suluh itu padam disitulah kita akan membangun. Kapitan Wattimuri
segera memebuat suluh besar dan mereka langsung berjalan. Ketika suluh
itu padam mereka behenti dan mendirikan kediaman mereka yang disebut
Japisuru atau Api Lobe. Nama ini kemudian diganti dengan nama
Mahariki.
Beberapa lama kemudian Kapitan Waimuri minta diri unuk
pindah. Tempat yang akan dituju jauhnya kira-kira 7km dari Japisuru.
Selanjutnya tempat ini diberi nama Amahai. Akhirnya nama ini berupa pula
mejadi Ruta hingga kini

BUAYA TEMBAGA

Pulau Ambon Manise yang terletak di jazirah lei Timur dan jazirah lei
Hitu adalah salah satu pulau yang indah di Indonesia. Di sana terdapat
lautan yang membiru berisika ikan-ikan yang dapat terbang jauh mencecah
laut. Di tempat yang indah ini terdapat pula burung camar yang turun naik
terbang di atas gelomban setelah lesu berkelana. Apalagi taman lautnya
yang berisi ikan macan bergerombol-gerombol di dalamnya. Begitu indah
taman lautnya, tak terkira oleh mata dan tak terukir oleh rasa.
Tak jauh dari jazirah Lei Timur terdapat sebuah kota, yang diberi
nama Ambon. Kota ini dikelilingi pohon Sagu yang melambai-lambai dan
pohon mintanggor yang tumbuh di tepi pantai. Alam ini memberi kesejukan
ketika kita akan menghirup udara lautnya. Apalagi kita ingin ramai-ramai
ingin naik arumbae. Dengan hembusan angin laut para nelayan berlabuh
tenang di pelabuhan. Pemandangan yang indah itu memberi kita suasana
damai dan tentram bahkan dapat memberi inspirasi yang baik.
Konon di kota yang banyak dipuja itu tersimpan suatu kisah yang
hampir punah. Kota Ambon yang terletak pada kedua jazirah itu
dihubungkan oleh satu tanah genting yang bernama Tanah Genting Baguala.
Tanah ini merupakan penghubung antar Teluk Ambon dan Teluk Baguala.
Pada waktu zaman Jepang mereka mengusahakan daerah yang menjadi
penghubung ini di kuatkan oleh satu terusan tetapi gagal.
Konon ketika mereka sedang menggali tanah genting keluarlah
darah. Selain darah yang keluar ternyata terdapat seekor buaya yang besar.
Panjang badannya kira-kira 5 meter dan warna kulitnya kuning. Oleh sebab
itu penduduk di sana memberi nama Buaya Tembaga. Alam sekitar Baguala
membuat keadaan aman dan tentram penuh kenyamanan bagi Buaya
Tembaga itu. Apalgi penduduknya sangat memuja buaya tersebut.
Tak jauh dari tempat itu, di pesisir pantai selatan Pulau Buru,
hiduplah seekor ular di atas sebatang pohon besar. Pohon ini senantiasa
tumbuh di tepi pantai dan selalu condong ke arah laut. Ular itu sangat

mengganggu ketentraman hidup semua penghuni terutama penghuni laut


sekitarnya. Hampir semua jenis ikan hias dan ikan yang enak dan
mengandung banyak protein ditelannya. Buaya besar dan kecil pun digigit
kemudian menjadi santapan yang lezat baginya.
Kehidupan ikan-ikan dan buaya-buaya yang berada disitu selalu
diserbu dan terancam oleh ular tersebut. Hal ini menyebabkan mereka
terpaksa mengadakan musyawarah besar untuk mengatasi atau membasmi
ular itu. Keputusan musyawarah besar mereka menyatakan bahwa yang
dapat menantang ular itu adalah Buaya Tembaga. Oleh karena itu mereka
akan meminta bantuan kepadanya.
Setelah selesai bermusyawarah mereka mengirim utusan untuk
bertemu dengan Buaya Tembaga. Tujuannya yaitu meminta bantuan agar
dapat menghancurkan ular pemangsa tersebut. Sekaligus pula menjemput
Buaya Tembaga dari Teluk Baguala. Sementara itu ikan-ikan dan buaya yang
lain mempersiapkan upacara penyambutan.
Setiba mereka disana Buaya Tembaga mengabulkan permohonan
mereka dan bersedia untuk berangkat bersama-sama utusan menuju pantai
selatan Pulau Buru. Dalam perjalanan mereka saling bertukar pendapat
langkah-langkah apa yang akan dikerjakan. Dan sambil menikmati
perjalanan mengarungi lautan mereka juga mengamati genangan air
dicelah-celah batu. Mereka melihat hewan-hewan lain yang merayap
berenang, bakung laut, kerang limpet, keong laut dan kepak, bakung laut,
dan hewan-hewan yang aneh lainnya, yang kalau air pasang, badannya
memekar mereka pun melihat kerang limpet yang biasa hidup dipantai
berbatu. Hal ini memberi pertanda bahwa tempat yang mereka tuju sudah
dekat. Burung-burung laut pun seperti ganet, camar, kormoran, mandor, dan
lain-lain sudah mulai tampak.
Mereka tiba waktu pasang surut karena keong-keong laut sedang
bersembunyi di celah-celah ganggang gelombang. Bahkan kerang limpet
mulai nampak melekat erat pada batu-batu. Setibanya mereka disana Buaya
Tembaga disambut denga meriah dalam satu upacara yang meriah. Upacara
pun dihadiri oleh para penghuni laut seperti keong laut, kepak berjenis ikan,

para buaya, berjenis-jenis burung laut, kepiting, kelomang, tikus laut


bahkan cacing-cacing laut. Mereka beramah-tamah, bersukariah dengan
Buaya Tembaga selama dua hari.
Pada hari ketiga Buaya Tembaga mulai melaksanakan tugas yang
telah dipercayakan kepadanya. Ia mulai berjalan, berenang kesana kemari
mengintai musuhnya dan mendekati pohon mintanggor. Ketika melalui
pohon tersebut ular dan Buaya Tembaga saling berpapasan. Dengan cepat
ular itu melilitkan ekornya pada batang mintanggor tadi dan menjulurkan
badannya ke laut seraya memagut Buaya Tembaga.
Tindakan ular itu segera ditangkis dan Buaya Tembaga dengan
memukulkan ekornya. Perang tanding terjadi antara keduanya dan peristiwa
ini disaksikan oleh semua penghuni laut yang berada di sekitar tempat itu.
Hal ini terjadi beberapa hari lamanya.
Ketika pertarungan sudah berlangsung selama 2 hari terjadilah
saat-saat yang menentukan pemenangnya. Ular, sebagaimana biasanya,
melilitkan ekornya keras-keras pada pohon mintanggopr dan memagut mata
Buaya Tembaga. Pukul balasan dari Buaya Tembaga sangat jitu dan keras
dengan menghempaskan ekornya kearah kepala ular. Keadaan itu terjadi
berulang kali. Akhirnya lilitan ekor ular terlepas dari batang pohon
mintanggor dan terhempas kelaut dan berakhirlah riwayatnya.
Penghuni laut serentak bersorak-sorai melihat keadaan itu.
Semua menyaksikan pertarungan seru yang menghancurkan musuh keparat
itu. Buaya Tembaga dielu-elukan atas kemenangan itu. Dengan demikian
mereka telah luput dan bebas berada didaerahnya. Hadiah pun disiapkan
untuk diserahkan kepada Buaya Tembaga. Penghargaan pertama atas
jasanya dianugerahkan Yang dipertuan di Daerah Teluk Baguala. Hadiah itu
diberikan pada sebuah tagala (besek) dan diisi dengan beberapa jenis ikan
seperti ikan parang, make, papere, dan salmaneti.
Setelah itu, Buaya Tembaga pun bertolak kembali menuju ke
tempat kediamannya dengan membawa kemenangan berupa hadiah
berjenis-jenis ikan. Sejak itu maka berkembang biaklah ikan-ikan itu di
Teluk Baguala. Oleh karena itu, hingga kini ikan jenis itu sangat banyak

terdapat diteluk tersebut. Bahkan ada dari penduduk yang percaya,


terutama yang berada di sekeliling teluk itu bahwa bila Buaya Tembaga itu
timbul itu pertanda akan datang banyak ikan. Sehingga masyarakat siapsiap akan menangkap ikan dan dijual sebagai mata pencahariannya.
Pemunculan Buaya Tembaga membawa keuntungan bagi penduduk Baguala.

Asal Mula Telaga Biru


Di belahan bumi Halmahera Utara tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa,
di tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya
terdiri dari beberapa rumah atau dadaru), penduduk Lisawa tersentak
gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar dari antara bebatuan
hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk
sebuah telaga.
Airnya bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin.
Kejadian ini membuat bingung penduduk. Mereka bertanya-tanya dari
manakah asal air itu? Apakah ini berkat ataukah pertanda bahwa sesuatu
yang buruk akan terjadi. Apa gerangan yang membuat fenomena ini terjadi?
Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di
daerah itu tergolong sulit air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap
rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar untuk menguak misteri
timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan
terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou
maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.
Acara ritual adat menghasilkan jawaban Timbul dari Sininga irogi de itepi
Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu (Timbul dari akibat
patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir
menjadi sumber mata air).
Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk
dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan
hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun
berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan nafas
penduduk yang terdengar.
Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya Di antara kalian siapa yang
tidak hadir namun juga tidak berada di rumah. Para penduduk mulai saling
memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya.
Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga
yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua

anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela
yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian,
mereka bercerita perihal kedua anak itu.
Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak
saudara dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar
beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar
dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam
bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan
akan kembali.
Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru
pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidupsemati. Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi
hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak
lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.
Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti.
Namun, badai rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh
di pantai yang tak bertepi itu.
Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan
tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab.
Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so
balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi
bumerang kematian.
Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari
tempat berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di
bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah cintanya.
Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang
terlepas, airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan
menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon beringin itu.
Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.
Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru
pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung.
Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka

namakan Telaga Biru.


Telaga biru kala itu selalu tampak bersih. Airnya sejernih kristal berwarna
kebiruan. Setiap dedaunan yang jatuh di atasnya tidak akan tenggelam
karena seolah terhisap untuk dibersihkan oleh bebatuan yang ada di tepian
telaga.
Sampai saat ini mitos asal-mula telaga Biru masih terus terjaga di
masyarakat. Pasangan muda-mudi dari Galela dan Tobelo ada yang datang
ke telaga ini untuk saling mengikat janji. Sebagai tanda ikatan mereka akan
mengambil air dengan daun Cingacinga dan lalu meminumnya bersama. Air
yang masih tersisa biasanya akan dipakai untuk membasuh kaki dan wajah.
Maknanya adalah supaya jangan ada lagi air mata yang mengalir dari setiap
ikatan janji dan hubungan.
Penduduk dusun Lisawa mula-mula kini telah tiada dan hanya menyisakan
telaga Biru. Sayang kondisi telaga Biru saat ini kian merana akibat
ditebangnya pepohonan di sekitar telaga. Hal ini semakin diperparah dengan
hilangnya bebatuan di sekitar telaga yang telah berganti dengan tanggul
beton. Masyarakat sekitar juga memanfaatkan telaga ini sebagai tempat
MCK sehingga banyak sampah plastik yang kini sangat merusak
pemandangan. Belum lagi batang-batang pohon yang sengaja ditebang tidak
pernah diangkat tetapi dibiarkan membusuk didalam air telaga.
Telaga Biru kini kembali menangis dan bertanya adakah orang yang dapat
bertahan jika di dalam matanya kemasukan butiran pasir atau terkena
pedihnya air sabun. Jika masih ada maka jangan wariskan derita ini pada
anak cucumu. Ingat dan camkan bahwa negeri ini adalah pinjaman dari anak
cucu kita!

Anda mungkin juga menyukai