Pada zaman penjajahan Belanda, ada sebuah negeri yang bernama Luhu.
Negeri itu terletak di Pulau Seram, Maluku. Negeri Luhu adalah negeri yang
kaya dengan hasil cengkeh. Negeri yang jumlah warganya tidak terlalu
banyak itu diperintah oleh Raja Gimelaha Luhu Tuban atau yang lebih
dikenal dengan nama Raja Luhu. Sang Raja mempunyai permaisuri bernama
Puar Bulan dan seorang putri bernama Ta Ina Luhu yang cantik jelita. Ta Ina
Luhu berarti anak perempuan dari Luhu atau Putri Negeri Luhu atau Putri
Luhu. Ia adalah anak sulung sang raja yang memiliki perangai baik, penurut,
berbudi pekerti luhur, rajin beribadah, mandiri, serta sayang kepada seluruh
keluarganya. Selain Ta Ina Luhu, Raja Luhu mempunyai dua orang putra,
yaitu Sabadin Luhu dan Kasim Luhu.
Suatu ketika, kabar tentang kekayaan Negeri Luhu di Pulau Seram terdengar
oleh penjajah Belanda yang berkedudukan di Ambon. Mereka pun berniat
untuk
menguasai
menyerang
Negeri
pulau
Luhu.
itu.
Raja
Dengan
Luhu
persenjataan
dan
lengkap,
pasukannya
pun
mereka
berusaha
berjalan
menuju
ke
pintu
belakang
istana
sambil
pemandangan
Teluk
Ambon
yang
sungguh
mempesona.
berpikir bahwa Putri Ta Ina Luhu pergi dengan menunggang kuda milik
Baginda, jelas pengawal itu.
Mendengar laporan itu, Raja Soya semakin panik. Ia sangat mencemaskan
keadaan Putri Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu. Tanpa berpikir
panjang, ia segera membunyikan tifa (gendang kecil) sebanyak empat kali
untuk memanggil marinyo (seorang petugas tifa), dan kemudian kembali
memukulnya sebanyak enam kali untuk memanggil Kepala Soa (penasehat
raja). Tak berapa lama kemudian, kedua pejabat istana tersebut datang
menghadap kepadanya.
Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil kami? tanya
kedua pejabat itu serentak.
Segera kumpulkan semua laki-laki yang berumur enam belas tahun hingga
empat puluh tahun. Setelah itu, perintahkan mereka untuk pergi mencari
dan membawa pulang Putri Ta Ina Luhu dalam keadaan selamat! titah Raja
Soya.
Titah Baginda kami laksanakan, jawab keduanya seraya memberi hormat.
Setelah orang-orang tersebut berkumpul, mereka dibagi ke dalam beberapa
kelompok. Kemudian, mereka pergi mencari sang putri dengan mengikuti
jejak tapak kaki kuda yang ditunggangi oleh sang putri.
Sementara itu, Ta Ina Luhu masih berada di puncak gunung. Ketika hari
menjelang siang, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang memanggilnya
dari jauh. Ia pun sadar bahwa orang-orang tersebut pastilah para pengawal
Raja Soya yang datang mencarinya. Oleh karena itu, ia segera meninggalkan
tempat itu. Tak begitu lama setelah kepergiannya, sebagian rombongan
pengawal Raja Soya yang tiba di tempat itu tidak menemukan sang putri
kecuali kulit jambu bekas sisi-sisa makanan sang putri. Konon, rombongan
itu kemudian menamakan tempat itu Gunung Nona.
Ta Ina Luhu terus memacu kudanya menuruni lereng gunung menuju pantai
Amahusu. Karena begitu kencangnya, topi yang dikenakannya diterbangkan
angin. Menurut cerita, ketika sang putrid hendak berhenti mengambilnya,
topi itu tiba-tiba menjelma menjadi sebuah batu. Batu itu kemudian diberi
nama Batu Capeu.
Dahulu, Negeri Nunusaku atau lebih dikenal Negeri Nusa Ina merupakan
pusat kegiatan penduduk yang mendiami Pulau Seram, Maluku. Negeri itu
dipimpin oleh empat kapiten yaitu Kapitan Wattimena, Kapitan Wattimury,
Kapitan Nanlohy, dan Kapitan Talakua. Keempat kapiten tersebut mempunyai
wilayah kekuasaan masing-masing sehingga penduduk mereka tersebar di
berbagai daerah di pulau tersebut. Meskipun demikian, mereka senantiasa
saling membantu dan bekerjasama dalam berbagai hal. Mereka juga suka
berpetualang hingga ke daerah pelosok secara bersama-sama.
Suatu hari, kempat kapiten tersebut bermaksud mengadakan petualangan
yaitu menyusuri Sungai Tala. Segala keperluan seperti bekal makanan dan
minuman segera mereka siapkan. Setelah itu, berangkatlah mereka ke
daerah Watui yang terletak di tepi sungai. Di sana, mereka membuat gusepa
(rakit) yang terbuat dari batang dan bilah-bilah bambu. Gusepa itulah yang
akan mereka gunakan untuk mengarungi Sungai Tala menuju ke hilir.
Sebelum berangkat, keempat kapiten tersebut berbagi tugas. Kapitan
Wattimena ditunjuk sebagai pemimpin, Kapitan Wattimury bertugas sebagai
pengemudi, Kapitan Nanlohy ditunjuk sebagai penjaga harta milik mereka
dan duduk di tengah gusepa, sedangkan Kapitan Talakua duduk bagian
belakang sebelah kanan. Menurut adat, Kapitan Nanlohy adalah seorang
Kepala Dati yang berhak menentukan pembagian harta milik pribadi maupun
milik bersama. Itulah sebabnya, semua harta dan perbekalan diletakkan di
dekatnya. Dalam petualangan kali ini, Kapitan Wattimena juga membawa
burung nuri kesayangannya dan sebuah pinang putih yang disimpan dalam
tempat sirih pinang.
Setelah persiapan selesai, gusepa pun siap meluncur. Perlahan-lahan,
Kapitan
Wattimury
mengarahkan
gusepa
ke
tengah
sungai
dengan
harus
segera meninggalkan
kampung
ini
dan mencari
tempat
Kita beristirahat sejenak di sini, ujar Kapitan Wattimena, Sudah jauh kita
berjalan tapi tidak ada tempat yang cocok untuk dijadikan tempat menetap.
Lalu, apa yang harus kita lakukan? tanya Kapitan Wattimury bingung.
Sebaiknya kita buat lobe (obor). Tempat di mana obor ini nanti padam,
maka di situlah kita menetap, ujar Kapitan Wattimena.
Setelah menyalakan obor, keduanya pun melanjutkan perjalanan. Ketika
obor itu padam, keduanya pun berhenti dan menjadi tempat itu sebagai
tempat tinggal mereka. Tempat itu kemudian mereka beri nama Japisuru
atau Api Lobe dan kini nama tempat itu telah berganti menjadi Mahariki.
Selang beberapa waktu tinggal di daerah itu, Kapiten Wattimury bermaksud
untuk pindah ke daerah lain.
Saudaraku,
perkenankanlah
aku
untuk
mencari
daerah
lain
untuk
Laba-Laba Emas
ADA sepasang laba-laba jantan dan betina yang tinggal di Pulau Seram dan
oleh penduduk yang tinggal disekitar tempat itu menamakan binatang itu
laba-laba raja mas karena kulitnya dilapisi oleh emas.
Tubuh binatang itu besar, memiliki jari- jari yang panjang, keras dan tajam.
Pokoknya laba-laba itu dianggap sebagai binatang yang kuat dan ditakuti.
Mereka menganggap laba-laba raja itu sebagai makhluk yang harus
dihormati sehingga tidak sembarang orang dapat melewati daerah yang
ditempati oleh sepasang laba-laba itu.
Laba-laba rasa mas memiliki wilayah kekuasaan yang terbentang luas yaitu
dari wilayah timur sampai ke barat , dimana hampir setiap hari binatang
tersbeut terbang kesana dan kemari mengawasi wilayahnya serta ingin
mengetahui situasi keamanan kalau-kalau ada musuh yang datang
menganggu. Pada suatu hari, kedua ekor laba-laba raja itu terbang ke arah
Asia Barat dan tiba di sebuah lembah yang bernama Line, tepat di
pegunungan Ararat di tanah Armenia. Disitu, keduanya mulai bekerja
membangun sebuah jalan.
Dengan jari-jarinya yang panjang dan kuat itu dibangunlah jalan dengan
cara menyngkut tali-tali-tali sarangnya dari sebuah gunung le unung yang
lain. Hampir sepanjang hari laba-laba mas itu memintal benangnya sehingga
jadilah sebuah jalan.
Usai membuat jalan tersebut dan merasa lelah, sepasang laba-laba itu
datang ke sebuah gunung yang berada di daerah Nunusaku untuk
beristirahat. Daerah itu memiliki udara yang dingin dan sejuk karena
lokasinya ditumbuhi lumut-lumut yang tebal.
hewan, pajak tanah. Bukan main! Raja Binaut penghisap dan penindas
rakyat! kata salah seorang penduduk kepada yang lain. Mereka mengeluh
dengan peraturan yang dikeluarkan Raja Binaut yang sangat merugikan
rakyat. Tetapi, mereka takut membantah, apalagi berani melawan perintah
raja, pasti kena hukuman berat.
Ada seorang pelayan istana raja bernama Bijak. Ia melarikan diri dari istana
dan membentuk sebuah pasukan tangguh melawan raja Binaut. Paling tidak,
mereka dapat membebaskan Sri Baginda Ratu dan putra-putrinya. Kita
harus segera bertindak menyelamatkan mereka, kata Bijak dengan penuh
harap. Hal ini didukung teman-temannya.
Waktu itu, banyak para pegawai istana yang telah membelot bergabung
dengan Bijak. Bijak pun telah mempelajari bagaimana mengadakan
penyelamatan itu. Bila penyelamatan berhasil, direncanakan mengadakan
penyerangan ke istana Raja Binaut. Berkat kepemimpinan Bijak, dalam
sekejap mereka berhasil menyelamatkan Sri Baginda Ratu dan putraputrinya yang dipenjara Binaut. Mereka langsung dibawa ke hutan.
Kuucapkan terima kasih tak terhingga, ucap Sri Baginda Ratu dengan
tersendat. Mereka tampak kurus kering karena selama dipenjara di bawah
tanah jarang makan dan minum. Bijak pun menyampaikan kepada Sri
Baginda Ratu akan mengadakan penyerangan ke istana. Tetapi, Sri Baginda
Ratu tidak setuju, ia tidak mau berlumuran darah bangsanya sendiri.
Ketamakan, kebengisan, iri dan dengki akan kalah dengan doa permohonan
yang disampaikan kepada Tuhan.
Raja Binaut berlaku semena-mena terhadap rakyatnya. Sang Patih yang
selalu mendukung keputusan Raja Binaut lama-kelamaan tidak senang
dengan perilaku Raja. Tetapi ia tidak berani mengeluarkan sikap yang
melawan. Kalau itu dilakukan pasti ia langsung dipecat dan dijebloskan
penjara. Saat itu penjara penuh dengan tahanan. Siapa yang melawan
Raja, hukuman penjaralah tempatnya. Itulah kesombongan Raja Binaut.
Karena ia merasa yang paling berkuasa dan paling tinggi.
Namn tak disangka, sebuah bencana alam terjadi. Sebuah gunung meletus
dengan sangat dahsyat. Lahar panas mengalir ke segala penjuru. Istana
Raja Binaut pun menjadi sasaran lahar panas. Ternyata sebagian besar lahar
panas telah meluluh lantakkan bangunan istana yang baru saja selesai
dibangun dari hasil keringat rakyat. Raja Binaut kebingungan mencari
perlindungan. Ia lari pontang-panting tak tahu arah tujuan.
Anehnya, lahar seolah-olah mengejar kemanapun Raja Binaut lari. Tolongtolong! teriak Binaut. Lahar panas itu sedikit demi sedikit menempel di kaki
Binaut. Seketika itu juga kakinya melepuh dan kulitnya terkelupas. Ia
berusaha untuk tidak berhenti berlari. Lahar panas mulai menjalar ke
tubuhnya. Ia sangat tersiksa. Ketika ia mengalami siksaan lahar panas itu ia
ingat ibunya. Ia mohon ampun. Ampunilah aku, bu! Maafkanlah aku, bu!
Aku sudah tidak kuat menanggung penderitaan ini! Aku tidak akan
mengkhianati ibu, kakak Arif dan adik Nuri lagi. Maafkanlah aku! Ibu! Ibu!
teriak Binaut karena kesakitan. Namun teriakan itu hilang perlahan-lahan
dan akhirnya ia meninggal.
Jasad Binaut terdampar di sebuah pantai. Seketika itu juga tempat itu
berubah menjadi sebuah Tanjung. Konon, tanjung itu sering terdengar orang
menangis minta belas kasihan karena mengalami siksaan yang amat sangat.
Kini tempat terdamparnya Binaut itu dinamakan Tanjung Menangis.
Moral : Moral : Sifat iri, dengki dan tamak akan membawa celaka dan
pembalasan setimpal. Karenanya jauhilah sifat-sifat tersebut.
Suatu hari ketika mereka bangun tidur dan ingin makan, mereka terkejut
melihat meja dalam keadaan kosong. Tak ada makanan dan minuman yang
tersaji. Hanya ada panci diatas kompor. Mereka berdua marah dan
membanting apapun yang ditemukan sambil mencari ibu mereka.
Si pemuda berpikir pasti ibunya sedang mencuci pakaian di sungai.
Merekapun bergegas menuju kes ungai. Dan, ternyata benar dugaan
pemuda itu; sang ibu sedang mencuci pakaian.
Dalam keadaan marah pemuda itu mengahmpiri ibunya. Tanpa bertanya,
langsung wesss.. gubrakkk, pemuda itu menendang cucian sang ibu
hingga terjatuh ke sungai. Ibunya tidak kuasa berbuat apa-apa selain
menangis. Tak hanya itu, si gadis pun tidak mau ketinggalan. Sementara
tangan kirinya memegangi tangan ibunya, tangan kanannya mengayunkan
pukulan bertubi-tubi ke tubuh ibunya.
Ampun nak. Ada apa gerangan, kenapa kalian memperlakukan ibumu
seperti ini? tanya sang ibu dengan diriingi isakan tangis dan cucuran air
mata.
Dasar kau perempuan tua, sampai jam begini aku belum makan. Aku lapar!
Kau tak ikhlas yah memasak untukku? hardik gadis itu sambil terus
memukuli tubuh ibunya.
Si Ibu menangis dengan nyaring dan memohon, tapi kedua anak itu tidak
mau mendengarkannya. Malah mereka memukulnya lagi dan lagi. Ibu yang
malang mendapatkan perlakuan buruk dari sang anak.
Tiba-tiba sang Ibu berhenti menangis, tubuhnya lemah, dan dengan suara
tertahan berkata:
Ayahmu memang meninggalkan banyak kekayaan, tapi tidak akan
berlangsung lama. Dan meskipun aku yang melahirkan kalian kedunia ini,
mulai sekarang kalian bukan lagi anak-anakku. Aku tidak akan pernah mau
kembali kerumah kalian lagi. Kalian bebas melakukan apapun, aku sudah
tidak peduli lagi.
Setelah mengatakan itu, si ibu menyeret tubuhnya ke sebuah batu besar di
pinggir sungai. Lalu berujar:
Wahai batu besar terbukalah. Biarkan aku masuk kedalam. Jadikan aku
bunga yang wangi seperti melati putih
Tak lama setelah itu, perlahan batu itu terbuka. Lalu masuklah sang ibu
kedalam batu itu. Dalam sekejap mata batu itu telah tertutup kembali.
Setelah beberapa hari, pada batu itu muncul dedaunan dan bunga-bunga
berwarna putih yang wangi semerbak.
Apa yang terjadi pada kedua anak tersebut?
Penduduk desa marah serta mengusir mereka. Hartanypun dijarah untuk
dibagikan kepada orang-orang miskin di desa tersebut. Kini yang tertinggal
hanya penyesalan. Menyesal telah berlaku kasar kepada ibu yang telah
melahirkan dan merawat mereka. Namun penyesalan tinggal penyesalan,
sang ibu telah tiada.
Mereka mendatangi batu dimana ibu mereka tertelan. Sambil mengelus batu
yang telah ditumbuhi dedaunan dan bunga putih, mereka menangis tersedusedu. berharap batu itu membuka dan menelan mereka agar bisa bertemu
Danau Tolire terdiri dari dua buah danau, yaitu Danau Tolire Besar dan
Danau Tolire Kecil. Jarak antara keduanya hanya sekitar 200 meter. Uniknya
danau Tolire besar sekilas terlihat seperti kuali besar karena dikelilingi
tebing2 tinggi dari gunung Gamalama. Danau air tawar ini juga dihuni oleh
banyak ikan2 air tawar.
Berdasarkan sejarah geologi, terbentuknya Danau Tolire adalah akibat dari
letusan freatik yang pernah terjadi daerah ini.
Legenda
Dahulu kala dilokasi tersebut merupakan sebuah desa/perkampungan.
Warga desa tersebut hidup sejahtera dan mempunyai tali persaudaraan yang
kuat, sehingga tidaklah aneh jika semua warga didesa tersebut saling
mengenal pribadi satu sama lain. Sampai suatu ketika terjadi kejadian yang
diluar dugaan.
Seorang bapak menghamili anaknya sendiri. Kejadian tersebut akhirnya
diketahui masyarakat sekitar dan membuat seluruh warga marah. Mereka
mengutuk sang ayah dan anak tersebut dan mengusir mereka dari desa.
Karena terpaksa dan merasa malu maka ayah dan anak tersebut pergi
meninggalkan desa. Ketika mereka melangkahkan kaki pergi dari desa suatu
kejadian aneh terjadi.
Konon katanya seketika tempat mereka (ayah dan anak itu) berpijak
terbelah akibat gempa dahsyat secara tiba-tiba. Sang penguasa murka dan
menghukum ayah, anak, beserta desa tersebut menjadi dua buah danau.
Satu danau besar yang kemudian disebut tolire besar (lamo) yang
menggambarkan sang ayah. Satu lagi danau yang lebih kecil yang disebut
tolire kecil (ici) yang mencerminkan sang anak.
Sampai sekarang kedua danau tersebut masih ada sampai sekarang.
Buaya putih hanya bisa dilihat oleh orang2 tertentu yang memiliki hati yang
bersih, jadi tidak semua orang bisa melihatnya. Tapi memang ada beberapa
wisatawan yang bisa melihat Buaya Putih tersebut.
Pernah suatu ketika seorang perantau dari luar negeri tidak percaya akan
adanya legenda tersebut. Dia memaksa untuk berenang di danau tersebut
untuk membuktikan kebenaran legenda itu walaupun sudah dilarang warga.
Diapun akhirnya berenang di danau dan hilang begitu saja. Warga percaya
kalau perantau itu telah dimangsa oleh buaya putih.
Danau ini juga menyimpan keanehan lainnya. Katanya jika kita melempar
benda ke danau tersebut sekeras apapun benda tersebut tidak akan pernah
menyentuh permukaan danau. Kebanyakan wisatawan yang datang ke
danau ini tidak hanya menikmati pemandangan tetapi juga ingin mencoba
kebenaran legenda setempat.
Akibatnya disekeliling danau dijual batu kerikil khusus untuk dilempar
kedalam danau. Benar saja, tidak ada satu orang pun yang berhasil
menyentuh permukaan danau. Batu yang dilempar seperti ditahan oleh
Diperintahkannya
BUAYA TEMBAGA
Pulau Ambon Manise yang terletak di jazirah lei Timur dan jazirah lei
Hitu adalah salah satu pulau yang indah di Indonesia. Di sana terdapat
lautan yang membiru berisika ikan-ikan yang dapat terbang jauh mencecah
laut. Di tempat yang indah ini terdapat pula burung camar yang turun naik
terbang di atas gelomban setelah lesu berkelana. Apalagi taman lautnya
yang berisi ikan macan bergerombol-gerombol di dalamnya. Begitu indah
taman lautnya, tak terkira oleh mata dan tak terukir oleh rasa.
Tak jauh dari jazirah Lei Timur terdapat sebuah kota, yang diberi
nama Ambon. Kota ini dikelilingi pohon Sagu yang melambai-lambai dan
pohon mintanggor yang tumbuh di tepi pantai. Alam ini memberi kesejukan
ketika kita akan menghirup udara lautnya. Apalagi kita ingin ramai-ramai
ingin naik arumbae. Dengan hembusan angin laut para nelayan berlabuh
tenang di pelabuhan. Pemandangan yang indah itu memberi kita suasana
damai dan tentram bahkan dapat memberi inspirasi yang baik.
Konon di kota yang banyak dipuja itu tersimpan suatu kisah yang
hampir punah. Kota Ambon yang terletak pada kedua jazirah itu
dihubungkan oleh satu tanah genting yang bernama Tanah Genting Baguala.
Tanah ini merupakan penghubung antar Teluk Ambon dan Teluk Baguala.
Pada waktu zaman Jepang mereka mengusahakan daerah yang menjadi
penghubung ini di kuatkan oleh satu terusan tetapi gagal.
Konon ketika mereka sedang menggali tanah genting keluarlah
darah. Selain darah yang keluar ternyata terdapat seekor buaya yang besar.
Panjang badannya kira-kira 5 meter dan warna kulitnya kuning. Oleh sebab
itu penduduk di sana memberi nama Buaya Tembaga. Alam sekitar Baguala
membuat keadaan aman dan tentram penuh kenyamanan bagi Buaya
Tembaga itu. Apalgi penduduknya sangat memuja buaya tersebut.
Tak jauh dari tempat itu, di pesisir pantai selatan Pulau Buru,
hiduplah seekor ular di atas sebatang pohon besar. Pohon ini senantiasa
tumbuh di tepi pantai dan selalu condong ke arah laut. Ular itu sangat
anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela
yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian,
mereka bercerita perihal kedua anak itu.
Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak
saudara dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar
beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar
dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam
bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan
akan kembali.
Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru
pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidupsemati. Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi
hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak
lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.
Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti.
Namun, badai rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh
di pantai yang tak bertepi itu.
Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan
tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab.
Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so
balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi
bumerang kematian.
Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari
tempat berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di
bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah cintanya.
Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang
terlepas, airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan
menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon beringin itu.
Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.
Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru
pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung.
Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka