Anda di halaman 1dari 6

LEGENDA KELEKUP GANGSA ULAR NAGA DI DANAU RANAU

Pada zaman dahulu kala sekitar awal adanya penduduk yang mendiami Pekon Way Mengaku, sekitar
keturunan yang ke III, (anak-anak dari sebuay). sebagaimana dalam sejarah bahwa suami dari sebuay
adalah seorang laki-laki dari Gunung Aji Ranau,. yang datang ke Pekon Way Mengaku dan menemukan
jodohnya pada Se Buay dalam bahasa lampung "Bakas Semanda" yaitu seorang perempuan yang
mengambil seorang laki-laki dan dalam hidupnya sehari-hari kegiatan keluarga secara utuh mengikuti
pihak istri bahkan hingga akhir hayatnya.

Dari perkawinan tersebut lahir 7 (tujuh) orang anak semuanya laki-laki yang masing-masing punya
panggilan/ pengurau :
Umpu Suat;
Se Bebigor;
Se Batin Balak;
Se Mandi Walay;
Se Ujan;
Se Jambi dan
Se Gundang Caring atau Sekutu Ni way.
Ketujuh orang anak-anak dari Se Buay tersebut bagi kami anak keturunannya memanggilnya dengan
nama panggilan "Tian Pitu Jong" mereka berpencar untuk meneruskan kehidupan di luar Pekon Way
Mengaku ke seluruh penjuru Daerah Provinsi Lampung bahkan sampai Provinsi Banten , hingga kini
yang masih terlacak dan kami ketahui posisi dari 6 keturunan yang lainnya dari adik-adiknya yaitu berada
di :
Tanjung Heran Sukau;
Penggawa Lima Tengah Krui dan Sekuting Liwa;
Ngambur Krui;
Pangkul, Way Gelang Semaka (Tanggamus);
Tanjungan Kalianda (Lampung Selatan) dan
Banton/Provinsi Banten.

Didalam keluarga tersebut ada sebuah barang pusaka berupa kentongan atau disebut dalam bahasa
Lampung adalah "Kelekup Gangsa" kelekup gangsa tersebut gunaknya untuk memberi tanda-tanda
kepada semua anggota keluarga khusunya pekon pada umumnya, seperti untuk mengumpulkan keluarga,
tanda bahaya dll.

Konon cerita kelekup gangsa tersebut bilamana dibunyikan dengan dipukul / ditabuh maka bunyinya akan
sampai ke Pulau Jawa sekitar daerah Banton/Banten itulah sebabnya ada salah satu keturunan dari Pekon
Way Mengaku yang berada di daerah Banten dan memiliki keturunan hingga kini.
seiring dengan perkembangan maka keluarga pihak asal suami dari sebuay mengetahui akan hal ikhwal
ini, keajaiban dari harta pusaka sebuay berupa kelekup gangsa/kentongan sehingga menimbulkan niat
kurang baik dari saudara-saudara pihak keluarga (suami se buay) untuk mencuru kelekup gangsa tersebut.

Dalam proses pencurian kelekup gangsa tersebut ada 2 porsi cerita yan berkembang yaitu, Pertama dicuri
oleh sekelompok orang (saudara suami sebuay) akan tetapi dalam setiap langkah dari pencurian tersebut
ada salah satu anggota pencuri itu yang meninggal dunia hingga akhirnya pada saat sampai di Danau
Ranau tinggal satu orang lagi, maka akhirnya kelekup gangsa itu di rendam di dalam air Danau Ranau
agar tidak ketahuan orang lain, guna diteruskan perjalanan keesokan harinya dengan memanggil kawan-
kawannya. Porsi Kedua yaitu dicuri sekelompok orang tersebut akan tetapi mengingat perjalanan yang
jauh dan ditempuh dengan berjalan kaki ditengah hutan belantara maka perjalanan tersebut baru sampai di
Danau Ranau pada waktu sore hari, dan demi keamanan juga di masukan di dalam air Danau Ranau untuk
diteruskan perjalana pada keesokan harinya. yang jelas dari kedua porsi cerita tersebut berujung pada
Dalam Air Danau Ranau.

Pada keesokan harinya sewaktu perjalanan akan diteruskan ternyata, kelekup gangsa tersebut sudah
berubah menjadi se ekor Ular Naga.
Itulah seklas cerita tentang legenda Ular Naga di Danau Ranau yaitu milik Pribumi Way Mengaku, dan
hingga kini masih melegenda, pada masyarakat Pribumi Asli Way Mengaku, menjadi cerita dan warah
dari zaman ke zaman karena tidak ada berupa buku dokumentasi yang mencatat sejarah dan kisah cerita
maka jadilah sebuah warahan (cerita zaman dahulu)
Dan itu pula yang menyebabkan enam keturunan yang lainnya hingga kini masih menetap di tempat-
tempat yang disebutkan diatas bahkan telah menyebar luas dan mempunyai banyak keturunan,
dikarenakan kentongan untuk memanggil pulang dan mengupulkan mereka berupa kelekup gangsa telah
berubah menjadi se ekor Ular Naga di Danau Ranau.

  
Catatan :
Di balik gunung  yang nampak di tengah danau tersebut  ada yang namanya TAPIK, gua bawah danau
yang menurut cerita tempat bersemayamnya Ular Naga tersebut, bukti yang ada pada keluarga kami kalau
waktu menyeberang di Danau Ranau biasanya perahu tersebut tersangkut sementara di daerah Tapik
tersebut, dan keluarga kita mengatakan bahwa orang asli dari way mengaku dan mohon izin maka
perahu / kapal tersebut jalan kembali, menurut cerita mereka hanya ingin menyapa saja sebentar itu
terjadi pada orang tua saya, dan saya juga pernah mengalami ketika perjalanan dari Suka Banjar, ke
Kotabatu Ranau perahu sempat mengarah kebawah Tapik tersebut, diiringi hujan panas waktu itu dan
saya ingat kejadian-kejadian tata cara masa lampau maka perahu tersebutpun jalan kembali menuju ke
arah Kotabatu Ranau..

Si Pahit Lidah (Bahasa Lampung)

Dahulu kala wat sanak muda sai gelaghni “Pagar Bumi” tiyan enom  bersaudara sai telah mengembara
jaoh mak tentu rimbani.
Pada suatu ghani ahli ghamal kerajaanpehalu jama Pagar Bumi selintas gawoh ia kak dapok menilai
jemoh lusa Pagar Bumi sina bakal jadi ulun sai sakti,  amun kesaktianni dapok ngebahayako kerajaan. Jak
ghani sina juga Pagar Bumi ghk ulun tuhani mansa peghintah guwai ngehadop jak istana kerajaan. Disan
Pagar Bumi mansa peghintah anjak Raja, ia musti ninggalko kerajaan jawa, ia munih di asingko guk
Pulau Sumatera. Indukni menangis tersedu-sedu
Suatu ghani ia tunggak di desa sai megung permaisuri hulun sebai sai sakti ghik ngedok ilmu ghaib.
Di desa sina ia berkenalan jama pemuda sebayani. Tiyan ngedengis pengumuman sai diluahko jama Ratu,
siapa gawoh dapok belajar ilmu kesaktian jama ia
Sai mansa giliran sai pertama iyulah kancani. Pagar Bumi nunggu giliran ia mejong di ghuang tunggu
pendopo. Ulah kamunnian ia terpedom, sappai giliranni ia mak minjak. Celakoni kancani munih mak
ngeminjakko ia, padahal gelangni di sebut-sebut jama Ratu.
Ratu pun mak sabar, ia ngeredik Pagar Bumi, ia ngegurah si Pagar Bumi, amun sia-sia, Pagar Bumi pasan
mak minjak, si Ratu jeno akhirnya ngakuk way nginum segelas dan di bacako mantra, sappai Pagar Bumi
sadar jak pedomni.
Ia tekanjat ulah Ratu kak di hadopanni dan segala hulu balangni. Ia bingung ulah kancani mak dok di
disan dan pengawal pun nyawako kalau kancani mak dok lari waktu niku pedom, si Pagar Bumi pun
ngelanjutko lapah mit barat, tigoh di tepi ujung kulon.
Pagar Bumi niat haga nyebrang mit selat sunda, akhirni ia tigoh di Pulau Sumatera,ia sappai di sebuah
dusun di sumatera selatan.ulah letih ia pun pedom debah pohon jama alas huluni kayu balak sai kak mati.
Beghani-ghani ia mejong, ngeliyak hulun lalu lalang, amun mak dok ulun sai meghatikanni, seolah-olah
mak dok Pagar Bumi sai mejong disan.
Amun kak haga debingi appai penduduk minjak mit tiyan nuwo, wat kijang sai liwat di hadapanni ia
tekanjat, ghik cawa “Batu”, ajaibni kijang sina langsung jadi batu, sejak sina ia jadi sombong. Ia pun di
juluki “ Si Pahit Lidah”. Berita sina sappai kedaerah Lampung.
Pada waktu sina Lappung ngedok sebuah kerajaan sai gelaghni “Danau Maghrib”, awalni di perintah
jama Raja sai arif ghik bijaksana. Raja sina wat telu sanak, tiyan iyulah Dewi Sinta, Gunawan Suci, ghik
Gunawan Sakti. Amun sayang seghadu Raja wafat tahta kerajaan di akuk jama puakhi raja sai lalim.
Ke ghua anak Raja jeno haga tewot ngedengisko si Pagar Bumi sai wat kelebihanni, ia dacok ngeguai
hulun sai di sapani jadi batu. Khabar nasib keghua putra Raja tersebar keseluruh penjuru dunia. Kakak ni
sai tuha Dewi Santi miwang tersedu-sedu ulah duka sai mendalam. Selama pigha ghani Dewi Santi mak
mengan ghik mak pedom. Pada ghani ke 5 seghadu kepergian apakni Dewi Santi pedom bangik temon,
dilom pedomni ia mimpi ia di ghtongi keghua ulun tuhani, tiyan ngejuk petunjuk cara-cara ngehadopi si
Pahit Lidah ghik ngebebasko adik tiyan sai terkena sihir.
Jemohni ia ngehadop pamanni sai ganta jadi raja, ia kilu izin haga guk Bukit Pesagi guwai ngebebasko
keghua adik ni.
Akhirni Dewi Santi cakak kuda menuju Bukit Pesagi, ia nutup cupingni jama kapas, si Pahit Lidah
ngeguda, amun Dewi Santi mak terpengaruh, ia nginggokko api sai dipesanko jama ulun tuhani.
Tigoh diunggak Bukit Pesagi, Dewi Sinta hiran, ia ngeliyak burung sai pintagh nyanyi iwat munih pohon
sai dapok ngeluarko bunyi-bunyian bak musik alami. Amun ia geluk sadar, kalau keghatonganni lain
guwai ngehibur ia, melainkan ngebebasko keghua adikni sai kak jadi batu. Ia geluk mit debah  jak kuda
sesuai api sai dicawako jama ulun tuhani, ia ngeghedik guk pangkal puhun beghingin, disalah satu celah
batang puhun ia ngakuk sebuah peti kayu sai dilomni wat abu.
Tigoh pok si Pahit Lidah, tiba-tiba bughung ajaib hinggap di bahu si Pahit Lidah, ia pun mak dacok
begheghak lagi, sang putri langsung menyumbat mulut si Pahit Lidah jama kapas. Seghadu sina ia
naburko abu anjak kotak guk pudak ulun-ulun sai kak ngebatu. Saat sina munih patung-patungni
beghubah jadi manusia, geluk-geluk tiyan lijung, ulah dicawako jama burung sina serebok lagi si Pahit
Lidah dapok bergerak.
Si Pahit Lidah sakik hatini ulah ia liom ulah dikalahko jama muli helau sai jak jawoh kemahan lemah
lembut. Seghdu sina ia ninggalko daerah Bukit Pesagi. Si Pahit Lidah sappai di ulu sungai ogan, ngeredik
tepi sai berbatuan sai keliayak tertata guai pok pemandian. Tigoh suatu ghani ia tunggak di kerajaan
tanjung menang, gelagh rajani iyulah Nurrullah atau si Pak Mata. Si Pahit Lidah teliyu kebun milik Raja
sai di jaga jama telu puluh tentagha, ulah ia haus ia kilu jeruk, mak di juk jama penjaga kebun, ia rabai di
marah jama Rajani, si Pahit Lidah pun marah “ ah, jeruk pahik gohna gawoh mak di jak ngilu, kikir
temon”. Jemohni Raja marah “ ulah jeno biasani mikmik sina kak jadi pahik”, akhirni pengawal
ngeceritako tantang si Pahit Lidah. Si Pahit Lidah tekanjat ulah sang Raja iyulah kakak si Pahit Lidah. Sai
akhirni si Pahit Lidah jadi helau  ia mak lagi marah,dendam, bahkan ia bahagia. Si Pahit Lidah akhirnya
ia nikah jama muli helau sai gelagh ni Dayang Merindu.

SURAI CAMBAI
Zaman tumbai, wat cerita jelema 3 manak tinggal di lom pulan rua anakni sekitaran umuran sai tuha 4
tahun terus sai ngura umuran 1,5 tahun. 

Dilom keluarga seno besepok lom pulan, kondisini dirani sai, tian telu manak mak ngedok
kani'an/makanan berupa bias sai haga pakai nyunjong, uleh ni keperitukanni. uleh senolah Mak ni tian rua
madek no jeno midor lom pullan nyepok bias.

Sementara tian rua madek juga besepok, muneh sehinnga betunggalah sai gelarni Sekala induh kik bahasa
indonesiani sekalaji kidang rasani peros ireh, kik sai lagi mengura warna dilomni mehandak injuk
bias/mi, senolah sai diusung tian rua madek mulang mit kubu,...

Sesampai di kubu sekala sai lagi menguira seno dikanik tian rua madek daleh tabor biar mak karuan, na
halok belepotan mak tanntu lah kik bahasa indonesiani,.. sehingga sampailah makni mulang muneh jak
nyepok bias/nasi jeno ngehalu tian rua madek radu jak nganik sekala daleh bertaburan mit dipa-ipa,....

Penyanani makni sekala seno bias/mi maka singkuhlah makni jama anak ni tean ruano, hingga makni
mutusko nyak haga lijung gaoh lah kik keti mak sayang lagi jama nyak,. ani masa bias titabor-taborko
reno sedangkan nyak nyepok mak mangsa-mangsa bias sa sampai tano ani.

lijung ni makni yado aga mit batu tangkup khabar ceritani kik radu kuruk lom batu tangkup seno mak
dacok luar lagi,...... (mungkin rang bunuh dirilah kasarni cawa)

Kelijunganni makni ditunggu makni di bahni buah/pinang, sambil nutuki makni sanak rua seno,
buhiwang-hiwang ngucakko lain udi kik mi ina kittu sekala rememi, reno muneh jama adekni jeno sambil
miwang kekala dibabaini rik kekala diiring keni adekni mani lagi sanak, niku adek ani tiiringko melegoh
tibabai radu mesedor,.... maka betunggalah jama Ina ni jeno di bah buah/pinang, sanak rua seno
disumpikni daleh dihinok keni sampai sanak rua no hinok, kak radu jak seno makni berangkat luwot
lijung sampai dibah batang ni buah/pinah sai bareh agak mejaoh jak rangni pinag/buah sai mena, sanak
rua jeno minjak jak pedomanni ulehni buah pinang sai gugor atau bulungni buah sai gugor, laju lowot
sanak rua jeno nyepoki Ina ni, sambil jalan pulelegoh rik buhiwang-hiwang injuk pertama jeno luot.
renolah kejadiani berualang-ulang hingga sampai di rangni batu tangkup,... waktu di batu tangkup seno
sai luar jak batu tangkup ikah kelimpuni makni, sai dihalu tian rua madek jadi senolah sai di kecup-2 tian
rua madek.
tambahan cutik :
Warah cerita sinji biasa diusung Datuk ku tumbai daleh sepepiyohan kak mulang jak darak atau sabah,
tujuanni yaddo nyin sanak mekahut jama ulun tuhani daleh adek-adekni kik pandai ngewarah keni jama
sanak adu pasti sanak sai turuk miwang nengis warah sinjji daleh sai pasti kahut ireh jama ulun tuha rik
adek kakakni. renolah cara-carani jelema tumbai ngelajar sanak disamping seno sanak juga
ngepepiyoh/ngurut tamong atau kajjongni kak dibingi bakda Isya.

KISAH LIMAN SAI PUNGAH


Kisah Sapa hulun lampung sai mak pandai jama Liman? Iya, liman sai dilom bahasa indonesia-
ni gajah jadi simbol provinsi Lampung. Alkisah di jaman tumbai dilom khimba, uwat binatang-binatang
sai hukhik angkon budamai jejama. Kemuakhian sina khadu beni tekhjadi. Kidang ketenganan tiyan sina
teganggu ulih khatongni liman di tengah khimba sina.
“Minggekh-minggekh pai kuti kenyin, liman sakti haga teliyu”, cawa liman mekik-mekik sekhaya
nyipakko binatang api gawoh sai tihalu didepanni. Mak jawoh anjak sina, uwat lelabi, kelicci, kecot,
manuk, khik napuh sai lagi nganik jukuk. Tiyan kemena bela memalihan disipak moneh jama liman.
“aduiiii.... binatang api sina wuiii??? Mati balak badanni! Masyaallah pungah nihan mak pandai supan
santun”, cawa kecot jama napuh.
Lelabi nimbal “sepandaiku iya liman, iya ampai khatong di khimba sinji”.
“payu kejadian sinji kham tiaduko gawoh jama baginda khaja!” cawa manuk. Tiyan lapah jejama mit
jenganni khaja.
“wih lawi... wih ulih api badan kuti? Bahaban kodo? Api hal ni?”, cawa lemawung, baginda khaja
binatang khimba.
“dang beni ‘ga cecok disan, geluk ubati pai badanmu dilom!” timbal lemawung.
Mak beni sekhadu sihat badanni, napuh nyekhitako kejadian jama lemawong. Haga luwah mata
lemawung nahan makhahni di hati sekhadu ngedengis cekhita sina.
“api maksudni liman? Beno nyak tenggalan sai nungga’i iya!”, timbal lemawung geluk malih anjak istana
mit di khimba. “Hati-hati baginda khaja!”, timbal kelicci.
Kesaktian lumpatan baginda khaja lemawung sangun mak salah-salah. Dilom sekian detik, iya khadu
dacok putungga jama liman di khimba. “Hai liman! Mati jahat lelakunmu sina mak pandai supan santun!
Sebangikni gawoh niku ngesesanik behaban binatang sai bakhih, niku musti tanggung jawab!” cawa
hatang baginda khaja jama liman.
Mak tisangka, luwah timbalni liman sekhaya butulak pinggang suw nyemit, “Oi baginda khaja, api pai
ukhusanmu sina? nyak bibas disungi sinji, apikah uwat sai salahni?”
“tengis betik-betik liman! anjak lelakunmu sina khadu pak wakhgaku makheng mak beuyunan! Mestini ki
niku haga netop pujajama dija, niku mesti ngejaga betikni laku khik tunduk jama atokhan sai uwat
dija” cawa lemawung ngenasihati.
“Niku mak usah palai-palai nawai nyak, bakas tuha! Ki niku sangun hibat, jemoh kutunggu di penggekh
wai kham tentuko sapa sai paling kuasa jak kham khua ji!” cawa liman pungah.
“nah payu ki sangun haga khena”, timbal lemawung agak makhah.
Baginda khaja geluk-geluk mulang. Togok di istana, baginda khaja sina langsung ngumpulko saunyinni
binatang guwai mufakat jejama. Lemawung mekhatiko usul-usalan sai tikeni jama wakhgani. “Pusikam
dang maju ngelawan liman, sikindua gawoh sai nyemuka, sikindua dacok ngelawan liman”, usul khuyan
jama khaja.
“khepa da pekhwatin, sepakat kodo jama usul khuyan?” timbal khaja
“yaa patut.....” timbal binatang seunyinni.
Jemoh pagini, saunyinni binatang di khimba kuppul di tanoh lapang khedik wai. Tiyan haga nyaksiko
khuyan ngelawan liman. “Oi liman, tantanganmu kupenuhi. Niku ganta hadapi pai khuyan sinji. Iya
khadu siap jama niku. Ki niku menang niku dapok sehaga-haga dilom khimba sinji”, cawa lemawong.
“Oi bakas tuha, apikah niku khabai jama nyak ji? Payu kidah ki niku sangun haga goh ji, nyak khadu siap
jak jeno, hahaha....” timbal liman cecakak pungah.

Kain suluh khadu tianggat jama lemawong, tanda tanding dimulai. Liman langsung gawoh ngeayunko
cukutni, nyipakko khuyah sai lebih lunik jak liman. Khuyan khadu busiap mekakh-mekhakhko bulu ni.
Petikani cukut liman ngekhedik badan khuyan, bulu sina bekhubah jadi tajom nyanik cukut liman katan.
“Aduiiiiiiii... cukutku sakik luwah khah... aduuiiiii... ampunnnnnn... “, cawa liman tekosokh mit tanoh.
“Khadu khuyan, nyak ngaku kalah... cabukko pai khuwi-khuwi jak cukutku ji” cawa liman nyedih jama
khuyan.
“Payu kidah liman, nyak lepasko niku kidang uwat sakhatni! Niku musti ngekhubah lelakunmu khik
ngejaga supan santun dilom khimba ji!”, timbal khuyan.
“Payu wih kulaksanako. Nyak kilu mahap jama kuti, pekhwatin saunyinni....” timbal liman kesakik’an.
Lemawung ngeni mahap jama liman, ditutuk saunyinni binatang sai uwat di khimba sina. Ujungni,
khimba sina jadi hukhik angkon bujejama luwot goh memula.

Anda mungkin juga menyukai