Anda di halaman 1dari 6

Legenda (Asal Usul Sungai Brantas)

Jawa Timur
Posted on 17 September 2016 by Admin Swaralakbok Tinggalkan komentar

Legenda (Asal Usul Sungai Brantas) Jawa Timur-Pada Jaman Dahulu, Di Jawa Timur ada
sebuah kerajaan besar. Kerajaan Kahuripan namanya. Rajanya bernama Prabu Airlangga. Prabu
Airlannga berasal dari Pulau Bali. Ia adalah seorang putra raja di Bali.

Prabu Airlangga

Saat usia Prabu Airlangga sudah tua, Ia ingin menjadi pertapa. Tahta Kerajaan Kahuripan akan di
serahkan pada Putri Permaisurinya yang hanya seorang. Ia putri yang cantik jelita. Namanya
Sanggramawijaya
Sanggramawijaya menolak keinginan Ayahanda nya. Ia tidak punya keinginan menjadi Raja.
Yang menjadi keinginan Sanggramawijaya adalah menjadi seorang pertapa. Ia lalu meminta restu
ayahanda nya menjadi pertapa di Goa Selomangleng ( Di Kaki Gunung Klotok Kecamatan
Mojoroto Kota Kediri). Ia pun mengubah namanya menjadi Dewi Kilisuci.
Prabu Airlangga lalu berkeinginan menyerahkan tahta kerajaan pada putranya yang berasal dari
selir ( Istri tidak resmi ). Kebetulan sekali, Ia memiliki dua putra dari selir. Kedua Putranya
bernama Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Prabu kebingungan untuk memilih salah
satu yang akan di beri tahta Kerajaan Kahuripan.
Prabu Airlangga berusaha mencari jalan keluar yang adil. Ia menyuruh Empu Baradha untuk
pergi ke Bali. Empu Baradha disuruh meminta tahta kerajaan milik Ayahanda Prabu Airlangga di
Pulau Bali untuk salah satu putranya.
Namun, Tahta kerajaan milik ayahanda Prabu Airlangga di Bali sudah diberikan kepada adik
Prabu Airlangga.
Tahta milik Ayahanda Prabu Airlangga di Pulau Bali sudah diberikan kepada adik Prabu
Airlangga yang bernama Anak Wungsu! Lapor Empu Baradha setibanya dari Pulau Bali.
Tak apa-apa, Bapak Empu! Terima kasih Bapak Empu sudah melaksanakan apa yang kusuruh.
Sekarang bantu aku membagi Kerajaan Ini dengan adil untuk kedua putraku, Sri Samarawijaya
dan Mapanji Garasakan!
Baiklah, Baginda Raja! Bagaimana kalau hamba yang membagi kerajaan Kahuripan ini
menjadi dua bagian yang sama besar?
Itu lebih baik Bapak Empu! Tapi, bagaimana caranya Bapak Empu membagi kerajaan ini
menjadi dua bagian sama besar?
Serahkan semuanya pada hamba,Baginda Raja! Hamba yang akan mengaturnya!
Baiklah Bapak Empu! Kuserahkan semua persoalan ini kepada Anda!
Keesokan harinya, Empu Baradha terbang sambil membawa Kendi ( Teko dari tanah liat ) berisi
air. Dari angkasa, ia tupahkan air kendi itu sambil terbang melintas persis di tengah-tengah
Kerajaan Kahuripan. Ajaibnya, Tanah yang terkena tumpahan air Kendi langsung berubah
menjadi sungai. Sungai itu semakin besar dan airnya deras. Sungai itu sekarang bernama Sungai
Berantas.
Sungai Brantas

Kerajaan Kahuripan pun sekarang terbagi menjadi dua bagian. Batasnya adalah ciptaan Empu
Baradha. Prabu Airlangga pun menyerahkan dua bagian dari Kerajaan Kahuripan itu kepada Sri
Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.
Bagian Kerajaan Kahuripan sebelah timur sungai aku serahkan pada Putraku Mapanji
Garasakan! Kerajaan itu aku beri nama Kerajaan Jenggala, Sedangkan bagian barat sungai aku
serahkan pada putraku Sri Samarawijaya. Kerajaan itu kuberi nama Kerajaan Panjalu/Kadiri
( sekarang Kota Kediri ). titah Prabu Airlangga.
Kini tentramlah hati Prabu Airlangga. Ia dengan tenang pergi dari Kerajaan Kahuripan ( Sebelum
terbelah ) untuk menjadi seorang pertapa. Prabu Airlangga menjadi pertapa di Pucangan. Ia
mengganti namanya menjadi Maharesi Gentayu. Ketika meninggal dunia, Jenazah Prabu
Airlangga dimakamkan di lereng Gunung Penanggungan sebelah timur.

Sungai Brantas
Sungai Brantas adalah sebuah sungai di Jawa Timur yang merupakan sungai terpanjang kedua di
Pulau Jawa setelah Bengawan Solo.
Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas (Kota Batu) yang berasal dari simpanan air
Gunung Arjuno, lalu mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto. Di
Kabupaten Mojokerto sungai ini bercabang dua manjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali
Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo). Kali Brantas mempunyai DAS seluas 11.800 km
atau dari luas Provinsi Jatim. Panjang sungai utama 320 km mengalir melingkari sebuah
gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Kelud. Curah hujan rata-rata mencapai 2.000 mm
per-tahun dan dari jumlah tersebut sekitar 85% jatuh pada musim hujan. Potensi air permukaan
pertahun rata-rata 12 miliar m. Potensi yang termanfaatkan sebesar 2,6-3,0 miliar m per-tahun.
Sejak abad ke 8, di DAS Kali Brantas telah berdiri sebuah kerajaan dengan corak agraris,
bernama Kanjuruhan. Kerajaan ini meninggalkan Candi Badut dan prasasti Dinoyo yang
berangka tahun 760 M sebagai bukti keberadaannya. Wilayah hulu DAS Kali Brantas di mana
kerajaan ini berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan irigasi
yang teratur sehingga tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di Jawa
Timur (Tanudirdjo, 1997). Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi sumber air
yang memadai. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh
pengembangan prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Kali Brantas, lewat
Prasasti Harinjing di Pare. Ada tiga bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun
726 S atau 804 M dan yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan
pembangunan sistem irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut
dawuhan pada anak sungai Kali Konto, yakni Kali Harinjing (Lombard, 2000).
Sungai Brantas memiliki fungsi yang sangat penting bagi Jawa Timur mengingat 60% produksi
padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran sungai ini. Akibat pendangkalan dan debit
air yang terus menurun sungai ini tidak bisa dilayari lagi. Fungsinya kini beralih sebagai irigasi
dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota disepanjang alirannya. Adanya beberapa gunung
berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan
banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini menyebabkan tingkat sedimentasi
bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi.
Merujuk khazanah sastra periode klasik, sungai Brantas inilah yang diduga kuat disebut sebagai
Ci Ronabaya dalam naskah Perjalanan Bujangga Manik.
Permasalahan pokok di DAS Kali Brantas adalah fluktuasi air permukaan yang ditandai oleh dua
peristiwa: kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Kegagalan panen dan
kelaparan menjadi akibat dari kekurangan air di musim kemarau, sebaliknya di musim hujan
terjadi bencana yang mengakibatkan korban harta bahkan jiwa. Selain itu, kondisi aliran air Kali
Brantas juga terkendala oleh endapan sedimen yang dihasilkan letusan Gunung Kelud (+1.781).
Setiap 10 hingga 15 tahun, gunung ini meletus melontarkan abu dan batu piroklastik ke bagian
tengah dari DAS Kali Brantas yang pada akhirnya menimbulkan gangguan fluvial pada aliran
air Kali Brantas (Valiant, 2005).
Pengembangan Sumberdaya Air
Pengembangan DAS Kali Brantas dengan pendekatan modern dimulai sejak 1961
berlandaskan prinsip satu sungai, satu rencana, satu manajemen terpadu yang dilaksanakan
secara bertahap sesuai kebutuhan dan kebijaksanaan pemerintah dari waktu ke waktu.
Pengembangan dilakukan melalui 4 (empat) rencana induk pengembangan DAS. Sasaran utama
rencana induk berturut-turut adalah pengendalian banjir (1961), penyediaan air irigasi (1973),
penyediaan air baku (1985) dan konservasi dan manajemen sumberdaya air (1998). Uraian
selengkapnya adalah sebagai berikut:
Cerita tutur tentang keberadaan buaya putih di aliran Sungai Brantas sejak zaman kerajaan kuno
Kediri hingga sekarang masih saja menjadi misteri yang tak terpecahkan. Sebab sungai yang
digunakan sebagai lalu lintas air sejak masa Empu Sindok pada masa Mataram Hindu selalu
minta korban nyawa manusia.

Berulang kali orang tiba-tiba kalap di sungai yang pernah ditumbali oleh Mpu Baradah saat

Mpu Baradah

memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua yakni Kerajaan Panjalu dan Jenggala sekitar tahun
1009.

Dan yang terakhir, yang menjadi tumbal Sungai Brantas Kediri adalah dua bocah bernama
Deny Kurniawan (12) dan Dwi (11), warga Kelurahan Balowerti, Kecamatan Kota, Kediri pada
20 September 2011 lalu. Keduanya tiba-tiba terbawa arus di areal pembangunan proyek
Jembatan Brawijaya Kediri yang difungsikan sebagai pengganti jembatan lama yang pada 18
Maret nanti berusia 144 tahun.
Cerita tentang penunggu buaya putih ini juga banyak diceritakan di catatan Belanda ketika awal-
awal pembangunan proyek jembatan lama Kediri sekitar tahun 1836-876.
Dalam catatan Belanda memang disebutkan bahwa ada buaya putih penunggu jembatan yang
dibangun oleh kolonial Belanda, kata Olivier Johanes, pengamat sejarah Indonesia dari Belanda
dalam tulisan yang di tulisnya kepada grup Pelestari Sejarah dan Budaya Kediri (PASAK).
Tidak hanya di sekitar jembatan lama Kediri, ada yang lebih misterius lagi soal buaya putih yang
berada di aliran Sungai Brantas wilayah Kecamatan Kras Kabupaten Kediri yang dikenal dengan
sebutan Badug Seketi.
Badug Seketi dianggap tempat yang sangat wingit dan angker di daerah Kecamatan Kras. Dari
cerita tutur masyarakat setempat, si buaya putih dulu awalnya bersahabat dengan penduduk
sekitar. Setiap kali penduduk hajatan dan minta tolong kepada si buaya putih kebutuhan hajatan
itu selalu disediakan.
Kebutuhan yang disediakan itu antara lain, peralatan dapur seperti piring, sendok dan peralatan
pecah belah yang lainnya.
Cerita kerjasama antara penghuni Sungai Brantas dengan masyarakat itu terjadi hingga sekitar
tahun 1970an. Karena keserakahan, penduduk yang sengaja menyembunyikan peralatan yang
dipinjamkan tersebut, berakhir pulalah hubungan antara si buaya putih dengan warga sekitar,
kata Abdul Kholik warga Desa Seketi Kecamatan Kras.

Anda mungkin juga menyukai