Anda di halaman 1dari 3

Pada Jaman Dahulu, Di Jawa Timur ada sebuah kerajaan besar. Kerajaan Kahuripan namanya.

Rajanya bernama Prabu Airlangga. Prabu Airlannga berasal dari Pulau Bali. Ia adalah seorang putra
raja di Bali. Saat usia Prabu Airlangga sudah tua, Ia ingin menjadi pertapa. Tahta Kerajaan Kahuripan
akan di serahkan pada Putri Permaisurinya yang hanya seorang. Ia putri yang cantik jelita. Namanya
Sanggramawijaya Sanggramawijaya menolak keinginan Ayahanda nya. Ia tidak punya keinginan
menjadi Raja. Yang menjadi keinginan Sanggramawijaya adalah menjadi seorang pertapa. Ia lalu
meminta restu ayahanda nya menjadi pertapa di Goa Selomangleng ( Di Kaki Gunung Klotok
Kecamatan Mojoroto Kota Kediri). Ia pun mengubah namanya menjadi Dewi Kilisuci. Prabu Airlangga
lalu berkeinginan menyerahkan tahta kerajaan pada putranya yang berasal dari selir ( Istri tidak
resmi ). Kebetulan sekali, Ia memiliki dua putra dari selir. Kedua Putranya bernama Sri Samarawijaya
dan Mapanji Garasakan. Prabu kebingungan untuk memilih salah satu yang akan di beri tahta
Kerajaan Kahuripan. Prabu Airlangga berusaha mencari jalan keluar yang adil. Ia menyuruh Empu
Baradha untuk pergi ke Bali. Empu Baradha disuruh meminta tahta kerajaan milik Ayahanda Prabu
Airlangga di Pulau Bali untuk salah satu putranya. Namun, Tahta kerajaan milik ayahanda Prabu
Airlangga di Bali sudah diberikan kepada adik Prabu Airlangga. " Tahta milik Ayahanda Prabu
Airlangga di Pulau Bali sudah diberikan kepada adik Prabu Airlangga yang bernama Anak Wungsu!"
Lapor Empu Baradha setibanya dari Pulau Bali. " Tak apa-apa, Bapak Empu! Terima kasih Bapak
Empu sudah melaksanakan apa yang kusuruh. Sekarang bantu aku membagi Kerajaan Ini dengan adil
untuk kedua putraku, Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan!" " Baiklah, Baginda Raja! Bagaimana
kalau hamba yang membagi kerajaan Kahuripan ini menjadi dua bagian yang sama besar?" " Itu lebih
baik Bapak Empu! Tapi, bagaimana caranya Bapak Empu membagi kerajaan ini menjadi dua bagian
sama besar?" " Serahkan semuanya pada hamba,Baginda Raja! Hamba yang akan mengaturnya!" "
Baiklah Bapak Empu! Kuserahkan semua persoalan ini kepada Anda!" Keesokan harinya, Empu
Baradha terbang sambil membawa Kendi ( Teko dari tanah liat ) berisi air. Dari angkasa, ia tupahkan
air kendi itu sambil terbang melintas persis di tengah-tengah Kerajaan Kahuripan. Ajaibnya, Tanah
yang terkena tumpahan air Kendi langsung berubah menjadi sungai. Sungai itu semakin besar dan
airnya deras. Sungai itu sekarang bernama Sungai Berantas. Kerajaan Kahuripan pun sekarang
terbagi menjadi dua bagian. Batasnya adalah ciptaan Empu Baradha. Prabu Airlangga pun
menyerahkan dua bagian dari Kerajaan Kahuripan itu kepada Sri Samarawijaya dan Mapanji
Garasakan. " Bagian Kerajaan Kahuripan sebelah timur sungai aku serahkan pada Putraku Mapanji
Garasakan! Kerajaan itu aku beri nama Kerajaan Jenggala, Sedangkan bagian barat sungai aku
serahkan pada putraku Sri Samarawijaya. Kerajaan itu kuberi nama Kerajaan Panjalu/Kadiri
( sekarang Kota Kediri )." titah Prabu Airlangga. Kini tentramlah hati Prabu Airlangga. Ia dengan
tenang pergi dari Kerajaan Kahuripan ( Sebelum terbelah ) untuk menjadi seorang pertapa. Prabu
Airlangga menjadi pertapa di Pucangan. Ia mengganti namanya menjadi Maharesi Gentayu. Ketika
meninggal dunia, Jenazah Prabu Airlangga dimakamkan di lereng Gunung Penanggungan sebelah
timur. Sungai Brantas Sungai Brantas adalah sebuah sungai di Jawa Timur yang merupakan sungai
terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo. Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber
Brantas (Kota Batu) yang berasal dari simpanan air Gunung Arjuno, lalu mengalir ke Malang, Blitar,
Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto. Di Kabupaten Mojokerto sungai ini bercabang dua
manjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo). Kali
Brantas mempunyai DAS seluas 11.800 km² atau ¼ dari luas Provinsi Jatim. Panjang sungai utama
320 km mengalir melingkari sebuah gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Kelud. Curah hujan
rata-rata mencapai 2.000 mm per-tahun dan dari jumlah tersebut sekitar 85% jatuh pada musim
hujan. Potensi air permukaan pertahun rata-rata 12 miliar m³. Potensi yang termanfaatkan sebesar
2,6-3,0 miliar m³ per-tahun. Sejak abad ke 8, di DAS Kali Brantas telah berdiri sebuah kerajaan
dengan corak agraris, bernama Kanjuruhan. Kerajaan ini meninggalkan Candi Badut dan prasasti
Dinoyo yang berangka tahun 760 M sebagai bukti keberadaannya. Wilayah hulu DAS Kali Brantas di
mana kerajaan ini berpusat memang cocok untuk pengembangan sistem pertanian sawah dengan
irigasi yang teratur sehingga tidak mengherankan daerah itu menjadi salah satu pusat kekuasaan di
Jawa Timur (Tanudirdjo, 1997). Sungai Brantas maupun anak-anak sungainya menjadi sumber air
yang memadai. Bukti terkuat tentang adanya budaya pertanian yang ditunjang oleh pengembangan
prasarana pengairan (irigasi) yang intensif ditemukan di DAS Kali Brantas, lewat Prasasti Harinjing di
Pare. Ada tiga bagian prasasti yang ditemukan, yang tertua berangka tahun 726 S atau 804 M dan
yang termuda bertarikh 849 S atau 927 M. Dalam prasasti ini, disebutkan pembangunan sistem
irigasi (yang terdiri atas saluran dan bendung atau tanggul) yang disebut dawuhan pada anak sungai
Kali Konto, yakni Kali Harinjing (Lombard, 2000). Sungai Brantas memiliki fungsi yang sangat penting
bagi Jawa Timur mengingat 60% produksi padi berasal dari areal persawahan di sepanjang aliran
sungai ini. Akibat pendangkalan dan debit air yang terus menurun sungai ini tidak bisa dilayari lagi.
Fungsinya kini beralih sebagai irigasi dan bahan baku air minum bagi sejumlah kota disepanjang
alirannya. Adanya beberapa gunung berapi yang aktif di bagian hulu sungai, yaitu Gunung Kelud dan
Gunung Semeru menyebabkan banyak material vulkanik yang mengalir ke sungai ini. Hal ini
menyebabkan tingkat sedimentasi bendungan-bendungan yang ada di aliran sungai ini sangat tinggi.
Merujuk khazanah sastra periode klasik, sungai Brantas inilah yang diduga kuat disebut sebagai Ci
Ronabaya dalam naskah Perjalanan Bujangga Manik. Permasalahan pokok di DAS Kali Brantas adalah
fluktuasi air permukaan yang ditandai oleh dua peristiwa: kekeringan di musim kemarau dan banjir
di musim hujan. Kegagalan panen dan kelaparan menjadi akibat dari kekurangan air di musim
kemarau, sebaliknya di musim hujan terjadi bencana yang mengakibatkan korban harta bahkan jiwa.
Selain itu, kondisi aliran air Kali Brantas juga terkendala oleh endapan sedimen yang dihasilkan
letusan Gunung Kelud (+1.781). Setiap 10 hingga 15 tahun, gunung ini meletus – melontarkan abu
dan batu piroklastik ke bagian tengah dari DAS Kali Brantas – yang pada akhirnya menimbulkan
gangguan fluvial pada aliran air Kali Brantas (Valiant, 2005). Pengembangan Sumberdaya Air
Pengembangan DAS Kali Brantas dengan pendekatan «modern» dimulai sejak 1961 berlandaskan
prinsip «satu sungai, satu rencana, satu manajemen terpadu» yang dilaksanakan secara bertahap
sesuai kebutuhan dan kebijaksanaan pemerintah dari waktu ke waktu. Pengembangan dilakukan
melalui 4 (empat) rencana induk pengembangan DAS. Sasaran utama rencana induk berturut-turut
adalah pengendalian banjir (1961), penyediaan air irigasi (1973), penyediaan air baku (1985) dan
konservasi dan manajemen sumberdaya air (1998). Uraian selengkapnya adalah sebagai berikut:
Merdeka.com - Cerita tutur tentang keberadaan buaya putih di aliran Sungai Brantas sejak zaman
kerajaan kuno Kediri hingga sekarang masih saja menjadi misteri yang tak terpecahkan. Sebab sungai
yang digunakan sebagai lalu lintas air sejak masa Empu Sindok pada masa Mataram Hindu selalu
minta korban nyawa manusia. Berulang kali orang tiba-tiba kalap di sungai yang pernah ditumbali
oleh Mpu Baradah saat memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua yakni Kerajaan Panjalu dan
Jenggala sekitar tahun 1009. Dan yang terakhir, yang menjadi 'tumbal' Sungai Brantas Kediri adalah
dua bocah bernama Deny Kurniawan (12) dan Dwi (11), warga Kelurahan Balowerti, Kecamatan
Kota, Kediri pada 20 September 2011 lalu. Keduanya tiba-tiba terbawa arus di areal pembangunan
proyek Jembatan Brawijaya Kediri yang difungsikan sebagai pengganti jembatan lama yang pada 18
Maret nanti berusia 144 tahun. Cerita tentang penunggu buaya putih ini juga banyak diceritakan di
catatan Belanda ketika awal-awal pembangunan proyek jembatan lama Kediri sekitar tahun 1836-
876. "Dalam catatan Belanda memang disebutkan bahwa ada buaya putih penunggu jembatan yang
dibangun oleh kolonial Belanda," kata Olivier Johanes, pengamat sejarah Indonesia dari Belanda
dalam tulisan yang di tulisnya kepada grup Pelestari Sejarah dan Budaya Kediri (PASAK). Tidak hanya
di sekitar jembatan lama Kediri, ada yang lebih misterius lagi soal buaya putih yang berada di aliran
Sungai Brantas wilayah Kecamatan Kras Kabupaten Kediri yang dikenal dengan sebutan 'Badug
Seketi'. Badug Seketi dianggap tempat yang sangat wingit dan angker di daerah Kecamatan Kras. Dari
cerita tutur masyarakat setempat, si buaya putih dulu awalnya bersahabat dengan penduduk sekitar.
Setiap kali penduduk hajatan dan minta tolong kepada si buaya putih kebutuhan hajatan itu selalu
disediakan. Kebutuhan yang disediakan itu antara lain, peralatan dapur seperti piring, sendok dan
peralatan pecah belah yang lainnya. "Cerita kerjasama antara penghuni Sungai Brantas dengan
masyarakat itu terjadi hingga sekitar tahun 1970 an. Karena keserakahan, penduduk yang sengaja
menyembunyikan peralatan yang dipinjamkan tersebut, berakhir pulalah hubungan antara si buaya
putih dengan warga sekitar," kata Abdul Kholik warga Desa Seketi Kecamatan Kras,

Sumber Artikel : https://sclm17.blogspot.com/2016/03/legenda-sungai-brantas.html

Sejarah, Cerita, Legenda, Mitos, TOKOH, Situs

Anda mungkin juga menyukai