"Jelaskan masa kolonial Spanyol di Fhilipina pada bidang politik sosial pendidikan"
Nama Kelompok :
1.1 Pendahuluan
Filipina merupakan salah satu negara Asia Tenggara yang berada di laut Cina Selatan.
Filipina berada di sebelah utara Malaysia dan Indonesia. Sama halnya dengan Indonesia, Filipina
juga merupakan Negara kepulauan dan salah satu Negara di Asia yang terpengaruh budaya barat
dan dikenal mempunyai Gereja Katolik Roma yang kuat dan merupakan salah satu dari dua
Negara yang didominasi umat katolik di Asia selain Timor Timur.
Filipina adalah negara paling maju di asia setelah perang dunia II, namun sejak saat itu
telah tertinggal di belakang Negara - negara lain akibat pertumbuhan ekonomi yang lemah,
penyitaan kekayaan yang dilakukan pemerintah, korupsi yang luas, dan pengaruh - pengaruh
neo-kolonial. Saat ini Filipina mengalami pertumbuhan ekonomi yang moderat, yang banyak
disumbangkan dari pengiriman uang oleh pekerja - pekerja Filipina di luar negeri dan sektor
teknologi informasi yang sedang tumbuh pesat.
Filipina merupakan anggota aktif dari PBB sejak penerimaannya pada 24 Oktober 1945.
Filipina juga merupakan Negara pendiri ASEAN, dan merupakan pemain aktif dalam APEC,
Latin Union dan anggota dari Group of 24. Filipina juga merupakan sekutu Amerika Serikat,
tetapi juga merupakan anggota dari Gerakan Non Blok.
Bangsa Spanyol adalah salah satu bangsa eropa yang menjadi pelopor Penjelajahan
Samudera pada abad ke-15, hal ini di latar belakangi oleh tertutupnya pelabuhan Konstantinopel,
karena direbutnya Kerajaan Romawi Timur oleh Turki Ottoman di kawasan Turki sekarang yang
menjadi sumber utama bangsa eropa untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan hidup, hal ini
menyebabkan bangsa eropa harus memutar fikiran untuk mendapatkan rempah-rempah yang
menjadi kebutuhan di eropa.
Selanjutnya pada saat itu Portugis dan Spanyol merupakan dua negara yang paling taat
terhadap agama Katolik dan memiliki dendam terhadap penguasa negeri mereka sebelumnya
yaitu Dinasti Umayyah, ditambah lagi dengan dendam yang masih tersimpan terhadap kekalahan
Perang Salib, hal ini mendorong mereka untuk melancarkan serangan balas dendam terhadap
seluruh orang-orang Islam yang ada di luar kawasan eropa secara umum yang dikenal dengan
semangat Reconquesta. Sehingga lahirlah tiga buah konsep yaitu: Gold, Glory, dan Gospel. Gold
atau dalam arti harfiahnya yaitu ‘emas’ yang melambangkan bahwasanya bangsa eropa ingin
mencapai kekayaan, Glory atau secara harfiahnya ‘kemuliaan/kekuasaan’ yang menandakan
bahwa bangsa eropa ingin kembali berjaya dan berkuasa seperti pada zaman Romawi, dan
Gospel atau secara harfiah dapat diartikan ‘Injil’ yang melambangkan semangat menyebarkan
agama yang dianut yaitu Katolik.
Di latar belakangi oleh pengesahan dari paus Roma, penjelajahan pertama di awali oleh
Portugis dengan dilanjutkan oleh Spanyol dengan tokohnya pertamanya Cristophus Columbus
yang menemukan Benua Amerika.
Selanjutnya tokoh Spanyol yang melanjutkan pelayaran adalah seorang pelaut Portugis
yang bekerja untuk raja Spanyol yaitu Ferdinand Magellan, Kedatangan pertama orang-orang
Barat yang tercatat adalah kedatangan Ferdinand Magellan di Pulau Homonhon, di tenggara
Samar pada 16 Maret 1521. Pada 1521 ekspedisi mencapai Filipina dimana Magellan terlibat
dalam kericuhan masyarakat setempat dan terbunuh. Namun ironisnya saat bangsa eropa berlayar
ke timur mereka menjumpai orang-orang Muslim di kawasan timur termasuk Filipina yang
sedang mengalami proses Islamisasi di bagian selatan Filipina.
Dalam pembahasan di atas dikatakan bahwa Magellan terbunuh oleh sebuah insiden yang
terjadi, salah satu penyebabnya ialah karena Magellan terlalu memaksakan agama Katolik
kepada penduduk setempat sehingga menyebabkan kemarahan oleh beberapa kepala suku, dan
memaksakan orang-orang Spanyol yang baru tiba untuk angkat kaki dari Filipina. Pelayaran
diteruskan oleh Juan Sebastian del Cano yang tiba di Kepulauan Maluku, sesampai di Maluku
mereka terlibat persaingan dengan Portugis yang telah lebih dulu tiba disana.
Untuk menghindari perselisihan lebih lanjut maka pihak Gereja Roma menjadi penengah
dengan mengadakan Perjanjian Zaragoza, yang membuat Spanyol harus kembali ke Filipina.
Proses penjajahan yang dilakukan oleh Spanyol terhadap Filipina adalah dengan cara ekspansi
yang ditanggapi dengan perlawanan rakyat di berbagai tempat, yang paling menonjol adalah
perlawanan di bagian selatan yang mayoritas Muslim, dan Spanyol tidak mampu menaklukkan
secara total perlawanan rakyat di bagian selatan yang diberi julukan sebagai orang-orang Moro
hingga sekarang. Julukan ‘Moro’ diberikan sesuai dengan julukan untuk orang-orang Muslim di
Spanyol pada abad pertengahan.
Pada mulanya raja kurang memperhatikan atas kepulauan ini, karena sedang sibuk
membendung kekuatan Protestanisme di negerinya. Baru pada tahun 1526 raja mulai
memikirkannya, kemudian mengirimkan sebuah tim yang dipimpin oleh Fernando Cortez,
penakluk Mexico untuk menyelidiki kepulauan ini. Dua orang anak buahnya meninggal. Pada
tahun 1542 berangkatlah Laksamana Ruy Lopez dan Vilalobos dari Puerta Navidad (Mexico) ke
Filipina. Vilalobos menganti nama kepulauan St. Lazarus menjadi Philipinese sebagai tanda
kehormatan kepada putera mahkota Don Philips II, putera Maharaja Karel V. Setelah secara
resmi berkuasa mengganti ayahnya, Philips II mencurahkan semua kekuatannya untuk
menguasai kepulauan yang dinisbatkan pada namanya.
Dapat dikatakan bangsa Spanyol dalam proses menguasai Filipina mendapatkan berbagai
tekanan dimulai dari perlawanan yang terjadi di Filipina ditambah lagi dengan kekacauan yang
terjadi di negerinya sendiri, diantaranya perang yang dikumandangkan oleh Belanda untuk
mendapatkan kemerdekaannya ditambah lagi dengan munculnya aliran baru yang sangat di benci
oleh Spanyol yaitu Protestan.
Bangsa Spanyol menghadapi berbagai ancaman bahkan dari Luzon dan Visayas. Sejak
1596 hingga 1764 kota-kota di Ilocos dan Cagayan, Pengasinan, dan Pampanga, Luzon, Bohol
dan Leyte secara sporadis memberontak. ,mereka memprotes komposisi upeti yang mencekik
dan tuntutan pemenuhan tenaga kerja, Kristenisasi dan penindasan terhadap agama tradisional
serta beban-beban untuk mendukung perang-perang Spanyol. Kendati diarahkan pada para
encomendero pemberontakan juga menyerang para rahib dan gereja. Pemberontakan Igorot
(1601), dan Gaddang (1621) di Luzon utara serta pemberontakan Tamblot (1621-1622). Bankaw
(1622), dan Tapar (1663) di Visayas menjadi simbol-simbol Katolik sebagai sasaran.
Lalu, pada tahun 1762, Spanyol bersekutu dengan Prancis sehingga melibatkannya
dalam Perang Tujuh Tahun yang membuat Filipina ikut serta. Inggris yang menjadi salah satu
lawannya dalam kancah perang mengirim pasukan besar dari India untuk menginvasi Manila,
dan memaksa penduduk setempat untuk mengangkat senjata melawan Spanyol. Perjanjian Paris
mengakhiri serangan ini dan Spanyol kembali berkuasa.
Penafsiran bahwa perlawanan yang dihadapi oleh Spanyol sangat berat, lalu ditambah
lagi dengan hasutan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda yang telah mulai berdagang di
kawasan Asia Tenggara agar melawan bangsa Spanyol. Hal ini menunjukkan bahwa untuk
memantapkan dominasinya di Filipina, Spanyol mengalami tekanan dari berbagai sudut dan juga
pengaruh kebijakan Spanyol yang diterapkan di Filipna yang sangat memaksa dan menghina
budaya setempat seperti pemaksaan terhadap ajaran Katolik yang menyebabkan perlawanan yang
tiada henti.
Protes terhadap Spanyol juga datang dari pendatang Cina, mereka merupak pemain
utama yang menghubungkan perdagangan, keuntungan dalam perdagangan yang mereka jalani
membuat mereka ingin menetap di Filipina. Maka timbullah rasa khawatir pada Spanyol,
sehingga membatasi jumlah imigran Cina yang berdatangan.
Beredarnya kabar palsu, bahwa kaisar Cina mendukung para imigran Cina di Filipina
menyebabkan terjadi pemberontakan di Filipina yang dilakukan oleh orang-orang Cina, mereka
melakukan pembakaran terhadap pemukiman dan menggunakan simbol-simbol Cina dalam
melakukan aksinya, sehingga membuat Spanyol mengeluarkan peraturan terhadap pengusiran
orang-orang Cina.
Yang sangat melelahkan Spanyol adalah perlawanan yang dilakukan oleh penduduk
bagian selatan~Moro~menjadi perlawanan terlama dalam sejarah perlawanan terhadap kolonial,
namun semuanya dapat diatasi oleh Spanyol dengan melakukan kerja sama dengan raja-raja
lokal.
2. Pemerintahan Kolonial Spanyol di Filipina
Filipina sangat berbeda dengan kawasan lain di Asia Tenggara, hal ini dipicu oleh
kedatangan bangsa Spanyol yang sangat awal dan berhasil menancapkan hegemoninya di
Filipina, sehingga dampak yang diakibatkan sangat kental dibandingkan dengan kawasan lain di
Asia Tenggara. Sampai sekarang kita juga dapat melihat pengaruh Spanyol yang masih melekat
di sana yaitu dari nama penduduk, agama, hingga ciri-ciri fisik penduduknya karena pada masa
itu terjadi perkawinan campuran antara orang-orang Spanyol dan penduduk setempat.
Secara garis besar sistem pemerintahan jajahan Spanyol ada dua yaitu: pertama,
kekuasaan langsung dan kedua, adu domba dan kuasai. Sistem ini dapat kita katakan hampir
sama dengan sistem Belanda dalam menjajah nusantara dengan istilah Devide et Impera yaitu
politik pecah belah. Selanjutnya “ Para pejabat gereja juga mengekang otoritas sipil yang sangat
kuat. Sesuai patronato real, gereja dan negara disatukan untuk mengatur dan menyebarkan ajaran
Kristen”.
Pada 1595 ordo Jesuit mendirikan sekolah tata bahasa untuk pelajar putra yang kelak
bernama Universitas Ateneo de Manila. Ordo Dominikan mendirikan Universitas Santo Thomas
pada 1611. Gadis Spanyol menerima pendidikan praktis disekolah-sekolah asrama. Selanjutanya,
di tahun 1823, pemerintah yang konservatif mengganti pejabat militer dari kalangan insulare
dengan peninsulare.
Gubernur Jenderal menduduki pucuk pemerintahan, sebagai perwakilan raja di tanah
jajahan dengan kewenangan eksekutif absolut. Ia juga memimpin pasukan bersenjata di seluruh
kepulauan. Kawasan Filipina dijadikan sebagai kawasan penghubung perdagangan Spanyol,
yang menghubungkan tanah jajahannya di barat (Meksiko) dan timur (Filipina) yang membuat
jangkauan perdagangan mereka melintang dari barat hingga timur yang berhubungan dengan
Cina.
Namun ada hal yang menarik dari segi ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah
kolonial, dimana di kawasan Asia Tenggara yang menjadi tanah jajahan bangsa barat, orang-
orang Cina menjadi pemeran penting dalam bidang ekonomi namun hal ini tidak berlaku di
Filipina, di karenakan terjadi pengusiran orang-orang Cina yang non-Katolik oleh pemerintah
yang dianggap berbahaya bagi pemerintah yang menyebabkan munculnya pengusaha-pengusaha
yang berasal dari kalangan orang-orang Spanyol sendiri dan bahkan penduduk pribumi setempat.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa orang-orang Cina juga melakukan protes terhadap
Spanyol di Filipina.
Orang-orang Agustinian membuka sekolah segera setelah tiba di Cebú pada tahun 1565.
Para Fransiskan tiba pada tahun 1577, dan mereka juga segera mengajarkan kepada orang-orang
cara membaca dan menulis, selain memberikan kepada mereka teknik-teknik industri dan
pertanian yang penting. Para Yesuit yang tiba pada tahun 1581 juga berkonsentrasi untuk
mengajar kaum muda. Ketika Dominikan tiba pada 1587, mereka melakukan hal yang sama
dalam misi pertama mereka di Bataan.
Dalam beberapa bulan setelah kedatangan mereka di Tigbauan yang berada di provinsi
Iloilo yang terletak di pulau Panay, Pedro Chirino dan Francisco Martín telah mendirikan
sekolah untuk anak laki-laki Visayan pada tahun 1593 di mana mereka mengajar tidak hanya
katekismus tetapi membaca, menulis, bahasa Spanyol, dan liturgi musik. Orang- orang Spanyol
dari Arévalo mendengar tentang sekolah dan ingin Chirino mengajar anak-anak lelaki mereka
juga. Chirino segera mendirikan asrama dan sekolah (1593-1594) untuk anak-anak lelaki
Spanyol di dekat pastorannya. Itu adalah sekolah asrama Yesuit pertama yang didirikan di
Filipina.
Versi bahasa Cina dari Doctrina Christiana (Christian Doctrine) adalah buku pertama
yang dicetak di Filipina sekitar tahun 1590 hingga 1592. Versi dalam bahasa Spanyol, dan di
Tagalog, dalam aksara Latin dan aksara Baybayin dari Manila Tagalogs of waktunya dicetak
pada tahun 1593. Tujuannya untuk mengajarkan iman Kristen kepada penduduk terpelajar.
Akhirnya, aksara Baybayin digantikan oleh aksara Latin, karena ini menjadi semakin bermanfaat
dan tersebar luas.
Pada tahun 1610, Tomas Pinpin seorang pencetak, penulis, dan penerbit Filipina, yang
kadang-kadang disebut sebagai "Patriarch of Filipino Printing", menulis Librong Pagaaralan
nang manga- nya yang terkenal, Tagalog nang Uicang Castilla, yang dimaksudkan untuk
membantu warga Filipina belajar bahasa Spanyol. Prolognya berbunyi: Karena itu marilah kita
belajar, negaraku laki-laki, karena walaupun seni belajar agak sulit, namun jika kita gigih, kita
akan segera meningkatkan pengetahuan kita. Tagalog lain seperti kami tidak perlu waktu satu
tahun untuk belajar bahasa Spanyol saat menggunakan buku saya. Hasil yang bagus ini telah
memberi saya kepuasan dan mendorong saya untuk mencetak karya saya, sehingga semua orang
dapat memperoleh untung darinya.
Ada juga sekolah-sekolah Latin di mana bahasa itu diajarkan bersama-sama dengan
beberapa orang Spanyol, karena itu merupakan persyaratan wajib untuk studi filsafat, teologi dan
yurisprudensi di sekolah-sekolah seperti Universitas Santo Tomás, yang dijalankan oleh orang
Dominikan . Para imam dan pengacara Filipina pada masa itu, dengan pengecualian putra dan
putri orang Spanyol, Principalías, dan Ladino, tahu bahasa Latin dengan sangat baik karena
sistem pendidikannya sepenuhnya religius.
Para biarawan juga membuka banyak sekolah kedokteran dan farmasi. Studi farmasi
terdiri dari kursus persiapan dengan mata pelajaran dalam sejarah alam dan kimia umum dan
lima tahun studi dalam mata pelajaran seperti operasi farmasi di sekolah farmasi. Pada akhir
periode ini, gelar Bachiller en Farmacia diberikan.
Colegio de Santa Potenciana adalah sekolah dan perguruan tinggi pertama untuk anak
perempuan yang dibuka di Filipina, pada 1589. Diikuti oleh sekolah lain untuk wanita, Colegio
de Santa Isabel , yang dibuka pada 1632. Sekolah dan Perguruan Tinggi lain untuk anak
perempuan adalah Santa Catalina , Santa Rosa , La Concordia , dll. Beberapa sidang keagamaan
juga mendirikan sekolah untuk gadis-gadis yatim piatu yang tidak bisa mendidik diri mereka
sendiri.
2. Periode Kedua
Sebagai hasil dari peningkatan jumlah orang Filipina yang berpendidikan, sebuah kelas
sosial baru diangkat, yang kemudian dikenal sebagai Ilustrados. Lebih lanjut, dengan pembukaan
Terusan Suez pada 1869, perjalanan ke Spanyol menjadi lebih cepat, lebih mudah, dan lebih
terjangkau, dan banyak orang Filipina memanfaatkannya untuk melanjutkan pendidikan tinggi di
Spanyol dan Eropa, kebanyakan di Madrid dan Barcelona. Kelas Filipina yang baru tercerahkan
ini nantinya akan memimpin gerakan kemerdekaan Filipina, menggunakan bahasa Spanyol
sebagai metode komunikasi utama mereka. Ilustrados yang paling menonjol adalah José Rizal,
yang mengilhami keinginan untuk mandiri dengan novel-novelnya yang ditulis dalam bahasa
Spanyol. Intelektual Filipina lainnya, seperti Graciano López Jaena, Marcelo H. del Pilar,
Mariano Ponce atau Antonio Luna, yang juga pernah belajar di Spanyol, mulai berkontribusi
pada alasan untuk pemerintahan sendiri dan kemerdekaan Filipina.
Menggambarkan generasi baru Filipina yang berpendidikan tinggi ini, Fr. John N.
Schumacher menunjukkan bahwa, Pendidikan tinggi Filipina tidak jauh di belakang, atau, dalam
aspek-aspek tertentu, bahkan lebih unggul daripada tingkat umum pendidikan tinggi di Spanyol,
setidaknya di luar Madrid. Mungkin kesaksian terbaik untuk ini adalah kenyataan bahwa
sejumlah besar siswa Filipina dapat pindah tanpa kesulitan yang jelas dari lembaga pendidikan di
rumah kepada orang-orang di Semenanjung dan membuat catatan terhormat untuk diri mereka
sendiri di sana.
Filipina juga berada di depan beberapa negara Eropa dalam menawarkan pendidikan bagi
perempuan. Ironisnya, selama masa pendudukan Amerika di Filipina, hasil pendidikan Spanyol
lebih terlihat, terutama dalam literatur, media cetak dan film.