Anda di halaman 1dari 4

Lambung Mangkurat

Lambung Mangkurat merupakan pengucapan orang Banjar untuk Lambu (Lembu) Mangkurat adalah


raja ke-2 atau pemangku Kerajaan Negara Dipa (cikal bakal Kesultanan Banjar). Lambung Mangkurat
menggantikan ayahandanya Ampu Jatmaka atau Mpu/Empu Jatmika yang bergelar Maharaja
di Candi, seorang saudagar kaya raya pendatang dari Keling yang merupakan pendiri kerajaan
Negara Dipa sekitar permulaan abad XIV atau sekitar tahun 1380 atau tahun 1387. Legenda suku
Maanyan mempercayai bahwa Lambung Mangkurat, merupakan pengucapan lidah orang Melayu
Banjar untuk menyebut nama Dambung Mangkurap, salah seorang dari tiga pemimpin masyarakat
Dayak Maanyan yaitu masyarakat adat Pangunraun Jatuh. Ketiga pemimpin itu adalah Dambung
Mangkurap, Tumanggung Jaya Sungkat, Patinggi Tambing Baya Raya.

Ampu Jatmaka dengan pengikutnya yang terdiri orang-orang Keling menaklukan secara damai
penduduk pribumi yang mendiami cabang-cabang Sungai Bahan yang ada di Hulu Sungai dan
kemudian mendirikan kerajaan Negara Dipa mula-mula berpusat di negeri Candi Laras (Distrik
Margasari), kemudian dipindahkan ke hulu pada negeri Candi Agung (Distrik Amuntai). Digambarkan
dalam Hikayat Banjar, masyarakat pribumi senang dengan adanya pembentukan Negara Dipa,
karena akhirnya mereka memiliki keteraturan tata pemerintahan. Asimilasi masyarakat pendatang
dengan masyarakat asli di Kerajaan Negara Dipa inilah yang menjadi cikal bakal Proto Suku Banjar.
Seperti dilukiskan dalam Hikayat banjar, Kerajaan Dipa menyatakan diri sebagai kerajaan pribumi
Kalimantan ketika berhadapan dengan pihak luar/asing misalnya terhadap penguasa Kerajaan
Majapahit di Pulau Jawa. Sehingga tidak mengherankan jika Lambung Mangkurat telah dianggap
sebagai tokoh pribumi/Dayak.

Penguasa kerajaan negara Dipa, Lambung Mangkurat (sekitar tahun 1319) mengunjungi Gajah
Mada yang saat itu menjadi patih Kahuripan (Janggala/Hujung Galuh/”Jung-ya-lu”) salah satu dari
dua negeri utama di Majapahit. Pada saat itu Hayam Wuruk menjabat yuwaraja juga berkedudukan
sebagai raja Kahuripan bergelar Jiwanarajyapratistha. Misi kunjungan ini untuk menjemput Raden
Putra (Pangeran Suryanata) untuk dirajakan di negara Dipa.

Sedangkan menurut Babad Lombok, Dilembu Mangkurat  merupakan utusan Sunan Ratu Giri,


penguasa Giri Kedaton untuk mengislamkan wilayah Kalimantan. Menurut Tutur Candi, tokoh yang
mula-mula membawa Islam dari Giri adalah Maharaja Sari Kaburungan, raja kerajaan Negara Daha.
Tokoh ini yang identik dengan Dilembu Mangkurat dalam babad Lombok.

Lambung Mangkurat yang bergelar Ratu Kuripan ini adalah putra kedua dari Maharaja di Candi dan
Dewi Sekar Gading Putra sulung Empu Jatmika adalah Ampu Mandastana atau Lambung Jaya
Wanagiri. Maharaja di Candi merupakan gelar dari Ampu Jatmaka/Empu Jatmika yang merupakan
seorang perantau saudagar kaya raya dari negeri Keling yang datang ke pulau Hujung
Tanah/Kalimantan dengan armada Prabayaksa.

Menurut Veerbek (1889:10) Keling, merupakan provinsi Majapahit di barat daya Kediri. Gelar


“Empu” dan “Arya” merupakan gelar bangsawan asal Jawa, dan diduga rombongan Empu Jatmika
pindah dari Jawa karena gejolak peralihan Singhasari menjadi Majapahit. Namun naskah Hikayat
Banjar versi Tutur Candi, menyatakan bahwa negeri Keling itu merupakan suatu tempat (di India)
yang ditempuh dalam perjalanan laut selama dua bulan. Sementara Cerita Turunan Raja-raja Banjar
dan Kotawaringin menjelaskan bahwa pelabuhan Majapahit hanya dicapai dengan perjalanan laut
selama empat hari dari Negara Dipa.

Kerajaan Negara Dipa ini bukanlah kerajaan yang pertama, karena sudah berdiri kerajaan orang-
orang pribumi Dayak yaitu Kerajaan Kuripan (Huripan/Kahuripan), karena itu Empu Jatmika
mengabdikan dirinya menjadi bawahan Raja negeri Kuripan yang tidak memiliki keturunan. Setelah
mendirikan negeri Candi Laras (Margasari), ia meminta izin kepada Raja negeri Kuripan untuk
membuat (menaklukan) negeri baru di sebelah hulu dari negeri Kuripan yang diberi nama negeri
Candi Agung (Distrik Amuntai). Kemudian banyak penduduk Kuripan yang hijrah/migrasi ke negeri
Candi Agung (Amuntai). Setelah kemangkatan Raja Kuripan, Empu Jatmika/Ampu Jatmaka menjadi
penguasa negeri Candi Agung, negeri Candi Laras dan Kuripan. Kelak daerah Kuripan ini diwarisi oleh
Lambung Mangkurat sehingga ia juga dikenal sebagai Ratu Kuripan. Sedangkan negeri Candi Agung –
ibu kota kerajaan Negara Dipa yang baru diserahkan kepada Maharaja Suryanata yang didatangkan
dari Majapahit sebagai suami Puteri Junjung Buih yang merupakan perkawinan politik. Puteri
Junjung Buih merupakan saudara angkat Lambung Mangkurat. Raja Puteri Junjung Buih dipersiapkan
sebagai Raja Negara Dipa, yang kemudian posisi ini diambil alih oleh suaminya Pangeran Suryanata
yang bergelar Maharaja Suryanata. Sedangkan Lambung Mangkurat menjadi patih mangkubuminya
dengan kekuasaan negeri Kuripan, karena hal tersebut maka Lambung Mangkurat bergelar Ratu
Kuripan.

Selama memerintah Negara Dipa (Candi Agung, Candi Laras, Kuripan) Ampu Jatmaka melakukan
penaklukan-penaklukan daerah-daerah sekitarnya yang berpenduduk pribumi suku Dayak. Ampu
Jatmaka memerintahkan asisten kanan bernama Aria Magatsari menundukkan batang Tabalong,
batang Balangan dan batang Pitap serta penduduk perbukitannya (suku Bukit). Ampu Jatmaka
menitahkan asisten kiri bernama Tumanggung Tatah Jiwa menundukkan batang Alai,
batang Amandit, batang Labuan Amas serta serta penduduk perbukitannya. Sedangkan pelabuhan
perdagangan saat itu terletak di Muara Rampiau, tidak jauh dari Candi Laras.

Ampu Jatmaka mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Negara Dipa, namun sebagai rajanya,
Empu Jatmika membuat patung yang khusus dibuat oleh ahli-ahli dari Cina. Ampu Jatmaka tidak
menobatkan dirinya sebagai raja, karena merasa bukan keturunan raja-raja. Hal ini juga dipesankan
kepada Lambu Mangkurat (Lambung Mangkurat) dan Ampu Mandastana (Lambung Jaya Wanagiri),
bahwa keduannya juga tidak boleh menjadi raja.

Ketika Ampu Jatmaka mangkat, Lambung Mangkurat dan Ampu Mandastana melaksanakan pesan
orang tua mereka, yaitu mencari raja untuk Negara Dipa. Lambung Mangkurat melaksanakan
pertapaan di pinggir sungai besar, sedangkan Empu Mandastana bertapa di pegunungan Meratus.

Di akhir pertapaannya, Lambung Mangkurat menemukan sebuah buih besar yang didalamnya
terdengar suara yang meminta Lambu Mangkurat untuk menyediakan kain sarung yang ditenun oleh
40 orang gadis dan perahu indah untuk membawa gadis jelita tersebut ke Istana. Perintah itu
dilaksanakan Lambung Mangkurat dan dibawalah menuju Istana dengan sambutan meriah dan gadis
itu mengenalkan dirinya sebagai Puteri Junjung Buih, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Ratu
Junjung Buih di Kerajaan Negara Dipa dan Lambung Mangkurat menjadi mangkubumi kerajaan. Pada
saat itu Lambung Mangkurat adalah seorang pemuda yang belum beristeri. Puteri Junjung Buih
kemudian menikah dengan Raden Putra yang kelak bergelar Maharaja Suryanata berasal
dari Majapahit. Hubungan pasangan suami isteri ini adalah besannya Lambung Mangkurat, karena
puteri dari Lambung Mangkurat menikah dengan putera dari Puteri Junjung Buih. Lambung
Mangkurat mencapai usia yang panjang dan menjabat mangkubumi/patih bagi beberapa generasi
raja Negara Dipa.

Dalam legenda diceritakan, Putri Junjung Buih sangat disayangi rakyat Negara Dipa, di mana
Kecantikan dan Keramahannya tersebar hingga kenegara lainnya. Puteri Junjung Buih selain
dibesarkan dilingkungan Kerajaan, juga sama-sama tumbuh dengan Keponakan Patih Lambung
Mangkurat, anak kembar dari Empu Mandastana, yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang
Sukmaraga. Mereka tumbuh menjadi dewasa bersama-sama, hingga kedekatan mereka bertiga
membuat semua orang terpana.

Dari perhatian semua kerabat dan pejabat kerajaan sangatlah tidak lazim karena mereka bertiga
terlihat seperti sepasang kekasih yang tak bisa terpisahkan. Apalagi Puteri Junjung Buih sangat
Menyukai kakak beradik kembar yang juga memang sangat Tampan dinegeri Dipa, selain juga anak
kembar Bangsawan keponakannya Patih Lambung Mangkurat.

Hingga tiba pada saat tetua agama bersama patih Lambung Mangkurat mendapat pesan bahwa
Jodoh dari Puteri Junjung Buih adalah seorang Putera Raja dari Kerajaan di Jawa, di mana Patih
Lambung Mangkurat lah yang diutus nantinya untuk menjemput Calon Suami Puteri Junjung Buih
untuk dinobatkan sebagai Ratu dikerajaan Dipa. Tetapi yang menjadi kendala adalah sepasang Kakak
Beradik kembar yang begitu sangat dicintai Puteri Junjung Buih, bila terjadi Puteri Junjung Buih
mengawini kakak beradik ini, akan menggemparkan Kerajaan dan diramalkan akan membuat
Kehancuran karena Puteri Junjung Buih telah ditetapkan Dewata jodohnya adalah Pangeran dari
tanah Jawa.

Untuk Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dilangsungkanlah musyawarah kerajaan di mana
diputuskan agar Patih Lambung Mangkurat untuk memisahkan kedua Keponakannya itu dengan
Putri Junjung Buih. Karena Patih Lambung Mangkurat merasa dipermalukan, maka akhirnya dia
mengambil keputusan sendiri untuk membunuh kedua keponakannya yang sangat dicintai juga.

Suatu hari, Patih Lambung Mangkurat mengajak kemenakannya yaitu Bambang Patmaraga dan
Bambang Sukmaraga untuk mencari ikan dan membawa segala perlengkapan yang dibutuhkan.
Mulanya Ibu Kakak Beradik Sepasang Kembar berfirasat tidak enak, namun kedua anak Kembar itu
berpesan kedapa Ibunya: “Ibunda, kami (sikembar) akan pergi mencari ikan bersama paman. Jika
terjadi apa-apa dengan kami berdua (mati), maka Bunga Puspa ini akan layu dan mati. Tetapi bila
kami berdua tidak terjadi apa, maka Bunga Puspa ini akan tetap Segar dan mewangi”. Anehnya
Bunga Puspa itu tiba-tiba menghilang dan sebelumnya Sepasang Kembar ini pun juga ada
memberikan Setangkai Bunga Puspa yang juga berpesan yang sama, juga Lenyap pula ketika berada
ditangan Puteri Junjung Buih.

Akhirnya pergilah si Kembar bersama Patih Lambung Mangkurat dengan menaiki Perahu mereka
bertiga menuju Hulu selama berhari-hari, hingga tiba pada sebuah Lubuk yang anak dari Sungai
Besayangan. Lubuk itu kini dikenal dengan Lubuk Badangsanak. Kedua kakak beradik kembar itu
diperintah oleh Lambung Mangkurat untuk bercebur karena Kail untuk memancing tersangkut.
Ketika Sukmaraga muncul ke permukaan, Lambung Mangkurat langsung memukulkan Pengayuh
Perahunya tepat dikepalanya dan tenggelamlah Sukmaraga. Begitu juga dengan Patmaraga yang
juga mengalami nasib yang sama.

Setelah Lambung Mangkurat menyelesaikan niatnya, dia terduduk sambil menangis dan menunggu
selama beberapa hari munculnya jasad kedua Sepasang Kembar Keponakannya, tetapi tidak juga
muncul, hingga Lambung Mangkurat Berteriak memanggil mereka dan juga terjun kedalam Lubuk
itu, tetapi tidak juga diketemukan, hingga akhirnya Lambung Mangkurat kembali pulang.

Kedua orang tua mereka, Empu Mandastana dan istri merasakan hal yang tidak wajar, karena apa
yang dipesankan kedua anaknya, tidak seperti apa yang terjadi. Bunga Puspa itu lenyap dihadapan
mereka dan mereka merasa yakin bila kedua anak Kembarnya itu masih hidup dan Empu
Mandastana bersama Isterinya memutuskan untuk mencari dan mencari anaknya, hingga tidak
pernah ada yang tahu lagi di mana kedua pasang suami isteri itu karena mencari anak Sepasang
Kembar Kesayangan mereka.

Ketika Puteri Junjung Buih memegang dan mencium Bunga Puspa pemberian Kedua Kembar
Bersaudara, tiba-tiba bunga itu hilang begitu saja dari tangannya dikala Puteri Junjung Buih sedang
duduk dijendela Keraton. Dengan Perasaan sedih Puteri Junjung Buih memandang kelangit dan
melihat kedua kembar bersaudara melambai kapadanya. Yakinlah Puteri Junjung Buih bahwa kedua
saudara kembar yang dia cintai kini berada pada kayangan, tidak mati dan tidak hidup.

Anda mungkin juga menyukai