Anda di halaman 1dari 24

BABAD DAYEUHLUHUR

De MrJons SiBolang em Segunda-feira, 29 de dezembro de 2014 às 01:34


Dayeuhluhur, akulturasi Sunda Pajajaran dan Jawa Mataram Kontroversi
pembubaran Dayeuhluhur dan Berdirinya Cilacap sejarah Dayeuhluhur dari awal
sampai akhir

CERITERA SEJARAH DAYEUHLUHUR DARI MASA KE MASA

Memahami sejarah Dayeuhluhur berikut ini harus berkenan mengikuti sejarah


Sunda dan juga sejarah Demak, Banyumas, Pajang serta Mataram yang sangat
mempengaruhi sejarah Dayeuhluhur Penggunaan kata Dayeuhluhur yang
digunakan sekarang, pada awalnya terdapat beberapa ejaan, mulai dari Dayaloehoer
(Hallewijn), Dayoloehoer (Vitalis), Daijoe-Loehoer (surat keputusan tanggal 18
Desember 1830 no 1) dan Dayoe-Loehoer (Mr. van Lawick van Pabst dan Resolusi
tanggal 27 Agustus 1831 no 1).Menurut Mr. Vitalis, dayo artinya desa, luhur artinya
ketinggian atau gunung. Jadi Dayu-Luhur artinya desa yang terletak di ketinggian
atau gunung 1. Dayeuhluhur Masa Hindu-Buddha Sekitar tahun 1490-an Arya
Gagak Ngampar (Banyak Ngampar) dijadikan Adipati Dayeuhluhur oleh Kakaknya
Banyak Cotro (Prabu Kamandaka) Adipati Pasirluhur di Karanglewas (Barat Kota
Purwokerto sekarang) sebagai daerah bawahan Pasirluhur. Wilayah Kadipaten
Dayeuhluhur ini meliputi wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan wilayah
Kec.Dayeuhluhur saat ini, jika dibandingkan saat ini meliputi : Seluruh
wil.Kab.Cilacap saat ini sampai Daerah Ayah Kesugihan dan Wangon. Adipati
Gagak Ngampar setelah meninggal digantikan putranya Candi Kuning dengan
gelar Adipati Gagak Ngampar II. 1.a. Latar Belakang Arya Gagak Ngampar Dalam
ceritera Babad Pasirluhur, pada awalnya Dayeuhluhur merupakan salah satu
wilayah dari Kadipaten Pasirluhur yang dipimpin oleh adipati Kandadaha. Pada
saat putri kandadaha yang terakhir yang bernama Dewi Ciptoroso (anak adipati
kandadaha berjumlah 25 orang semuanya putri) dilamar oleh Prabu Pulebahas,
Adipati dari Kadipaten Nusakambangan yang disertai tekanan akan adanya invasi
Nusakambanngan atas Pasirluhur, maka atas bantuan Pasukan Pajajaran yang
dipimpin kakak beradik Banyak Cotro (Kamandaka) dan Banyak Ngampar
(silihwarni) pasukan Nusakambangan dapat dikalahkan dan Prabu Pulebahas pun
tewas dalam pertempuran. Kakan beradik itu dari Nusakambangan dan Pasir luhur
masing-masing mendapatkan 40 putri boyongan ditambah Banyak Cotro
dinikahkan dengan Dewi Ciptoroso dan Banyak Ngampar menikahi Dewi
Purwati/Dewi Pringgisari adik dari Adipati Pulebahas, kesemuanya diboyong ke
Pajajaran sebagai prasarat untuk menjadi putra mahkota Pajajaran. Kejadian ini
berlangsung pada kisaran tahun 1485. Hal ini berkaitan dengan sejarah sunda dan
Pajajaran. Bahwa pada tahun 1375 Raja Pajajaran Prabu Linggabuana bersama istri
dan anaknya Dyah Ayu Pitaloka dan seluruh prajurit yang mengiringinya gugur
dalam perang Bubat akibat tipu muslihat Mahapatih Majapahit Gadjah Mada yang
merubah pertemuan antar calon pengantin Dyah Pitaloka dengan Raja Majapahit
Hayam Wuruk menjadi penundukan raja Pajajaran pada Majapahit yang ditolak
oleh Prabu Linggabuana yang lebih baik bertempur mati-matian daripada harus
tunduk pada Majapahit apalagi dengan tipu muslihat dan ingkar janji, kekuatan
Prabu Linggabuana yang mempertahankan harga diri dan keharuman Bangsa
Pajajaran ini diabadikan dengan sebutan PRABU WANGI artinya Raja yang
menjaga keharuman nama bangsa Pajajaran. Karena putra mahkota masih kecil
maka kerajaan dijalankan oleh adik prabu Linggabuana yaitu Patih
Bunisora/Borosngora sampai dengan tahun 1371 M. Patih Gadjah Mada merasa
bersalah dan gagal dalam peristiwa Bubat sehingga mengasingkan diri bertahun-
tahun di hutan Tarik, Raja Majapahit Hayam Wuruk sangat terpukul atas peristiwa
Bubat dan memohon maaf pada Bunisoro, namun Bunisora tetap waspada dan
memperkuat pertahanan di sisi timur Pajajaran dari Cipamali sampai Cijolang. Patih
Bunisora adalah Mangkubumi Suradipati atau Prabu Kuda Lalean atau Batara Guru
Jampang (dalam babad Panjalu, ia dimakamkan di Geger Omas). Pada tahun 1371
Putra Mahkota naik tahta dengan nama Niskala Wastu Kencana sebagai raja
Pajajaran ke 26 sampai dengan tahun 1475. Prabu Niskala Wastu Kencana menikahi
saudara sepupunya anak dari Buni sora yaitu Dewi Mayangsari dan dikarunia anak
bernama Dewa Niskala dan Ki Gedeng Sindangkasih. Perkawinan kedua dengan
Dewi Lara Sukarti dikaruniai anak bernama Susuk Tunggal. Pemerintahan Niskala
Wastu Kencana 1371-1475 (105 tahun) mengalami kejayaan, sehingga diberi gelar
PRABU WANGISUTAH raja yang meneruskan keharuman ayahandanya prabu
wangi, sebaliknya selama dekade itu Majapahit mengalami perang saudara
(paregreg) dan perebutan kekuasaan antara Brawijaya V dan VI dan munculnya
kerajaan Demak yang melemahkan Majapahit. Pada tahun 1475 Pajajaran dibagi 2
kerajaan untuk kedua anaknya, Kerajaan Sunda untuk Prabu Susuk Tunggal dan
Kerajaan Galuh Untuk Prabu Dewa Niskala. Pada saat Prabu Niskala Wastu
Kencana masih berkuasa, Susuk Tunggal telah memiliki putri bernama
Kentringmanik mayang sunda dan Amuk marugul, sedangkan Dewa Niskala telah
memiliki putra bernama PAMANAH RASA yang menjadi cucu kesayangan Niskala
Wastu Kencana. Pamanah Rasa sangat sakti dan mewarisi ilmu dan kebijaksanaan
kakeknya, ia menikahi sepupunya putri Ki GedengKasih yang bernama Dewi
Ambetkasih dan memiliki 3 orang anak, Banyak Cotro, Banyak Ngampar dan Dewi
Ratna Pamekas. Karena Dewi Ambetkasih meninggal Pamanah rasa mengawini
gadis muslim Dewi Subanglarang saat diutus kakeknya menghancurkan Pondok
Quro (kawasan ponpes syech Hasanudin di Kerawang yang bermazhab Hanafi)
alih-alih menghancurkan pondok malah menikah dengan salah satu santriwatinya
Dewi Subanglarang yang merupakan anak dari Ki Gedeng Tapa Cirebon. Dari
perkawinanannya dengan gadis muslimah melahirkan 3 anak muslim yaitu anak
pertama bernama Walangsungsang yang menjadi Adipati Cirebon dengan nama
Pangeran Cakrabuana, anak kedua putri Rara Santang yang menikah dengan raja
Mesir menurunkan Sunan Gunung Jati dan anak ketiga Raja sangara atau Kian
Santang yang menjadi Senopati Perang Cirebon dan akhirnya menjadi wali
penyebar Islam dengan nama Sunan Godog. Perkawinan ini menyalahi perintah
sang Kakek sehingga berlangsung di luar istana, saat kembali ke istana Pamanah
rasa dinikahkan dengan sepupunya putri Prabu Susuk Tunggal raja Sunda, Dewi
Kentringmanik Mayang sunda dengan janji kelak anak yang lahir harus menjadi
putra mahkota jika kelak Pamanah rasa menjadi Raja Galuh menggantikan Dewa
Niskala (perjanjian ini tidak diketahui oleh anak-anak lainya dari istri pertama
Banyak Cotro, Banyak Ngampar, Ratna Pamekas). Dari perkawinanya dengan
Mayang Sunda dikarunia anak lelaki bernama Banyak Blabur dan Surasowan yang
menjadi adipati Banten dan anak putri Surawati yang menikah dengan adipati
Sunda Kelapa. Pada tahun 1482 Bangsawan Majapahit utamanya saudara-saudara
Brawijaya V, diantaranya adiknya Arya Baribin dan rombongan mengungsi ke
Galuh, diterima Dewa Niskala dan Arya Baribin dinikahkan dengan cucunya / anak
Pamanah rasa, Dewi Ratna Pamekas, dan Dewa Niskala menikahi salah satu putri
pelarian Majapahit yang telah memiliki tunangan, hal ini dianggap sebagai
pelanggaran berat atas pamali dari dampak Perang Bubat menikahi putri Majapahit
dan menikahkan putrinya dengan pria Majapahit serta menikahi orang yang sudah
bertunangan. Sebagai hukuman, Dewi Ratna Pamekas dan Arya Baribin diungsikan
keluar istana dan Dewa Niskala harus turun tahta dan digantikan oleh Pamanah
Rasa dengan permaisurinya Dewi Kentringmanik Mayang Sunda. Karena Amuk
Marugul satu-satunya anak lelaki dari Susuk Tunggal telah tewas di tangan
Pamanah Rasa saat memperebutkan Dewi Subang Larang di Kerawang saat
penyerbuan Pondok Quro (keduanya jatuh cinta pada Dewi Subanglarang sehingga
terjadi perang tanding) maka Susuk Tunggal memberikan tahta sunda kepada
Pamanah Rasa menantunya, sehingga Pamanah Rasa Menyatukan Kembali sunda
dan Galuh menjadi Pajajaran Baru. Penobatan Pamanah Rasa tahun 1482 dengan
Gelar Prabu JAYADEWATA, karena kepemimpinannya yang memajukan Pajajaran
sangat pesat maka dijuluki sebagai PRABU SILIHWANGI, artinya raja yang
menggantikan dan meneruskan kejayaan Prabu Wangi dan Prabu Wangisutah
(Kakek dan buyutnya).Kata silihwangi secara aksen berubah menjadi Siliwangi.
Ketiga anak Pamanahrasa dari Dewi Subanglarang yang menikah di luar istana dan
beragama islam tidak akan menjadi putra mahkota dan kesemuanya telah
mendirikan dinasti sendiri membuat kerajaan Cirebon dan Banten, dimana
Walangsungsang mendirikan Cirebon dan digantikan keponakannya Sunan
Gunungjati yang sejak 1482 berotonomi sendiri tidak tunduk lagi kepada Pajajaran,
dan anak cucu Sunan Gunungjati menyerang keturunan Surasowan mendirikan
kerajaan di Banten serta menundukan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta dibawah
Fatahilah. Tinggalah 3 orang calon putra mahkota yaitu Banyak Cotro, Banyak
Ngampar dan Banyak Blabur. Saat ketiganya membawa masing-masing 40 putri
boyongan, Siliwangi menerima ketiga calon putra mahkota dan mengajukan syarat
disamping 40 putri boyongan maka putra mahkota harus berbadan mulus dan tanpa
cacat, karena Banyak Cotro dan Banyak Ngampar tubuhnya terluka saat peperangan
di Pasir luhur maka putra mahkota jatuh kepada Banyak Blabur (sebagai suatu
siasat untuk memenuhi janji kepada Susuk Tunggal dan Dewi Kentringmanik
Mayangsunda). Keputusan ini menyebabkan ketiga anak dari istri Pamanah rasa
Dewi Ambetkasih itu (Banyak Cotro dan Banyak Ngampar) serta Dewi Ratna
Pamekas yang dihukum usir dari istana karena dinikahkan dengan arya Baribin
Pandita putra, ketiganya meninggalkan Pajajaran dan kembali ke Pasir Luhur. Oleh
mertuanya Kandadaha, Banyak Cotro diangkat menjadi Adipati Pasir luhur dan
menurunkan adipati Pasir Luhur Selanjutnya. Banyak Cotro kemudian mengangkat
Banyak Ngampar menjadi Adipati Dayeuhluhur sebagian wilayah Pasir luhur di
Barat yang kelak menurunkan keturunan Dayeuhluhur dan menempatkan serta
menerima Ratna Pamekas dan Arya Baribin yang kelak menurunkan Adipati
Mrapat (Joko Kaiman) sebagai leluhur para adipati Banyumas. Dari ketiga kakak
beradik inilah kelak menurunkan para leluhur orang-orang di wilayah Banyumas
dan Dayeuhluhur serta Cilacap melalui perkawinan antar saudara diantara mereka.
Rangkaian peristiwa ini diperkirakan terjadi tahun 1485-1490. 1.b. Arya Gagak
Ngampar I - III Raden Banyak Ngampar alias Arya Gagak Ngampar alias
Panembahan Haur yang menikahi Dewi Purwati atau Dewi Peringgi atau
Panembahan Biang (adik Pule Bahas, Putri Boyongan dari Nusakambangan)
dikarunia 2 anak yaitu anak lelaki bernama Candi Kuning dan anak Putri bernama
Dewi Ratnasari atau Niken Rantamsari, dan mendirikan astana di Salangkuning
Dayeuhluhur. Arya Gagak Ngampar berbesanan dengan Kakaknya Arya
Kamandaka (Banyak Cotro) dengan menikahkan putrinya Niken Rantamsari
dengan Banyak Wirata yang menjadi Adipati Pasir Luhur kelak menggantikan
ayahnya Kamandaka. Candi Kuning Menggantikan Gagak Ngampar menjadi
adipati Dayeuhluhur Dengan Nama Adipati Arya Gagak Ngampar II , dan berputra
Candilaras (laki-laki) dan Dewi Niken Kurenta (perempuan). Candi Kuning kembali
mempererat hubungan dengan pasirluhur karena berbesanan dengan Banyak
Wirata dengan menikahkan putrinya Niken Kurenta dengan Banyak Roma yang
akhirnya menjadi adipati Pasir luhur menggantikan ayahnya Banyak Wirata. Dari
Dewi Niken Kurenta ini kelak menurunkan Banyak Kesumba (Senopati
Mangkubumi I Kerajaan Demak) dan Banyak Eleng/Banyak Galeh ((Senopati
Mangkubumi II Kerajaan Demak) dan menurunkan Trah Banyumas. Setelah
meninggal, Candi Kuning Digantikan anaknya Candilaras dengan gelar Arya Gagak
Ngampar III 2. Dayeuhluhur Masa Islam Awal Pada Pemerintahan Adipati Banyak
Belanak di Pasirluhur, Demak mengutus Pangeran Makdum Wali untuk
menundukan Pasir luhur agar masuk Islam dan tunduk di bawah kekuasaan
Demak, Adipati Banyak Belanak dan Patih Banyak Geleh tunduk dan menjadi
murid kinasih Syech Makdum Wali dan menjadi penyebar agama Islam di Jawa
Timur sampai ke Malang,Madiun, Majapahit, keberhsilannya dianugerahi Raja
Demak Sultan Trenggono dengan Sebutan Pangeran Senopati Mangukubumi I
untuk Banyak Belanak. . Sementara itu di Dayeuhluhur pada masa Candilaras
(Adipati Arya Gagak Ngampar III), karena Pasirluhur tunduk di bawah kekuasaan
Demak, maka Dayeuhluhur pun berada dalam kekuasaan koalisai Demak dan
Cirebon. Pada saat inilah terjadi peralihan keyakinan agama Hindu Budha menjadi
Islam bagi para Penguasa maupun masyarakatnya. Candilaras berputra 3 yaitu Ki
Hadeg Cisagu, Ki Hadeg Cibungur dan Dewi Santang. Pada saat Candilaras berusia
65 tahun pada tahun 1526 Dewi Santang dinikahkan dengan adipati Wirasaba yang
beragama islam yaitu adipapati Surawin/adipati Suratin. Pada saat Banyak Belanak
(Senopati Mangkubumi I Demak) bersama syech Makdum Wali ditugaskan
menyebarkan Islam ke wilayah barat mampir di Sidareja Penyarang bertemu
dengan saudaranya Ki Hadeg Cisagu beserta anaknya Kyai Arsagati dan
menantunya Ki Ranggasena, lalu melanjutkan penyebaran islam ke Jawa Barat.
Karena Wilayah Banten sudah diislamkan oleh Sultan Hasanudin maka tugas
Banyak Belanak cukup sampai di daerah Citarum kemudian kembali ke Pasir luhur,
sesampainya di Pasir Luhur dimana pemerintahan dijalankan oleh anaknya Adipati
Banyak Tholle, Banyak Belanak menjadi sakit keras akibat kemurtadan Banyak
Thole yang kembali memeluk agama Hindu Budha dan berniat melawan Demak,
dalam keadaan sakit keras Banyak Belanak disangka sudah wafat sehingga dikubur
hidup-hidup oleh Banyak Tholle, saat para santri berziarah, terdengar suara Banyak
Belanak yang menyatakan bahwa ia dikubur hidup-hidup oleh anaknya. Mendengar
berita tersebut Banyak Tholle menggali kubur ayahnya, namun ayahnya saat itu
benar-benar sudah meninggal, merasa dipermainkan para santri disiksa dan
dianiaya, para santri melapor ke Demak dan Pasukan Demak membumihanguskan
Kadipaten Pasirluhur, Banyak Thole menjadi buron dan melarikan diri ke Desa
Bocor Kebumen sampai meninggalnya. Kadipaten Pasirluhur diserahkan kepada
Patih Wirakencana/Banyak Geleh dengan Gelar Pangeran Senopati Mangkubumi II
yang menjadi murid kinasih Syech Makdum Wali dan pada saatnya dikebumikan
dalam satu liang lahat di pesareyan astana pasir luhur Karanglewas. 3.
Dayeuhluhur masa Galuh Pakuan Kawali Di akhir masa kepemimpinan Candilaras,
Kerajaan Demak setelah Sultan Trenggono wafat th 1546, Demak mengalami
kemunduran akibat perselisihan saudara, sehingga daerah bawahan Demak Cirebon
banyak yang memberontak dan melakukan ekspansi, dalam hal ini Galuh-Kawali
melepaskan diri dari Demak dan mengekspansi Dayeuhluhur sehingga kadipaten
Dayeuhluhur dibubarkan dan wilayahnya sebagian besar masuk ke Galuh-Kawali.
Anak-anak Candilaras yaitu Kihadeg Cisagu yang berpindah ke Penyarang Desa
Kunci Sidareja menjadi tetua di daerah itu dan menjadi ulama penyebar agama
islam memiliki putra Kyai Arsagati dan seorang putri, sedangkan ki hadeg Ciluhur
berpindah ke Majenang menjadi tetua dan ulama berputra ki Ranggasena dan
seorang putri. Kakak beradik Kihadeg Cisagu dan Ki hadeg Ciluhur menikahkan
kedua putra putrinya secara silang. Kyai Arsagati menikahi putri perempuan Ki
Hadeg Ciluhur dan Ki Ranggasena menikahi putri Ki hadeg Cisagu dan bermukim
di Penyarang bersama mertuanya. Pada masa keruntuhan Demak dan berganti
menjadi Pajang wilayah kekuasaannya hanya sampai Banyumas dan tidak sampai
ke Dayeuhluhur. 4. Dayeuhluhur Masa Kerajaan Mataram Ketika Pajang runtuh
dan berdiri kerajaan Mataram di bawah Panembahan Senopati, Mataram melakukan
ekspansi sampai ke Jawa Barat dan meruntuhkan Galuh Kawali tahun 1595. 4.a.
Kyai Ngabehi Arsagati Ketika Panembahan Senopati sampai di Penyarang (daerah
Sidareja) Panembahan Senopati mengangkat Ranggasena menjadi Rangga di
Penyarang dan Karena Panembahan Senopati terkesima oleh kanuragan dan
kefasihan berbahasa Jawa dan Sunda dari Kyai Arsagati yang sudah berusia 71
tahun, maka Panembahan Senopati berkenan menghidupkan lagi Kadipaten
Dayeuhluhur menjadi wilayah Mataram mancanegara kilen , namun wilayahnya
mengecil menjadi 1/3 jaman Hindu Buddha, karena bagian Cilacap Timur didirikan
Kadipaten Donan dan Kadipaten Jerulegi, Daerah Ayah masuk Kadipaten Panjer
(Kebumen, sekarang) dan Daerah Maos Kroya masuk wilayah Kadipaten Roma
(Gombong, sekarang) dan mengangkat Kyai Ngabehi Arsagati sebagai Adipati di
Dayeuhluhur (Adipati ke 4 dari Banyak Ngampar) dan mendirikan astana di
Karangbirai . Kyai Ngabehi Arsagati berputra 2 yaitu Kyai Ngabehi Raksagati dan
Kyai Warga Jaya alias Kyai Ciptagati. Sareyan Kyai Ngabehi Arsagati berada di
Karangbirai Dayeuhluhur. 4.b. Kyai Ngabehi Raksagati Kyai Ngabehi Raksagati
menggantikan ayahnya menjadi Adipati Dayeuhluhur ke 5, berputra Kyai Ngabehi
Raksapraja/Reksapraja/Arsapraja. Pada masa Raksagati inilah wilayah Jawa Barat
telah banyak dikuasai oleh VOC, sehingga timbul pemberontakan para pendekar
silat dari Jampang yang dipimpin pangeran Panjalu H.Alit Perwitasari. Catatan
Dr.F.De Hans Belanda menyebutkan bahwa Perwitasari yang di Jawa dikenal
dengan PRAWATA SARI melakukan pemberontakan dan bekali-kali
memporakporandakan Batavia, ia dijadikan buron oleh VOC dan diperintahkan
kepada seluruh Bupati di seluruh Priangan untuk menangkapnya dengan iming-
iming hadiah. Perwitasari kemudian memindahkan pergerakannya ke Jawa Tengah
dan dengan tipu muslihat VOC dapat menangkap di Kartasura dan dibunuh di
Dayeuhluhur dan dimakamkan di palalangon dikenal sebagai makam pangeran
Panjalu bersebelahan dengan makam Kyai Ngabehi Raksagati meskipun tahun
meninggalnya Kyai Ngabehi Raksagati jauh lebih tua dari pangeran Panjalu H.Alit
Perwitasari 12 Juli 1707. Khusus mengenai H.Ali Perwitasari, pahlawan nasioanl
dari Cianjur Tanah Jampang ini ada versi ceritera lain sebagai berikut : Raden Haji
Alit Perwitasari adalah pendekar silat dan ulama dari Jampang keturunan Prabu
Singacala dari Panjalu. Ia memulai pemberontakan kepada Belanda mulai Maret
1703 dengan memobilisasi rakyat pesilat Jampang sampai berjumlah 3.000 orang.
VOC kewalahan dan Batavia berkali kali diobrak abrik, suatu ketika komandan
VOC Pieter Scorpoi menggiring 1.354 rakyat Jampang lewat Cianjur untuk dihukum
di Batavia banyak yang meninggal diperjalanan dan tersisa hanya 582 orang,
tujuanya untuk mengendorkan semangat pasukan Alit Perwitasari. Justru th 1705
pasukan Alit Perwitasari menyerbu Priangan Timur, lalu mengepung Batavia dan
Bogor, membuat kekacauan di Sumedang, mengalahkan Belanda dalam 3 kali
pertempuran. Belanda Geram dan mengultimatum Bupati seluruh Tatar Sunda
untuk menangkap Perwitasari, th 1706 pasukan Perwitasari memindahkan
gerakannya ke Jawa dan tertangkap setelah ditipu Belanda di Kartasura tanggal 12
Juli 1707 dan dimakamkan di Desa Bingkeng Kec.Dayeuhluhur Kab.Cilacap dikenal
sebagai makam turunan Panjalu. (faktualnya di Palalangon atau di Nambo???).
RH.Alit Perwitasari Pahlawan yang terlupakan dari Cianjur berada di Dayeuhluhur.
(ini relevan dengan Pemindahan Pos Batas Belanda dan Surakarta dari Pamotan ke
Madura-Wanareja th.1705 untuk mengawasi pergerakan pasukan Alit Perwitasari)
4.c. Kyai Ngabehi Raksapraja Dalam Naskah berbahasa Perancis LOUIS CHARLES
DAMAIS, L’EPIGRAPHE MUSULMANE DANS LE SUD EAST ASIATIQUE
HAL.589 (ISLAMISASI ASIA TENGGARA) disebutkan: Pada tanggal 6 Rabiul
Awwal tahun Wawu (jika dikonversikan ke tahun masehi kisaran tahun 1681) Kyai
Ngabehi Raksapraja diangkat menjadi Adipati Dayeuhluhur oleh Sunan Kartasura (
Sunan Amangkurat II Amangkurat Amral, yang memindahkan Mataram dari
Kotagede ke Kartasura). Pengangkatannya bersamaan dengan pengangkatan
pamannya Kyai Warga Jaya alias Kyai Ciptagati sebagai Baboon (Pelindung para
pemimpin dan Kepala Desa) di wilayah Barat sampai Priangan. Babon melindungi
keselamatan adipati dan akuwu dari bahaya serangan binatang buas (saat itu masih
banyak binatang buas memangsa manusia). Kyai Ngabehi Raksapraja merupakan
keturunan langsung darah laki-laki (garis bapak) dari Arya Gagak Ngampar yang
menjadi adipati di Dayeuhluhur. Sedangkan Kyai Cipagati berputrakan Kyai
Suradika. Untuk Memahami periode Raksapraja dan seterusnya maka kita harus
menyimak sejarah Demak sampai Mataram era Amangkurat Amral. Pada tahun
1475-1478 Raden Patah/Cek Kopo/Senopati Jim Bun keturunan Brhe Kertabumi
(Barawijaya V Raja Majapahit dari ibunya Muslim Cina berkebangsaan Campa
(Wilayah Mongol) mendirikan Kadipaten Demak Bintoro sebagai wilayah perdikan
di bawah Majapajit. Selama 1475 1478 tersebutlah ceritera bahwa para wali (Dewan
Wali Sanga) mempengaruhi Raden Patah untuk mendirikan kerajaan Islam dan
mengajak ayahandanya masuk Islam, sering terjadi perselisihan antara Majapahit
dan Demak yang pada akhirnya terjadi penyerbuan Majapahit ke Demak yang
dipimpin oleh Adipati Terung (Hussen anak Arya Damar Palembang dengan putri
Campa yang diangkat Brawijaya V menjadi Adipati Terung) Penyerbuan berbalik
menjadi koalisi setelah Adipati Terung mengetahui bahwa Raden Patah adalah Cek
Hassan Kopo kakaknya satu ibu. Ketika Demak akan menyerang Majapahit telah
didahului oleh serangan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana th 1478 dan
membunuh Brawijaya V, ia kemudian memindahkan Majapahit ke Kediri dan
mengangkat diri sebagai Brawijaya VI. Saat itu pula Demak Bintoro
memproklamirkan sebagai kerajaan Islam yang berdiri sendiri dan melanjutkan
ekspansi penyerangan berkali-kali ke Majapahit. Unrtuk memperkuat armada
perang dan hegemoni politik dibawah nasihat walisongo, putra-putri Demak
banyak yang dinikahkan dengan putra putri kerajaan Cirebon sehingga terjalin
koalisi Demak-Cirebon yang kuat yang mampu mengusasi Jawa Tengah dan
Priangan Timur termasuk Pasirluhur dan Dayeuhluhur. Raden Patah wafat 1518
digantikan menantunya Pati Unus yang melakukan ekspedisi Malaka, Pati unus
digantikan Sultan Trenggana th 1521. Saat inilah islamisasi menembus Jawa Timur
dan Jawa Barat dan Kejayaan Demak Bintoro mencapai puncaknya dan sekaligus
mencapai titik kulminasi, wafatnya Sultan Trenggono th 1546 menimbulkan
perebutan kekuasaan internal antara Sekar Seda Lepen yang dibunuh Sunan
Prawata, dan th. 1549 Sunan Prawata beserta keluarga dan menantunya adipati
Jepara (suaminya Ratu Kalinyamat) dihabisi Arya Penangsang putra Sekar
sedalepen. Menantu Sultan Trenggono, Jaka Tingkir/Karebet meminta bantuan
Kiageng Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan untuk membunuh Arya Penangsang,
atas kesaktian Danang Sutawijaya dan taktik perang kedua arsitek perang tersebut
Arya penangsang tewas ditusuk tombak kyai pleret yang dibawa Danang
Sutawijaya putra dari Ki Ageng Pemanahan. Arya Penangsang tewas mengenaskan
dengan usus terberai dan putus serta darahnya dipakai mandi keramas ratu
kalinyamat yang menuntut balas atas pembunuhan adipati Jepara suaminya. Jaka
Tingkir naik tahta menjadi raja dengan Gelar Sultan Hadiwijaya dan memindahkan
kerajaan dari Demak ke Pajang dari tahun 1549 sampai 1582. Sebagai janji nya Ki
Ageng Penjawi th 1549 itu juga langsung diberi hadiah wilayah tanah perdikan Pati,
dan janji memberikan tanah perdikan Mentaok (mataram) kepada Ki Ageng
Pemanahan dan Danang Sutawijaya ditunda-tunda karena takut akan ramalan
sunan Giri bahwa kelak mataram dibawah danang sutawijaya akan menjadi
kerajaan besar menenggelamkan Pajang sehingga hanya mengangkat Danang
Sutawijaya sebagai anak angkatnya saja agar selalu di bawah pengawasannya.
Setelah dibujuk oleh Sunan Kalijaga, th.1556 alas mentaok diberikan kepada Ki
Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya. Dari 1546 sampai 1559 inilah wilayah
dibawah Demak di Priangan dan Dayeuhluhur lepas dari kekuasaan Demak, Pajang
hanya menguasai Jawa Timur dan ke barat hanya sampai Pasirluhur/ Banyumas. Th
1556 Ki Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya membabat alas mentaok yang
ganas dan banyak binatang buas di daerah Banguntapan, kemudian mendirikan
astana di daerah Kota Gede, Selatan astana berkembang menjadi pasar yang ramai
pasar kota Gede.Sehingga Danang Sutawijaya dikenal sebagai Ngabehi Loring Pasar
yang pada th 1582 melepaskan diri dari Pajang mendirikan kerajaan Mataram
dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga. Sultan Hadiwijaya menyerang
Mataram dan saat bertempur di Prambanan terjadi letusan merapi yang
memuntahkan bebatuan, pasukan Pajang kalah dan Sultan Hadiwijaya terjatuh sakit
dan akhirnya wafat dan Berwasiat kepada Pangeran Benowo anak laki-lakinya agar
mengikuti dan tunduk kepada kakak angkatnya Danang Sutawijaya atau
Panembahan Senopati. Akan tetapi sang menantu Hadiwijaya yaitu Arya Pangiri
mengangkat diri menjadi Sultan Pajang ke dua 1583-1586 dan terus menerus
menyerang Mataram namun selalu kalah, atas bantuan Mataram Pangeran Benowo
dapat menggulingkan Arya Pangiri dan menjadi Sultan Pajang Ketiga dengan status
di bawah Mataram, Karena Pangeran Benowo tidak memiliki putra Mahkota maka
Pajang akhirnya menjadi Kadipaten di bawah Mataram dan ditunjuk Gagak Baning
(adik Panembahan Senopati) sebagai adipati Pajang. Panembahan Senopati
mengembangkan wilayah Mataram sampai Jawa Timur. Jawa Tengah dan Jawa
Barat (th.1559 Galuh ditaklukan dan Kadipaten Dayeuhluhur dihidupkan kembali)
tahun 1601 wafat digantikan putranya Raden Mas JOLANG / Panembahan
Hanyokrowati yang meninggal misterius saat berburu di hutan Krapyak
(Panembahan Sedo Krapyak) th 1613. Digantikan putranya Panembahan arya
MARTAPURA yang hanya menjabat sehari dan menyerahkan tahta kepada adiknya
Raden Mas RANGSANG dengan Gelar SULTAN AGUNG HANYOKROKUSUMO.
Kematian HANYOKROWATI dan penobatan hanya sehari arya Marrtapura
meninggalkan misteri tersendiri (dalam hal ini tersebar ceritera tutur tinular bahwa
saat panembahan Senopati mengutus putrinya Putri Pembayun menjadi penari
ledhek keliling guna memikat Ki Ageng Mangir yang sakti dia benar-benar jatuh
cinta pada Ki Ageng Mangir, saat sungkem kepada mertuanya Ki Ageng Mangir
dibunuh Panembahan Senopati dengan dipukulkan kepalanya ke watu gilang, saat
itu putri pembayun telah hamil mengandung benih putra dari Ki Ageng Mangir,
putri pembayun malarikan diri dan menjadi buron, konon saat melahirkan bayinya
ditukar dengan bayinya Hanyokrowati dan diberi nama Raden Mas Rangsang. Saat
kematian Hanyokrowati Raden Mas Rangsang tidak berada di istana entah
kemana??? Saat penobatan Raden Arya Martapura Raden Mas Rangsang datang,
dan arya Martapura kalah perbawa dan menyerahkan tahta kepada adiknya Raden
Mas Rangsang, Karena ia merupakan keturunan campuran dari Panembahan
Senopati dan Ki Ageng Mangir maka Raden Mas Rangsang memiliki charisma dan
perbawa serta ilmu yang sangat mumpuni). Kepemimpinan Raden Mas Rangsang
(Sultan Agung) membawa kejayaan Mataram menundukan Surabaya dan Madura
serta Giri Prapen di wilayah Timur, di Wilayah Barat menjadikan seluruh Jawa Barat
tunduk kepada Mataram kecuali banten, berkali-kali menyerang VOC di Batavia
dan menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Beliau memindahkan istana dari
Kotagede ke Kerta-Pleret. Kekuasaan dan ketegasannya memimpin Mataram
membawa kejayaan dan menjalin hubungan baik dengan kerajaan Arab Saudi dan
Rumawi, Beliau wafat tahun 1645 setelah memimpin Mataram di puncak kejayaan
selama 32 tahun. Banyak Peninggalannya di bidang sastra, tari dan kalender Jawa
Islam perpaduan kalender hijriyah dan kalender aji saka serta menciptakan pranata
mangsa serta ilmu perbintangan. Beliau ahli perang, agama, dan seni budaya. Pada
tahun 1645 digantikan anaknya Sunan Amangkurat I (Sunan Amangkurat
Jawa/Sunan Tegal Arum), berbeda dengan ayahnya, pada masa pemerintahan
Sunan Amangkurat I banyak wilayah yang melepaskan diri dari Mataram, dimulai
oleh Wilayah Giri Prapen, akbibatnya Amangkurat menangkap dan mebunuh lebih
dari 5.000 ulama dan dibunuh secara sadis di alun-alun. Sunan Amangkurat juga
bekerjasama dengan VOC (musuh bebuyutan ayahnya) untuk menghentikan
pemberontakan-pemberontakan. Ia juga berseteru dengan putra mahkotanya
Amangkurat II dan adiknya Pangeran Puger. Perseteruan diawali saat ia terpikat
oleh putri yang bernama Rara Hoyi yang masih di bawah umur dan dititipkan
kepada pamanya pangeran pekik (pangeran dari Surabaya), ternyata Amangkurat II
dan Rara Hoyi yang sepadan umurnya saling jatuh cinta dan akhirnya hamil, setelah
Amangkurat I mengetahuinya maka murkalah ia dan Pangeran Pekik beserta
seluruh keluarganya dibunuh dan Amangkurat II diminta memilih untuk ikut
dibunuh atau membunuh rara Hoyi beserta kandungannya, tak ada pilihan dengan
berat hati Amangkurat II membunuh Rara Hoyi dan meninggalkan istana dengan
penuh dendam. Amangkurat II akhirnya bergabung dengan para pemberontak dari
Jawa Timur dan Madura pimpinan Trunojoyo yang sakit hati atas pembunuhan
ulama Giri prapen. Kedua tokoh ini saling mengikat janji untuk menjadi Raja dan
Mahapatih, namun keperkasaan pasukan Trunojoyo sulit dikendalikan Amangkurat
II dan akhirnya Trunojoyo meluluhlantakan kraton Pleret dan Amangkurat I
menjadi bulan-bulanan dalam pelarian ke wilayah Barat. Mengikuti perkembangan
ini Amangkurat II bertobat dan mengikuti ayahnya melarikan diri sampai ke Tegal
Arum, saat di Tegal Arum dendam Angkurat II kembali timbul dan memberikan air
Kelapa Muda beracun, disaat maut menjemput Amangkurat I berwasiat sekaligus
memberikan kutukan, wasiatnya berupa tombak pusaka mataram Kyai Pelret untuk
membunuh Trunojoyo dan kutukannya ia tidak akan memiliki keturunan yang
berkuasa lama di Jawa. Amangkurat I meninggal tahun 1677. Di reruntuhan Keraton
Pleret, Pangeran Puger mangangkat dirinya sebagai Raja Mataram Pengganti
Amangkurat I. Setelah mendapat tombak pusaka kyai pleret Amangkurat II
menyerbu Madura dan membunuh sahabatnya Pangeran Trunojoyo. Dan tahun
1680 mendirikan istana baru di Kartasura dan menggulingkan Pangeran Puger yang
lari ke Semarang berlindung kepada VOC. Mataram 1680 s/d 1703 dibawah
kekuasaan Amangkurat II atau Amangkurat Amral. Ia berpermaisurikan Ratu Blitar
yang sangat pencemburu dan selalu memerintahkan selir-selirnya yang hamil untuk
menggugurkan kandungannya jika tidak maka akan dibunuh sang permaisuri yang
takut putra mahkotanya raden mas SUTIKNA atau pangeran Kencet (kakinya kecil)
mendapat saingan. Untuk menghentikan kondisi tersebut Amangkurat II
menghadiahkan selir-selirnya yang diperkirakan hamil kepada bawahannya
terutama para bupati untuk dinikahi dengan catatan tidak dicampuri selama
bayinya belum lahir, setelah lahir saat sudah mulai umur 7 tahun diperintahkan
agar anak tersebut magang dalam pendidikan di kraton Kartasura sampai dewasa
dan dapat menggantikan kedudukan ayah tirinya. 5. Dayeuhluhur Masa Kartasura
( Masa Ngabehi Wirapraja) Demikian halnya dengan Bupati Dayeuhluhur Kyai
Ngabehi Raksapraja mendapat anugerah selir Amangkurat II yang sedang hamil 5
bulan untuk diperistri dan tidak dicampuri sampai bayinya lahir. Setelah bayi lahir
dan berumur 7 tahun diminta untuk magang pendidikan di Kraton Kartasura dan
diberi nama Ngabehi WIRAPRAJA yang kemudian menggantikan ayah tirinya yang
masih hidup untuk menjadi Bupati Dayeuhluhur mulai tahun 1698. Pada saat ini (th
1705) wilayah Dayeuhluhur dikurangi luasnya (dikurangi Distrik Madura) hal
tersebut terjadi karena : Setelah Sunan Puger kembali ke Kartasura dengan bantuan
VOC mengalahkan Amangkurat III dan bertahta dengan gelar Pakubuwono I, pada
tanggal 5 Oktober 1705 diadakan perjanjian antara Kerajaan Mataram dan Kompeni
di Kartasura, sebagai upah atas bantuannya menyelesaikan masalah perebutan
kekuasaan di lingkungan Kerajaan Mataram, sebagian wilayah Pulau Jawa
diserahkan VOC dimana Batas timur daerah kekuasaan VOC berpindah dari Ci
Pamanukan (Krawang) ke Sungai Losari (Kabupaten Brebes) di utara dan Sungai
Donan (Kabupaten Banyumas) di selatan melewati : Sungai Donan di Laut Selatan.
Sepanjang sungai tersebut ke arah barat sampai Segara Anakan ke arah utara sampai
muara Sungai Tsiborom (Cibereum). Sepanjang tepi timur dan utara dari rawa yang
tidak dapat dilalui sampai Tsisatia (Cisatya) sekitar Desa Madura (sekarang nama
desa di Kecamatan Wanareja), ke arah utara sebelah timur melalui Kaduomas dan
Pegunungan Dailoer (Dayaluhur), Kabuyutan Aria sampai Gunung Sumana setelah
Subang. Sebelah Tenggara Gunung Bonkock ke arah utara sampai Sungai Lassarij
(Losari) Dalam Pasal II Perjanjian 5 Oktober 1705 disebutkan jika juridikasi dan
kepemilikan tanah di sebelah barat dari gunung gunung dan sungai sungai tersebut
diserahkan kepada Kompeni. Daerah Dayeuhluhur yang menjadi bagian jajahan
Kompeni kemudian dibentuk menjadi Distrik Madura, Kabupaten Galuh
Imbanegara, Karesidenan Cirebon dan menjelang pelaksanaan perjanjian tersebut,
pada tanggal 6 April 1706 Kompeni memindahkan pos militernya dari Pamotan ke
Madura (sekarang Cilacap Barat), yang dipimpin oleh Vaandrig Egbert Jansz. Pada
waktu itu di Priangan Tenggara memang sedang berkecamuk gangguan keamanan
gerombolan Prawata Sari Teks asli Akte Batas Pemisah Perjanjian 5 Oktober 1705 : Is
met onderlinge toestmminge confort het contract voorm, en d ordres van de
respective principalen geaccordeerd en vastgesteld, dat de limitscheijdinge voorn,
beginnende van de noordskant met de mond der rivier Lassarij, daar se in zee
uijtwaterd, langs dese revier opwaarts sal loopen tot daar de rivier djangkelok
(Tjitjangkelok) sihh instord en met d, tot den berg poetsjang, gelegen aan desselfs
oever en tegenover bantar panjang, wijders-ooswaarts tot het reviertje Cawajoedang
(1) en langs d, opwaarts tot daar het sprijtje Tzimandala komt in te vloeijen, en met
d. opklimmend tot desselfs oorsprong uijt de berg Gora, vervolgens langs het hooge
en onbeganckelijke geberte, te weten, de bergen Gora gem. Tagal kanja, bankok,
kaqdaka, Soemana, Sawa, Mana, Manik, Soebang en bonkok (de tweede van dien
naam) ende Z. westwaarts afdalen met het spruijtje Tsidata (Tjilatjap) in de rivier
Tsijolang (Tjidjolang) ende langs d, tot de klip Patanga tangan (2), gelegen aan
desselfs oever beoosten en sijnde het begin van t district Madura. Vervolgens met
een Oost - en Zuijdelijke curs van Patanga tanga gem. Dienende tot limitscheijdinge
Wounkal kantja (een klip), Wounkal tougal (d). Boukit gagang Ountoung (een hooge
heuvel gelegen aan het spruijtje van dien naam katomas (3) (een hooge drioens
boom) Lowinouttouk (een klip aan t spruijtje van dien naam), paitaiang (4)
(roodagtige steenplaats) den hoogen boom boetat (5) dicht aan t spruijtje Tzjakkar,
tot den berg Tsoursouroe, ende van daar afdelende tot de rivier Tsikeojang, en met
d, uijtkomen in de rivier Tsiborom, en met d. Oostspruijt in het binnen meir gent.
Segaranakan, vervolgens langs d. strand (6) en cannal (Moteng) (7) tot in de rivier
den donang ende langs d. tot desselfs mond en uijtwatering in zee, besuijden dit
Eijland. Aldus gedaan en gepasseerd op de negorij Donang den 12 Julij 1706_,
(Volgwn de handteekeningen). (1) Aria : Kaboejouton : missehien : Kabojoetan
(KABUYUTAN ARIA) (2) id. : Selabatanga Tanga (3) id. : Kadoehomaas
(KADUOMAS) (4) id : Batahiejang (5) id. : Kadjang Poetat (6) id. : Oosterstrand (7)
id. : de rivier Mendeng Teks asli Pasal II Perjanjian 5 Oktober 1705 : Art II. Den
Sousahounang hout voor goed, cedeert en bevestigt bij desen aan dE. Comp, de
jurisdictie en eijgendom der landen bewesten de volgende rivieren en bergen;
beginnende van de mond der rivier den Donan, daar se in de Zuijdzee ujitloopt, en
voorts langs dito rivier west heenen tot Pssoroubn daar het binnenmeir begind;
wijders dan noordwaarts heenen langs de oost- en noordkant van d. meir tot de
mond der rivier Tsiborom en langs de oost - en noordkant van het daaraan volgende
ontoegangbare moeras tot Tsisatia omrent de negorije Madura, en van daar
vervolgens Noorden ten Oosten door en over het gebergte van Dailor tot den berg
Soemana off Soebang en voorts bezuijden en beoosten om het geberghte Bonkock,
om soo wijders met een noordelijken cours af ebn aijt te komen op de rivier can
Lassarij aan, en eijndelijk langs dito rivier tot aan desselfs mond en uijtwatering in
zee aan de noordkant van dit eijland, invoegen ook het district van Gabang daarin
komt begrepen te werden; verklarende de Compagnie van die landen to sjin wettig
ende souverain, Heer, sonder dat daarop oijt of oijt (1) eenige de minste pretensien,
tsij door Zign Hoogheijt ofte sijne succeseurs van het Mataramse rijk, zullen mogen
gemaakt werden, waartoe dien Sousouhounang belooft van sijn sal senden om de
limitscheijdinge te reguleren. Pada periode ini, wilayah Priangan telah tunduk pada
VOC sehingga membuat geram Prabu Pakubuwono II dan mengutus Bupati
Banyumas (Yudanegara II ) dan Bupati Dayeuhluhur (Ngabehi Wirapraja) untuk
menyerang Priangan dan Cirebon Selatan. Sampai akhirnya di Ciancang terjadilah
Tragedi Ciancang yang porak poranda dan banjir darah oleh serangan Banyumas
dan Dayeuhluhur sehingga orang Jawa Mengatakan banjir darah berbau amis
(anyir) sehingga dinamakan dengan Ciamis. Galuh akhirnya meminta bantuan VOC
dan daerah underbow VOC untuk mengusir perusuh Banyumas tersebut dan
pasukan Banyumas dan Dayeuhkuhur dapat dikalahkan dan Ngabehi Wirapraja
gugur di Ciancang tahun 1740 dan dimakamkan di pesareyan kulon dusun
Cipancur Dayeuhluhur meninggalkan banyak anak-anak yang masih kecil yang
diasuh bapak tirinya Rakspraja. Meskipun anaknya banyak catatan dalam silsilah
kebanyakan hanya mampu mencatat 3sampai 4 anak, kecuali catatan dari Majenang
dan Purwokerto yang menyebutkan dapat mencatat 5 anak-anak dari Ngabehi
Wirapraja sbb : 1. Ngabehi Wiradika I 2. Rangga Wirasraya I 3. Mas Suradika (putri;
istri Kyai Suradika alias Dewi Maskiah) 4. Mas Ajeng Wirosari (putri; istri RM
Wirosari Banyumas kelak menurunkan Trah Bratadiningrat, bupati-bupati
Banyumas)) 5. Mas Ajeng Cakramenggala (putrid) Sambil menunggu putra putrinya
dewasa pemerintahan Kadipaten Dayeuhluhur dijalankan lagi oleh Ngabehi Reksa
Praja 1740 s/d 1755. Ngabehi Raksapraja ini memang tokoh yang fenomenal, beliau
berumur panjang dan sangat luwes. Saat meninggalnya dimakamkan di sareyan
Kulon Cipancur Dayeuhluhur. Karena tahun 1742 terjadi pemberontakan Cina yang
menghancurkan Keraton Kartasura, Pakubuwono II tahun 1745 memindahkan
Keraton Kartasura ke Surakarta. Selanjutnya terjadi pemberontakan RM.Sudjadi
(P.Mangkubumi) dikenal dengan Perang Jawa. Pakubuwono II menandatangani
Perjanjian Penyerahan Kerajaan (Act of Cession) pada tanggal 11 Desember 1749
tentang penyerahan kedaulatan kepada Kompeni dan perlindungan semua putera
Susuhunan. Pada tanggal 15 Desember 1749, Putera Mahkota yang baru berusia 16
tahun dinobatkan menjadi Susuhunan Pakubuwono III. Beliau menyadari jika
pengangkatannya bukan karena keturunan, tetapi karena Kompeni menunjuknya.
Sejak itu secara de jure Surakarta menjadi vassal Kompeni. Dengan demikian daerah
termasuk Kabupaten Dayeuhluhur seluruhnya secara de jure di bawah kekuasaan
Kompeni, akan tetapi karena Kompeni memerintah secara tidak langsung melalui
Kerajaan Mataram, maka secara de facto perubahan kekuasaan itu tidak terasa.
Setelah perang Jawa (perang Mangkubumi) berlangsung lama (1746-1755) Di Gianti,
pada tanggal 13 Februari 1755 sesuai perjanjian 11 Desember 1749 (Acte van afstand
en overgave van het Mataramsche rijk van Pakubuwono II), Kompeni menyerahkan
separuh Kerajaan Mataram kepada Pangeran Mangkubumi dengan nama dan gelar
Sultan Hamengkubuwono I, Sultan Yogyakarta. Palihan Nagari yaitu Kerajaan
Mataram menjadi Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta. Kerajaan Surakarta
meliputi sebagian besar daerah Mancanegara Kulon dan setengah masing masing
daerah Agung, sedangkan Kerajaan Yogyakarta sebaliknya. Dengan demikian akan
timbul perselisihan Setelah Perjanjian Giyanti, secara de facto Kabupaten
dayeuhluhur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Surakarta meskipun secara
geografis terletak di sebelah barat Kerajaan Yogyakarta. Rajanya adalah Susuhunan
Pakubuwono III beribukota di Surakarta. Sehingga para pejabat mancanegara kilen
termasuk Ngabehi Dayeuhluhur bila menghadap Raja Surakarta tiap tahun,
berangkat sebelum Gerebeg Mulud dan pulang sesudah Grebeg Siyam, harus
berkali kali melintasi perbatasan ke dua kerajaan. 6. Dayeuhluhur Masa Penjajahan
Belanda (Masa Surakarta) 6.a. Ngabehi Wiradika I Pada tahun 1755 setelah dewasa
dan cukup umur, anak pertama Wirapraja yaitu Ngabehi Wiradika I menjadi Bupati
Dayeuhluhur dan menikah dengan putri dari Tegal namun tidak berputra alias
Ngabehi Tutup/gaboeg. Tahun 1788 Wiradika I dituduh berbuat makar dan
diasingkan ke Ponorogo. Karena ia tidak berputra maka kedudukan Bupati
selanjutnya digantikan oleh kepononkannya (anak pertama dari Rangga Wirasraya
I) dengan gelar Wiradika II 6.b. Ngabehi Wiradika II Kyai Ngabehi Wiradika II
menjabat Bupati Dayeuhluhur selama 2 periode pada masa yang berbeda. Untuk
periode I tahun 1788 s/d 1799, karena dianggap kurang cakap maka tahun 1799
beliau diperintahkan magang di Keraton Surakarta dengan nama Ngabehi
Wirasentika, saat magang dinikahkan dengan putri dari Tumenggung Wiraguna II
(Bupati Penumping Kraton Surakarta). Periode II : 1803-1820 (lihat dualisme
kepemimpinan) 6.c. Raden Ngabehi DIPAWIKRAMA Saat Wiradika II magang, th
1799 diangkat Raden Ngabehi Dipawikrama menjadi Bupati Dayeuhluhur.
Dipawikrama berasal dari Purbalingga (trah Arsantaka) beliau diangkat jadi Bupati
Dayeuhluhur sebagai kompensasi atas pemecatan kakaknya Ngabehi Dipakusuma I
sesama trah Arsantaka. Namun sayang Dipawikrama pun tidak sampai setahun
menjabat, karena dituduh membunuh patihnya (Rangga Wirasraya II),
Dipawikrama akhirnya dipecat dari jabatan Bupati Dayeuhluhur. 6.d. Raden
Tumenggung WIRAGUNA Sebagai ganti Dipawikrama maka ditunjuk
R.Tmg.Wiraguna (orang berbeda tapi nama yang sama dengan Bpt.Penumping), ia
adalah kakak beda ibu dengan Bupati Banyumas Ngabehi Cakrawedana I. Adik
putri dari R.Tmg.Wiraguna menikah dengan Tumenggung Wiraguna II (Bupati
Penumping Kraton Surakarta). Pada masa R.Tmg.Wiraguna 1799-1812 Kabupaten
Dayeuhluhur ibukotanya dipindahkan ke Majenang (MENJADI Kabupaten
Majenang) dan Dayeuhluhur menjadi berstatus desa biasa. 6.e. Raden Tumenggung
.WIRANAGARA Sebagai ganti Dipawikrama yang meninggal 1812 maka ditunjuk
anaknya R.Tmg.Wiranagara sampai meninggalnya tahun 1824, setelah itu
Kabupaten Majenang dihapuskan (lihat dualisme kepemimpinan) 6.f. Dualisme
Kepemimpinan Setelah masa magang dianggap cukup dan karena perikatan
perkawinana dengan putri Tumenggung Wiragauna II (yang juga menikah dengan
adik Wiraguna Bupati Majenang), maka tahun 1803 Wiradika II (Wirasentika)
kembali diangkat menjadi Bupati Dayeuhluhur di Majenang sehingga terjadi
dualism kepemimpinan dimana Wiraguna sebagai Bupati Majenang dan Wiradika II
sebagai Bupati Dayeuhluhur dimana keduanya beribukota di Majenang. Wiradika II
menjabat sampai tahun 1820 bersama Wiraguna dan Wiranagara. Tahun 1820
Wiradika II meninggal dan dikebumikan di pesareyan Gunung Purwa
Dayeuhluhur. 6.g. Kyai Ngabehi WIRADIKA III (TUMENGGUNG
PRAWIRANEGARA) Untuk menggantikan kedudukan ayahnya Wiradika II yang
meninggal, ditunjuklah putranya yang ke 8 yaitu Wiradika III (putra dari putri
Tmg.Wiraguna II) sebagai Bupati Dayeuhluhur dan menjadi 2 pemimpin bersama
Wiranagara sampai tahun 1824. Ketika Wiranaga meninggal th 1824 Kabupaten
Majenang dilebur dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Dayeuhluhur dengan
ibukota tetap di Majenang dengan Bupatinya Wiradika III (sebagian orang menjadi
menganggap sebagai kabupaten Majenang, dimana Wiradika III dianggap sbg
Bupati Majenang). Tahun 1825-1830 terjadi Perang Diponegoro, yang dimulai pada
tanggal 20 Juli 1825 bisa dikatakan berakhir pada tanggal 28 Maret 1830 sehari
setelah Lebaran, dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro ketika tertipu dalam
perundingan dengan Jendral de Kock di rumah Residen Kedu, Mr. Valck di
Magelang.Perlawanan terakhir Pasukan Diponegoro terdapat di perbatasan daerah
Dayaluhur dan Banyumas yang dipimpin oleh Demang Ajibarang Singadipa.
Walaupun Kerajaan Surakarta tidak turut melawan, dengan alasan bahwa
Pemerintah Belanda terpaksa terus menerus melindungi Kerajaan Surakarta dan di
kemudian hari boleh jadi akan demikian pula. Pemerintah Belanda meminta ganti
rugi bagi pengorbanannya. Kerajaan Surakarta merasa berat melepaskan daerah
Mancanegara yang diminta Pemerintah Belanda, akan tetapi tidak mampu
menolaknya. Bagelen hendak ditahan, tetapi komisi menjawab bahwa para
bangsawan dan pejabat akan diberi ganti rugi. Susuhunan Pakubuwono VI merasa
kesal, pada tanggal 5 Malam 6 Juni 1830 meninggalkan Istana Surakarta, tanpa
memberitahu Residen, dengan maksud berziarah ke makam nenek moyangnya di
Imogiri dan bersemedi, tetapi kemudian ditangkap Belanda di Gua Mancingan.
Setelah Susuhunan Pakubuwono VII berkuasa, pada tanggal 22 Juni 1830,
Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perjanjian baru dengan Susuhunan
Pakubuwono VII . Mancanegara diserahkan pada Pemerintah Hindia Belanda yang
akan membayar sebesar f 204.000 / tahun sebagai ganti rugi dan Susuhunan akan
diminta pendapat dalam hal pengangkatan para bupati. Dengan demikian sejak
tanggal 22 Juni 1830 kekuasaan Kerajaan Surakarta tamat di daerah mancanegara
termasuk Dayeuhluhur, Jaman Jawa diganti Jaman (penjajahan) Belanda. Adapun
wilayah Dayaluhur saat itu , batas barat Karesidenan Cirebon, timur Tayem, utara
Tagal dan selatan Sungai Cikawung, ibukota Majenang. Tanah Dayaluhur
merupakan sebagian daerah cikal bakal ex Kawedanan Majenang dan Sidareja. Pada
tanggal 14 Oktober 1830 diusulkan agar Tanah Madura digabungkan dengan
Dayaluhur dengan ibukota Majenang yang jaraknya hanya 12 pal (sekitar 18 km)
dan batas Dayaluhur agar dimekarkan ke arah barat sampai Sungai Cijulang,
sehingga pemasaran komoditas export menemukan jalan keluar melalui sungai
sungai tersebut dari pada melalui Cirebon yang bergunung gunung dan berjarak 81
pal (sekitar 121,5 km). Atas usul Mr. Vitalis berdasar kepentingan ekonomis, maka
batas barat Kabupaten Cilacap yang sekarang ini tidak lagi merupakan batas
alamiah etnis seperti diutarakan ahli bahasa Mr. Kern tentang batas Kerajaan
Mataram dan Kompeni berdasar perjanjian tahun 1705 di Kartasura. Oleh Karena itu
sampai sekarang bagian barat Kabupaten Cilacap dihuni oleh penduduk berbahasa
Sunda.Dalam Nota Pembagian Wilayah Baratlaut yang dilaporkan Asisten Residen
Vitalis kemudian, daerah Banyumas Baratlaut dibagi menjadi 2 Afdeling yaitu
Ajibarang dan Dayaluhur. Sebagai ilustrasi cacah jiwa daerah cikal bakal Kabupaten
Cilacap pada tahun 1830, dikutipkan dari nota tersebut cacah jiwa Dayaluhur:
Distrik Kampung Rumah Tangga Penduduk Majenang 48 739 3795 Madura 53 1324
6620 Pegadingan 31 431 2150 Tayem 102 1452 7260 Jambu 122 1357 6785 Jeruklegi
115 1595 7975 Nusakambangan 14 168 1284 Jumlah 485 7086 35869 Luas daerah
Dayaluhur boleh dikatakan tidak mengalami perubahan selama pergantian
kekuasaan Kerajaan Demak (1478-1546), Pajang (1546-1587), Mataram (1587-1755)
dan Surakarta (1755-1830). Daerah Dayaluhur, sejak tahun 1816 ibukotanya di
Majenang, menurut Kontrolir Vitalis pada tahun 1830, di sebelah barat berbatasan
dengan Karesidenan Cirebon, utara Karesidenan Tegal, timur Tanah Tayem, selatan
Sungai Cikawung yaitu berbatasan dengan Babakan, Panjaran dan Pegadingan
luasnya hanya 144 bau (1 bau = 7.000m2). Sesuai dengan surat keputusan Gubernur
Jendral Mr. J. G. van den Bosch tanggal 18 Desember 1830 no. 1, maka Mr. P.H. van
Lawick van Pabst, Komisaris Tanah Tanah Kerajaan yang diambil alih di Semarang
pada tanggal 20 April 1830 menyusun batas batas Kabupaten Dayu Luhur sebagai
berikut : a. Batas selatan : dari muara Sungai Serayu mengikuti batas selatan
Karesidenan Banyumas, menelusuri pantai ke arah barat daya melalui desa Cilacap
hingga muara Sungai Citandui. b. Batas barat : mengikuti sebagian batas barat
Karesidenan Banyumas, dari muara Sungai Citandui ke hulu sampai muara Sungai
Cijulang di selatan, ke hulu sampai kaki barat Gunung Bongkok. c. Batas utara : dari
kaki barat Gunung Bongkok melalui puncaknya ke arah Gunung Suban, ke arah
timur menuju Gunung Telaga di Pegunungan Kendeng Utara. d. Batas timur : dari
Gunung Telaga Boga ke arah selatan melalui Gunung gunung Caun, Windu Negara,
Puseran, Kotajaya dan Gunung Badok menuju ke kaki gunung terakhir pada tepi
Sungai Serayu dan ke arah hilir sampai muara Sungai Serayu. Jadi pada waktu itu
Kabupaten Dayu Luhur merupakan daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap sebelah
barat Sungai Serayu, sedangkan daerah cikal bakal sebelah timur Sungai Serayu (ex
Kawedanan Kroya) masih termasuk Kabupaten Banyumas.(Amuttetz, J.E.Z., Kort
Verslag der Rivier Serajoe in de Residentie Banjoemaas en het Terrein Telatjap 1831,
Pekalongan, den 15 April 1831, ANRIJ dan Bijlagen van het Resolutie, Bundel Besluit
den 22 Augustus 1831 no 1, ANRIJ) Pejabat Pejabat Eropa Afdeling Ajibarang:
Kabupaten Dayu Luhur bersama Kabupaten Ajibarang merupakan satu Afdeling
Ajibarang dengan ibukota Ajibarang. Oleh karena itu Asisten residen Afdeling
Ajibarang Mr. D. A. Varkevisser bertempat tinggal di Ajibarang. Jabatan
onderkolektur yang dipangku pejabat pribumi termasuk formasi pejabat Eropa,
mereka juga berdomisili di Ajibarang dan dijabat oleh Mas Yudadiwiria.Staf
Afdeling terdiri dari Klerk (pembantu jurutulis) Eropa dan pribumi, seorang
Hupupas dan 6 orang Upas, seorang Hukanjeneman dan 4 orang Kajenemen.
Pejabat pejabat pribumi Kabupaten Dayu Luhur: Oleh Komisaris, formasi jabatan
kabupaten dinamakan Polisi Umum (Algemeene Policie), di Distrik dinamakan
Polisi Distrik. Polisi Umum Dayu Luhur yang pertama adalah: a. Regent : Raden
Tumenggung Prawiranegara gaji f 500 b. Patih : Mas Kramayuda gaji f 75 c. Kliwon :
Mas Reksadikara gaji f 30 d. Mantri : Mas Kramasudira dan Mas Pertiwa gaji f 20 e.
Jaksa : Jayamenggala gaji f 30 f. Penghulu : Tayep gaji f 20 g. Jurutulis regent f 15 h. 6
orang Jaga Karsa gaji f 6 Polisi Distrik Majenang : a. Wedana : Mas Reksadika gaji f
60 b. Mantri : Mas Singamenggala gaji f 20 c. Jurutulis gaji f 12 d. 5 orang Jaga Karsa
gaji f 6 Polisi Distrik Dayu - Luhur : a. Wedana : Mas Wirakertika gaji f 60 b. Mantri :
Mas Palwawijaya gaji f 20 c. Jurutulis gaji f 12 d. 6 orang Jaga Karsa gaji f 6 Polisi
Distrik Pegadingan : a. Wedana : Mas Mertadika gaji f 60 b. Mantri : Mas Yuda
Anggaranu dan Yudarana c. Jurutulis gaji f 12 d. 7 orang Jaga Karsa gaji f 6 Polisi
Distrik Jeruklegi : a. Wedana : Mas Dipawangsa gaji f 60 b. Mantri : Mas Pancasela
gaji f 20 c. Jurutulis gaji f 12 d. 5 orang Jaga Karsa gaji f 6 Sebab penduduk di
Kabupaten Dayu Luhur jarang, maka gaji pegawai kabupaten tersebut lebih sedikit
daripada gaji pegawai di kebupaten lain. Sebagai contoh perbandingan gaji pegawai
Polisi Distrik Ayah (Adireja), cikal bakal ex Kawedanan Kroya yang pada waktu itu
termasuk Kabupaten Banyumas : a. Wedana : Mas Ngabehi Kertapraja gaji f 80 b.
Mantri : Mas Candradirana dan Yudasudira gaji f 30 c. Jurutulis gaji f 15 d. 4 orang
Jaga Karsa gaji f 8 Batas batas 4 distrik dalam Kabupaten Dayu Luhur : a. Distrik
Dayu Luhur : Dari puncak Gunung Suban, ke arah barat, baratdaya melalui Gunung
Bongkok sampai Sungai Cijulang, ke hilir sampai bermuara di Sungai Citandui, ke
hilir menuju tepi Rawa Buaya. Dari titik tersebut ke arah timur laut menuju
Pegunungan Sesuru, ke arah utara menuju Sungai Cikawung, ke hilir menuju
Sungai Cigegumi bermuara, ke arah utara menuju Gunung Cendana dan satu garis
lurus menuju Sungai Cijalu, ke hilir menuju Kendeng sebelah utara (Gunung
Sengan), ke arah barat menuju puncak Gunung Suban. b. Distrik Majenang : Sebelah
barat batas timur Distrik Dayu Luhur menuju Sungai Cigegumi bermuara di Sungai
Cikawung, ke arah timur dan tenggara menuju Sungai Cikondang bermuara ke hulu
menuju mata air di Kendeng sebelah utara. Dari titik mata rantai pegunungan
tersebut ke arah barat melalui puncak puncak utara Gunung-gunung Mruyung,
Selokambang dan Geni, terus menuju puncak Gunung Sengan. c. Distrik Pegadingan
: Sebelah timur, batas sebelah barat Kabupaten Ajibarang dan Distrik Jeruklegi.
Sebelah barat sepanjang Sungai Citandui ke hulu menuju batas selatan Distrik Dayu
Luhur. Sebelah utara, batas sebelah selatan Distrik Majenang, menuju Sungai
Dikandang menuju mata air yang terletak di Kendeng sebelah utara, dari situ ke
arah timur menuju Gunung Telagaboga. Sebelah selatan, Segara Anakan dan Laut
Selatan. d. Distrik Jeruklegi : Dari muara Sungai Serayu menuju kaki Gunung Badak,
dari sana menuju rantai gunung gunung Kutajaya, lebih jauh dari pegunungan ini
melalui puncak puncak Gunung Prumpung, Blubuk dan Banjaran, dari kaki gunung
ini menuju Sungai Ciaur, ke hilir sampai bermuara di Segara Anakan, dari tepi
pantai ke arah selatan, lebih jauh ke arah tenggara menuju Desa Celacap, dari sana
ke arah timur laut sepanjang pantai menuju muara Sungai Serayu.Pembentukan
Kabupaten Dayu-Luhur pada Zaman Penjajahan Belanda sebetulnya merupakan
pemekaran yang luar biasa dari Negeri Dayaluhur lama pada Zaman Jawa. Daerah
yang semula hanya seluas 144 bau (1 bau = 7.000m2), sekarang mekar ke segala
penjuru utara, dengan pemerasan damai dari wilayah Hindia Belanda yang lama,
yaitu sebagian Distrik Madura, Kepatihan Imbanegara, Kabupaten Galuh,
Karesidenan Cirebon, dan dari daerah ex Kerajaan Surakarta lainnya, seperti
sebagian Kabupaten Banyumas Kasepuhan dan Kanoman, Pancang (Jeruklegi) dan
Perdikan (Donan). Disamping itu, para pejabat baru Kabupaten Dayu-Luhur
Afdeling Ajibarang adalah tetap para pejabat ex Negeri Dayu-Luhur Kerajaan
Surakarta, oleh karena itu wajar apabila mereka secara tidak terduga semula merasa
mendapatkan promosi dalam bidang kewenangan dan pendapatan, karena memang
Negeri Dayu-Luhur sudah sejak abad XV berkuasa di daerah cikal bakal Kabupaten
Cilacap sebelah barat Sungai Serayu. 7. Pembubaran Kabupaten Dayeuhluhur oleh
Belanda Karena dianggap membela P.Diponegoro (ada yang menyebutkan karena
tindakan kriminal) Tumenggung Prawiranegara Bupati Dayu Luhur dipecat dari
kedudukannya dan kemudian dibuang ke Pulau Banda. Raden Wirjaatmadja dalam
Babad Banyumas secara singkat hanya memberitakan jika Tumenggung
Prawiranegara menderita sakit jiwa dan dibuang ke Padang. Dengan surat Asisten
Residen Ajibarang pada tanggal 24 Oktober 1831 no 184, Bupati Ajibarang diberi
kuasa Kabupaten Dayu-Luhur. Lowongan jabatan Bupati Dayu-Luhur ditiadakan.
Oleh karena itu Kabupaten Dayu-Luhur yang baru 2 bulan dikukuhkan, merosot
statusnya menjadi Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur Kabupaten Ajibarang, yang
dipimpin oleh Mas Kramayuda. 8. Pembentukan Kabupaten Cilacap oleh Belanda
Gubernur Jendral Mr. J. G. van den Bosch mengunjungi Cilacap pada tanggal 9
Oktober 1832 dan mengubah status Kabupaten Dayu-Luhur menjadi Kepatihan
(Patteschap) Dayu-Luhur. Dengan surat keputusan tanggal 15 Mei 1838 no 5,
Pemerintah Hindia Belanda hanya menyetujui usul mutasi para pejabat Pattehschap
Dayu-Luhur saja, sedangkan perubahan struktur tidak. Adapun usul yang
dikukuhkan yaitu : 1. Mas Kramayuda (42 tahun), Patih Dayu-Luhur, karena
kesalahannya, diberhentikan dengan hormat, mendapat pensiun f 30, dan diganti
oleh Wedana Dayu-Luhur Mas Wirakertika dengan nama Mas Wiradika, dengan
gaji f 150. Wedana Dayu-Luhur diganti oleh Kliwon Majenang Resadikara. Kliwon
Majenang diganti oleh Tirtadirana, jurutulis Asisten Residen Purwokerto yang
pernah menjadi jurutulis Distrik Jeruklegi (1831 1834) dan jurutulis Terusan
Kesugihan Kuripan (1834 1835). 2. Mas Mertadikara, Wedana Pegadingan, karena
tidak cakap, diganti oleh Mantri Pegadingan, Kyai Yudarana. Mantri Pegadingan
diganti oleh Jaga Karsa Pegadingan Mertawijaya. Menurut Residen Banyumas, Mr.
G. de Seriere, Mas Kramayuda adalah seorang pejabat yang sangat giat, ikut
mendirikan bangunan di Cilacap, membangun terusan, hidup di rawa rawa. Oleh
karena itu menjadi sakit, sehingga tidak mampu keluar dari rumahnya. Dapat
dikatakan jika Mas Kramayuda adalah korban pejabat ketiga pembangunan terusan
di Cilacap. Akibat usul Residen G. de Seriere memindahkan ibukota Pattehschap
Dayu-Luhur dari Majenang ke Cilacap (sekarang). Menurut Mangkoewinata, Mas
Kramayuda lebih suka dipensiunkan atau diturunkan pangkatnya menjadi wedana,
asalkan tidak ditempatkan di Cilacap, sebab saat itu Cilacap sangat angker.
Demikian pula Mas Mertasura, Mantri Gudang Jatilawang, putera Bupati
Purwokerto, Adipati Mertadireja II, yang oleh ayahnya dijagokan menjadi Patih
Kepala Daerah juga menolak, beliau lebih suka tetap di tempat atau kalau
dipindahkan, memilih lain Regentschap. Demikian pula pejabat pejabat lain, tidak
ada yang mau dipromosikan ke Cilacap, kecuali Patih Banyumas, Raden
Tjakradimeja, walaupun sudah mendapat jabatan tinggi, beliau mengingat
ayahandanya Raden Tjakrawedana I, almarhum Bupati Banyumas Kasepuhan.
keputusan Wakil Gubernur Jendral, Mr. Merkus tanggal 27 Juni 1841 no
10231).tanggal 27 Juni 1841 no 19 ditetapkan : Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur
dipisahkan dari Kabupaten Purwokerto dan Distrik Adireja dipisahkan dari
Kabupaten Banyumas, dan dijadikan satu Afdeling tersendiri yaitu Afdeling Cilacap
dengan ibukota Cilacap (sekarang) yang menjadi tempat kedudukan Kepala Pejabat
Eropa, Asisten Residen dan Kepala Pejabat Pribumi Rangga atau Onder Regent
dengan gaji f 150 per bulan, bukan Regent lazimnya. Dengan demikian
Pemerintahan Pribumi dinamakan Onder Regentschap (dibawah Kabupaten).
Adapun batas Distrik Adireja (Ayah) yang bersama Kepatihan Dayu-Luhur
membentuk Onder-Regentschap Cilacap, menurut rencana sebelumnya Residen
Banyumas, Mr. J.E. de Sturler tanggal 31 Maret 1831, yang dikukuhkan dengan
Resolusi tanggal 22 Agustus 1831 no 1 adalah : Dari muara Sungai Serayu ke hulu
menuju titik tengah ketinggian Gunung Prenteng. Dari sana menuju puncak, turun
ke arah tenggara ke atas Pegunungan Kendeng dan terutama di atas Puncak
Gunung Duwur, menuju Puncak Gunung Gumelem (Igir Melayat). Dari sana ke
arah selatan mengikuti batas Karesidenan Banyumas dan Bagelen menuju laut. Dari
sana sepanjang pantai menuju muara Sungai Serayu. Onder Regentschap Tjilatjap
sebetulnya merupakan kesinambungan perubahan struktur kekuasaan
pemerintahan daerah Negeri Dayu-Luhur yang pada saat terakhir bernama
Pattehschap Dayu-Luhur, mengalami pemekaran wilayah dengan sebagian wilayah
Distrik Adireja, perpindahan ibukota dari Majenang ke Cilacap dan perubahan
nama dari Dayu-Luhur ke Cilacap, menjadi Onder Regentschap Cilacap atau
dibawah Kabupaten Cilacap sesuai ketetapan surat keputusan Wakil Gubernur
Jendral, Mr. Merkus tanggal 27 Juni 1841 no 10231). Struktur jabatan Onder
Regentschap Cilacap pada saat pengukuhan struktur administrasi adalah sebagai
berikut : Pejabat Eropa Nama Gaji Assistant Resident J. Prins f 500 Pakhuis Mister
J.A. Kempees f 300 Pejabat Pribumi Rangga Raden Tjakradimeja f 150 Kliwon Raden
Surodiputro f 30 Jaksa Raden Sastradiwirya f 30 Penghulu Mas Tayib f 20 Wedana
Majenang Raden Wiradikrama f 60 Mantri Majenang Mas Wangsakrama f 20
Wedana Dayuluhur Mas Reksadikara f 60 Mantri Dayuluhur Mas Purwawijaya f 20
Wedana Pegadingan Mas Yudanegara f 60 Mantri Pegadingan Mas Kramasudira f
30 Mantri Pegadingan Mas Mertadijaya f 20 Wedana Cilacap Mas Reksadika f 60
Mantri Cilacap Mas Tirtawijaya f 30 Mantri Cilacap Mas Wangsasemita f 20 Wedana
Adireja Mas Reksadiwirya f 80 Mantri Adireja Mas Cadikrama f 30 Mantri Adireja
Mas Mertadiwirya f 30 Mantan Pejabat Pribumi Raden Mertakusuma Mantan
Ngabehi Ayah f 40 R.T. Prawiranegara Mantan Regent Dayu-Luhur f 50 Mas
Mertadipura Mantan Wedana Majenang f 10 Mas Kramayuda MantanPatih Dayu-
luhur f 30 surat keputusam Wakil Gubernur Jendral Mr. P. Merkus tanggal 20 Juli
1842 no 7 ditetapkan bahwa: 1. Semua pejabat yang sementara diangkat dengan
surat keputusan Residen Banyumas, dikukuhkan Pemerintah Hindia Belanda,
termasuk pengakuan Raden Tjakradimeja, Patih Afdeling Cilacap menjadi Onder
Regent / Rangga Cilacap dengan nama Raden Rangga Tjakradimeja. 2. Kenaikan gaji
Raden Rangga Tjakradimeja Cilacap disetujui. Dengan surat keputusan tersebut,
kenaikan gaji Rangga pada prinsipnya disetujui. Oleh sebab jumlah kenaikan gaji
tersebut belum disebut dalam surat keputusan, berarti Pemerintah Hindia Belanda
masih membutuhkan argumentasi lagi yang lebih kuat dari Residen Banyumas. Jadi
pada tanggal 8 September 1842, Residen Launy sekali lagi mengajukan permohonan
usul. Beliau mengajukan kenaikan gaji Raden Rangga Tjakradimeja dari f 150
menjadi f 300. Perlu dicatat disini luas dan jumlah penduduk Onder Regentschap
Cilacap : Nama Distrik Luas pal Jumlah Penduduk Cilacap 434 700 Adireja 280
24.000 Pegadingan 496 8.316 Majenang 196 1.154 Dayu-Luhur 144 2.652 Pemerintah
Hindia Belanda pada tanggal 10 Februari 1845 hanya menyetujui pembentukan
Distrik Kalireja, sedang penggabungan Distrik Majenang dan Dayu-Luhur supaya
ditunda selama 3 bulan. Menurut penuturan Bupati Cilacap, R.M.A.A. Tjakrasiwaya
pada Mangkoewinata, kakeknya Tumenggung Tjakradimeja, salah seorang
puteranya yang lahir di Donan dinamakan Bagus Donan dan setelah dewasa
bernama R.M. Panji Tjakrawiratmaja atau Panji Sepuh. Dalam daftar istri dan putera
Raden Adipati Tjakrawedana, Bupati Cilacap yang disusun pada tahun 1873, Bagus
Donan berusia 26 tahun, jadi semestinya beliau lahir pada tahun 1847, pada waktu
ayahnya berdomisili di Donan. Dari Donan kemudian Raden Tumenggung
Tjakradimeja pindah lagi ke Kampung Klapapitu (tujuh kelapa), tempat kedudukan
Bupati Cilacap sampai sekarang ini. Apabila kita melihat angka di Pendopo Cilacap
ditatah abadikan 1775 tanpa embel embel apapun, tarikh angka tersebut
menunjukkan tahun Jawa yaitu 1775 Dal bertepatan dengan kalender Masehi antara
20 Desember 1846 dan 1 Desember 1847, sebab Bagus Donan lahir di Donan tahun
1847, maka minimal pembangunan Pendopo Kabupaten Cilacap didirikan tahun
1847 sebagai peringatan pembentukan Kabupaten Cilacap. Angka 1775 tersebut
yang pasti bukan tahun Masehi sebab laporan laporan orang asing yang pernah
meninjau Tlatjap, seperti Horsfield (1812) dan Ammutetz (1831) hanya melihat
puing puing sisa pembajakan tahun 1806. Jadi kemungkinan besar Pendopo
Kabupaten Cilacap sekarang mulai dibangun hari Senin Paing 21 Sapar 1774 Dal.
Ceritanya setelah Bagus Donan lahir di Donan, kemungkinan Raden Tumenggung
Tjakradimeja pindah ke Kampung Klapapitu, menempati rumah yang kemungkinan
besar dibangun Senin Paing bertepatan dengan Kalender Masehi 8 Februari 1847
atau Rumah Kabupaten Cilacap sekarang Akhirnya Kabupaten Cilacap terbentuk
pada masa Residen Banyumas ke 9, Mr. van den Moore. Pengajuan usul Pemerintah
Hindia Belanda tanggal 2 Oktober 1855 yang ditandatangani Gubernur Jendral Mr.
Duymaer van Twist, pada Menteri Kolonial di Kerajaan Belanda, mendapat
persetujuan Raja Belanda dalam Kabinetsrescript van 29 Desember 1855 no 86, dan
dengan Surat Rahasia Menteri Kolonial tanggal 5 Januari 1856 LaA no 7/A
disampaikan pada Gubernur Jendral. Usul pembentukan Kabupaten Cilacap
menurut Menteri Kolonial sebetulnya bermakna dua, pertama adalah permohonan
persetujuan pembentukan Kabupaten Cilacap dan organisasi pejabat pribumi,
sedangkan yang kedua adalah pengeluaran anggaran biaya lebih dari f 5,220 per
tahun, yang keduanya memerlukan persetujuan Raja Belanda. Setelah menerima
Surat Rahasia Menteri Kolonial, Pemerintah Hindia Belanda dengan surat
keputusan Gubernur Jendral tanggal 21 Maret 1856 no 21 menetapkan : 1. Onder
Regentschap Cilacap ditingkatkan statusnya menjadi Regentschap (Kabupaten)
Cilacap. 2. Pemberhentian dan pengangkatan para pejabat yang telah ditetapkan
yaitu : Staatsblad yang ditemukan saat pengesahan Cilacap berbunyi sebagai berikut
: Staatsblad van Nederlandsch Indi No. 11 Verkrijgbaarstelling van zegels te Tjilatjap
Besluit van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indi, van den zygstn
Februarij 1856 no 3. Gelegen, enz. De Raad van Nederlandsch Indi gehoord is
goedgevonden en verstaan: Te Tjilatjap (residentie Banjoemas) worden zegels
verkrijgbaar gesteld: De assitent residentie van de afdeeling Tjilatjap wordt met het
debiet derzelve belast, onder genot der naar aan verbndene voordeelen en is ter zake
verantwoordelijk aan de algemeene re kenkamen Afschrift, enz. Ter ordonantie van
de Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indi: De Algemeene Sekretaris, A.Prins
Uitgegeven den derden Maart 1856 De Algemeene Sekretaris, A.Prins Pemerintah
Hindia Belanda pada tanggal 6 Juli 1856 no 17 tetap memutuskan pengangkatan: 1.
Raden Tumenggung Tjakrawedana II yang sekarang menjadi Onder Regent Cilacap
menjadi Bupati Cilacap dengan gaji f 800 tiap bulan dan segala pendapatan
tambahannya. 2. Raden Sosrorejo yang sekarang menjadi Patih Purwokerto menjadi
Patih Cilacap dengan gaji f 100 tiap bulan dan segala pendapatan ambahannya.
Dengan pengangkatan jabatan Bupati dan Patih di Cilacap, maka berakhir proses
pembentukan Kabupaten Cilacap dari Desa Cilacap, menjadi Distrik Jeruklegi,
menjadi Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur tahun 1839 dan menjadi Kabupaten
Cilacap (Regentschap van Tjilatjap) tahun 1856 . Keadaan Cilacap yang tidak sehat
dan angker menyebabkan banyak pejabat waktu itu yang wafat pada saat masih
memangku jabatan. Para pejabat pribumi yang wafat saat masih menduduki
jabatannya adalah : 1. Patih Cilacap I, Raden Sosrorejo wafat pada tanggal 3 April
1858 2. Wedana Cilacap, Mas Arjopuro wafat pada bulan Maret 1870 3. Bupati
Cilacap I, Raden Adipati Tjakrawedana II wafat pada tanggal 1 Januari 1873 saat
pesta tahun baru di rumah Rasiden Mr. C. de Waal yang dimakamkan di Pesarean
Karangsuci, kota Cilacap sekarang. 4. Bupati Cilacap II, Raden Tumenggung
Tjakrawedana III wafat pada tanggal 9 Desember 1875. 5. Bupati Cilacap III, Raden
Tumenggung Tjakrawedana IV wafat pada tanggal 6 November 1881. Penggantinya
adalah adik beliau yang tetap menggunakan nama asli, Raden Tumenggung
Tjakrawerdaya.

Anda mungkin juga menyukai