Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali,
yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan
Galuh di Kawali Ciamis dari ayahnya Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala
Wastu Kancana dari Permaisuri Mayangsari putri Prabu Bunisora, yang kemudian
bergelar Prabu Guru Dewataprana. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan
Sunda di Pakuan Bogor dari mertua dan uwanya, Prabu Susuktunggal putra
Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Ratna Sarkati putri Resi Susuk
Lampung. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan
Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah
"sepi" selama 149 tahun, rakyat Sunda kembali menyaksikan iring-iringan rombongan
raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan
keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran
Di Tatar Pasundan, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu
ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam
berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari
segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya
dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan
para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut
gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi.
Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda.
Nama Siliwangi adalah berasal dari kata "Silih" dan "Wawangi", artinya sebagai
pengganti Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2
mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti
Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut
(artinya saja):
Setelah terbuka jati diri Sang Prabu Jayadewata masih kerabat, lalu
diantarkannya menemui ayah Prabu Amuk Murugul, yaitu Prabu Susuktunggal kakak
lain Ibu Prabu Dewa Niskala ayahnya Prabu Jayadewata, di Kerajaan
Sunda Bogor sekarang dan dijodohkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang
Sunda putri Prabu Susuktunggal, yang nanti melahirkan Prabu Sanghyang
Surawisesa kelak jadi pengganti Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran dan Sang
Surasowan jadi Adipati di Pesisir Banten atau Banten Girang. Sang Surasowan
berputra Adipati Arya Surajaya dan putri Nyai Kawung Anten. Nyi Kawung Anten
kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dan
melahirkan Pangeran Sabakingkin alias Maulana Hasanuddin, pendiri Kesultanan
Banten tahun 1552 M.
Prabu Siliwangi juga menikahi Ratu Istri Rajamantri putri Prabu Gajah
Agung putra Prabu Tajimalela atau Prabu Agung Resi Cakrabuana putra Prabu Aji
Putih atas perintah Prabu Suryadewata putra untuk mendirikan Kerajaan Sumedang
larang tahun 900 M. Nama kerajaannya berubah-ubah, Kerajaan Tembong
Agung saat Prabu Aji Putih, zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana,
yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal Insun
madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Sumedang dan Larang berarti
sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Ratu Pucuk Umun Sumedang keturunan Prabu Gajah Agung menikah dengan
Pangeran Pangeran Kusumahdinata atau Pangeran Santri putra Pangeran
Pamelekaran atau Pangeran Muhammad, sahabat Sunan Gunung Jati. Ibu Pangeran
Santri Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari
Cirebon. Dari pernikahan itu lahir Prabu Geusan Ulun yang memerintah Sumedang
Larang (1578-1610) M bersamaan dengan berakhirnya Pakuan Pajajaran tahun
1579M, menerima mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang
bernama Binokasih (Mahkota Binokasih) dari senapati Pajajaran sebagai tanda
bahwa Kerajaan Sumedang Larang penerus sah Kerajaan Pajajaran.
Prabu siliwangi dikenal memiliki kesaktian yang disebut ajian macan putih. Raja
Pajajaran yang berkuasa dengan gelar Sri Baduga Maharaja tersebut memimpin pada
masa keemasan Pakuan, lamanya sekitar 39 tahun antara 1482 hingga 1521.
Bagi masyarakat Sunda atau Jawa Barat, siapa yang tidak mengenal nama Prabu
Siliwangi. Raja Pajajaran yang identik dengan Harimau Putih itu dikenal sebagai salah
satu raja sakti yang pernah dimiliki oleh negeri Pasundan (Jawa Barat). Nama Prabu
Siliwangi sendiri sesungguhnya adalah nama lain dari Pangeran Pamanah Rasa.