Anda di halaman 1dari 6

Kerajaan Galunggung

Dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten
Tasikmalaya, terdapat Pemerintahan Kebataraan di sekitar Gunung Galunggung dengan ibukotanya
adalah Rumatak. Kebataraan ini cukup istimewa yaitu dengan memiliki kekuasaan “mengabisheka raja-
raja Galuh” atau dengan kata lain Raja Galuh baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang
bertahta di Galunggung. Selain itu, Kebataraan ini memberikan amanah yang dikenal dengan Amanah
Galunggung, yang isinya memperingatkan kepada raja-raja beserta rakyat (yang menghormati
Kebataraan Galunggung) agar setia memelihara kabuyutan (daerah yang dianggap sebgai tempat suci
dan ditetapkan sebagai pusat pendidikan). Artinya, apabila tempat suci sudah terjamah musuh, berarti
kerajaan sudah runtuh. Salah satu isi dari Amanah Galunggung tersebut adalah mengenai tapa (Kropak
632), yaitu :

...na urang lanang wadwan, iya twah iya tapa, iya twah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja
twah maja tapa, rampes twah waya tapa, apana urang ku twah na man beunghar ku twah na mana waya
tapa....

“... bagi kita, pria dan wanita, ya beramal ya bertapa, itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk
tapanya, sedang amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Adapun
kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula berhasil tapa kita…..”

Selain bersifat Kebataraan, Galunggung juga membawahi sekitar 12 kerajaan-kerajaan kecil di


sekitarnya. Diantara kerajaan-kerajaan bawahannya itu, yang cukup terkenal adalah Kerajaan Kuningan,
Kerajaan Kajaron, dan Kerajaan Kalanggara.

Batara / sesepuh yang memerintah di Kerajaan Galunggung antara lain :

BATARA DANGHIYANG GURU SEMPAKWAJA (sampai tahun 729)

Dilahirkan pada tahun 620, beliau merupakan putera sulung Wretikandayun (raja Galuh pertama).
Nama asli beliau tidak diketahui, tetapi kemudian terkenal dengan nama Sempakwaja dikarenakan
giginya ompong. Karena giginya yang ompong, maka Sempakwaja gagal menjadi penerus Kerajaan Galuh
dan akhirnya mendirikan Kerajaan Galunggung.

Beliau memiliki permaisuri bernama Pohaci Rababu (berasal dari pertapaan Kendan). Dari
pernikahannya itu, Sempakwaja memiliki dua orang putera, yaitu :

1. Purbasora, lahir tahun 643 kemudian merebut tahta Galuh.


2. Demunawan, lahir tahun 646.

Di tahun 661, permaisurinya melahirkan seorang anak laki-laki hasil hubungan gelapnya dengan adik
Sempakwaja yang bernama Amara, dan kemudian anak tersebut diurus oleh Amara serta diberi nama
Bratasenawa. Namun Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, merupakan orang yang begitu sabar dan
sangat mencintai istrinya itu, sehingga dia tetap mau menerima Pohaci Rababu sebagai istri walaupun
dia telah berselingkah dengan adiknya sendiri. (lihat Kerajaan Galuh, mulai sub-Wretikandayun).

Pada saat Purbasora merebut tahta Galuh dari Bratasenawa, dan kemudian tahta tersebut direbut
kembali oleh Sanjaya (anak Bratasenawa), Sempakwaja merasa sakit hati kepada Sanjaya yang kala itu
memerintah di Kerajaan Sunda. Sejak kejadian itu, Sempakwaja menyerahkan wilayah Galunggung
beserta kerajaan-kerajaan dibawahnya kepada Demunawan (anaknya yang ditunjuk menjadi raja
Kerajaan Kuningan) untuk bergabung menjadi satu dalam rangka menandingi kerajaan Sunda-Galuh.
Suasana panas tak terelakan lagi, dimana antara Kerajaan Kuningan dan Sunda-Galuh selalu berada
dalam posisi sama-sama panas. Untungnya, kerajaan-kerajaan yang masih bersaudara itu segera
mengakhiri perselisihannya dengan damai.

Danghiyang Guru Sempakwaja wafat pada usia 109 tahun tepatnya di tahun 729. Pada tahun wafatnya
itu, keadaan di bagian timur dari barat Jawa sudah dalam masa perdamaian.

Setelah Danghiyang Guru Sempakwaja wafat, Kebataraan Galunggung di bawah kekuasaan Kerajaan
Kuningan diperintah oleh Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, dan Batara Wastuhayu.

Masa kekuasaan dari 3 raja tersebut belum diketahui jalan sejararahnya, hingga muncul kembali pada
sekitar tahun 1111, di masa akhir kekuasaan dari Resiguru Sudakarmawisesa.

RESIGURU SUDAKARMAWISESA (sampai tahun 1111)

Beliau memiliki permaisuri yang bernama Dewi Citrawati (puteri ke-2 dari Resiguru Batara Hiyang
Purnawijaya / anak Sri Jayabhupati). Setelah menikah dengan Dewi Citrawati, beliau menyerahkan tahta
Kebataraan Galunggung pada permaisurinya itu, sedangkan beliau sendiri memilih jalan hidup untuk
mendalami keagamaan.

DEWI CITRAWATI (1111 - 1152)

Setelah Resiguru Sudakarmawisesa turun tahta dari Kebataraan Galunggung, kedudukannya digantikan
oleh Dewi Citrawati yang bergelar Batari Hyang Janapati yang berfungsi sebagai raja daerah / kerajaan
bawahan Sunda.
Sebelum Dewi Citrawati menikah dengan Resiguru Sudakarmawisesa, beliau sangat menginginkan untuk
menjadi pendamping dari Prabu Langlangbumi (raja Sunda ke-22). Namun hasratnya itu tidak
kesampaian, karena sang raja Sunda tersebut telah menikah dengan kakak kandungnya Dewi Citrawati.

Karena itulah, setelah Dewi Citrawati berkuasa di Galunggung, beliau sangat membenci pada kekuasaan
Prabu Langlangbumi di Kerajaan Sunda.

Wilayah pedalaman yaitu desa antara Galuh, Sunda, dan Galunggung saat itu sering terjadi perampokan.
Daerah rawan tersebut dijadikan konflik antara Galunggung dan Sunda semakin memanas. Dewi
Citrawati mungkin menganggap, Prabu Langlangbumi, sebagai raja Sunda yang berkuasa atas 3 kerajaan
(Galuh-Galunggung-Sunda) tidak mampu mengatasi gangguan perampok tersebut.

Peristiwa yang semakin memanas itu, membuat Dewi Citrawati selalu cemas dalam menjalankan
pemerintahannya. Beliau takut apabila terjadi serangan dari Kerajaan Sunda, karena biar bagaimana
pun, Kebataraan Galunggung masih teralu lemah untuk menghadapi Kerajaan Sunda. Meskipun
demikian, Dewi Citrawati tetap merasakan dendam kepada Prabu Langlangbumi yang telah
mengacuhkan cintanya.

Untuk mencegah adanya serangan dari Kerajaan Sunda, Dewi Citrawati membentuk angkatan perang,
membangun parit pertahanan yang kuat. Agar lebih menguatkan stabilitas pertahanan kota, maka
“bentuk pemerintahan” Galunggung mengalami perubahan bentuk dari Kebataraan menjadi Kerajaan.
Pusat Kerajaan Galunggung dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Galuh. Dengan demikian, saat itu
kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung bersatu untuk mengimbangi kekuasaan dari Kerajaan Sunda.

Pada tanggal 21 Agustus 1111, tepat setelah membangun ibukota baru, Dewi Citrawati membuat
sebuah prasasti di lereng Gunung Galunggung, tepatnya di bukit Geger Hanjuang / kabuyutan
Linggawangi (sekarang Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya). Prasasti
tersebut kemudian disebut sebagai prasasti Geger Hanjuang dan menjadi koleksi Museum Pusat Jakarta.
Pada prasasti tersebut, Dewi Citrawati / Batari Hiyang Janapati menuliskan :

tra ba i gune apuy na-

sta gomati sakakala rumata-

k disusu(k) ku batari hyang pun

“Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka, Rumatak disusuk oleh Batari Hyang”

Dewi Citrawati membuat sebuah ajaran yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian.
Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Kerajaan Pajajaran (penerus Kerajaan Sunda)
yang ber ibukota di Pakuan.
Prabu Langlangbumi yang sebenarnya tidak berniat untuk menyerang Galunggung, akhirnya mengajukan
penawaran damai. Melalui perundingan damai di tahun 1152, dicapai kesepakatan yang menyebutkan
bahwa wilayah barat Jawa kembali dipecah menjadi 2 bagian, yaitu Kerajaan Sunda di sebelah barat dan
Kerajaan Galuh disebelah timur beribukota pusat kota Galunggung, dengan dipimpin oleh Dewi
Citrawati. Dengan demikian, Dewi Citrawati memimpin 2 kerajaan yaitu Galuh dan Galunggung.

Pada tahun 1152, untuk mengurus pemerintahan sehari-hari di Kerajaan Galunggung, Dewi Citrawati
menobatkan puteranya yang bernama Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa sebagai pemegang
kekuasaan Galunggung.

BATARA DANGHIYANG GURU DARMAWIYASA (1152 – 1157)

Beliau menjadi raja daerah Galunggung dibawah kekuasaan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh
ibunya.

Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa mempunyai putera yang bernama Prabu Darmakusuma
dan Adimurti, putera sulungnya kemudian menjadi penerus kerajaan Sunda setelah menikah dengan
Ratna Wisesa (puteri Prabu Menakluhur / raja Sunda ke-23).

Di tahun 1157, Prabu Darmasiksa dinobatkan sebagai raja Sunda, maka kekuasaan Galuh kembali berada
di bawah kekuasaan Sunda, dengan demikian otomatis Galunggung pun menjadi bawahan Sunda.

Raja-raja selanjutnya Kerajaan Galunggung belum ditemukan datanya, tetapi sekitar abad ke 15, sejarah
kembali mencatat raja-raja yang berkuasa disini.

SRI GADING ANTEG

Sri Gading Anteg, diperkirakan masa kekuasaannya sejaman dengan Prabu Jayadewata (Prabu
Siliwangi). Diperkirakan juga, Kerajaan Galunggung saat itu berada dalam kekuasaan Pajajaran.

Sejarah penting yang tercatat pada masa pemerintahannya ini adalah perpindahan ibukota kerajaan dari
Rumatak ke Dayeuh Tengah atau disebut juga Sukakerta (sekarang termasuk Kecamatan Salopa,
Tasikmalaya).

DALEM SUKAKERTA

Sebagai penerus tahta dari Sri Gading Anteg, Dalem Sukakerta diperkirakan sejaman dengan Prabu
Surawisesa (Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi). Seperti telah dibahas sebelumnya,
bahwa pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh
gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Ketika Pajajaran mulai lemah, daerah-
daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri, termasuk
Kerajaan Galunggung.

Saat itu, agama yang dianut oleh penduduk Galunggung adalah agama Islam dikarenakan peranan
daripada Sunan Gunung Jati (sultan Cirebon) yang sangat aktif menyiarkan agama Islam ke seluruh Tatar
Pasundan.

DALEM SENTAWOAN / PRABU RAJADIPUNTANG

Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Kerajaan Galunggung yang merdeka (lepas dari Pajajaran).
Lepasnya kerajaan Galunggung dari tangan Kerajaan Pajajaran, membuat Prabu Surawisesa
mengerahkan pasukannya untuk merebut kembali Galunggung pada tahun 1520-an. Menghadapi
serangan itu, Prabu Rajadipuntang sebagai raja Galunggung kemudian menyingkir ke arah daerah
Linggawangi. Sejak peristiwa itu, tamatlah riwayat kerajaan Galunggung.

Sementara itu, untuk menyelamatkan harta pusaka kerajaan, Prabu Rajadipuntang mengamanatkan
harta pusaka tersebut pada anak bungsunya yang bernama Sembah Dalem Singaparana. Untuk
melaksanakan tugas itu, Singaparana dibekali ilmu oleh ayahnya yaitu ilmu yang membuat dirinya bisa
nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).

Sembah Dalem Singaparna kemudian membuka pemukiman baru diantara dua buah bukit dan di sisi
Sungai Ciwulan (sekarang masuk kedalam Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya). Saat itu
wilayah pemukiman tersebut masih berupa hutan yang diyakini dihuni oleh roh-roh jahat (dedemit),
kemudian melalui ilmu yang dimilikinya, Sembah Dalem Singaparna memindahkan dedemit itu ke hutan
yang berada di seberang sungai Ciwulan (bagian timur pemukiman yang didirikannya, kemudian hutan
tersebut disebut Leuweung Larangan). Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali
dilarang untuk diinjak oleh siapa pun (khususnya bagi penduduk disitu). Jangankan memasukinya,
menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras.

Pemukiman yang didirikan itu kemudian dikenal dengan sebutan Kampung Naga, yang penduduknya
merupakan keturunan dari Sembah Dalem Singaparna. Penduduk kampung Naga sampai saat ini
merupakan masyarakat Muslim yang secara ketat masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan
kehidupannya. Sebagai masyarakat yang berpola agraris, hitungan waktu mereka merujuk pada
hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk
halus yang menempati horison langit) yang dipercaya selalu berpindah-pindah dan posisinya dalam
menentukan curah hujan.

Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi
yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal, ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya
Dewa-dewa Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara, dan
Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan
dijadikan pedoman dalam cara bercocok tanam.

Selain itu, di wilayah barat pemukiman, terdapat Leuweung Keramat yang merupakan tempat nenek
moyang masyarakat Kampung Naga dimakamkan. Posisi perkampungan tidak secara langsung
berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan,
sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat
penyimpanan harta pusaka).

PERKEMBANGAN SELANJUTNYA WILAYAH GALUNGGUNG

Di masa ini, wilayah Priangan sedang mengalami masa pergolakan yang berlangsung lebih kurang 10
tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal
abad XVII, yaitu Mataram, Banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Dampak dari pergolakan ini
adalah terambilnya wilayah Galunggung oleh Kekuasaan Mataram.

Wirawangsa sebagai penguasa daerah wilayah Galunggung akhirnya mau tak mau untuk ikut berperan
serta membantu Mataram dalam membasmi pemberontakan Dipati Ukur (bupati Priangan yang
membangkang kepada kekuasaan Mataram). Setelah Wirawangsa berhasil membasmi pergerakan Dipati
Ukur, akhirnya dia diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura yang pertama pada tanggal 20 April 1541
oleh Sultan Agung Mataram sebagai hadiah atas jasa-jasanya. Akhirnya ibukota negeri yang awalnya di
Sukakerta, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan nama wilayahnya disebut Sukapura.

Anda mungkin juga menyukai