Anda di halaman 1dari 11

Kerajaan Selaparang muncul pada dua periode yakni pada abad ke-13 dan

abad ke-16. Kerajaan Selaparang pertama adalah kerajaan Hindu dan


kekuasaannya berakhir dengan kedatangan ekspedisi Kerajaan Majapahit
pada tahun 1357. Kerajaan Selaparang kedua adalah kerajaan Islam.
Secara selintas, urutan berdirinya kerajaan-kerajaan di daerah ini bisa
dirunut sebagai berikut, dengan catatan, ini bukan satu-satunya versi
yang berkembang. Pada awalnya, kerajaan yang berdiri adalah Laeq.
Diperkirakan, posisinya berada di kecamatan Sambalia, Lombok Timur.
Dalam perkembangannya, kemudian terjadi migrasi, masyarakat Laeq
berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan
Pamatan, di Aikmel, desa Sembalun sekarang. Lokasi desa ini berdekatan
dengan

Gunung

Rinjani.

Suatu

ketika,

Gunung

Rinjani

meletus,

menghancurkan desa dan kerajaan yang berada di sekitarnya. Para


penduduk menyebar menyelamatkan diri ke wilayah aman. Perpindahan
tersebut menandai berakhirnya Kerajaan Pamatan.
Disebutkan di dalam daun Lontar tersebut bahwa agama Islam salah
satunya (bukan satu-satunya) pertama kali dibawa dan disebarkan oleh
seorang muballigh dari kota Bagdad, Irak, bernama Syaikh Sayyid
Nururrasyid Ibnu Hajar al-Haitami. Masyarakat Pulau Lombok secara
turun-temurun lebih mengenal beliau dengan sebutan Ghaos Abdul Razak.
Nah, beliau inilah, selain sebagai penyebar agama Islam, dipercaya juga
sebagai cikal bakal Sultan-Sultan dari kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau
Lombok.[2] Namun selain beliau, Betara Tunggul Nala (disebut pula Nala
Segara) diyakini pula sebagai leluhur Sultan-Sultan di Pulau Lombok.
Betara

Nala

Pengendeng

memiliki
Segara

seorang
Katon

putra

Rambitan

bernama
yang

Deneq

bernama

Mas
asli

Putra
Sayyid

Abdrurrahman. Beliau ini dikenal pula dengan nama Wali Nyatok. Ia


disebut sebagai pendiri Kerajaan Kayangan yang merupakan cikal bakal
Kerajaan

Selaparang.

mendorongnya

untuk

Namun,

ketinggian

mengundurkan

diri

ilmu
dari

tarekatnya
panggung

telah

Kerajaan

Kayangan dan kemudian menetap di desa Rambitan, Lombok Tengah,


sebagai penyebar agama Islam di wilayah ini.
Wali Nyatok ini di Pulau Bali terkenal dengan nama Pedanda Sakti Wawu
Rauh atau Dang Hyang Dwijendra. Adapun di Sumbawa terkenal dengan
nama Tuan Semeru, sedangkan di Jawa beliau bernama Aji Duta Semu
atau Pangeran Sangupati. Ia dikenal sebagai penyebar agama Islam, pun
dianggap sebagai seorang Waliyullah. Ia mengarang kitab Jatiswara,
Prembonan,

Lampanan

Wayang,

Tasawuf

dan

Fiqh.

Dalam

proses

menyebarkan agama Islam, salah satu media yang digunakannya adalah


Wayang, sebagaimana yang dilakukan pula oleh Sunan Kalijaga. Adapun
bentuk mistik Islam yang dibawanya merupakan kombinasi (sinkretisme)
antara mistisme Islam (Sufisme) dengan salah satu ajaran filsafat Hindu,
yaitu Advaita Vedanta.
Kembali ke soal Kerajaan Selaparang dan Ghaos Abdul Razak. Tidak
diketahui secara pasti kapan tepatnya beliau masuk ke Pulau Lombok.
Namun pendapat terkuat menyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau
Lombok untuk pertama kalinya sekitar tahun 600-an Hijriyah atau abad
ke-13 Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaos Abdul
Razak mendarat di Lombok bagian utara yang disebut dengan Bayan.
Iapun menetap dan berdakwah di sana. Ia mengawini Denda Bulan yang
melahirkan seorang putra bernama Zulkarnain (dikenal juga dengan
sebutan Pangeran Abdurrahman atau Syaikh Abdurrahman). Kemudian
Ghaos

Abdul

Razak

menikah

lagi

dengan

Denda

Islamiyah.

Dari

pernikahan yang kedua ini lahirlah Denda Qomariah yang populer dengan
sebutan Dewi Anjani.
Sumber lain menyebutkan bawah Ghaos Abdul Razak memiliki dua orang
anak,

yaitu

Rabiah

dan

Zulkarnain

(disebut

pula

dengan

Ghaos

Abdurrahman). Zulkarnain inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan


Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama dengan gelar
Sultan Rinjani, dan Datu Selaparang, atau sering pula digabung menjadi
Sultan Rinjani Selaparang. Beliau mempunyai tiga orang anak, yakni

Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Gunung Pujut, Sayyid
Amir, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pejanggik, dan Syarifah
Qamariah alias Dewi Anjani (ada pula yang menyebut Dewi Rinjani).
Nah, sampai disini sudah terdapat dua versi, yakni antara Nala Segara
(Betara Tunggul Nala) dan Ghaos Abdul Razak yang sama-sama dipercaya
sebagai penyebar agama Islam, menjadi cikal bakal Sultan-Sultan Lombok
dan pendiri Kerajaan Selaparang (Kayangan). Pertanyaan yang agak
menggelitik kemudian adalah: Tidakkah keduanya memang orang yang
sama? Tidakkah yang dimaksud sebagai Nala Segara itu sebagai Ghaos
Abdul Razak, dan Wali Nyatok adalah Ghaos Abdurrahman. Hal itu masih
dimungkinkan mengingat pada masa dahulu seorang tokoh seringkali
menggunakan nama-nama berbeda ditempat yang berbeda.

Kejayaan Selaparang
Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat
maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang
hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668 Masehi.
Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus rnerelakan salah satu
wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu
direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping itu, laskar
lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh
Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat
dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun
1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis,
dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.
Setelah

pertempuran

sengit

tersebut,

Kerajaan

Selaparang

mulai

menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan


memperkuat

sektor

agraris.

Maka,

pusat

pemerintahan

kerajaan

kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran perbukitan,


tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini,
panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar

belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan


sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang
mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah
ibukota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian belakang
berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkattingkat hingga ke hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang
melimpah.
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan
Selaparang mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan,
Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan kekuasaannya hingga ke
Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri
Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat
karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke dalam
wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh
generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi,
putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar
Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sultan Selaparang yang
memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.
Keruntuhan Selaparang
Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan
Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari
bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak
permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari
Karang

Asem

(Pulau

Bali)

secara

bergelombang,

dan

selanjutnya

mendirikan koloni di kawasan Kota Mataram sekarang ini. Kekuatan itu


kemudian

secara

berangsur-angsur

tumbuh

berkembang

sehingga

menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan


yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun
setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua
tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh laskar
Kerajaan Selaparang.

Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap
muncul secara tiba-tiba adalah kekuatan asing, yakni Belanda, yang
tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer. Kekuatan dan
tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu
dipatahkan. Oleh sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah
kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan
menempatkan

laskar

kecil

di

bawah

pimpinan

Patinglaga

Deneq

Wirabangsa.
Dalam upaya menghadapi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat
itu yakni Kerajaan Gelgel, Kerajaan Mataram Karang Asem dan terutama
sekali Belanda?maka secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di
lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas, ditengarai
berselisih paham dengan rajanya, raja Kerajaan Selaparang, soal posisi
pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan Pejanggik. Pada
akhirnya Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya memutuskan untuk
meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi
tentara Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali) yang mana pada saat itu
sudah berhasil mendarat di Lombok Barat. Kemudian atas segala
taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun rencana dengan pihak Kerajaan
Mataram Karang Asem untuk bersama-sama menggempur Kerajaan
Selaparang.[12] Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah berhasil
menaklukkan Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672
Masehi.
Wilayah

Kerajaan

Selaparang

Setelah Pamatan berakhir, muncullah Kerajaan Suwung yang didirikan


oleh Batara Indera. Lokasi kerajaan ini terletak di daerah Perigi saat ini.
Setelah Kerajaan Suwung berakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan
Lombok.

Seiring

perjalanan

sejarah,

Kerajaan

Lombok

kemudian

mengalami kehancuran akibat serangan tentara Majapahit pada tahun


1357. M. Raden Maspahit, penguasa Kerajaan Lombok melarikan diri ke
dalam hutan. Ketika tentara Majapahit kembali ke Jawa, Raden Maspahit
keluar dari hutan dan mendirikan kerajaan baru dengan nama Batu

Parang. Dalam perkembangannya, kerajaan ini kemudian lebih dikenal


dengan

nama

Selaparang.

Menurut catatan sejarah masuknya ekspedisi Majapahit tahun 1343 M, di


bawah pimpinan Mpu Nala. Ekspedisi Mpu Nala ini dikirim oleh Gajah
Mada sebagai bagian dari usahanya untuk mempersatukan seluruh
nusantara di bawah bendera Majapahit. Pada tahun 1352 M, Gajah Mada
datang

ke

Lombok

untuk

melihat

sendiri

perkembangan

daerah

taklukannya. Ekspedisi Majapahit ini meninggalkan jejak Kerajaan Gelgel


di

Bali.

Di Lombok, berdiri empat kerajaan utama yang saling bersaudara, yaitu:


1.
2.
3.
4.

Kerajaan
Kerajaan
Kerajaan
Kerajaan

Bayan

di

Selaparang

di

barat
Timur

Langko

di

tengah

Pejanggik

di

selatan.

Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat beberapa kerajaan kecil,


seperti Parwa dan Sokong Samarkaton serta beberapa desa kecil, seperti
Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh
kerajaan dan desa ini takluk di bawah Majapahit. Ketika Majapahit runtuh,
kerajaan dan desa-desa ini kemudian menjadi wilayah yang merdeka.
Di antara kerajaan dan desa-desa di atas, yang paling terkemuka dan
paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan
Lombok. Pusat kerajaan ini terletak di Teluk Lombok yang strategis, sangat
indah dengan sumber air tawar yang banyak. Posisi strategis dan
banyaknya sumbe air menyebabkannya banyak dikunjungi pedagang dari
berbagai negeri, seperti Palembang,Banten, Gresik, dan Sulawesi. Berkat
perdagangan yang ramai, maka Kerajaan Lombok berkembang dengan
cepat.
Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah
tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai
embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Posisi ini
selanjutnya menempatkan Kerajaan Selaparang sebagai icon penting
kesejarahan pulau ini. Terbukti penamaan pulau ini juga sering disebut
sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi

Selaparang.
Berkaitan dengan Selaparang, kerajaan ini terbagi dalam dua periode:
pertama, periode Hindu yang berlangsung dari abad ke-13 M, dan
berakhir akibat ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357 M; dan
kedua, periode Islam, berlangsung dari abad ke-16 M, dan berakhir pada
abad ke-18 (1740 M), setelah ditaklukkan oleh pasukan gabungan
Kerajaan

Karang

Asem,

Bali

dan

Banjar

Getas.

Raja Lombok
disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal
dengan

nama

kerajaan

Perigi

yang

dibangun

oleh

sekelompok

transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu
itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan
Majapahit mengirimkan ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang
diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah
pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi)
dan Dompu.
Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari
Raden

Paku

atau

Sunan

Ratu

Giri

dari

Gersik,

Surabaya

yang

memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan


Islam ke berbagai wilayah di Nusantara. Kemajuan Kerajaan Selaparang ini
membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang.
Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke
Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan.
Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan Kerajaan Gelgel, namun
pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah
muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15
dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara
bergelombang, dan mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram
sekarang ini.

Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu


Kerajaan Pagutan dan Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622. Namun
bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul
secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan
melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena
Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum
kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri,
hanya

diantisipasi

dengan

menempatkan

pasukan

kecil

di

bawah

pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.


Para Prajurit Kerajaan Lombok
Di balik itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan
antara Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini
menyebabkan adanya saling mengharapkan peran yang lebih di antara
kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling lempar tanggung jawab.
Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan
cerdik

memaanfaatkan

situasai

untuk

melakukan

infiltrasi

dengan

mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di bagian


selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel
menempuh strategi baru dengan mengirim Danghiang Nirartha untuk
memasukkan

faham

baru

berupa

singkretisme

Hindu-Islam.

Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat


mempengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama
memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan
Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini
juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini. Kerajaan ini
berakhir pada tahun 1740 setelah ditaklukkan oleh gabungan Kerajaan
Karangasem dari Bali dan Arya Banjar Getas yang merupakan keluarga
kerajaan yang berkhianat terhadap Selaparang karena permasalahan
dengan raja Selaparang.
Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih pendapat dengan rajanya.
Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah

mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik.yang dulu (Kerajaan Pejanggikred) berada di Daerah Kec. Pejanggik cukup jauh dari desa Labulia yang
berada di Kecamatan JonggatAtas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar
Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi
Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok
Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh, maksud kedatangan
ekspedisi
kenyataan

itu

akan

sejarah,

menyerang
ekspedisi

Kerajaan

itu

telah

Pejanggik.Namun
menghancurkan

dalam

Kerajaan

Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang dapat ditaklukkan hampir tanpa


perlawanan, karena sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan
raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh.
Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat
belas tahun kemudian, pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumi
hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem. Akibat kekalahan
Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa
tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh lantakkan
kerajaan-kerajaan

kecil

lainnya.

Demikianlah,

Kerajaan

Selaparang

muncul, berkembang kemudian runtuh. Walaupun demikian, sisa-sisa


peradaban tulis yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa, kehidupan
budaya di negeri ini cukup semarak dan berkembang.
Menelusuri Sisa Majapahit di Lombok
Cakranegara yang kini salah satu pusat perniagaan di Kota Mataram,
Lombok, Nusa Tenggara Barat, pernah bikin cerita penting bagi Indonesia.
Ekspedisi militer Belanda menggempur habis-habisan puri atau istana di
Cakranegara, mengakibatkan kediaman Raja Karangasem yang penguasa
wilayah Lombok, luluh lantak.
Sehari sebelum Cakranegara jatuh dalam kekuasaan Belanda, menurut
telusur pustaka, pada 19 November 1894, dilaporkan sebuah temuan

naskah sastra, yang ditulis di lembaran daun lontar di antara puing-puing


reruntuhan itu.
Cakep (ikatan) daun til atau lontar itu adalah naskah Nagarakretagama
karya Mpu Prapanca, seorang pujangga Jawa abad ke-14 M. Sewindu
kemudian, naskah berbahasa Jawa Kuno diterbitkan dalam huruf Bali dan
Bahasa Belanda oleh Dr JLA Brandes (1902), namun hanya sebagian.
Disusul upaya penerjemahan oleh Dr JHC Kern tahun 1905-1914,
dilengkapi dengan komentar-komentarnya
Baru pada tahun 1919, Dr NJ Krom menerbitkan utuh isi lontar
Nagarakretagama. Krom juga melengkapinya dengan catatan historis.
Naskah Nagarakretagama ini akhirnya diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia oleh Prof Dr Slametmulyana dan disertai tafsir sejarahnya.
Menyusul

kemudian,

Dr

Th

Pigeud

yang

menerjemahkan

Nagarakretagama ke dalam Bahasa Inggris.


Seperti

diketahui

kemudian,

Nagarakretagama

pernah

disimpan

di

Perpustakaan Universitas Leiden Belanda dengan nomor koleksi 5023.


Pemerintah Belanda mengembalikannya ke Pemerintah Indonesia di masa
pemerintahan Presiden Soeharto. Kini naskah itu menjadi koleksi unggulan
Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nagarakretagama, antara lain, berisi
rekaman sejarah kejayaan Kerajaan Majapahit, perjalanan Hayam Wuruk,
Raja Majapahit, serta kondisi sosial, politik, keagamaan, pemerintahan,
kebudayaan, dan adat istiadat. Semua itu dikumpulkan dan digubah
menjadi sebuah karya sastra oleh Mpu Prapanca, saat mengunjungi
daerah-daerah kekuasaan kerajaan itu di Nusantara.
Lontar itu ada di Puri Cakranegara, Lombok, dibawa keluarga Kerajaan
Kediri pada masa kekuasaan mereka di Karangasem, ujung timur Pulau
Bali, sekitar akhir abad ke-17 M sampai pertengahan abad ke-18 M.
Lombok sendiri merupakan wilayah kekuasaan Raja Karangasem, dan
sebelumnya ada beberapa kerajaan berada di sana, seperti Kerajaan
Selaparang dan Pejanggik.

Slametmulyana dalam bukunya Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya


(1979), menyebutkan sedikitnya sudah ditemukan empat naskah lain
yang serupa, di beberapa geriya (kediaman pendeta Hindu) di Bali.
Namun,

naskah-naskah

itu

diduga

merupakan

turunan

naskah

Nagarakretagama, yang ditemukan di Puri Cakranegara, Lombok. Isi


Nagarakretagama

diterapkan

di

Lombok

demi

membangun

sistem

pemerintahan dan sekaligus pertahanan menyerupai kerajaan Majapahit


Ini

juga

ditujukan

mempertahankan

demi

ajaran

menjadikan
Hindu

di

Lombok

Bali,

sebagai

menyusul

benteng

masuk

dan

berkembangnya ajaran Islam di Jawa, yang ditandai dengan masuknya


Raja Jenggala dan kerajaannya sebagai kerajaan Islam. Raja Kediri dan
Raja Jenggala adalah bersaudara, kata Anak Agung Biarsah Huruju Amla
Negantun, cucu Anak Agung Anglurah Gede Karang Asem, Raja Lombok
terakhir. Perbedaan agama, yang dianut masing-masing raja itu, diakui,
menjadi salah satu penyebab meletusnya perang saudara di antara dua
kerajaan ini.

Anda mungkin juga menyukai