Anda di halaman 1dari 13

KESULTANAN

SELAPARANG &
KESULTANAN BIMA
Dalam rangka penyelesaian Tugas
kelompok – SEJARAH

Kelompok : NUSA TENGGARA


Amara Azalea (15)
I Nyoman Khrisna Widiananda (28)
Irene Felycia Rachel Mulia Bangun
(29)
Kanissa Phoebe Prameswari (33)
Salmah Aqila Muchlis (46)
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN

2. ISI

2.1 KERAJAAN SELAPARANG


2.1.1 AWAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN SELAPARANG

2.1.2 PERKEMBANGAN KERAJAAN HINGGA PUNCAKNYA


2.1.2.1 POLITIK
2.1.2.2 EKONOMI
2.1.2.3 SOSIAL BUDAYA

2.1.3 BAGAIMANA RUNTUHNYA DAN HILANGNYA JEJAK KERAJAAN


SELAPARANG

2.2 KERAJAAN BIMA


2.2.1 AWAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN BIMA

2.2.2 PERKEMBANGAN KERAJAAN HINGGA PUNCAKNYA


2.2.2.1 POLITIK
2.2.2.2 EKONOMI
2.2.2.3 SOSIAL BUDAYA

2.2.3 BAGAIMANA RUNTUHNYA DAN HILANGNYA JEJAK KERAJAAN BIMA

3. KESIMPULAN

4. PENUTUP

5. DAFTAR PUSTAKA
KESULTANAN SELAPARANG ( 1201 – 1300 MASEHI )

Awal mula berdirinya Kerajaan Selaparang

Kerajaan Selaparang adalah salah satu kerajaan yang pernah ada di Pulau Lombok. Pusat kerajaan
ini pada masa lampau berada di Selaparang (sering pula diucapkan dengan Seleparang), yang saat ini
kurang lebih lebih berada di desa Selaparang, kecamatan Suwela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat, Indonesia.
Kerajaan Selaparang ini berdiri dari penyebaran agama islam di Lombok. Tidak diketahui secara pasti
kapan tepatnya dia masuk ke Pulau Lombok. Namun pendapat terkuat menyebutkan bahwa dia
datang ke Pulau Lombok untuk pertama kalinya sekitar tahun 600-an Hijriyah atau abad ke-
13 Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaus 'Abdurrazzāq mendarat di Lombok
Utara yang disebut dengan Bayan. Diapun menetap dan berda'wah di sana. Dia kemudian menikah
dan lahirlahi tiga orang anak, ya'ni Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pujut, Sayyid
Amir, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pejanggik, dan Syarifah Qomariah atau yang lebih
terkenal dengan sebutan Dewi Anjani.
Kemudian Ghaus 'Abdurrazzāq menikah lagi dengan seorang putri dari Kerajaan Sasak yang
melahirkan dua orang anak, ya'ni seorang putra bernama Sayyid Zulqarnain (dikenal juga dengan
sebutan Syaikh 'Abdurrahman) atau disebut pula dengan Ghaos 'Abdurrahman, dan seorang putri
bernama Syarifah Lathifah yang dijuluki dengan Denda Rabi'ah. Sayyid Zulqarnain inilah yang
kemudian mendirikan Kerajaan Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama dengan gelar
Datu Selaparang atau Sulthan Rinjani.
Sampai disini sudah terdapat dua versi, yakni antara Nala Segara (Betara Tunggul Nala) dan Ghaus
'Abdurrazzāq yang sama-sama dipercaya sebagai penyebar agama Islam, menjadi cikal bakal Sulthan-
Sulthan Lombok dan pendiri Kerajaan Selaparang. Pertanyaan yang agak menggelitik kemudian
adalah:Tidakkah keduanya memang orang yang sama? Tidakkah yang dimaksud sebagai Nala
Segara itu sebagai Ghaus 'Abdurrazzāq, dan Wali Nyatok adalah Ghaos 'Abdurrahman?. Hal itu
masih dimungkinkan mengingat pada masa dahulu seorang tokoh sering kali menggunakan nama-
nama berbeda ditempat yang berbeda.
Wilayah Kerajaan Selaparang, Sumber @wacananusantara

Kejayaan Selaparang

Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya
telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-
1668 Masehi. Namun, Kerajaan Selaparang harus merelakan salah satu wilayahnya dikuasai Belanda,
yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping
itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali)
dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan
Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis,
dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.

Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru
untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan
kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di Desa
Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru
dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan
sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan
akan segera dapat diketahui. Wilayah ibu kota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian
belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat hingga ke
hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami
kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan
kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri
Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi)
daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian
dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera
mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik
di Sumbawa menjadi Sulthan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau
Lombok dan Sumbawa.

Keruntuhan Selaparang

Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, tetapi pada saat yang
bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak
permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali) secara
bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan Kota Mataram sekarang ini. Kekuatan itu
kemudian secara berangsur-angsur tumbuh berkembang sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil,
yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima
tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke
dua yang dapat ditumpas oleh pasukan Kerajaan Selaparang.
Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba adalah
kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer.
Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh
sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya
diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Dalam upaya menghadapi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat itu, yakni Kerajaan Gelgel, dan
Kerajaan Mataram Karang Asem, maka secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di lingkungan
pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas ditengarai berselisih paham dengan rajanya, raja Kerajaan
Selaparang, soal posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan Pejanggik. Arya Banjar
Getas beserta para pengikutnya kemudian memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung
dengan sebuah ekspedisi militer Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali) yang pada saat itu sudah berhasil
mendarat di Lombok Barat. Kemudian dengan segala taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun rencana
dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang.
Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu
terjadi sekitar tahun 1672 Masehi. Sejak saat itu, Kerajaan Karang Asem menjadi penguasa diwilayah
pulau Lombok bagian barat, dan beberapa wilayah timur dan tengah dibawah Arya Banjar Getas.

Peninggalan Kerajaan Selaparang Lombok


Beberapa peninggalan Kerajaan Selaparang yang menjadi bukti kejayaan Kerajaan Selaparang saat
masanya, peninggalan tersebut diantaranya :

1. Masjid Pusaka Selaparang

Makam Raja Selaparang, Sumber @radarlombok

Masjid Pusaka Kerajaan Selaparang, didalam Masjid tepatnya didepan mimbar terdapat sebuah batu
yang kini ditutup dengan kaca, konon batu tersebut berasal dari Kota Bagdad, Iraq. Selain iut,
didepan Masjid Pusaka, terdapat sebuah bangunan yang berukuran sekitar 5 x 7 meter persegi, yang
oleh masyarakat sekitar menyebutnya Gedeng Pusaka yaitu sebuah tempat menyimpan benda-
benda pusaka kerajaan Selaparang, Didalam gedeng tersebut tersimpan sebuah Al-Qur’an bertulis
tangan, Keris, Perisai, Sabuk Belo, dan peralatan perang Kerajaan Selaparang lainnya.
2. Makam Raja Selaparang

Makam Kerajaan Selaparang, Sumber @radarlombok

Tidak jauh dari Masjid Pustaka atau sekitar 6 km, terdapat sebuah makam Raja Selaparang yang
terkenal di Pulau Lombok. Pada mulanya makam ini dibangun ketika salah satu Raja atau wali
Selaparang diburu oleh Belanda, ketika itu Raja tersebut menerobos dinding Masjid yang berada di
samping makam, atas dasar itulah makam ini kemudian dibangun. Di kompleks ini dulunya terdapat
perpustakaan, namun oleh Belanda buku-bukunya dimusnahkan. Padahal di perpustakaan inilah
terdapat sejarah kejayaan Kerajaan Selaparang dimasanya.

KESULTANAN BIMA
Kesultanan Bima adalah salah satu kerajaan islam yang saat itu didirikan pada tanggal 6 Februari
1621. Raja Kesultanan Bima yang pertama merupakan raja ke 27 Kerajaan Bima yang bernama Lai
Kai. Dalam sejarah Kesultanan Bima, sistem pemerintahannya sempat dipimpin oleh 14 sultan.
Asal Mula Berdirinya Kesultanan Bima

Kesultanan Bima terbentuk saat Raja Bima ke 27 yaitu Lai Kai  mengubah pemerintahannya menjadi
bentuk Kesultanan. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1621 dan berakhir masa pemerintahannya
pada tahun 1958. 

Pada awalnya Kerajaan Bima bercorak Hindu yang didirikan pada abad ke 11. Pada saat itu Kerajaan
Bima disebut juga sebagai Kerajaan Mbojo. Kerajaan ini dibentuk oleh Sang Bima. Sesaat setelah
dibentuknya kerajaan, Sang Bima pergi ke Kerajaan Medang sehingga ia meminta anaknya yang
bernama Indra Zamrud untuk memimpin Kerajaan Bima dan Indra Kumala menjadi pemimpin di
Dompu. 

Awal Kerajaan Bima berubah menjadi bentuk kesultanan karena ada pengaruh dari para
pedagang Kesultanan Demak. Para pedagang yang singgah menyiarkan agama Islam sehingga
sejarah Kesultanan Bima dimulai. Tokoh penyebar islam di tanah Bima adalah Sultan Alaudin yang
datang pada tahun 1619. 

Beliau mengutus para pemuka agama ke wilayah Kesultanan Lawu, Tallo, dan Bone. Lai Kai yang
merupakan Raja Bima memeluk islam pada tahun 1030 hijriyah. 

Lokasi Kesultanan Bima

Kesultanan Bima berpusat di Pulau Bima dan wilayah kekuasaannya meliputi bagian timur Sumbawa,
Manggarai, dan beberapa pulau kecil di Selat Alas. Wilayah pemerintahannya berbatasan langsung
dengan Laut Jawa dan Samudera Hindia. Lokasinya cukup strategis sebagai jalur perdagangan.

Pada tahun 1938, wilayah Kesultanan Bima sempat mengalami penyempitan akibat adanya
perjanjian yang telah dibuat dengan Gubernur Hindia Belanda. Wilayah kekuasaan Kesultanan Bima
bagian timur hanya sampai Manggarai dan sebelah barat adalah Dompu. Namun pada tahun 1928,
Kesultanan Bima memperoleh kekuasaan Kerajaan Sanggar.
Raja dan Masa Kejayaan Kesultanan Bima

Awal mula terbentuknya Kesultanan Bima adalah saat La Kai memeluk islam sehingga dirinya
dinobatkan sebagai sultan pertama. Sejarah Kesultanan Bima sebenarnya sama seperti kesultanan
yang lain karena Kesultanan Bima juga melalui banyak pergantian raja. 

Sultan Ismail menjadi salah satu sultan yang menjabat pada tahun 1819 hingga 1854. Sultan Bima
yang terkenal selanjutnya adalah Sultan Abdul Kadim. Beliau menjadi sultan ke 8 Bima. 

Dirinya berkuasa sejak 1765 dan memberlakukan berbagai aturan politik dan kerjasama dengan
VOC. Sultan selanjutnya yang sempat memerintah adalah Sultan Abdul Hamdi. Beliau memimpin
Kesultanan Bima mulai tahun 1773 M. 

Saat masa pemerintahan Sultan Hamid, seluruh kapal kapal yang berlayar di sekirat Bima
memperoleh izin dengan mudah. Sayangnya saat itu perdagangan Kesultanan Bima berada di bawah
monopoli VOC. 

Sultan yang terkenal dari Kesultanan Bima adah Sultan Muhammad Salahuddin (1915 M). Beliau
merupakan sultan yang dikenal karena membawa banyak perubahan.

Sultan Muhammad Salahuddin banyak mendirikan sekolah islam, mengubah system politik dan
pemerintahan. Serta mendirikan beberapa masjid di setiap desa yang berada di bawah Kesultanan
Bima. Tak hanya itu, system peradilan juga dipertegas sesuai dengan peradilan islam. Beliau juga
memimpin peperangan untuk memperjuangkan berdirinya Indonesia.

Daftar Raja Kesultanan Bima :

 Abdul Kahir I atau Ruma-ta Ma Bata Wadu (1620-1640 M)


 I Ambela Abi’I Khair Sirajuddin atau Mantau Uma Jati (1640-1682 M)
 Nuruddin Abu Bakar All Syah atau Mawa’a Paju (1682-1687 M)
 Jamaluddin Ali Syah atau Mawa’a Romo (1687-1696 M)
 Hasanuddin Muhammad Syah atau Mabata Bo’u (1696-1731 M)
 Alauddin Muhammad Syah atau Manuru Daha (1731-1748 M)
 Kamalat Syah atau Rante Patola Sitti Rabi’ah (1748-1751 M)
 Abdul Kadim Muhammad Syah atau Mawa’a Taho (1751-1773 M)
 Abdul Hamid Muhammad Syah atau Mantau Asi Saninu (1773-1817 M)
 Ismail Muhammad Syah atau Mantau Dana Sigi (1817-1854 M)
 Abdullah atau Mawa’a Adil (1854-1868 M)
 Abdul Aziz atau Mawa’a Sampela (1868-1881 M)
 Ibrahim atau Ma Tahi Parange (1881-1915 M)
 Muhammad Salahuddin (1915-1951 M)

Kehidupan Masyarakat
Masyarakatnya memiliki tiga sifat yang berasal dari masa awal pendirian Kerajaan Bima, yaitu sifat
sabar, malu dan takut. Ketiga sifat ini diwariskan oleh Sang Bima kepada kedua anaknya, yaitu Indra
Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dibekali ilmu melaut, sedangkan Indra Kumala dibekali ilmu
bertani. Pengetahuan ini kemudian diajarkan kepada masyarakat Bima.
Setelahnya, Wilayah Kesultanan Bima telah menjadi kawasan perdagangan sejak abad ke-11 M.
Perannya adalah sebagai penghubung antara Kerajaan Medang di Pulau Jawa dan Kepulauan
Maluku. Kerajaan Bima menjadi tempat perdagangan dan persinggahan.
Hasil bumi yang diperdagangkan berupa soga, sapang dan rotan. Perdagangan dilakukan di
pelabuhan Bima Lawa Due dan Nanga Belo. Para pedagang juga singgah untuk mempersiapkan bekal
ke Maluku berupa makanan dan air minum.

Struktur Sosial
Penduduk asli di Kesultanan Bima adalah masyarakat Suku Donggo yang menghuni wilayah
pegunungan. Wilayah pemukimannya berada di Kecamatan Donggo dan Kecamatan Wawo Tengah.
Penduduk yang lainnya adalah Suku Bima.
Suku ini awalnya adalah para pendatang dari Suku Makassar dan Suku Bugis yang menghuni wilayah
pesisir Bima. Mereka kemudian menikahi penduduk asli dan menetap sebagai penduduk di Bima
pada abad ke-14. Para pendatang lain berasal dari Suku Melayu dan Suku Minangkabau. Mereka
menetap di wilayah Teluk Bima, Kampung Melayu, dan Benteng. DI Kesultanan Bima juga terdapat
pemukiman Arab yang terdiri dari para pedagang dan mubalig.

Keagamaan
Islam pertama kali diperkenalkan ke Kesultanan Bima oleh Sayyid Ali Murtadlo atau Sunan Gisik yang
berasal dari Gresik. Ia adalah putra Syekh Maulana Ibrahim Asmara dan kakak dari Sunan Ampel.
Penyebaran Islam dilakukan bersamaan dengan kegiatan perdagangan. Penerimaan Islam hanya
oleh kelompok kecil pedagang dan masyarakat Kerajaan Bima yang berada di wilayah pesisir.
Islamisasi di Sulawesi Selatan selama periode tahun 1605 hingga 1611 membuat Kesultanan Gowa
memperluas penyebaran Islam ke Kepulauan Nusa Tenggara. Kesultanan Gowa memusatkan
penyebaran Islam di Pulau Sumbawa setelah hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan
diislamkan. Penyebaran Islam dilanjutkan oleh para pedagang dari Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo,
Kesultanan Luwu, Kesultanan Bone, dan Kesultanan Ternate. Hubungan politik, budaya dan ekonomi
antara Kerajaan Gowa dan Kesultanan Bima akhirnya membuat raja Kerajaan Bima yang bernama La
Kai menjadi muslim. Islam yang berkembang di Kesultanan Bima juga dipengaruhi oleh Kesultanan
Gowa.
Kesultanan Bima kemudian menerapkan hukum Islam dan hukum adat secara bersamaan.
Pemerintahan Kesultanan Bima kemudian membentuk lembaga eksekutif dan yudikatif. Sejak
tanggal 14 Agustus 1788, Kesultanan Bima memiliki lembaga peradilan Islam yang bernama
Mahkamah Syar'iyyah. Tugas utamanya adalah mengadili dalam urusan syariat Islam. Setelah
Belanda memerintah di Kerajaan Bima, Mahkamah Syar’iyyah digantikan oleh sistem peradilan
Hindia Belanda pada tahun 1908.
Peninggalan Sejarah
Istana Asi Mbojo

Istana Sultan Bima pada tahun 1949


Istana Asi Mbojo didirikan pada tahun 1888 dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim. Istana ini
digunakan hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Pada tahun 1927, istana Asi
Mbojo diperbaiki dan ditempati kembali pada tahun 1929. Arsitekturnya dirancang dengan
menggunakan perpaduan arsitektur Bima dan Belanda. Perancangnya adalah Obzicter Rahatta yang
merupakan tahanan Hindia Belanda dari Ambon. Istana Asi Mbojo kemudian menjadi Museum Asi
Mbojo  Pada masa Kesultanan Bima, istana ini digunakan sebagai kediaman sultan bersama
keluarganya, serta sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyiaran agama.

Istana Asi Bou


Istana Asi Bou dibangun pada tahun 1927 sebagai kediaman sementara untuk sultan dan
keluarganya. Kediaman ini digunakan selama pembangunan ulang dari Istana Asi Mbojo. Istana Asi
Bou merupakan sebuah rumah panggung tradisional. Bahan bangunannya berupa kayu jati yang
berasal dari Tololai, Kecamatan Wera. Pembangunannya menggunakan biaya dari kas keuangaan
Kesultanan Bima dan dana pribadi Sultan Muhammad Salahuddin.

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin


Masjid Sultan Muhammad Salahuddin mulai dibangun pada tahun 1737 M dalam masa
pemerintahan Sultan Abdul Kadim. Pembangunan masjid diteruskan oleh Sultan Abdul Hamid. Ia
mengubah model atap masjid menjadi bersusun tiga yang menyerupai Masjid Kudus. Pada tahun
1943, Sultan Muhammad Salahuddin memerintahkan pembangunan ulang masjid yang hancur
setelah dibom oleh pesawat pasukan sekutu dalam Perang Dunia II. Masjid ini kembali diperbaiki
pada tahun 1990 oleh Siti Maryam yang merupakan putri dari Sultan Muhammad Salahuddin.

Masjid Al-Muwahiddin
Masjid Al-Muwahiddin dibangun pada tahun 1947 dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad
Salahuddin. Tujuan pembangunannya adalah untuk menggantikan sementara fungsi dari Masjid
Muhammad Salahuddin yang telah hancur. Masjid ini difungsikan sebagai tempat kegiatan ibadah,
dakwah, dan studi Islam.
Peninggalan Budaya
Rimpu
Rimpu adalah busana wanita berupa sarung yang digunakan oleh para muslimah di Kesultanan Bima.
Kegunaannya adalah sebagai penutup kepala dan bagian tubuh bagian atas. Rimpu terdiri dari dua
lembar kain sarung. Sarung pertama digunakan untuk menutupi kepala sehingga yang terliihat hanya
bagian muka atau mata saja. Kain kedua diikat di perut dan digunakan sebagai pengganti rok. Rimpu
diperkenalkan pertama kali di Bima pada akhir abad ke-17 M.

KESIMPULAN

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
 https://mobillombok.com/info-lombok/sejarah-kerajaan-selaparang-
lombok.html
  "Ruang Sejarah: Sejarah Lombok dan Penyebaran Agama Islam Di Beberapa Tempat di Gumi
Sasak". Ruang Sejarah. Diarsipkan dari  versi asli  tanggal 2019-04-19. Diakses tanggal 2019-04-
21.
 ^ "Ruang Sejarah: Seperti Apa Zaman Sejarah Suku Sasak di Gumi Sasak Lombok?". Ruang
Sejarah. Diarsipkan dari  versi asli  tanggal 2019-04-19. Diakses tanggal 2019-04-19.

 https://www.indephedia.com/2022/04/sejarah-berdiri-kejayaan-dan-
keruntuhan.html
 Akbar, H., Antariksa, dan Meidiana, C. (2017). "Memori Kolektif Kota Bima Dalam
Bangunan Kuno Pada Masa Kesultanan Bima". The Indonesian Green Technology
Journal. 6 (1): 8–18. ISSN 2338-1787.
 Aksa (2018). "Rimpu: Tradisi dan Ekspresi Islam di Bima". Mimikri. 4 (1): 83–91.
 Aulia, Rihla Nur (2013). "Rimpu: Budaya Dalam Dimensi Busana Bercadar Perempuan
Bima". Studi Al-Qur'an. 9 (2): 1–11. ISSN 2339-2614.
 Effendy, Muslimin AR. (Desember 2017). "Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara
di Kesultanan Bima". Al-Qalam. 23 (2): 184–197.
 Haris, Tawalinuddin (2006). "Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa". Wacana. 8 (1): 17–
31.
 Mandyara, Dewi Ratna Muchlisa (2017). "Peran Kesultanan Bima pada Masa Sultan
Ismail Tahun 1819-1854". Jurnal Pendidikan IPS. 7 (1): 44–48.
 Mawaddah, Kartini (2017). "Diplomatik Sultan Abdul Hamid di Kerajaan Bima Tahun
1773-1817 M". Juspi. 1 (1): 139–153.
 Salahuddin, Muhammad (2005). "Mahkamah Syar'iyyah di Kesultanan Bima: Wujud
Dialektika Hukum antara Islam dan Adat". Ulumuna. 9 (1): 189–201.
 Saputri, Reni (Oktober 2016). "Kesulttanan Bima di Bawah Pemerintahan Sultan
Muhammad Salahuddin Tahun 1917-1942". Avatara. 4 (3): 630–643.
 Sulistyo, Bambang (Juli 2014). "Multikulturalisme di Bima pada Abad X -
XVII". Paramita. 24 (2): 155–172. doi:10.15294/paramita.v24i2.3120. ISSN 0854-0039.
 Sumiyati (2020). "Kondisi Politik di Kesultanan Bima (1915-1950)". Diakronika. 20 (1):
–. doi:10.24036/diakronika/vol20-iss1/128. ISSN 2620-9446.

 https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Bima

Anda mungkin juga menyukai