Anda di halaman 1dari 3

Kerajaan Selaparang: Sejarah, Masa Kejayaan, dan Keruntuhan Kompas.

com - 05/05/2021, 14:10 WIB BAGIKAN: Komentar1 Lihat Foto Peta Pulau Lombok(Research Gate) Penulis Widya
Lestari Ningsih | Editor Nibras Nada Nailufar KOMPAS.com - Kerajaan Selaparang adalah salah satu kerajaan Islam yang ada di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pendiri Kerajaan Selaparang
adalah Sayyid Zulqarnain atau disebut juga Syaikh 'Abdurrahman. Kerajaan Selaparang terkenal tangguh, baik di darat maupun di laut. Kerajaan ini semakin mengalami kemajuan pesat
setelah dipindahkan ke Desa Selaparang yang saat ini berada di Lombok Timur. Selaparang menjadi pusat kerajaan Islam di Lombok di bawah pemerintahan Prabu Rangkesari. Pada masa
inilah Selaparang mengalami masa keemasan dan menguasai seluruh Lombok. Sejarah berdirinya Kerajaan Selaparang Sumber-sumber tentang sejarah berdirinya Kerajaan Selaparang
sangat sedikit. Namun, para ahli meyakini bahwa Kerajaan Selaparang mengalami dua periode. Yaitu Kerajaan Selaparang Hindu yang berdiri antara abad ke-13 hingga 14 di bawah Kerajaan
Majapahit dan Kerajaan Selaparang Islam yang berdiri pada abad ke-16. Dinasti Selaparang kemudian menjadi yang pertama kali menerima Islam di Lombok. Upaya mengislamkan raja-raja
di Lombok tidak sulit, karena mereka memiliki pertalian darah dengan raja-raja di Jawa yang lebih dulu memeluk Islam. Baca juga: Sejarah Berdirinya Kerajaan Demak Masuknya agama
Islam ke Lombok pertama kali disebarkan oleh mubaligh dari Kota Baghdad bernama Ghaus Abdurrazzaq. Selain sebagai penyebar Islam, Ghaus Abdurrazzaq juga diyakini menurunkan
Sultan dari kerajaan-kerajaan di Lombok. Ghaus Abdurrazzaq menikah dengan seorang putri dari Kerajaan Sasak dan melahirkan dua anak, yaitu Sayyid Zulqarnain atau dikenal Syaikh
Abdurrahman dan seorang putri bernama Syarifah Lathifah yang dijuluki Denda Rabi'ah. Sayyid Zulqarnain inilah yang mendirikan Kerajaan Selaparang sekaligus menjadi raja pertama
dengan gelar Datu Selaparang atau Sultan Rinjani. Masa Kejayaan Kerajaan Selaparang Kerajaan Selaparang tergolong tangguh, bahkan laskar lautnya mampu mengusir Belanda yang
hendak memasuki wilayahnya pada 1667-1668. Selain itu, laskar lautnya juga pernah memukul mundur Kerajaan Gelgel (Bali) yang menyerang sebanyak dua kali. Kerajaan ini semakin
mengalami kemajuan pesat setelah dipindahkan ke Desa Selaparang sekarang ini. Selaparang menjadi pusat kerajaan Islam di Lombok di bawah pemerintahan Prabu Rangkesari. Pada
masa inilah Selaparang mengalami masa keemasan dan memegang hegemoni di seluruh Lombok. Baca juga: Raja-Raja Kerajaan Mataram Islam Keruntuhan Kerajaan Selaparang Pada awal
abad ke-15, para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang mendirikan koloni di kawasan Kota Mataram saat ini. Secara berangsur-angsur, koloni ini berkembang
hingga menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang mengancam keberadaan Kerajaan Selaparang. Selain itu, ketika menghadapi Kerajaan Gelgel dan Kerajaan
Mataram Karang Asem, terjadi perselisihan antara Arya Banjar Getas dengan raja Selaparang. Arya Banjar Getas beserta pengikutnya kemudian meninggalkan Selaparang untuk bergabung
dengan Kerajaan Mataram Karang Asem. Pada akhirnya, Kerajaan Selaparang berhasil ditaklukkan Kerajaan Mataram Karang Asem atas bantuan taktik Arya Banjar Getas. Sejak 1672,
Kerajaan Karang Asem menjadi penguasa tunggal di Lombok.  

Kejayaan Selaparang[sunting | sunting sumber]


Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-
1668 Masehi. Namun, Kerajaan Selaparang harus merelakan salah satu wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping
itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan
Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.[7]
Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan
kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di Desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru
dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan
akan segera dapat diketahui. Wilayah ibu kota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat hingga ke
hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.[8]
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan
kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi)
daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera mahkota
Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sulthan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.[9]

Keruntuhan Selaparang[sunting | sunting sumber]


Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, tetapi pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah
ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali) secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan Kota Mataram sekarang
ini. Kekuatan itu kemudian secara berangsur-angsur tumbuh berkembang sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi.
Kerajaan ini berdiri lima tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh pasukan Kerajaan Selaparang.[10]
Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba adalah kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer.
Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya
diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.[11]
Dalam upaya menghadapi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat itu, yakni Kerajaan Gelgel, dan Kerajaan Mataram Karang Asem, maka secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di
lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas ditengarai berselisih paham dengan rajanya, raja Kerajaan Selaparang, soal posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan
Pejanggik. Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya kemudian memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi militer Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali)
yang pada saat itu sudah berhasil mendarat di Lombok Barat. Kemudian dengan segala taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun rencana dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk bersama-
sama menggempur Kerajaan Selaparang.[12] Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672 Masehi. Sejak saat itu,
Kerajaan Karang Asem menjadi penguasa diwilayah pulau Lombok bagian barat, dan bebera
Kerajaan Bima: Pendiri, Raja-Raja, Kehidupan, dan Peninggalan Kompas.com - 18/06/2021, 12:00 WIB BAGIKAN: Komentar Lihat Foto Istana Kesultanan
Bima.(TROPENMUSEUM) Penulis Widya Lestari Ningsih | Editor Nibras Nada Nailufar KOMPAS.com - Kerajaan Bima adalah salah satu kerajaan di
nusantara yang pernah mengalami masa-masa Hindu dan akhirnya berubah menjadi bercorak Islam. Kerajaan yang terletak di Bima, Nusa Tenggara
Barat, ini pertama kali didirikan pada sekitar abad ke-13. Pendiri Kerajaan Bima adalah seorang musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima, yang
akhirnya menurunkan raja-raja Bima. Kerajaan Bima kemudian berubah menjadi kesultanan pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1620. Penguasa
pertama yang masuk Islam adalah Ruma Ta Ma Bata Wadu atau Abdul Kahir, raja Bima ke-27 yang berkuasa antara 1620-1640. Sejarah berdirinya
Kerajaan Bima Sebelum berbentuk kerajaan, wilayah Bima terbagi dalam beberapa kekuasaan yang pimpinan wilayahnya disebut Ncuhi. Para Ncuhi yang
awalnya membentuk federasi kemudian sepakat mengangkat Sang Bima, yang mengajarkan agama Hindu, sebagai pemimpin. Setelah membentuk
kerajaan, Sang Bima justru pergi ke Kerajaan Medang di Jawa Timur. Dalam perkembangannya, Sang Bima mengirim putranya, Idra Zamrud dan Indra
Kumala ke Kerajaan Bima. Indra Zamrud inilah yang dinobatkan sebagai raja Bima yang pertama. Selama empat abad menjadi kerajaan bercorak Hindu,
terdapat 26 raja yang pernah memerintah Bima. Baca juga: Kerajaan Indraprahasta: Sejarah, Raja-Raja, dan Keruntuhan Masuk dan berkembangnya
Islam di Bima Agama Islam diperkirakan mulai masuk ke Kerajaan Bima mulai abad ke-16, di bawa oleh para mubalig dan pedagang dari Demak.
Penyebaran Islam di Bima semakin meluas pada abad ke-17, saat Kesultanan Gowa-Tallo menaklukkan wilayah-wilayah di Nusa Tenggara. Kerajaan
Bima kemudian berubah menjadi kesultanan saat Putra Mahkota La Kai yang bergelar Ruma Ta Ma Bata Wadu masuk Islam. Setelah masuk Islam, raja
ke-27 Kerajaan Bima ini berubah nama menjadi Abdul Kahir. Sejak saat itu, Islam menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Bima.
Hubungan kekerabatan antara Bima dan Gowa-Tallo juga semakin kuat setelah Sultan Abdul Kahir menikahi adik ipar sultan Gowa-Tallo. Raja-raja
Kerajaan Bima Berikut ini daftar raja-raja Kerajaan Bima saat masih bercorak Hindu. Indera Jambrut Batara Indera Bima Batara Sang Luka Batara Sang
Bima Batara Matra Indarwata Batara Matra Inderatarati Manggampo Jawa Puteri Ratna Lila Maharaja Indera Kumala Batara Indera Luka Maharaja Bima
Indera Seri Mawaä Paju Longge Mawaä Indera Mbojo Mawaä Bilmana Manggampo Donggo Mambora ba Pili Tuta Tureli Nggampo Mawaä Ndapa Ruma
Samara Ruma Sarise Ruma Mantau Asi Sawo Ruma Manuru Sarei Tureli Nggampo Mambora di Sapega Mantau Asi Peka Baca juga: Kerajaan Kendan:
Sejarah, Raja-raja, dan Keruntuhan Berikut ini daftar raja-raja Kerajaan Bima setelah berubah menjadi kesultanan Islam. Abdul Kahir I atau Ruma-ta Ma
Bata Wadu (1620-1640 M) I Ambela Abdul Kahir Sirajuddin atau Mantau Uma Jati (1640-1682 M) Nuruddin Abu Bakar All Syah atau Mawa’a Paju (1682-
1687 M) Jamaluddin Ali Syah atau Mawa’a Romo (1687-1696 M) Hasanuddin Muhammad Syah atau Mabata Bo’u (1696-1731 M) Alauddin Muhammad
Syah atau Manuru Daha (1731-1748 M) Kamalat Syah atau Rante Patola Sitti Rabi’ah (1748-1751 M) Abdul Kadim Muhammad Syah atau Mawa’a Taho
(1751-1773 M) Abdul Hamid Muhammad Syah atau Mantau Asi Saninu (1773-1817 M) Ismail Muhammad Syah atau Mantau Dana Sigi (1817-1854 M)
Abdullah atau Mawa’a Adil (1854-1868 M) Abdul Aziz atau Mawa’a Sampela (1868-1881 M) Ibrahim atau Ma Tahi Parange (1881-1915 M) Muhammad
Salahuddin (1915-1951 M) Kehidupan Kerajaan Bima Sejak dinobatkan sebagai raja Bima pada 1620 hingga wafat pada 1640, Sultan Abdul Kahir aktif
menyebarkan Islam kepada rakyatnya. Setelah Sultan Abdul Kahir wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putranya, I Ambela Abdul Kahir Sirajuddin. Pada saat
itu, rakyatnya dipimpin dengan berdasar pada adat dan hukum Islam. Hal ini terus berlangsung sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1881-1915).
Baca juga: Kerajaan Selaparang: Sejarah, Masa Kejayaan, dan Keruntuhan Sementara itu, masyarakatnya dikenal memiliki tiga sifat yang konon
diwariskan oleh Sang Bima, yaitu sabar, pemalu, dan takut. Di sisi lain, masyarakat Bima juga dibekali ilmu bertani dan berdagang untuk meningkatkan
sektor ekonomi mereka. Bahkan pada awal berdirinya kerajaan, diketahui bahwa masyarakatnya hidup makmur, serta bidang ekonomi, keagamaan, dan
sosial-budayanya berkembang pesat. Pada abad ke-19, wilayah kekuasaan Kerajaan Bima meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, Manggarai di Pulau
Flores, dan Selat Alas. Namun, dalam catatan sejarah tidak disebutkan tentang masa kejayaan Kerajaan Bima. Sebab, periode Kesultanan Bima selalu
diwarnai perlawanan terhadap pasukan Belanda. Kemunduran Kerajaan Bima Kemunduran Kerajaan Bima dimulai pada 1908, saat kerajaan telah
dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Bahkan semua urusan kerajaan harus mendapat persetujuan dari pemerintah kolonial Belanda. Kesultanan
Bima kemudian berakhir pada 1951, setelah Sultan Muhammad Salahuddin wafat. Peninggalan Kerajaan Bima Istana Asi Mbojo Istana Asi Bou Masjid
Sultan Muhammad Salahuddin Masjid Al-Muwahiddin

Anda mungkin juga menyukai