2. Masa Kejayaan
Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut.
Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut
sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus rnerelakan
salah satu wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut
sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan
serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua
kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616
dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat
ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.
Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan
kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka,
pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran
perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini,
panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan
Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan
demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui.
Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian belakang berupa bukit-
bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat hingga ke
hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang
mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat
mengembangkan kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang
raja muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat
SEJARAH INDONESIA/KELAS XI SEMESTER 1 Page 2
karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan
Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal
30 November 1648 Masehi, putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman
dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sulthan Selaparang yang
memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.
3. Sosial Budaya
Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat
menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi
yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak
mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-
lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji,
Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi
ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar
Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan
diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan
sebagainya.
Desa Bayan, Lombok Utara, 80 kilometer arah utara Mataram, ibu kota Nusa
Tenggara Barat, dan keseharian masyarakatnya selama bulan suci Ramadhan tidaklah
berbeda dengan banyak wilayah pedesaan di Indonesia. Dari tepi jalan lingkar Pulau
Lombok, keberadaan bangunan yang telah menjadi situs purbakala yang dilindungi tersebut
tak mencolok, seperti juga rumah-rumah di desa itu. Dari tepi jalan hanya tampak pagar
tembok dengan dua rumah kecil di kedua sisi gerbang, kantor tempat pendaftaran
pengunjung.
Selain di Bayan, masjid kuno juga ada di Gunung Pujut, di Desa Rembitan dan Masjid
Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa Sekarbela. Meski punya ciri yang
sama, situs dan budaya di tempat-tempat itu memiliki perbedaan yang menjadi tanda Islam
masuk Lombok di beberapa tempat sekaligus. Islam masuk Lombok melalui Jawa, Gowa,
dan Bima. Mengenai Bayan, masuknya dari Jawa.
4. Runtuhnya Selaparang
Terkalahkannya Gowa oleh Belanda, maka pada tanggal 18 Nopember 1667
ditandatangani “Perjanjian Bongaya”, kemudian VOC mengusir kekuasaan Goa di Lombok
dan Sumbawa. Pada tahun 1673 Belanda memindahkan pusat kerajaan dari pulau Lombok ke
Sumbawa untuk memusatkan kekuatan. Hal ini diketahui dari berita-berita tahun 1673 dan
1680 tentang pertanggungjawaban Raja Sumbawa atas daerah Lombok. Kemudian pada
tahun 1674 Sumbawa mendandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya “Sumbawa harus
melepaskan Selaparang”.
Setelah Selaparang lepas dari kekuasaan Sumbawa, maka VOC menempatkan regent
dan pengawas. Ketidaksetujuan Selaparang terhadap VOC yang menempatkan regent dan
pengawas menyebabkan pemberontakan Selaparang pada tanggal 16 Maret 1675. Untuk
memadamkan pemberontakan tersebut VOC di bawah Kapten Holsteiner berhasil
mengalahkan Selaparang. Pada akhirnya pemimpin-pemimpin Selaparang yang masing-
masing : Raden Abdi Wirasentana, Raden Kawisangir Koesing, dan Arya Boesing
diperintahkan membayar 5.000 sampai 15.000 kayu sepang dalam jangka waktu 3 tahun.
Kedatangan VOC ke Lombok, akhirnya sejak tahun 1691 Kerajaan Selaparang
mengalami kemunduran. Karang Asem Bali bersama Arya Banjar Getas berperang melawan
raja-raja di Lombok. Pada tahun 1740, peperangan di Tanaq Beaq dimenangkan oleh Karang
Asem, maka tamatlah riwayat Kerajaan Selaparang