Anda di halaman 1dari 22

KERAJAAN ISLAM DI

NUSA TENGGARA
Kelompok 6 :
➢ Yunni Fadhillah Pangaribuan
➢ Zahra Minhalina
Sejarah
▪ Islam masuk ke wilayah Nusa Tenggara bisa dibilang
sejak awal abad ke-16. Diperkenalkan oleh Sultan
Prapen (1605) putra Sunan Giri. Namun Islam
mungkin masuk ke Sumbawa melalui Sulawesi lewat
dakwah para mubalig dari Makassar antara tahun
1540-1550.
▪ Hubungan Sumbawa yang baik dengan Kerajaan
Makassar membuat Islam turut berlayar pula ke
Nusa Tenggara. Sampai kini jejak Islam bisa dilacak
dengan meneliti makam seorang mubalig asal
Makassar yang terletak di Kota Bima.
▪ Selain Sumbawa, Islam juga masuk ke Lombok.
Orang-orang Bugis yang datang dari Sumbawa
mengajarkan Islam di sana.
Kerajaan Islam di Lombok dan
Sumbawa
❖ Dari Lombok Islam disebarkan ke Pejanggik, Parwa, Sokong,
Bayan, dan tempat-tempat lainnya sehingga seluruh Lombok
memeluk Islam. Dari Lombok, konon Sunan Prapen
meneruskan dakwahnya ke Sumbawa. Kerajaan Islam Lombok
mengalami masa keemasan di bawah pemerintahan Prabu
Rangkesari.

❖ VOC yang kala itu berkuasa, selalu ikut campur tangan dalam
kepentingan Kerajaan, sehingga sering kali ditekan oleh VOC.
Akhirnya pusat Kerajaan Lombok pun dipindahkan ke
Sumbawa pada tahun 1637 dengan tujuan untuk dapat
mempertahankan kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di
Sumbawa
Kerajaan Sumbawa

Kesultanan Bima

Peninggalan Kerajaan
01
Kerajaan Sumbawa
Ibu Kota Bahasa
Sumbawa Besar Sumbawa

Agama Pemerintahan
Islam Monarki Kesultanan
Sultan
• Sultan Harunnurrassyid I (1674-1702)

• Sultan Muhammad Kaharuddin III (1931-


1975)

• Sultan Muhammad Kaharuddin IV (2011-


sekarang)
Keberadaan Tana Samawa atau Kabupaten Sumbawa, mulai dicatat oleh
sejarah sejak Zaman Dinasti Awan Kuning, sebagian rakyat Sumbawa
masih menganut animisme dan sebagian sudah menganut agama Hindu.

Pada kekuasaan raja terakhir dari Dinasti Awan Kuning, yaitu Dewa
Maja Purwa, ditemukan catatan tentang kegiatan kerajaan, antara
lain bahwa Dewa Maja Purwa telah menandatangani perjanjian
dengan Kerajaan Goa di Sulawesi. Kerajaan Goa yang pengaruhnya
lebih besar saat itu menjadi pelindung Kerajaan Sumbawa.
Setelah Dewa Maja Purwa wafat, ia digantikan oleh Mas Goa yang masih
menganutajaran Hindu. Ia dianggap telah melanggar salah satu
perjanjian damai dengan Kerajan Goa, maka resikonya ia terpaksa
disingkirkan bersama pengikut-pengikutnya ke sebuah hutan.

Ia serta merta diturunkan dari tahtanya karena mangkir dari


kesepakatan pendahulunya dengan Kerajaan Goa. Tidak disebutkan
apa pelanggaran yang telah dilakukan Mas Goa, namun campur
tangan Raja Goa di Sulawesi sangat besar.
Dinasti baru terbentuk dan diberi nama Dinasti Dewa Dalam Bawa. Saat
itu, rakyat Sumbawa sudah mulai memeluk agama Islam. Dinasti Dewa
Dalam Bawa ini berkuasa hingga tahun 1958.

Raja pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Sultan


Harunurrasyid I (1674-1702). Kemudian diganti oleh outranya
Pamgeran Mas Madina bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah
I yang kawin dengan putri Raja Sidenreng Sulawesi Selatan yang
bernama I Rakia Karaeng Agang Jene. Setelah wafat, diganti oleh
Dewa Laka Lengit Ling Sampar kemudian oleh Dewa Ling Gunung
Setia. Diperkirakan memerintah selama 10 tahun.
Wilayah kekuasaan/kerajaan Sumbawa ini pada masa pra-Majapahit
menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang berpusat di
Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh
Taliwang dan Seran.

Sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan Gowa-


Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-
Lombok dengan pusat pemerintahan mula-mula di Lombok
kemudian dipindahkan ke Sumbawa besar akibat ancaman
pencaplokan Kerajaan Gelgel-Bali.
Lalu kekuasaan Belanda lewat VOC pun semakin merajalela. Maka
dimulailah babak baru, Belanda ikut bermain politik di dalam istana dan
ikut menentukan jalannya pemerintahan.

Dan pada akhirnya kemudian kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara


mengalami tekanan dari VOC setelah terjadinya perjanjian Bongaya
pada 18 November 1667. Oleh karena itu pusat kerajaan Lombok
dipindahkan ke Sumbawa, dan Sumbawa dipandang lebih strategis
daripada pusat pemeritahan di Selaparang mengingat ancaman dan
serangan terhadap VOC terus-menerus.
02
Kesultanan Bima
Sultan
• Abdul Kahir (Mantau Wata Wadu) 1620-1640
• I Ambela Abi’l Khair Sirajuddin (Mantau Uma Jati) 1640-1682
• Nuruddin Abu Bakar Ali Syah (Mawa’a Paju) 1682-1687
• Jamaluddin Ali Syah (Mawa’a Romo) 1687-1696
• Hasanuddin Muhammad Syah (Mabata Bo’u) 1696-1731
• Alauddin Muhammad Syah (Manuru Daha) 1731-1748
• Kamalat Syah (Rante Patola Sitti Rabiah) 1748-1751
• Abdul Kadim Muhammad Syah (Mawa’a Taho) 1751-1773
• Abdul Hamid Muhammad Syah (Mantau Asi Saninu)
• Ismail Muhammad Syah (Mantau Dana Sigi) 1817-1854
• Abdullah (Mawa’a Adil) 1854-1868
• Abdul Aziz (Mawa’a Sampela) 1868-1881
• Ibrahim (Ma Taho Parange) 1881-1915
• Muhammad Salahuddin (Marrbora di Jakarta) 1915-1951
Bima merupakan kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara.
Rajanya yang pertama masuk Islam ialah Ruma MA Bata Wadu yang
bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Khair ( 1611-1640).

Pembicaraan mengenai sejarah Kesultanan Bima abad XIX dapat


diperkaya oleh gambaran terperinci dalam Syair Kerajaan Bima
yang diperkirakan dikarang sebelum tahun 1833.

Sebelum Raja Bicara Abdul Nabi meletakkan jabatan dan digantikan


oleh putranya. Syair itu dikarang oleh Khatib Lukman, barangkali
pada tahun 1830. Syair ditulis dengan huruf Jawa dan berbahasa
Melayu, menceritakan empat peristiwa yang terjadi di Bima pada
awal abad XIX, yaitu letusan Gunung Tambora (1815), wafat dan
pemakaman Sultan Abdul Hamid (Mei 1819), serangan bajak laut
dan pemberontakan Sultan Ismail pada 26 November 1819.
Berdirinya Kerajaan Bima sejak abad ke014, berawal dari kesepakatan
raja-raja kecil di wilayah itu yang mencakup Sumbawa dan Manggarai di
bagian Barat Flores. Hasil kesepakatan itu ditunjuklah Indra Jamrud
sebagai raja pertama

Sumber sejarah Bima adalah artefak, prasasti dan manuskrip.


Sumber-sumber tersebut menceritakan tentang fase sejarah sejak
masa prasejarah hingga masuknya Islam. Ada dua prasasti yang
ditemukan di sebelah Barat Teluk Bima. Selain prasasti, juga banyak
terdapat naskah-naskah kuno yang ditulis di era Islam, sehingga
bisa digunakan untuk mengungkap sejarah di era tersebut.
Masyarakat Bima merupakan campuran dari berbagai suku bangsa. Suku
asli yang mendiami Bima adalah orang Donggo.

Wilayah Kerajaan Bima mencakup Pulau Sumbawa bagian Timur


dan tanah-tanah Timur, seperti Sawu, Alor, Sumba, Larantuka,
Ende, Manggarai dan Komodo.
Sampai kini jejak Islam bisa dilacak dengan meneliti makam seorang
mubalig asal Makassar yang terletak di Kota Bima. Begitu juga dengan
makam Sultan Bima yang pertama kali memeluk Islam.

Bisa disebut, seluruh penduduk Bima adalah para Muslim sejak


awal. Selain Sumbawa, Islam juga masuk ke Lombok. Orang-orang
Bugis datang ke Lombok dari Sumbawa dan mengajarkan Islam di
sama. Hingga kini, beberapa kota di suku-suku Lombok banyak
kesamaannya dengan bahsa Bugis.
Peninggalan-peninggalan Kerajaan Islam di Nusa
Tenggara

Istana Asi Mbojo Masjid Bayan Beleq


Masjid Al-Muwahiddin Masjid Sultan Muhammad Salahuddin
Rimpu

Rimpu adalah cara berbusana


masyarakat Bima-Dompu yang
menggunakan sarung khas Bima-
Dompu. Rimpu merupakan rangkaian
pakaian yang menggunakan dua lembar
(dua ndo`o) sarung. Kedua sarung
tersebut untuk bagian bawah dan
bagian atas. Rimpu ini adalah pakaian
yang diperuntukkan bagi kaum
perempuan.
“Wahai anak Adam, kalian tidak
lain hanyalah kumpulan hari,
setiap satu hari berlalu maka
sebagian dari diri kalian pun ikut
pergi.”

[ Hasan Al-Bashri ]

Anda mungkin juga menyukai