Anda di halaman 1dari 14

Sejarah Indonesia

Kerjaan Lombok & Bima

Anggota Kelompok :
1. An Nisaa Dwi Banowati (01)
2. Dhanty Dwina Normatika (06)
3. Fitri Ekayanti(09)
4. Mia Radina Putri (17)
5. Trisna Permatayuni (30)
6. Wimelia Putri Jayani (33)

Kerajaan Selaparang - Lombok


Kerajaan Selaparang adalah salah satu kerajaan yang
pernah ada di Pulau Lombok. Pusat kerajaan ini pada masa
lampau berada di Selaparang (sering pula diucapkan dengan
Seleparang), yang saat ini kurang lebih lebih berada di desa
Selaparang, kecamatan Swela, Lombok Timur. Sebenarnya,
minim sekali yang dapat diketahui tentang sejarah Kerajaan
Selaparang, terutama tentang awal mula berdirinya.Namun
terdapat beberapa sumber yang dapat dipercaya. Salah
satunya adalah kisah yang tercatat di dalam daun Lontar
yang menyebutkan bahwa berdirinya Kerajaan Selaparang
tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah masuknya
atau proses penyebaran agama Islam di Pulau Lombok.

Sejarah Kerajaan Selaparang


Berdirinya selaparang.
Disebutkan di dalam daun Lontar tersebut bahwa agama Islam salah
satunya pertama kali dibawa dan disebarkan oleh seorang muballigh
dari kota Bagdad, Iraq, bernama AsySyaikh As-Sayyid Nrurrasyd
Ibnu Hajar al-Haytami. Masyarakat Pulau Lombok secara turuntemurun lebih mengenal dia dengan sebutan 'Ghaus 'Abdurrazzq'.
Dia inilah, selain sebagai penyebar agama Islam, dipercaya juga
sebagai menurunkan Sulthan-Sulthan dari kerajaan-kerajaan yang ada
di Pulau Lombok. Namun selain dia, Betara Tunggul Nala (Nala
Segara) diyakini pula sebagai leluhur Sulthan-Sulthan di Pulau
Lombok. Betara Nala memiliki seorang putra yang dikenal dengan
nama Wali Nyatok, seorang muballigh dan Wali Allah. Kata "Nyatoq"
artinya Nyata. Ia disebut sebagai pendiri Kerajaan Kayangan yang
merupakan cikal bakal Kerajaan Selaparang.

Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya dia masuk ke


Pulau Lombok. Namun pendapat terkuat menyebutkan
bahwa dia datang ke Pulau Lombok untuk pertama
kalinya sekitar tahun 600-an Hijriyah atau abad ke-13
Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaus
'Abdurrazzq mendarat di Lombok Utara yang disebut
dengan Bayan. Diapun menetap dan berda'wah di sana.
Dia kemudian menikah dan lahirlahi tiga orang anak.
Ghaus 'Abdurrazzq menikah lagi dengan seorang putri
dari Kerajaan Sasak yang melahirkan dua orang anak,
ya'ni seorang putra bernama Sayyid Zulqarnain dan
seorang putri bernama Syarifah Lathifah. Sayyid
Zulqarnain inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan
Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama
dengan gelar Datu Selaparang atau Sulthan Rinjani.

Kejayaan Kerajaan Selaparang


Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di
darat maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda
yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668
Masehi. Namun, Kerajaan Selaparang harus merelakan salah satu
wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa. Selaparang
pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan
Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi keduaduanya dapat ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam
jumlah yang cukup besar. Setelah pertempuran sengit tersebut,
Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk
membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka,
pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke
pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di desa Selaparang
sekarang ini. Berbagai sumber menyebutkan, bahwa

setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami


kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan,
Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan
kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Seorang raja
muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar
Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630
Masehi) daerah ini masih termasuk ke dalam wilayah
kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian
dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar
tanggal 30 November 1648 Masehi, putera mahkota
Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dilantik di
Sumbawa menjadi Sulthan Selaparang yang
memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan
Sumbawa.

Keruntuhan Kerajaan Selaparang


Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu
Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu
kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio
kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan
datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau
Bali) secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di
kawasan Kota Mataram. Kekuatan itu kemudian secara
berangsur-angsur tumbuh berkembang sehingga menjelma
menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan
yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima
tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali
Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat
ditumpas oleh pasukan Kerajaan Selaparang.

Dalam upaya menghadapi masalah yang baru tumbuh dari bagian


barat itu, yakni Kerajaan Gelgel, dan Kerajaan Mataram Karang
Asem, maka secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di
lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas ditengarai
berselisih paham dengan rajanya, raja Kerajaan Selaparang, soal
posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan
Pejanggik. Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya kemudian
memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung
dengan sebuah ekspedisi militer Kerajaan Mataram Karang Asem
(Bali) yang pada saat itu sudah berhasil mendarat di Lombok Barat.
Kemudian dengan segala taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun
rencana dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk
bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang. Pada akhirnya,
ekspedisi militer tersebut telah berhasil menaklukkan Kerajaan
Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1725 Masehi. Sejak
saat itu, Kerajaan Karang Asem dan dinasti abg menjadi penguasa
barat dan timur juring di Lombok.

Kerajaan Bima
Dalam naskah kuno dan Arsip Majelis Ada Dana Mbojo Bima,
penduduk Bima dahulu pemeluk agama Hindu-Syiwa yang
kemudian dalam perkembangannya berubah menjadi
Islam.Berdirinya kerajaan bima sejak abad ke 14, berawal dari
kesepakatan raja-raja kecil di wilayah itu yang mencangkup
Sumbawa dan Manggarai dibagian barat Flores. Hasil
kesepakatan itu ditunjukanlah Indra Jamrud sebagai raja
pertama.Kerajaan Bima terletak di pantai timur pulau
Sumbawa. Asal mula kerajaan ini diperkirakan telah ada sejak
periode Hindu. Namun, data sejarah kerajaan ini pada masa
Hindu sangat minim. Data sejarah tertulis yang tersedia hanya
pada fase Bima telah konversi ke Islam pada tahun 1620 M.

Sumber sejarah Bima adalah artefak, prasasti dan


manuskrip. sejarah Bima dimulai pada abad ke-14 M.
Ketika itu, pulau Sumbawa diperintah oleh kepala suku yang
disebut Ncuhi. Pulau Sumbawa tersebut terbagi dalam lima
wilayah kekuasaan Ncuhi:
1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah
2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima
Selatan
3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat
4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima
Utara
5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima
Timur

Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling


hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah
mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan
bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut yang bertindak selaku
pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masamasa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang
utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang
dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima, cikal
bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang
mempunyai 5 orang putra, yaitu:
Darmawangsa
Sang Bima
Sang Arjuna
Sang Kula
Sang Dewa

Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima


berlayar ke arah timur dan mendarat di sebuah pulau kecil di
sebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang
Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu
kerajaan, yakni Kerajaan Bima dan Sang Bima sebagai raja
pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi
sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat dan saat itu pulalah
Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat
tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami
perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Waa Bilmana.
Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan
berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima
menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada
Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra
Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada
abad XIV/XV.

Bima dan Islam


Mulanya, Bima merupakan kerajaan yang dipengaruhi HinduBudha yang bercampur dengan kebudayaan asli. Sebelum Islam
datang, penduduknya mempercayai arwah-arwah lelulur mereka
sebagai penjaga kehidupan. Pada awal abad ke-17, barulah
ajaran Islam masuk ke Bima, yang terletak di bagian timur Pulau
Sumbawa. Tepatnya pada tahun 1620, raja Bima yang
bernama La Kai memeluk Islam dan namanya berganti
menjadi Abdul Kahir.
Sesungguhnya, ajaran Islam telah masuk ke daerah Sumbawa
sejak abad ke16. Persebaran Islam di wilayah ini terbagi dalam
dua gelombang. Gelombang pertama sekitar tahun 1540-1550
oleh para mubalig dan pedagang dari Demak. Sementara,
gelombang kedua terjadi pada 1620 oleh orang-orang Sulawesi.
Pada gelombang kedua inilah Raja Bima, La Kai, tertarik untuk
menjadi muslim.

Periode Pemerintahan
Sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah memerintah sekitar
60 orang raja atau sultan di Kerajaan Bima. Khusus pada periode
Islam, ada 14 orang sultan. Ketika Jepang masuk ke Indonesia,
yang berkuasa di Kerajaan Bima adalah Sultan Muhammad
Shalahuddin. Ia meninggal dunia pada tahun 1951, dan kemudian
digantikan oleh anaknya, Abdul Khair II. Di masa Abdul Khair II
ini, ia tidak banyak berkecimpung untuk mengurus Kerajaan
Bima, sebab ia lebih memilih menjadi pegawai di Departemen
Dalam Negeri dan anggota Parlemen. Ketika meninggal dunia, ia
digantikan oleh anak tertuanya, Putra Feri Andi Zulkarnain.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kerajaan Bima mencakup Pulau Sumbawa bagian
timur dan tanah-tanah timur, Seperti Sawu, Alor, Sumba,
Larantuka, Ende, Manggarai dan Komodo.

Anda mungkin juga menyukai