Anda di halaman 1dari 13

Wangsa Isyana

Wangsa Isyana adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang periode
Jawa Timur pada abad ke-10 sampai awal abad ke-11.

Asal usul
Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu
gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Dinasti ini menganut agama
Hindu aliran Siwa.
Berdasarkan agama yang dianut, Mpu Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya,
pendiri Kerajaan Medang periode Jawa Tengah. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa
Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa
sendiri memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk menunjukkan
bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok
dapat disebut sebagai anggota Wangsa Sanjaya.
Kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori
van Bammelen. Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju
Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana
baru itu terletak di daerah Jombang sekarang.
Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke timur, tetapi ia juga
dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.
Namun ada juga pendapat yang menolak keberadaan Wangsa Sanjaya dan Wangsa
Isyana, antara lain yang diajukan oleh Prof. Poerbatjaraka, Pusponegoro, dan Notosutanto.
Menurut versi ini, dalam Kerajaan Medang hanya ada satu dinasti saja, yaitu Wangsa
Syailendra, yang semula beragama Hindu. Kemudian muncul Wangsa Syailendra terpecah
dengan munculnya anggota yang beragama Buddha.
Dengan kata lain, versi ini berpendapat bahwa Mpu Sindok adalah anggota Wangsa
Syailendra yang beragama Hindu Siwa, dan yang memindahkan istana Kerajaan Medang ke
Jawa Timur.

Silsilah Keluarga
Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam Prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama
Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang
melahirkan pendapat tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa
Sanjaya.
Cikal bakal Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja
Isyana. Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran
Bali bernama Sri Lokapala. Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang
kemudian memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.
Ayah dari Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti,
nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum suaminya. Hal
ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi daripada Udayana.
Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi
pada zaman pemerintahan Dyah Balitung (sekitar tahun 890–900–an)
Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja bernama Dharmawangsa Teguh,
mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat bahwa Dharmawangsa
adalah putra Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang
menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa.
Dengan demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok,
meskipun prasasti Pucangan tidak menyebutnya dengan pasti.

Daftar Raja-Raja
Daftar raja-raja Wangsa Isyana dapat disusun sebagai berikut,

1. Mpu Sindok alias Maharaja Isyana


Mpu Sindok adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang
memerintah sekitar tahun 929 – 947, bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana
Wikramadharmottunggadewa.
Mpu Sindok dianggap sebagai pendiri dinasti baru bernama Wangsa Isana.

Asal-Usul
Mpu Sindok pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong menjabat sebagai Rakai
Mahamantri Halu, sedangkan pada masa pemerintahan Dyah Wawa, naik pangkat
menjadi Rakai Mahamantri Hino. Kedua jabatan tersebut merupakan jabatan tingkat
tinggi yang hanya dapat diisi oleh keluarga raja. Dengan demikian, Mpu Sindok
merupakan seorang bangsawan kelas tinggi dalam Kerajaan Medang.
Mpu Sindok memiliki permaisuri yang bernama Sri Parameswari Dyah Kebi putri
Rakai Bawa. Sejarawan Poerbatjaraka menganggap Rakai Bawa sama dengan Dyah
Wawa. Dengan demikian, Mpu Sindok dianggap sebagai menantu Dyah Wawa. Namun,
Rakai Bawa adalah nama suatu jabatan, sedangkan Dyah Wawa adalah nama orang,
sehingga keduanya tidak bisa disamakan.
Stutterheim menemukan tokoh Rakai Bawang Mpu Dyah, yaitu seorang pejabat
zaman pemerintahan Mpu Daksa. Menurutnya, Mpu Partha ini lebih tepat dianggap
sebagai ayah Dyah Kebi daripada Dyah Wawa.
Selain itu ditemukan pula nama Rakryan Bawang Dyah Srawana yang bisa juga
merupakan ayah Dyah Kebi.

Perpindahan Ibu Kota Medang


Istana Kerajaan Medang pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah
Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai
Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah
Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman
Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram.
Mpu Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur
sekarang. Dalam beberapa prasastinya, ia menyebut kalau kerajaannya merupakan
kelanjutan dari Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Misalnya, ditemukan kalimat Kita
prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh.
Menurut teori van Bammelen, istana Medang di Mataram hancur akibat letusan
Gunung Merapi yang disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik. Tidak diketahui
dengan pasti apakah bencana alam ini terjadi pada masa pemerintahan Dyah Wawa
ataukah pada pemerintahan Mpu Sindok.
Mpu Sindok memimpin penduduk Medang yang selamat pindah ke timur. Ia
membangun ibu kota baru di daerah Tamwlang (prasasti Turryan, 929). Kemudian istana
dipindahkan ke Watugaluh (prasasti Anjukladang, 937). Baik Tamwlang maupun
Watugaluh diperkirakan berada di sekitar daerah Jombang sekarang.

Riwayat Pemerintahan
Mpu Sindok merupakan raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur.
Sedangkan yang menjabat sebagai Rakai Mapatih Hino adalah Mpu Sahasra.
Pemerintahan Mpu Sindok cukup banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-
prasasti.
Prasasti Poh Rinting berisi tentang penetapan desa sima. Disebutkan, Dang
Acaryya membuat permohonan kepada raja supaya daerahnya dijadikan perdikan karena
di kawasannya terdapat bangunan suci. Sang Prabu pun mengabulkannya, dengan
menetapkan Desa letak prasasti Poh Rinting berada sebagai desa sima.
Prasasti Turryan tahun 929 berisi permohonan Dang Atu Mpu Sahitya terhadap
tanah di barat sungai desa Turyan supaya dijadikan sebagai tempat bangunan suci.
Prasasti Linggasutan tahun 929 berisi tentang penetapan desa Linggasutan,
wilayah Rakryan Hujung Mpu Madhura Lokaranjana, sebagai sima swatantra untuk
menambah biaya pemujaan bathara di Walandit setiap tahunnya.
Prasasti Gulung-Gulung masih dari tahun 929 berisi tentang permohonan Rake
Hujung Mpu Madhura agar sawah di desa Gulung-Gulung dijadikan sima bagi bangunan
suci Mahaprasada di Himad.
Prasasti Cunggrang juga bertahun 929 berisi tentang penetapan desa Cunggrang
sebagai sima swatantra untuk menrawat makam Rakryan Bawang Dyah Srawana, yang
diduga sebagai ayah dari sang permaisuri Dyah Kebi.
Prasasti Jeru-Jeru tahun 930 berisi tentang permohonan Rake Hujung Mpu
Madhura supaya desa Jru-Jru di daerah linggasutan dijadikan sima swatantra untuk
merawat bangunan suci Sang Sala di Himad.
Prasasti Waharu tahun 931 berisi tentang anugerah untuk penduduk desa Waharu
yang dipimpin Buyut Manggali, karena setia membantu negara melawan musuh.
Prasasti Sumbut juga bertahun 931 berisi tentang penetapan desa Sumbut sebagai
sima swatantra karena kesetiaan Mapanji Jatu Ireng dan penduduk desa itu menghalau
musuh negara.
Prasasti Kanuruhan yang berangka tahun 856 Śaka (4-7 Januari 935 M)
menyebutkan bahwa Rakryān Kanuruhan dyah Mungpah menganugerahkan sebidang
sawah di wilayah Kanuruhan kepada Sang Bulul. Pemberian tanah itu maksudkan Sang
Bulul untuk dibuat taman bunga lengkap dengan petirthaannya sebagai tambahan kepada
amalnya ini.
Prasasti Wulig tanggal 8 Januari 935 berisi tentang peresmian bendungan di
Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya yang dibangun para penduduk desa Wulig di bawah
pimpinan Sang Pamgat Susuhan. Peresmian ini dilakukan oleh seorang istri Mpu Sindok
bernama Rakryan Mangibil.
Prasasti Tengaran tahun 935 M, memuat tentang penetapan Desa Geweg
(sekarang Desa Tengaran) sebagai sima (tanah istimewa yang dibebaskan dari pajak) oleh
Mahamantri Mpu Sindok Sang Sri Isanatunggadewa (Mpu Sindok) bersama Rakyan Sri
Parameswari Sri Wardhani Kbi Umisori (Dyah Kbi) sang permaisuri, karena rakyat desa
tersebut dianggap berjasa bagi kerajaan.
Prasasti Anjuk Ladang tahun 937 berisi tentang penetapan tanah sawah di desa
Anjuk ladang sebagai sima swatantra dan persembahan kepada bathara di Sang Hyang
Prasada, serta pembangunan sebuah jayastambha atau tugu kemenangan. Tugu ini
sebagai peringatan atas kemenangan melawan serangan Kerajaan Sriwijaya yang
mencapai daerah tersebut.
Prasasti Muncang dikeluarkan pada bulan Caitra tanggal 6 Śuklapasa tahun 866
Śaka (3 Maret 944 M) Mpu Sindok telah memerintahkan kepada rakryān i halu pu
Sahasra dan rakai Kanuruhan pu Da, agar sebidang tanah yang terletak di sebelah selatan
pasar di Muñcang yang termasuk wilayah Hujung dijadikan sima.
Prasasti Wurandungan bertarikh 7 November 944 M. Adapun isinya Śrī Mahāraja
Rake Halu Pu Siṇḍok Śrī Iśānawikrama Dharmottunggadewa memberi anugerah kepada
Dang Puryyat berupa tanah yang meliputi seluruh wilayah Kanuruhan.

Akhir Hayat
Mpu Sindok meninggal dunia tahun 947 dan dicandikan di Isanabajra atau
Isanabhawana. Meskipun dirinya seorang penganut Hindu aliran Siwa, namun tetap
menaruh toleransi yang besar terdapat agama lain. Misalnya, ia menganugerahkan desa
Wanjang sebagai sima swatantra kepada seorang pujangga bernama Sri Sambhara
Suryawarana, yang telah berjasa menulis kitab Buddha aliran Tantrayana, berjudul Sang
Hyang Kamahayanikan.
Menurut prasasti Pucangan, Mpu Sindok digantikan oleh putrinya yang bernama
Sri Isana Tunggawijaya. Raja perempuan ini memerintah bersama suaminya yang
bernama Sri Lokapala.

2. Sri Isyanatunggawijaya, memerintah bersama Sri Lokapala


Sri Isyana Tunggawijaya adalah raja perempuan Kerajaan Medang yang
memerintah sejak tahun 947. Ia memerintah berdampingan dengan suaminya yang
bernama Sri Lokapala. Namanya diambil menjadi dasar nama Wangsa Isyana, sebuah
dinasti yang didirikan oleh ayahnya, Mpu Sindok yang memerintah di Jawa Timur.

Riwayat Pemerintahan
Sri Isyana Tunggawijaya merupakan putri dari Mpu Sindok, yaitu raja yang telah
memindahkan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur. Tidak
banyak diketahui tentang masa pemerintahannya. Suaminya yang bernama Sri Lokapala
merupakan seorang bangsawan dari pulau Bali.
Tidak diketahui dengan pasti kapan pemerintahan Sri Lokapala dan Sri Isyana
Tunggawijaya berakhir. Menurut prasasti Pucangan, yang menjadi raja selanjutnya adalah
putra mereka yang bernama Sri Makuthawangsawardhana.

3. Makutawangsawardhana
Sri Makutawangsawardhana adalah raja Kerajaan Medang yang memerintah
sebelum tahun 990-an.

Riwayat Pemerintahan
Jalannya pemerintahan Makutawangsawardhana tidak diketahui dengan pasti.
Namanya hanya ditemukan dalam Prasasti Pucangan sebagai kakek Airlangga.
Disebutkan bahwa, Makutawangsawardhana adalah putra pasangan Sri Lokapala dan Sri
Isana Tunggawijaya putri Mpu Sindok.
Prasasti Pucangan juga menyebut Makutawangsawardhana memiliki putri
bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga. Dalam prasasti itu juga disebut adanya
nama seorang raja bernama Dharmawangsa, tetapi hubungannya dengan
Makutawangsawardhana tidak dijelaskan.
Prasasti Wwahan berangka tahun 907 Saka (985 M) di duga masih peninggalan
Makutawangsawardhana, sedangkan Dharmawangsa Teguh baru memerintah tahun 991.
Airlangga mengaku sebagai anggota keluarganya. Berdasarkan hal itu, para sejarawan
pun sepakat bahwa Dharmawangsa adalah saudara dari Mahendradatta, dan keduanya
merupakan anak dari Makutawangsawardhana.
Teori yang berkembang ialah, Makutawangsawardhana memerintah sampai tahun
991, dan digantikan oleh putranya yang bernama Dharmawangsa. Sedangkan putrinya
yang bernama Mahendradatta menikah dengan raja Bali bernama Udayana dan kemudian
melahirkan Airlangga.

4. Dharmawangsa Teguh
Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa
adalah raja terakhir Kerajaan Medang yang memerintah pada tahun 991–1007
Asal-Usul
Prasasti Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yang
menyebut dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan pula
bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana raja Bali.
Adapun Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari Wangsa Isana.
Airlangga sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa. Dharmawangsa juga
memiliki putri yang diperistri oleh Sri Jayabhupati dari Kerajaan Sunda.
Pada umumnya para sejarawan sepakat menyebut Dharmawangsa sebagai putra
Makuthawangsawardhana. Teori ini diperkuat oleh Prasasti Sirah Keting yang menyebut
Dharmawangsa sebagai anggota Wangsa Isyana.
Jadi kesimpulannya, Makuthawangsawardhana memiliki dua orang anak, yaitu
Mahendradatta dan Dharmawangsa. Mahendradatta menjadi permaisuri di Bali dan
melahirkan Airlangga. Sementara itu, Dharmawangsa menggantikan Makuthawangsa-
wardhana sebagai raja Kerajaan Medang. Setelah dewasa, Airlangga diambil sebagai
menantu Dharmawangsa untuk mempererat kekeluargaan.
Selain Prasasti Pucangan dan Prasasti Sirah Keting, nama Dharmawangsa juga
ditemukan dalam naskah Mahabharata bahasa Jawa Kuno, pada bagian Wirataparwa,
yang ditulis pada tanggal 14 Oktober 996.
Prasasti Sirah Keting juga menyebutkan nama asli Dharmawangsa yaitu
Wijayamreta Wardhana.

Menyerang Sriwijaya
Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra
dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po.
Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai
Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-
fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang,
karena negerinya diserang oleh tentara Cho-po.
Pada musim semi tahun 992 duta San-fo-tsi tersebut mencoba pulang namun
kembali tertahan di Campa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song
supaya menyatakan bahwa San-fo-tsi berada dalam perlindungan Tiongkok.
Utusan Cho-po juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik
takhta tahun 991. Raja baru tersebut diduga kuat adalah Dharmawangsa Teguh. Dengan
demikian, dari berita Tiongkok tersebut dapat diketahui kalau pemerintahan
Dharmawangsa dimulai sejak tahun 991.
Kerajaan Medang berhasil menguasai Palembang tahun 992, tetapi pasukan
Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun
997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra.
Mahapralaya Medang
Prasasti Pucangan mengisahkan kehancuran Kerajaan Medang yang dikenal
dengan sebutan Mahapralaya atau “kematian besar”.
Dikisahkan Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan seorang pangeran Bali
yang baru berusia 16 tahun, bernama Airlangga. Di tengah keramaian pesta, tiba-tiba
istana diserang pasukan Wurawari dari Lwaram dengan bantuan laskar Sriwijaya. Istana
Dharmawangsa yang terletak di kota Wwatan hangus terbakar. Dharmawangsa sendiri
tewas dalam serangan tersebut, sedangkan Airlangga lolos dari maut. Tiga tahun
kemudian Airlangga membangun istana baru di Wwatan Mas dan menjadi raja sebagai
penerus takhta mertuanya.
Dari prasasti Pucangan diketahui adanya perpindahan ibu kota kerajaan. Prasasti
Turyan menyebut ibu kota Kerajaan Medang terletak di Tamwlang, dan kemudian pindah
ke Watugaluh menurut prasasti Anjukladang. Kedua kota tersebut terletak di daerah
Jombang sekarang. Sementara itu kota Wwatan diperkirakan terletak di daerah Madiun,
sedangkan Wwatan Mas terletak di dekat Gunung Penanggungan.
Mengenai alasan Raja Wurawari membunuh Dharmawangsa terjadi beberapa
penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa Wurawari sakit hati karena lamarannya
terhadap putri Dharmawangsa ditolak. Ada pula yang berpendapat bahwa Wurawari
merupakan bawahan yang ambisius yang hendak mengambil alih kekuasaan
Dharmawangsa.
Prasasti Pucangan yang keadaannya sudah tua melahirkan dua versi terhadap
tahun berdirinya istana Wwatan Mas. Golongan pertama membaca angka tahun berupa
kalimat Suryasengkala yaitu Locana agni vadane atau tahun 1010 Masehi, sedangkan
golongan kedua membacanya Sasalancana abdi vadane atau tahun 1016.
Dengan demikian, versi pertama menyebut kehancuran istana Wwatan atau
kematian Dharmawangsa terjadi pada tahun 1007, sedangkan versi kedua menyebut
peristiwa Mahapralaya tersebut terjadi tahun 1016.

5. Airlangga, putra Mahendradatta dan menantu Dharmawangsa.


Airlangga (Bali, 1000 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah
pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri
Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa.
Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk menggubah Kakawin
Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa
pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan
Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam
berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.

Asal-Usul
Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 1000. Ayahnya
bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama
Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang
menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan
koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali
sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam
berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu
Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.

Masa Pelarian
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara
Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati,
Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota
Watan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu,
Blora), yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam
prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang
juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun
928 Saka, atau sekitar 1006/7.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke
hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat
itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti
petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu,
Jombang, Jawa Timur.
Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang
memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Wwatan
sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat
Gunung Penanggungan. Nama ini masih dipakai sebagai nama suatu desa (Desa Wotan
Mas Jedong) di Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Ketika Airlangga naik takhta
tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja,
karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan
diri.
Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa
Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat
Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa.

Masa perluasan wilayah kekuasaan


Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring
dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun
kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Usaha
ini penuh dengan perjuangan berat dan tidak selalu berjalan dengan mulus.
Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin dari selatan Wengker (sekarang
daerah sungai Ngasinan, Kelurahan Kelutan, Trenggalek). Pada tahun 1030 Airlangga
mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian
Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun
dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.
Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung ("Ratu Lodoyong")
berhasil mengalahkan kekuatan pasukan Airlangga, bahkan menghancurkan istana Watan
Mas. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala.
Peristiwa ini diceritakan dalam prasasti Terep (1032), Dari sini, ia menyusun kekuatan
kembali sambil mendirikan istana baru di Kahuripan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan
(1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).
Raja wanita yang merusak istana Watan Mas pada akhirnya dapat dikalahkannya.
Dalam tahun 1032, Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari,
membalaskan dendam wangsa Isyana. Terakhir, tahun 1035 Airlangga menumpas
pemberontakan Wijayawarma, raja daerah Wengker yang pernah ditaklukannya dulu.
Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya
sendiri.

Masa Pembangunan
Kerajaan dengan pusatnya di Kahuripan ini wilayahnya membentang dari
Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan
Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik
tahta dengan gelar abhiseka (wisuda) Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa
Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan
hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut
prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri
sekarang).
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan
demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti
peninggalannya antara lain.
 Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
 Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
 Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya
sekarang.
 Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
 Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
 Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi
beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa
menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut
menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga
mengalahkan raja Wurawari.

Pembagian Kerajaan
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon
Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad
Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah
prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji
Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan
memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam
Prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya
Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih
pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya
juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu.
Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun
mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya
yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang
lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi
menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat
dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka
terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu
Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala
berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam Prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar
Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar
Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan
diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.

Akhir Hayat
Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka
(1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan Resi Aji Paduka Mpungku
dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan
berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada
kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan
(1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung
tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri
Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti
apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi
pemandian tersebut.

Kahuripan, Daha, atau Panjalu


Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan
Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota
kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon
Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga
menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.

Daftar pustaka
 Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia
Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
 Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.

Anda mungkin juga menyukai