Anda di halaman 1dari 26

TAFSIR BARU SEJARAH TULUNGAGUNG

Secara administratif, Tulungagung berbatasan dengan Blitar di timur,


Trenggalek di bagian barat, dan Kediri di sisi utara. Batas Tulungagung
bagian selatan adalah samudera Hindia. Tulungagung memiliki 19
kecamatan, yaitu Bandung, Besuki, Boyolangu, Campurdarat, Gondang,
Kalidawir, Karangrejo, Kauman, Kedungwaru, Ngantru, Ngunut, Pagerwojo,
Pakel, Pucanglaban, Rejotangan, Sendang, Sumbergempol, Tanggunggunung,
dan kecamatan Tulungagung.
Ditinjau dari asal kata, Tulungagung berasal dari dua kata Jawa kawi
yaitu Tulung dan Agung. Tulung bermakna pertolongan atau sumber air,
sedangkan agung bermakna besar. Dengan demikian nama Tulungagung
mengandung dua makna yaitu pertolongan agung dan sumber air besar. Dua
makna itu sama-sama cocok diterapkan untuk Tulungagung.
Berdasarkan pandangan geografis, sejak jaman Erlangga sampai
jaman orde lama, wilayah Tulungagung bagian tengah dan selatan
merupakan hamparan rawa sangat luas dan dalam. Sebelum nama
Tulungagung digunakan, kabupaten di selatan sungai Brantas ini pernah
menggunakan nama kabupaten Ngrawa. Dalam cerita rakyat, Tulungagung
dikenal juga sebagai Bonorowo, artinya hutan yang berubah jadi rawa. Ini
penjelasan Tulungagung bermakna sebagai sumber air besar.
Sementara Tulungagung bermakna sebagai pertolongan agung adalah
berdasarkan pandangan historis. Bahwa sejak jaman Medang Mataram,
Tulungagung senantiasa memberikan pertolongan besar atau agung kepada
pararaja yang memerintah dalam kurun berbeda. Di sini Tulungagung
sebagai subyek yang memberi, bukannya obyek yang menerima pertolongan
agung.
Lepas dari makna apa yang paling tepat, yang jelas istilah
Tulungagung mulai digunakan sebagai nama kabupaten pada tanggal 1 April
1901, dimana sejak itu kabupaten Ngrawa berubah menjadi kabupaten
Tulungagung. Penanggalan ini sempat dijadikan landasan penentuan hari jadi
Tulungagung, meski kemudian, pada tahun 2003, direvisi berdasarkan
penanggalan prasasti Lawadan, 18 Nopember 1205M. Sampai sekarang
tanggal 18 Nopember ditetapkan sebagai hari jadi kabupaten Tulungagung.
Selama ini boleh dibilang belum ada buku sejarah yang mengupas
secara dalam sejarah Tulungagung sebelum Majapahit runtuh. Sebagian
banyak sejarawan ketika membicarakan sejarah Tulungagung hanya
menjangkau sampai masa Mataram Islam atau masa pemerintahan Sultan
Agung [1613M-1645M] dengan keberadaan seorang tokoh yang menjadi
adipati di kadipaten amancanegara Wajak yaitu Tumenggung Surantani.
Pada kesempatan ini kita akan mencoba menguak lebih jauh sejarah
peradaban Tulungagung berdasarkan sumber sumber sejarah primer,
sekunder dan tersier.
TULUNGAGUNG MASA KERAJAAN MEDANG JAWATENGAH
SRI DHARMODAYA RAKRYAN WATUKURA HAJI BALITUNG adalah raja
Medang i Poh Pitu yang berkuasa antara tahun 898M-910M. Di awal tahun
1

memerintah, Haji Balitung mengeluarkan prasasti untuk satu daerah di


Tulungagung yang dikenal sebagai Prasasti Penampihan I bertarikh
820C/898M. Prasasti terbuat dari batu itu sekarang berada di halaman candi
Penampihan, desa geger, kecamatan Sendang, Tulungagung.
Karena Prasasti Penampihan I berkaitan dengan anugerah tanah
perdikan, dapat dikatakan sejak 898M daerah Penampihan telah memiliki
struktur tata kepemerintahan meski lingkup kecil. Ini juga menunjukkan
sejak 898M, daerah Tulungagung sudah memiliki bentuk pemerintahan
merdeka dan berhak mengatur rumah tangga sendiri.
Catatan sejarah menunjukkan, Haji Balitung adalah maharaja Medang
yang pertama mengadakan perluasan kekuasaan ke Jawatimur bahkan Bali.
Pada masa itu di Jawatimur berdiri satu kerajaan besar bernama Kanjuruhan
yang berpusat di timur gunung Kawi. Untuk menguasai Jawatimur, Haji
Balitung harus menaklukkan Kanjuruhan lebih dulu.
Diperkirakan pada penyerbuan pertama, pasukan Haji Balitung
mendapat perlawanan sengit, terpukul mundur ke barat, sampai akhirnya
berkubu di gunung Wilis atau daerah Penampihan.
kemudian atas
pertolongan agung para tokoh dan penduduk Penampihan Kubu-Kubu, Haji
Balitung berhasil menaklukkan Kanjuruhan. Setelah peristiwa itu sri
maharaja rakryan Watukura haji Balitung mengeluarkan anugerah sima
perdikan kepada daerah bernama Kubu Kubu dan sewilayahnya. Anugerah
termuat dalam prasasti lempeng tembaga, dikenal sebagai Prasasti Kubu
Kubu bertarikh 827C/17 Oktober 905M.
Prasasti Kubu Kubu terdiri dari 6 lempengan tembaga. Huruf dan
bahasanya Jawakuna. Prasasti Kubu Kubu awalnya milik seseorang di daerah
Malang. Menurut Damais dan Buchori, lempengan Prasasti Kubu Kubu
berasal dari situs Penampihan. Prasasti berangka tahun saka 827/ 17
Oktober 905M, dikeluarkan oleh Sri Dharmodaya Rakryan Watukura Haji
Balitung.
Dalam Prasasti Kubu Kubu menyebutkan beberapa tokoh lokal yang
mendapat hadiah kain dari kerajaan. Salah satu tokoh yang dapat dikaitkan
dengan wilayah di Tulungagung adalah Dapu Antyanta rama matuha i
Panjora.
Cuplikan Prasasati Kubu Kubu:
rama tpi siring pinaka saksi winkas i batwan sang jara wineh
wdihan 1 ku 2. Panjurwan i brasahan sang gadanan wineh wdihan 1 ku 2.
Winkas sang kudang winaih wdihan 1 ku 2. Tuha banwa sang wisat wineh
wdihan 1. Gusti sang sahan wineh wdihan 1. Winkas i kubu kubu sang
budunuh winaih wdihan 1 ku 2. Rama matuha dapu tapel wineh wdihan 1 ku
2. Hulu wwatan i tal tal dapu mantuni wineh wdihan 1 ku 2. Winkas iy
unggah sri sang suddhini wineh wdihan 1 ku 2. Dapu pageh rama matuha i
kasukhan wineh wdihan 1 ku 2. Dapu atyanta rama matuha i panjora mwang
sang timbun wineh wdihan 1 ku 2...
Di arah selatan Sendang atau di lereng gunung Wilis kecamatan
Pagerwojo sekarang masih ada desa bernama Penjor. Jika benar Prasasti
Kubu Kubu dikeluarkan di daerah Penampihan Tulungagung, kemungkinan
2

besar nama Panjora merupakan arkhais atau nama kuna dari desa Penjor.
Meski demikian, ini masih perlu ada kajian lebih lanjut. Kembali ke
pemerintahan Haji Balitung di Medang.
Setelah Haji Balitung wafat, tahta Medang berturut diduduki oleh Mpu
Daksa, rake Layang dyah Tulodong, dan terakhir rake Sumba dyah Wawa.
Rake Sumba dyah Wawa berkuasa antara tahun 927M- 928M. Pada
masa inilah kekuatan Sriwijaya wangsa Selendra kembali menggempur tanah
Jawa. Sriwijaya merupakan satu-satunya musuh bebuyutan wangsa Sanjaya.
Pada penyerbuan itu, Rakai Sumba dyah Wawa gugur. Sementara
mahamentri hino Mpu Sindok selamat dan menyingkir bersama sisa
pengikutnya ke Jawatimur. Penyerbuan Sriwijaya atas pemerintahan Rake
Sumba dyah Wawa memang tidak pernah termuat dalam prasasti yang
keluar masa kemudian. Tetapi peristiwa besar itu dapat diselusuri melalui
sejarah perseteruan Sriwijaya dan Medang.
TULUNGAGUNG MASA KERAJAAN MEDANG JAWA TIMUR
Berdasarkan prasasti Turyyan 929M, diketahui Mpu Sindok
membangun keraton baru pertama di Tamwlang. Sri maharaja makadatwan i
tamwlang. Tamwlang hanya ditemukan dalam prasasti ini. Diperkirakan
berada di desa Tambelang, Jombang. Kemudian berdasarkan prasasti
Anjukladang 937M, Mpu Sindok memindah ibukota Medang ke Watugaluh,
masih di daerah Jombang.
Mendengar kerajaan Medang muncul di Jawatimur, kekuatan wangsa
Selendra di Jawatengah tidak tinggal diam. Mereka berderap ke timur melalui
jalur darat atau pedalaman, dengan tujuan utama menghacurkan
pemerintahan Mpu Sindok. Karenanya pasukan itu dihadang di daerah
Anjukladang atau Nganjuk. Dua kekuatan bertempur dahsat. Sriwijaya harus
mengakui bahwa pedalaman Jawatimur bukan tempat yang cocok untuk
berperang. Sriwijaya tidak mampu menjangkau sungai Brantas di timur
Kertosono, tidak mampu memukul pusat pertahanan di daerah Jombang.
Pasukan besar wangsa Selendra terpukul mundur. Kemenangan mpu Sindok
itu berkat bantuan kekuatan para penduduk Anjukladang. Mpu Sindok
kemudian menganugerahi daerah Anjukladang sebagai sima perdikan dan
dikukuhkan pada prasasti.
Kemudian pada masa Sri Dharmawangsa Teguh berkuasa di kerajaan
Medang Jawatimur, wangsa Selendra yang masih membangun kekuasaan di
Jawatengah berupaya mendesak ke timur. Sementara kekuatan Medang
Watan juga giat menggempur Jawatengah. Sampai akhirnya wangsa
Selendra terdesak kembali ke tanah Sumatera. Sri Maharaja Dharmawangsa
Teguh menguasai sepenjuru Jawa.
Dharmawangsa giat membangun armada laut untuk mempermudah
upaya memburu wangsa Selendra yang membangun kekuatan di Sriwijaya
Palembang. Ia mulai berpikir meluaskan kekuasaan ke sepenjuru nusantara.
Tercatat beberapa kali melayarkan armada laut menyerbu Palembang.
Tetapi peristiwa dahsat pecah pada sekitar 1006M, saat pasukan
gabungan Lwaram dan Sriwijaya datang menggelombang menghancur
3

kejayaan Sri maharaja Dharmawangsa Teguh. Raja Sriwijaya yang


menyokong
kekuatan
dahsat
Lwaram
itu
adalah
Sri
Marawijayattunggawarman, putra Cundamaniwarman dari wangsa Selendra.
Raja ini keturunan Balaputradewa. Hancurnya Sri Maharaja Dharmawangsa
termuat dalam prasasti Pucangan yang dikeluarkan Erlangga tahun 1041M:
rikalaning pralaya ring yawadwiparikang sakalala 928 ri prahara haji
Wurawari maso mijil sangke Lwaram, ekarnawa rupanikang sayawa-dwipa
rikangkala.
Ketika terjadi pralaya di pulau Jawa pada 928 saka atau 1006M, akibat
prahara yang dilancarkan raja Wurawari dari Lwaram, pulau Jawa pada waktu
itu bagaikan lautan.
Pada waktu itu berlangsung pesta merayakan penikahan Erlangga
dengan Dewi Laksmi, putri sulung Dharmawangsa. Sri Dharmawangsa dan
permaisuri gugur. Sementara dalam kawalan Narottama, Erlangga dan
permaisurinya berhasil mengungsi ke barat, menuju sebuah asrama Pandita
di Wanagiri.
Beberapa bulan kemudian Erlangga dan Narottama menuju desa
Terep di kaki gunung Penanggungan, berlindung dan berguru pada seorang
pandita penganut agama Siwa. Erlangga menyunting putri sulung pandita
Terep sebagai istri selir.
Ketika Medang i Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya
seperti Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong memerdekakan diri.
Lodoyong di selatan sungai Brantas, diperkirakan wilayahnya mulai dari alas
Lodaya hingga daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas
Hasin. Menurut Koes Indarto dalam buku Katuturanira Maharaja Erlangga,
kerajaan Lodoyong berpusat di daerah Tulungagung sekarang. Sementara
pusat kerajaan Hasin berada di sekitar kota Trenggalek atau di barat sungai
Ngasinan.
Pada sekitar 1009M, datang para pandita dan kesatria ke pertapaan
Terep, menemui Erlangga, meminta supaya menjayakan kembali kerajaan
Medang. Erlangga menyanggupinya. Maka perlahan Medang berkumandang
di kaki gunung Penanggungan, menaklukkan desa-desa kecil dan kerajaankerajaan di sekitar Penanggungan, sambil mulai membangun istana baru di
Watan Mas, di kaki gunung Penanggungan.
Ketika pada 1025M Sriwijaya ditaklukan Colamandala dari India,
Erlangga leluasa melebarkan kekuasaannya. Mpu Narottama menyarankan
supaya tidak tergesa menggempur Lodoyong Tulungagung yang pada waktu
itu memiliki balatentara yang sangat tangguh. Maka untuk sementara
balatentara Medang menaklukan Lewa, Wuratan, dan Hasin.
Penaklukan Erlangga atas kerajaan Hasin di baratdaya gunung Wilis
kelak menerbitkan prasasti Baru, 28 April 1030M. Isi prasasti itu adalah
pemberian anugerah perdikan kepada desa Baru. Adapun jasa-jasanya
rakyat desa Baru karena mereka telah memberikan layanan sebagaimana
mestinya pada waktu Erlangga dan balatentaranya berkemah di desa Baru
menjelang penyerbuan ke kerajaan Hasin. Pada waktu itu raja berjanji
4

menjadikan desa Baru sebagai sima perdikan apabila menang peperangan


dan berhasil mengalahkan raja Hasin.
Mendengar pasukan Erlangga menaklukkan Hasin, ratu Tulodong tidak
tinggal diam. Pasukan besar Ratu Dyah Tulodong berderap menuju lereng
Penanggungan atau gunung Arjuna, menggempur istana Erlangga di Watan
Mas. Pasukan Erlangga terpukul mundur ke utara dan bertahan di sebuah
tempat bernama Patakan. Tersingkirnya raja Erlangga dari istana Watan Mas
akibat serbuan musuh, tercatat dalam Prasasti Terep I berangka tahun
1032M
Cuplikan Prasasti Terep I:
Sambandha rake pangkaja dyah tumabong mapanji tumanggala
sira nambah I paduka sri maharaja mojar an hana matapan angaran I terep
paraniran paladaran rikala sri maharaja katalaya sangke wwatan mas mara I
patakan hana ta sira bhatari arccharupa kapanggih I rikang patapan I terep
ngkana ta rakwa rake pangkaja dyah tumabong maprartana ri jayasatru sri
maharaja ring samara sampun pwa pratisubaddha palungguh sri maharaja
ring ratnasinghasana mwang sampun karahatan musuh nira ring samara tke
bala sahayanya ika ta nimitta rake pangkaja dyah tumabong sumambah
paduka sri maharaja tumuhwakna pratijna nira ri bhatari ri terep ri swatantra
nikang patapan I terep sthana bhatari.
Terjemahan:
Alasan keluarnya anugerah karena rake pangkaja dyah tumabong
mapanji tumanggala mendoakan paduka sri maharaja di sebuah pertapaan
bernama Terep. Ketika itu sri maharaja baru saja tersingkir dari istana
wwatan mas menuju ke patakan. Terdapat arca bhatari di pertapaan terep.
Disanalah rake pangkaja dyah tumabong berlindung dan mendoakan
kemenangan sri maharaja atas musuhnya dari samara atau medan perang.
Setelah raja kembali bertahta di atas singgasana permata dan setelah
berhasil mengalahkan musuhnya itu, maka menghadaplah rake pangkaja
dyah tumabong lalu mengajukan permohonan yang dahulu dipanjatkan
kepada bhatari di terep supaya pertapaan tempat berdirinya arca bhatari
tersebut ditetapkan sebagai daerah swatantra.
Prasasti Terep tidak secara tegar menyebut nama ratu perempuan
perkasa yang berhasil mengalahkan Erlangga. Dari penafsiran Prasasti Terep
dan Pucangan, Koes Indarto dalam buku Katuturanira Maharaja Erlangga,
berpendapat bahwa Sang Penakluk itu bernama ratu Dyah Tulodong dari
kerajaan Lodoyong yang berpusat di selatan sungai Brantas atau
Tulungagung sekarang.
Prasasti Terep dan Prasasti Pucangan menulis ratu itu bertubuh
serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Ungkapan itu
adalah simbolisasi bahwa perempuan penakluk dari daerah selatan itu
memiliki kekuatan luar biasa serupa raksasa atau melebihi kekuatan orang
biasa, bukan bentuk tubuh ratu itu mengerikan serupa raksasi atau raksasa
perempuan. Tentunya penulis Prasasti memiliki alasan mengapa menyebut
ratu Tulodong bertubuh serupa raksasa. Prasasti yang tulisannya berbentuk
kidung ini memang bertujuan untuk memuji sosok Erlangga sebagai
5

maharaja titisan Wisnu. Sementara Ratu Tulodong adalah pemuja Durga.


Dalam pemahaman ajaran Trimurti, Batara Durga merupakan salah satu sakti
atau istri Dewa Siwa.
Sampai kemudian pada tahun 1032M, Erlangga berhasil menaklukkan
kekuasaan ratu Tulodong di Lodoyong. Tetapi Ratu Tulodong mendapat
pengampunan Erlangga, tetap memimpin Lodoyong sebagai bawahan
Medang. Beberapa waktu kemudian, setelah menundukkan Lodoyong,
balatentara Medang menyerbu Lwaram. Kekuatan Lodoyong bergabung
merajalela di Lwaram. Lwaram lautan api, raja Wurawari hancur.
Setelah menaklukkan Lodoyong, Erlangga tidak menempati istana
Watan Mas, melainkan membangun keraton baru bernama Kahuripan. Ini
karena Erlangga memiliki pemahaman dan keyakinan seperti leluhurnya Mpu
Sindok, bahwa istana yang pernah diduduki musuh bakal menciptakan
kekuatan buruk jika tetap ditempati. Tiga tahun setelah penaklukkan
Lodoyong, Erlangga bersama kekuatan Lodoyong bersatu kembali
menggempur Wengker yang terletak tepat di barat Lodoyong atau Hasin.
Prasasti Pucangan menulis rangkaian penaklukan Erlangga terhadap
Lodoyong dan Wengker:
Ada sebuah negeri di bagian selatan yang dipimpin seorang
perempuan perkasa bertubuh serupa raksasa. Dengan gagah berani beliau
memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki itu pada tahun saka
954/1032M. Pada waktu itulah nama raja semakin harum lantaran
menaklukan dan membakar daerah Jawa bagian selatan.
Bagai seekor naga api dengan lidahnya, menjilat kekiri kekanan.
Kemudian daerah selatan paling mengerikan di tanah Jawa itu ditetapkan
sebagai daerah taklukan. Setelah mendapat banyak harta rampasan yang
dihadiahkan kepada para hambanya, kemasyuran sang raja setara para
brahmana dan petapa.
Terdorong keinginan mencari nama, pergilah beliau sesudah itu
menuju ke Barat pada tahun 957 Saka/1035M tanggal 13 paroterang, bulan
Badrapada, hari Rabu, membawa balatentara tak terhitung banyaknya
lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin berperang (pasukan
Lodoyong). Dengan tepuk gemuruh dunia, beliau berhasil memetik
kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya raja Wengker
Wijayawarman.
Mencermati prasasti Pucangan yang menulis ratu penakluk dari
daerah selatan sungai Brantas bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan
melebihi manusia biasa. Sebenarnya ini hanya kiasan, bukan berarti nyata
wujud raksasa atau raksasa perempuan bertubuh menakutkan bertaring
menyeramkan. Ungkapan itu simbolisasi bahwa ratu Tulodong berkekuatan
dahsat serupa raksasa serta menganut ajaran Siwa aliran Bhairawa. Dalam
pandangan penganut Wisnu seperti Erlangga, ajaran Siwa Bhairawa
dianggap lebih rendah derajatnya sehingga dirupakan sebagai raksasa.
Prasasti itu bertujuan memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan
Wisnu. Sekali lagi, pihak yang berkuasa berhak menulis berita sejarah sesuai
6

haluan keyakinannya. Ini ternyata terus dilakukan para penguasa di masa


kemudian.
Penyerupaan ratu Tulodong sebagai raksasa mirip penyebutan
denawa untuk Endang Sasmitapuri, ibu arya Damar. Babad Tanah Jawi
mencatat adipati Palembang arya Damar merupakan putera Prabhu
Brawijaya dari putri denawa bernama Endang Sasmitapuri, yang sewaktu
hamil diusir dari keraton dan melahirkan arya Damar di hutan Wanasalam.
Endang Sasmitapuri tidak bertubuh raksasa. Sebutan denawa dalam cerita
babad bertujuan untuk merendahkan derajat para penganut ajaran Siwa
aliran Bhairawa.
Setelah Wengker takluk pada 1035M, Erlangga dapat dikatakan
berhasil menjadi maharaja Medang. Semua kerajaan di Jawatimur dan
Jawatengah dalam kekuasaannya. Kegemilangan Sri Maharaja Erlangga juga
tercetak pada prasasti Turun Hyang I, 1036M, bertepatan dengan
penganugerahan sima pada penduduk Turun Hyang atas segala jasanya
menjaga pertapaan Sriwijayasrama serta tempat-tempat suci lainnya di
gunung Pugawat. Dalam prasasti ini ibukota Erlangga di Kahuripan. Dapat
dikatakan pada masa ini Erlangga adalah raja Medang i Kahuripan.
Hingga pada tahun 1036M, rombongan utusan Ratu Tulodong menuju
kotaraja Kahuripan, menyampaikan berita kepada Erlangga. Isi pokok berita
dari bhumi Lodoyong itu tentang banjir sungai Brantas yang kembali
menjebol tanggul di daerah Waringin Sapta atau Ringin Pitu, merusak sawahsawah penduduk brang kidul, membikin hasil tanam melorot, membikin
pajak bumi yang diangkut ke Kahuripan berkurang jumlahnya. Bukan sekali
dua kali tanggul rontok, tetapi banyak kali, berlangsung bertahun-tahun.
Setiap jebol, tanggul selalu ditutup dibendung, tetapi setiap datang musim
hujan, banjir Brantas selalu naik menjebol menggerus, mengalir bebas ke
selatan, mengisi setiap palungan, menenggelamkan sepertiga bhumi
Lodoyong, menyentuh daerah-daerah sima di barat Waringin Sapta seperti
Kalang, Kalagyan, Thani Jumput, biara-biara, bangsal-bangsal tempat para
pertapa di Kamulan, bangunan suci tempat pemujaan dewa, dan pertapaanpertapaan daerah Labapura bagi sang Hyang Dharmma ring Isanabhawana
di Surapura.
Pada waktu itu banjir sungai Brantas diperkirakan membobol tanggul
di daerah Ngunut atau sekitar desa Kaliwungu. Dari sana banjir mengalir ke
selatan membentuk aliran sungai baru setiap musim hujan. Banjir rutin itu
menjadikan daerah palungan di lembah pegunungan Walikukun dan Indrakila
tergenangi air melimpah ruah membentuk hamparan rawa. Daerah-daerah
tersebut dekat pegunungan kapur, sangat mungkin permukaan tanahnya
menjadi mampat. Dari daerah Boyolangu, banjir bergerak ke utara mengalir
menuju kaki Wilis di daerah Kamulan, Kalangbret atau sekitar thani Bala.
Sungguh hamparan rawa sangat luas.
Sepertiga bhumi Lodoyong berubah menjadi hamparan rawa. Karena
meski musim hujan selesai, limpahan air banjir yang sudah mengisi palung
dan lembah-lembah tidak dapat keluar atau mengalir balik menuju sungai
7

Brantas. Inilah awal mula terciptanya rawa di selatan gunung Wilis atau di
Tulungagung.
Erlangga tentu masih teringat peristiwa di penghujung 1030M saat
kekuatan Lodoyong menghancur istana Watan Mas. Meski sudah ditaklukkan,
Lodoyong tetap memiliki kekuatan besar, sanggup sewaktu-waktu
menggempur Kahuripan. Dari segi politik dan keamanan negara, peristiwa
bencana di Lodoyong terbilang rawan. Jika tidak segera ditanggulangi atau
diperhatikan secara khusus, besar kemungkinan menimbulkan pergolakan
daerah.
Daerah Lodoyong sejak lama terkenal dengan hasil panen padi
unggulan, utamanya padi hitam, barang dagangan yang banyak dicari para
pedagang Tiongkok. Setelah menjadi daerah bawahan Medang Kahuripan,
Lodoyong dikenal sebagai salah satu pemasok pajak hasil bumi terbesar di
Jawa Timur.
Pertanian di Lodoyong juga mendukung kegiatan perdagangan di
pelabuhan Hujung Galuh. Bencana itu menimbulkan gagal panen dalam
waktu panjang, mengakibatkan perdagangan di Hujung Galuh terganggu.
Kapal-kapal dari pulau lain banyak yang kesulitan mencari barang dagangan,
utamanya beras dan hasil bumi unggulan Lodoyong. Lesunya perdagangan
di Hujung Galuh akibat banjir di Brang Kidul ini kelak tersirat dalam prasasti
Kamalagyan.
Maka setelah memertimbangkan segalanya, atas nama kesejahteraan
dan ketenteraman negeri, serta memandang bakti besar Ratu Tulodong, Sri
Maharaja Erlangga segera mengambil kebijakan hebat, membangun
bendungan besar, berjuang mengendalikan banjir musiman sungai Brantas
di Lodoyong.
Pembangunan ini membutuhkan banyak tenaga. Sudah barang tentu
sepasukan prajurit Kahuripan datang ke Lodoyong, bergabung dengan
pasukan Ratu Tulodong dan para penduduk brang kidul. Pasukan tanggap
bencana dari Kahuripan itu menempati bukit tidak jauh di selatan sungai
Brantas yang kelak bernama Pulotandha, artinya tanah tempat berdiam para
tandha atau prajurit. Di timur laut desa Pulotandha inilah banjir sungai
Brantas naik menggerus tebing sungai, menciptakan sungai baru menuju
arah Boyolangu dan sekitarnya. Daerah di selatan Pulotandha sudah
terendam air rawa.
Selesai pembangunan tanggul di sisi selatan sungai Brantas, mereka
melanjutkannya dengan membuat sungai sebagai jalan mengeluarkan air
yang sudah menjadi hamparan rawa. Sungai baru itu memanjang dari
selatan ke utara, dari arah Boyolangu menuju tebing sungai Brantas di
daerah Kelagyan. Air rawa dapat mengalir melalui sungai itu. Para penduduk
kelak menyebut sungai itu sebagai sungai Ngrawa atau Ngrawa, artinya
sungai yang airnya berasal dari rawa.
Tapi memang air rawa tidak benar-benar habis. Penyebabnya adalah
dasar sungai Brantas ternyata lebih tinggi dari daerah palungan di lembah
Indrakila dan beberapa daerah lain di Lodoyong. Jika banjir berhenti, sungai
8

mengalir ke utara, tetapi jika musim banjir, air sungai Brantas mendesak
masuk melalui muara sungai Ngrawa di desa Kelagen itu.
Maka kemudian di muara sungai Ngrawa dibangun semacam pintu
terbuat dari gelondongan kayu yang sewaktu-waktu dapat dibuka dan
ditutup. Kelak yang bertugas menjaga pintu bendungan itu adalah para
penduduk desa Kelagyan dibantu penduduk desa sekitar Waringin Sapta.
Menaikkan dan menurunkan pintu bendungan ini jelas butuh tenaga banyak.
Menjelang pembangunan bendungan Waringin Sapta selesai, melapor
beberapa prajurit telik sandi kepada Erlangga. Bahwa Raja Wijayawarmma
yang pernah ditaklukkan Erlangga, berupaya memerdekakan diri dan
melancarkan pemberontakan. Rupanya kabar pembangunan bendungan di
Lodoyong terdengar sampai Wengker. Lodoyong berada tepat di timur
Wengker, di antara dua kerajaan ini merupakan wilayah Hasin. Wengker
tentu berpikir bahwa pelaksanaan pembangunan besar-besaran itu sangat
menguras tenaga dan perhatian kekuatan Medang Kahuripan. Sebagian
besar tercurah untuk menyelesaikan pembangunan bendungan Maharaja itu.
Ini yang kemudian dimanfaatkan Wengker untuk mencoba mengadakan
semacam pemberontakan, memerdekakan diri.
Maka begitu pembangunan bendungan Waringin Sapta rampung,
pasukan gabungan Medang dan Lodoyong berderap dari Lodoyong menuju
Wengker. Dalam prasasti memberitakan bahwa pasukan itu berderap ke arah
barat lalu menghancurkan Wengker. Raja Wijayawarmma melarikan diri.
Tetapi patih Wengker bersama sebagian prajuritnya menyerah dan
mendapat ampunan Erlangga. Sebagai tanda bakti, patih Wengker bersedia
menunaikan titah Erlangga, menghukum Wijayawarmma. Janji itu terbukti.
Raja Wikjayawarmma gugur terpancung bekas patihnya sendiri.
Selepas menghancurkan Wengker dan menyelesaikan pembangunan
bendungan Waringin Pitu, pada bulan kartika tahun saka 959 atau 1037M, Sri
Maharaja Erlangga mengeluarkan prasasti berisi pemberian anugerah berupa
pengurangan bukan pembebasan pajak-pajak hasil bumi yang
seharusnya disetor ke istana dari desa Kamalagyan dan sewilayahnya,
tepian sungai dan rerawanya, dari Kalagyan, serta dari Kakalangan.
Anugerah itu dikeluarkan sebagai imbalan kepada penduduk Kamalagyan
dan sekitar Kakalangan yang telah berjasa besar menyelesaikan
pembangunan bendungan Waringin Sapta. Anugerah ini sekaligus kewajiban
penerima anugerah untuk menjaga sepenuhnya keamanan bendungan
maharaja. Dalam prasasti bendungan ini disebut sebagai Bendungan
Maharaja.
Meski telah dibangun bendungan Maharaja, selama lebih empat abad,
rawa luas itu tetap ada. Meski telah dibangun sungai baru yang mengalir ke
utara dari arah Bhayalangu yang kelak disebut sungai Ngrawa, akan tetapi
kerap ketika musim banjir, arus sungai Ngrawa mengalir ke selatan, lantaran
banjir Brantas naik mendesak muara sungai Ngrawa.
Prasasti Kamalagyan merupakan prasasti Batu. Beberapa prasasti
batu yang ditemukan sekarang, bukan berada pada letak semula melainkan
pindahan dari tempat lain seperti Prasasti Kembangsore atau Mojojejer, juga
9

Prasasti Jiyu, 1486M. Jadi tidak heran jika sekarang Prasasti Kamalagyan
berada di Dukuh Klagen, Tropodo, Krian, Sidoarjo.
Analisa yang menguatkan bahwa prasasti Kamalagyan bukan jenis
prasasti in situ atau sudah berpindah dari tempat semula dapat dilihat dari
penyebutan nama-nama daerah seperti Kamalagyan, Waringin Sapta,
Kakalangan, Kala, Kalagyan, dan Kamulan dalam prasasti Kamalagyan.
Sementara prasasti Baru, 28 April 1030M, dan prasasti Kamulan1194M,
prasasti Waringin Pitu 1447M juga menulis nama-nama tersebut. Kamulan
Parhyanan kelak berubah menjadi Desa Kamulan, berbatasan dengan desa
Baru atau Baruharjo, kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung
dengan Tulungagung. Kakalangan, Kala, nama kuna desa Kalangbret,
Tulungagung. Kalagyan, nama kuna dusun Kelagen, Kecamatan Karangrejo,
Tulungagung. Waringin Sapta atau Wringin Pitu sekarang berganti menjadi
desa Ringin Pitu. Letaknya tidak jauh di selatan sungai Brantas Tulungagung.
Disimpulkan prasasti kamalagyan dikeluarkan Erlangga untuk suatu daerah
di Brang Kidul Tulungagung yang pada masa itu dipimpin ratu Tulodong.
Berdasarkan prasasti Kamalagyan tahun 1037M, Prabhu Erlangga
sepenuhnya berhasil menaklukkan Jawatimur, menguasai kerajaan-kerajaan
lain, seperti seperti Wura-Wari, Wengker, Hasin, Lodoyong, Wuratan, dan
Lewa. Prabhu Erlangga pada tahun itu bersemayam di keraton Kahuripan,
menjadi maharaja Medang bergelar Sri Maharaja Rake halu Sri Lokeswara
Dharmawangsa
Erlangganama
Prasadottunggadewa.
Sang
Prabhu
didampingi Rakryan Kanuruhan Mpu Narottama.
Prabu Erlangga memiliki dua istri, permaisuri dan selir. Dari
permaisuri,
menurunkan
Dewi
Kilisuci
atau
Sanggramawijaya
Dharmaprasada Utunggadewi dan Lembu Amiluhur atau Mapanji
Samarawijaya. Sementara dari selir, menurunkan Lembu Amerdadu atau
Mapanji Garasakan, dan Lembu Pangarang atau Mapanji Alanjung Ahyes.
Seluruh putra Prabhu Erlangga ketika itu ditempatkan di keraton
masing-masing. Dewi Kilisuci sebagai putri mahkota menempati keraton
Kadiri di barat sungai Brantas. Samarawijaya menempati keraton Daha di
timur sungai Brantas. Mapanji Garasakan menempati keraton Jenggala di
timur gunung Kawi. Mapanji Alanjung Ahyes diperkirakan menempati keraton
Hasin.
Pada masa itu putri mahkota Dewi Kilisuci belum menikah. Padahal
usianya sudah cukup dewasa. Berdasarkan Babad Tanah Jawi, putri makhota
Erlangga ini meninggalkan kehidupan keraton sebelum menikah, menjadi
seorang petapa di goa Selamangleng, lereng timur gunung Wilis. Di
Tulungagung juga ada goa bernama Selomangleng.
Dipastikan Sanggramawijaya atau Dewi Kilisuci melepas jabatan putri
mahkota atau meninggalkan keraton Kediri antara sekitar 1037M sampai
1041M. Pada prasasti Kamalagyan bertarikh 1037M, namanya masih tercatat
sebagai mahamentri hino. Sementara pada prasasti Pucangan bertarikh
1041M, mahamentri hino sudah berganti kepada Samarawijaya, adik
kandungnya.
10

Pada tahun 1041M, Erlangga mengeluarkan prasasti Pucangan. Tak


lama setelah itu, Erlangga memindah ibukota kerajaannya ke Daha. Dalam
Prasasti Pamwatan, 20 Nopember 1042M, ibukota kerajaan Erlangga sudah di
Dahana atau Daha. Serat Calonarang, 1540M berulang-ulang menyebut
Daha sebagai istana terakhir Erlangga. Jadi di akhir pemerintahannya,
Erlangga adalah raja Medang bhumi Daha.
Belum dapat dipastikan latarbelakang mengapa Erlangga mendadak
meninggalkan istana Kahuripan menuju Daha. Kesimpulan sementara yang
dimajukan adalah setelah Dewi Kilisuci meninggalkan keraton Kediri bertapa
di goa Selamangleng, putra mahkota Samarawijaya dipindah dari Daha ke
Kediri, atau dari timur ke barat sungai Brantas, sementara Mapanji Alanjung
Ahyes pindah ke Kahuripan, sedangkan Mapanji Garasakan tetap di Jenggala
di timur gunung Kawi. Keberadaan Erlangga di keraton Daha juga
memudahkan hubungan dengan putinya yang sudah bertapa di goa
Selamangleng. Jarak antara keraton Daha dengan keraton Kediri atau goa
Selamangleng hanya dibatasi sungai Brantas.
Berpindahnya pusat pemerintahan kerajaan Medang dari Kahuripan
ke pedalaman Daha, membuat daerah sekitarnya semakin berkembang,
termasuk Tulungagung atau pada waktu itu bernama Lodoyong. Setelah
pembangunan bendungan Maharaja, pertanian di Tulungagung berkembang
pesat, karena melimpahnya air untuk daerah pertanian padi. Sungai Brantas
semakin ramai oleh kehadiran perahu-perahu dari arah pelabuhan Hujung
Galuh menuju Daha atau Tulungagung. Keberadaan perahu-perahu besar
yang melayari sungai Brantas kelak termuat pula dalam prasasti Jaring
bertarikh 1181M.
Sampai kemudian Erlangga menghadapi persoalan besar, perebutan
takhta antara kedua putranya, Mahamentri i Hino Sri Samarawijaya dengan
Mahamentri i Sirikan Mapanji Garasakan. Sampai kemudian untuk
memecahkan persoalan, Sri Erlangga memutuskan membelah negara demi
kedua puteranya. Erlangga menyerahkan sepenuhnya pada Mpu
Bharada.Setelah mendapat wewenang khusus dari Erlangga, Mpu Bharada
segera menjalankan tugas berusaha mendamaikan kedua putra Erlangga,
mengunjunginya bergantian, menasihati supaya berhenti berperang.
Dianjurkan keduanya sudi menerima bagian yang telah mereka kuasai
masing-masing. Samarawijaya supaya tetap di barat sungai Brantas atau
Kediri dan akan dinobatkan sebagai Maharaja Panjalu. Demikian pula Mapanji
Garasakan yang berkuasa di timur gunung Kawi, supaya tetap menjadi raja
di sana dan akan menguasai kerajaan yang diberi nama Jenggala. Sejak saat
itu muncul dua wilayah kerajaan di barat dan timur gunung Kawi, Panjalu di
barat, Jenggala di timur. Barangsiapa membangkang, akan dikutuk sang
pandita. Keduanya tunduk dan berjanji mematuhi nasihat sang pandita.
Jadi pembelahan kerajaan itu maksudnya pembagian dua wilayah
besar dengan garis batas dari utara ke selatan mengikuti lajur pegunungan
Penanggungan ke selatan, terus menuju gunung Kawi, sampai selatan sungai
Brantas. Dalam prasasti Mahaksyobhaya dan kakawin Negarakertagama,
penentuan garis batas alam itu disimbolkan dengan pembuatan garis batas
11

gaib melalui kisah pengucuran air kendi oleh Mpu Bharada. Meski kental
nuansa dongeng, akan tetapi tidak menghilangkan kebenaran sejarah perihal
kebijakan Erlangga membagi kekuasaan kepada Samarawijaya dan Mapanji
Garasakan. Berikut terjemahan kakawin Negarakertagama pupuh 68:
Inilah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya.
Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak
membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua putranya. Tersebutlah
seorang pandita Boddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra dan yoga,
bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi
pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang
menapak permukaan lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga
jaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya
membelah Negara. Maka perbatasan negara ditandai dengan air kendi yang
mancur dari angkasa. Dari barat ke timur sampai lautan. Lalu dari utara ke
selatan. Daerah selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah
samudera besar. Di daerah selatan itu sang pandita turun dari angkasa,
berhenti di atas pohon kamal, berniat menaruh kendi suci di desa Palungan
untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. Tetapi sebelum menginjak
tanah, sang pandita murka lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal
yang tumbuh menjulang tinggi. Mpu Barada terbang ke angkasa lagi lalu
mengutuk pohon kamal menjadi pandak atau kerdil. Itulah tugu batas gaib
yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Itulah sebab
mengapa sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya menyatukan tanah
Jawa kembali. Dengan demikian semoga baginda prabu serta rakyat tetap
tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin negara yang kini sudah kembali
bersatu-padu.
Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebutkan candi yang
dibangun di Kamal Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi
Wisesapura, candi makam bagi sang Rajapatni dyah Gayatri. Candi makam
di Bhayalangu Tulungagung ini sohor sebagai tempat keramat, tiap bulan
badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para pandita.
Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon asem alas
atau pohon kamal mengandung arti Mpu Barada mendapat rintangan besar
ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna.
Ada sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk
pada kekuasaan Panjalu maupun Jenggala. Karena itu Mpu Barada yang
hampir selesai menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk
kekuasaan Panjalu dan daerah-daerah mana yang masuk wilayah Jenggala,
menjadi murka pada penolakan penguasa daerah brang kidul yang ingin
merdeka. Padahal daerah itu digolongkan sebagai daerah berkedudukan
lebih rendah dari daerah sekitar, dilambangkan sebagai daerah palungan
atau cekungan. Daerah itu memutuskan berdiri sendiri, serupa menjulangnya
pohon kamal di tanah cekungan melebihi ketinggian pohon-pohon lain di
tanah lebih tinggi. Daerah palungan melawan kekuatan atau kehendak Mpu
Barada. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan kesepakatan
dua belah pihak, bahwa sejak saat itu brang kidul menjadi daerah merdeka,
12

dengan syarat harus menghormati kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Sang


pandita mengabarkan kemerdekaan brang kidul ibarat tugu gaib ujung batas
sebelah selatan yang tidak boleh dilintasi Panjalu dan Jenggala.
Demikianlah, pembelahan negara yang dilakukan Mpu Barada
berjalan kurang sempurna. Ada satu daerah di selatan sungai Brantas yang
berdiri sendiri, tidak termasuk bagian Panjalu yang dipimpin Samarawijaya,
maupun Jenggala yang dirajai Mapanji Garasakan. Daerah merdeka itu
adalah Lodoyong yang sekarang menjadi Tulungagung.
TULUNGAGUNG MASA KERAJAAN PANJALU DAN JENGGALA
Akan tetapi pembelahan kerajaan Erlangga justru menimbulkan sikap
saling menaklukkan antara Panjalu dan Janggala. Masing-masing
berkeinginan menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Pada awalnya
Jenggala unggul. Yang berkuasa di Jenggala setelah masa Erlangga adalah
Sri Maharaja Mapanji Garasakan, Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes dan.
Sri Maharaja Rake Halu Pu Juru Samarotsaha. Sementara di Panjalu antara
lain Sri Samarawijaya, Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, Sri Bameswara
Sakalabhuwana, dan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya. Pada masa Sri
Jayabaya, dengan semboyan Panjalu Jayati alias Panjalu Menang, Panjalu
unggul atas Jenggala. Berita kemenangan besar itu diceritakan dalam
prasasti Ngantang.
Akan tetapi setelah Jayabaya wafat akibat pemberontakan Rake
Sirikan Sri Sarweswara pada 1159M, tanah Jawa kembali bergolak, Panjalu
dan Jenggala kembali berseteru. Kemelut perebutan tahta di Panjalu
membikin keturunan Jenggala tergugah bangkit melepaskan diri dari
kekuasaan Panjalu. Jenggala tetap memusatkan kekuatannya di timur
gunung Kawi, Kutaraja.
Sementara itu pusat pemerintahan Lodoyong yang sebelumnya
berada di daerah Junjung, Sumbergempol, Tulungagung, sejak masa
Jayabaya telah bergeser ke timur di daerah Lodoyo. Pada akhir pemerintahan
Jayabhaya di Panjalu Daha, wilayah Lodoyong pecah menjadi dua, di timur
dan barat sungai Jimbe. Daerah Lodoyong bagian timur kelak bernama
Lodaya, sementara daerah Lodoyong bagian barat bernama Ngrawa karena
sebagian besar wilayahnya berupa hamparan rawa. Wilayah Ngrawa mulai
dari sungai Jimbe ke barat sampai Penampihan gunung Wilis. Daerah inilah
yang kelak dikenal sebagai Lawadan atau menjadi wilayah Tulungagung
sekarang.
Pada tahun 1159M raja Sarweswara mengeluarkan prasasti yang
dikenal sebagai Prasasti Padlegan II bertarikh 1081C/1159M. Prasasti ini
ditemukan di desa Pinggirsari, Ngantru, Tulungagung. Kini prasasti batu ini
tersimpan di Museum Wajakensis Tulungagung. Yang cukup menarik
perhatian, dalam prasasti ini muncul satu nama daerah bernama Tulung
Molih. Apakah Tulung Molih ini merupakan nama kuna dari Tulung Agung,
perlu kajian lebih lanjut. Yang pasti prasasti ini diberikan untuk daerah di
Tulungagung.
Sebelumnya,
pada
tahun
1038C/1116M,
raja
Bameswara
mengeluarkan prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Padlegan I. Dalam
13

Prasasti Padlegan I menyebutkan nama nama daerah yang sama dengan


yang tercantum dalam Prasasti Padlegan II.
Munculnya Prasasti Padlegan I pada tahun 1116M yang dikeluarkan
sebagai anugerah tanah perdikan di Tulungagung, dapat kiranya ditarik
kesimpulan bahwa pada jaman raja bameswara, wilayah Tulungagung atau
waktu itu bernama Lodoyong sudah masuk bagian wilayah kerajaan Panjalu
Kediri.
Sri Jayabhaya memiliki dua putra, Sri Aryeswara dan Sri Sarweswara.
Pada waktu Sri Jayabhaya bertahta, Sri Aryeswara menjabat sebagai
mahamentri I hino, sementara Sri Sarweswara menjabat sebagai
mahamentri I Sirikan. Keduanya termasuk kelompok mahamentri Katrini.
Dalam kelompok ini, yang berposisi tertinggi adalah Rake Hino. Dan setelah
Sri Jayabhaya wafat, Rake Sirikan Sri Sarweswara naik tahta secara tidak
sah.
Sampai kemudian pada 23 Maret 1171M, berdasarkan Prasasti Angin,
yang menjadi raja Panjalu adalah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
setelah merebut tahta dari Sri Sarweswara.
Sri Aryeswara menurunkan Kroncaryadhipa, sementara Sarweswara
menurunkan Kameswara dan Kertajaya. Setelah Aryeswara wafat, yang
menjadi raja Panjalu adalah Kroncaryadhipa.
Pada 19 Nopember 1181M, Kroncaryadhipa mengeluarkan Prasasti
Jaring, mengambil gelar abhiseka Sri Maharaja Sri Kroncaryadipa
Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra. Putra
Aryeswara ini hanya bertahta sekitar 4 tahun.
Pada 11 September 1185M, berdasarkan Prasasti Ceker, digantikan
putra sulung Sarweswara, yaitu Sri Maharaja Kameswara Triwikramawatara
Aniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.
Setelah Kameswara wafat, tahta Panjalu Daha ditempati oleh adiknya,
Kertajaya bergelar Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita
Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Pada tahun 1190M terbit prasasti bertanda lanchana raja Srengga.
Prasasti batu ini dikenal sebagai Prasasti Sapu Angin. terdapat penelitian
sejarah dari Boechari bahwa saat mengeluarkan prasasti Sapu Angin, Raja
Srengga Kertajaya masih bersetatus sebagai putra mahkota.
Naiknya Kertajaya sebagai maharaja Panjalu Kediri rupanya membuat
suasana tanah Jawa kembali bergolak. Penyebabnya karena Kertajaya bukan
putra mahkota Kameswara. Ketika Kameswara wafat, seharusnya yang
mendaki tahta di Panjalu Kadiri adalah keturunan Kameswara dari Sasi
Kirana. Itu artinya cucu raja Jenggala yang berhak naik tahta Panjalu Kadiri.
Bukannya Kertajaya, adik Kameswara. Inilah yang memicu kemarahan pihak
Jenggala di Kutaraja lalu menggempur Panjalu Kadiri. Raja Jenggala waktu itu
adalah Sri Maharaja Girindra, ayah Sasi Kirana. Sri Maharaja Girindra juga
memiliki putra selir yang dikenal Pararaton sebagai Ken Arok.
Pasukan Girindra Jenggala berhasil mendesak kekuatan Panjalu Kadiri.
Raja Kertajaya mengungsi bersama pasukan pimpinan Senapati Tunggul
Ametung menuju Katandan Sakapat Kalangbrat, Tulungagung.
Secara
14

tersirat peristiwa ini termuat dalam Prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M


atau bulan Palguna, ketujuh, tahun saka 1116. Disebutkan dalam prasasti
bahwa raja Kertajaya tersingkir dari istana Kadiri akibat serbuan musuh dari
arah timur. Penyerbuan terjadi sebelum keluarnya Prasasti Kamulan.
Selama dalam pengungsian, Kertajaya menjadikan daerah Kalangbrat
sebagai keraton sementara Panjalu. Bersama sisa pasukan dan para pandita
serta segenap penduduk Katandan Sakapat Kalangbret, Senopati Tunggul
Ametung giat menggalang kekuatan merencanakan serangan balik.
Menjelang bulan ketujuh 1194M. Setelah kekuatan terbangun kokoh,
dengan semangat memberi pertolongan besar kepada Maharaja Kertajaya,
Senapati Tunggul Ametung menderapkan pasukannya ke timur, menuju
Turen atau Turyantapada, terus berderap menggempur Kutaraja dan berhasil
menaklukkan kerajaan yang menganut agama Siwa di timur gunung Kawi itu.
Raja Jenggala Sang Girindra tersingkir dari Kutaraja bersama sisa
pengikutnya. Diperkirakan Sang Girindra masih hidup dalam pelarian.
Setelah kembali bertahta di Kadiri, Sri Kertajaya berupaya
mengembalikan ketentraman dan ketertiban negara. Kebijakan penting
pertama, menetapkan daerah di timur gunung Kawi, daerah bekas pusat
pemerintahan Janggala sebagai kadipaten amancanagara bernama Tumapel,
berada dibawah kekuasaan Panjalu Daha. Ibukota Tumapel tetap di Kutaraja.
Kertajaya menobatkan Senapati Tunggul Ametung sebagai penguasa
pertama kadipaten amancanagara Tumapel. Kebijakan raja ini dikeluarkan
sebagai penghargaan kepada Tunggul Ametung yang secara gemilang
menunaikan tugas negara.
Dapat dikatakan Tumapel berdiri pada 1194M. Wilayah kekuasaannya
membentang di timur gunung Kawi ke timur sampai gunung Brahma,
berbatasan dengan Lumajang, ke utara berbatasan dengan Hering Bangil
Pamotan ke selatan sampai daerah Turen atau Turyantapada. Di selatan
sungai Brantas, di daerah Turen, berbatasan dengan Lodoyong.
Raja Kertajaya juga menetapkan daerah Katandan Sakapat dan
sewilayahnya termasuk daerah Kamulan sebagai daerah perdikan atau
swatantra, daerah istimewa yang dibebaskan dari segala pungutan pajak,
daerah merdeka berpemerintahan sendiri yang kedudukannya langsung di
bawah kekuasaan raja. Penganugerahan itu tertuang dalam piagam kerajaan
yang kelak bernama prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M.
Prasasti Kamulan dikeluarkan Kertajaya setelah adanya permohonan
dari para samya haji Katandan Sakapat yang telah ikut berjuang
mengembalikan raja ke singgasana di Kediri akibat serbuan musuh dari
timur. Prasasti ini memuat keterangan bahwa Samya Haji Katandan Sakapat
berdatang sembah ke hadapan raja dengan perantaraan Pangalasan
bernama Geng Adeg, menyampaikan bahwa pihaknya menyimpan rontal
berisi keputusan raja yang telah dicandikan di Jawa, yaitu Haji Tumandah.
Mereka mohon supaya keputusan itu dikukuhkan dalam bentuk prasasti batu
yang mendapat cap kerajaan Kertajaya. Dan permohonan itu dikabulkan
karena parasamya Haji Katandan sakapat telah memperlihatkan kesetiaan
mereka terhadap raja sebagaimana layaknya sikap hamba raja. Mereka telah
15

berhasil mengembalikan Kertajaya ke atas singgasana di Kadiri. Maka


ditulislah prasasti di atas batu yang memuat perincian anugerah Sri
Tumandah dan Sri Rajakula berupa hak-hak istimewa dan ditambah lagi
anugerah dari Sri Raja Srengga berupa pemberian hak-hak istimewa.
Dari kronologis keluarnya prasasti Kamulan sebenarnya prasasti ini
lebih diperuntukkan kepada daerah yang berada di wilayah kekuasaan
Katandan Sakapat. Daerah ini sekarang bernama desa Ketandan, Kalangbret,
Tulungagung. Dengan kata lain pada waktu dikeluarkannya prasasti oleh
Kertajaya, daerah Kamulan dan sekitarnya masih termasuk wilayah
Kalangbret Tulungagung. Sekarang penanggalan prasasti ini menjadi
landasan penentuan harijadi kabupaten Trenggalek. Ini karena daerah
Kamulan sudah masuk kabupaten Trenggalek.
Pada 27 Juni 1197M, raja Kertajaya mengeluarkan prasasti Palah yang
sekarang berada di candi Penataran, Blitar.
Pada tanggal 5 suklapaksa bulan waisaka tahun 1122C atau 20 April
1200M, Kertajaya memberi anugerah sima perdikan kepada Duwan di
Galungung dan termuat dalam piagam kerajaan bernama prasasti
Galungung. Prasasti ini dikenal pula sebagai Prasasti Panjerejo karena ketika
pertama ditemukan pada tahun 1888M, berada di wilayah desa Panjerejo
distrik Ngunut. Sekarang Desa Panjerejo masuk kecamatan Rejotangan
Tulungagung. Dan prasasti ini secara administratif sudah masuk wilayah
desa Karangsari. Prasasti ini terbuat dari batu berbahasa dan beraksara
Jawakuna.
Dalam tahun 1200M diperkirakan Adipati Tunggul Ametung yang
menganut Wisnu menikah dengan Ken Dedes, putri pandita Boddha
Mahayana dari Panawijen Mpu Purwwawidada.
Pada saat Sri Girindra tersingkir dari istana, Ken Arok berusia sekitar
12 tahun. Setelah dewasa, mengetahui sejarah Jenggala, mengetahui
ayahnya tersingkir dari istana akibat serbuan Tunggul Ametung. Setelah
bertemu Pendeta Lohgawe, bertekad membalas kekalahan ayahnya.
Sampai kemudian terdorong keinginan kuat menjadi maharaja tanah
Jawa, Ken Arok segera melancarkan aksinya, menyingkirkan pemegang
kekuasaan Tumapel, Adipati Tunggul Ametung. Berdasarkan penafsiran
prasasti Mula Malurung, 1255M, Tunggul Ametung didarmakan di Pager atau
Pagerwojo [Tulungagung]
Ken Arok menduduki Tumapel pada sekitar 1203M. Atau setahun
setelah raja Panjalu Kediri Kertajaya mengeluarkan prasasti Biri pada 29
Agustus 1202M. Sekarang daerah Biri kemungkinan besar bernama Cuwiri,
dekat Kalangbret, Tulungagung.
Pada tanggal 4 April 1204M, raja Kertajaya kembali mengeluarkan
prasasti untuk menetapkan daerah Sumberingin Kidul sebagai tanah
perdikan. Desa Sumberingin Kidul sekarang terletak di kecamatan Ngunut,
Tulungagung.
Ken Arok mulai memimpin Tumapel pada usia 21 tahun. Pada awalnya
masih berposisi sebagai penguasa kadipaten Tumapel, tetapi kemudian
setelah cukup dukungan dari para pengikut maupun para pandita Siwa dan
16

Boddha, pada awal tahun 1205M, Ken Arok memisahkan diri dari Panjalu,
menjadi penguasa Tumapel yang merdeka dan mengambil gelar abhiseka Sri
Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi.
Beberapa bulan kemudian, masih pada 1205M, Ranggah Rajasa
melancarkan serangan pertama ke Panjalu Kediri. Raja Kertajaya yang tidak
menduga serangan itu terpaksa menyingkir ke selatan sungai Brantas,
mendapat perlindungan seluruh penduduk bhumi Lawadan, Tulungagung.
Sampai akhirnya Sri Kertajaya berhasil menduduki singgasana di istana
Kediri setelah penduduk Lawadan memukul pasukan Ranggah Rajasa.
Sebagai balas jasa atas segala pertolongan agung itu, raja Kertajaya
menganugerahi desa atau thani Lawadan sebagai sima perdikan kerajaan
Panjalu Kediri.
Prasasti bertarikh 18 Nopember 1205M ini memberikan keterangan
bahwa penduduk desa Lawadan beserta daerah sewilayahnya telah
menerima anugerah raja berupa pembebasan pajak dan penerimaan
sejumlah hak-hak istimewa seperti melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di
depan umum, mengenakan jenis-jenis pakaian dan perhiasan tertentu, juga
memakan makanan istimewa.
Selain itu juga menyebutkan bahwa penduduk Lawadan berhak
memiliki rumah dengan ciri tertentu, memiliki tempat duduk, balai-balai,
payung, serta tanaman di rumah mereka. Ini dapat dimaknai sebagai
kebebasan daerah Lawadan membentuk pusat pemerintahan sendiri yang
mandiri.
Sejak 2003, penanggalan prasasti Lawadan menjadi pedoman hari
jadi kabupaten Tulungagung.
Meski serbuan pertama gagal menjungkalkan Kertajaya, Ranggah
Rajasa tidak menghentikan upayanya menaklukkan Panjalu Kediri. Sejak
1205M, kekuatan Tumapel yang merupakan bentuk baru kerajaan Jenggala
bangkit mengemuka gigih menenggelamkan Panjalu Daha. Tumapel
mengokohkan kekuatan di timur gunung Kawi, menaklukkan beberapa
kerajaan yang dulu pernah menjadi bawahan Jenggala, seperti Lumajang,
Hering atau Pamotan, dan Madura.
Sampai 1210M, para putra Ranggah Rajasa sudah lahir baik dari
permaisuri Ken Dedes maupun selir Ken Umang. Dari permaisuri Ken Dedes,
Ranggah Rajasa menurunkan Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Guning
Bhaya, dan Dewi Rimbi. Sementara dari Ken Umang, Ranggah Rajasa
menurunkan Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rimbu.
Selama 17 tahun Panjalu dan Tumapel bersaing menjadi penguasa
tunggal di tanah Jawa. Keduanya kerap melangsungkan pertempuran
berupaya saling menaklukkan.
Pada 1222M, pasukan Siwa dan Boddha pimpinan Ranggah Rajasa
bergerak melintasi pegunungan Kawi, menyeberangi sungai Leksa, melintasi
lembah gunung Kelud berderap di utara sungai Brantas dan di padang
Ganter [sekarang diperkirakan bernama Ngantru, Tulungagung utara sungai
Brantas] bertemu pasukan Panjalu Kediri yang menganut Wisnu. Pasukan
17

besar Tumapel berhasil mendesak mundur kekuatan Panjalu. Istana Kertajaya


jatuh ke tangan Ranggah Rajasa sang putra Girindra.
Pararaton mengisahkan Kertajaya mengungsi ke alam dewata,
bergantung-gantung di angkasa, besarta dengan kuda, pembawa payung,
dan pembawa tempat sirih, tempat air minum, tikar, semua naik ke angkasa.
Berita Pararaton ini dapat dimaknai bahwa Kretajaya mengungsi bersama
pengikut setianya dengan bekal lengkap ke sebuah tempat tinggi dan suci,
tempat para orang mulia, tempat para petapa dan pandita yang tentu saja
dekat dan bersetia kepada raja.
Sebelumnya, pada 1194M, Kertajaya pernah dilindungi penduduk
Brang Kidul Tulungagung yaitu Katandan Sakapat Kalangbret Kamulan. Pada
1205 Kertajaya juga pernah mengungsi ke Lawadan. Dan berdasarkan
penafsiran Serat Pararaton, diperkirakan pada 1222M, raja Kertajaya beserta
beberapa anggota keluarga dan sisa pengikutnya menyingkir ke daerah
Penampihan, gunung Wilis Tulungagung, yang pada waktu itu lama terkenal
sebagai tempat parahiyangan atau pusat pertapaan dan pendidikan ilmu
agama.
Dapat dikatakan bahwa daerah Tulungagung pada tahun 1222M
kembali memberikan pertolongan agung kepada maharaja Kertajaya yang
menyingkir ke Penampihan.
Bagaimana keadaan Tulungagung masa Ken Arok, tidak banyak
terbaca, apakah masuk wilayah kekuasaan Tumapel atau tidak. Yang dapat
dipastikan adalah bahwa Ken Arok tidak pernah memberikan anugerah
perdikan dalam bentuk prasasti di wilayah Tulungagung.
Bahwa Ranggah Rajasa tidak merusak atau menghancurkan enam
prasasti yang dikeluarkan Kertajaya di Tulungagung, dapat kiranya
ditafsirkan pada waktu bertahta di Tumapel, Ranggah Rajasa Ken Arok
sangat menghormati keberadaan Tulungagung sebagai salah satu daerah
istimewa.
Referensi:
Koes Indarto. Katuturanira Maharaja Erlangga, Penerbit Prestasi Pustaka Karya. 2008.
Muhammad Yamin. Tatanegara Majapahit, Penerbit Yayasan Prapanca, Jakarta, 1962.
Siwi Sang. Girindra: Pararaja Tumapel-Majapahit. Tulungagung. Pena Ananda
Publishing, 2013.
http://www.tulungagung.go.id/index.php/jurnalisme-warga/item/53-sejarah-tanahtulungagung
Slamet Muljana. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara, 1979.

Indie

Sumber:http://www.siwisangnusantara.web.id/2014/07/tafsir-baru-sejarahtulungagung.html
TULUNGAGUNG MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
Peran Tulungagung pada masa Majapahit terbilang sangat penting
karena dianggap sebagai tanah leluhur pararaja Girindra. Tidak heran jika
beberapa tokoh penting Majapahit didarmakan di brang kidul Tulungagung.
Tercatat pendiri Majapahit kertarajasa Jayawardhana raden Wijaya
18

didarmakan di Simping. Pada waktu itu daerah Simping belum masuk


kabupaten Blitar.
Menurut Babad Tanah Jawi pendiri Majapahit adalah Jaka Sesuruh.
Prasasti Kudadu 11 September 1294M menyebut sebagai Nararya
Sanggramawijaya. Pararaton menulis raden Wijaya. Negarakertagama
menyebut dyah Wijaya. Empat sumber ini sebenarnya menunjuk satu tokoh
bernama asli Wijaya, putra sang Perwira Yudha dyah Lembu Tal.
Yang menarik penyebutan Wijaya sebagai Jaka Sesuruh. Ini tanda
yang harus diterjemahkan. Jaka artinya pemuda. Sesuruh artinya tempat
atau daerah yang banyak tumbuhan suruh atau sirih. Suruh bukan berarti
perintah. Ini kata Jawa untuk daun sirih. Jaka Sesuruh dapat dimaknai
pemuda yang lahir dari daerah entah gunung, bukit atau tempat lain
yang banyak ditumbuhi tanaman suruh. Meski ada beberapa daerah
mengandung nama suruh, tetapi yang lebih meyakinkan adalah tempat di
Brang Kidul.
Di selatan sungai Brantas terdapat daerah bernama Suruhwadang.
Setelah wafat, Jaka Sesuruh atau raden Wijaya selain di Antapura, juga
didharmakan di Simping, desa Sumberjati, kecamatan Suruhwadang, Blitar.
Jaman Majapahit dan era sebelumnya, daerah ini belum masuk Blitar. Blitar
di utara sungai Brantas. Daerah Suruhwadang merupakan tempat kelahiran
Nararya Sanggramawijaya. Karena itu pengarang babad Tanah Jawi menulis
sebagai Jaka Sesuruh. Mengapa raden Wijaya harus jauh-jauh didharmakan
di selatan Brantas, sekarang mendapat jawaban. Semasih hidup, pendiri
Majapahit ini menginginkan didharmakan di tanah asal. Sudah menjadi
tradisi sejak lama jika seseorang sedapat mungkin dimakamkan di tempat
kelahirannya, menyatu dengan tanah leluhur.
Peran Tulungagung masa Majapahit kembali mengemuka ketika pada
tahun 1331M, salah satu permaisuri Raden Wijaya yaitu maharajapatni dyah
Gayatri meninggalkan keraton menuju mandala Pacira. Meski yang bertahta
di Majapahit ketika itu adalah putrinya, tetapi kedudukan maharajapatni
dyah Gayatri tetap ditempatkan sebagai sesepuh keraton yang sangat
dihormati semua pihak, memiliki kewibawaan dan pengaruh yang sangat
besar. Dengan demikian keberadaan Brang Kidul Tulungagung menjadi
sangat penting. Keluarga istana kerap berkunjung ke Tulungagung. Selain
menjenguk Gayatri, mereka juga mengunjungi tempat pendarmaan raden
Wijaya di Simping. Daerah Simping, persis di timur mandala Pacira atau Pasir.
Sekarang Pacira dikenal sebagai dukuh Pasir, desa Junjung, kecamatan
Sumbergempol, Tulungagung, berada di lereng utara pegunungan Walikukun.
Selain Penampihan, Tulungagung masa Majapahit juga punya pusat
pendidikan agama di Mandala Pacira atau Pasir. Gayatri menganut agama
Boddha, karenanya sangat mungkin pada jaman Majapahit mandala Pacira
merupakan tempat pendidikan para calon bhiksu dan bhiksuni. Tempat ini
terdiri dari dua bagian, yaitu terdapat bagunan yang berfungsi sebagai
tempat pertapaan dan bangunan mandala atau kadewaguruan.
Pada tahun 1350M, maharajapatni dyah Gayatri wafat. Selama
ini belum diketahui secara pasti tempat perabuan Rajapatni dyah Gayatri.
19

Sementara di Tulungagung terdapat candi di puncak sebuah bukit di


pegunungan Walikukun, persisnya di dusun Kedungjalin, desa Junjung,
Sumbergempol, Tulungagung, dikenal sebagai candi Dadi.Candi Dadi tepat di
barat situs goa Pasir, jaraknya tidak begitu jauh, masih wilayah desa Junjung.
Situs candi Dadi yang terletak di ketinggian 360 meter di atas
permukaan laut itu berbentuk bujur sangkar, panjang 14 m, lebar 14 m, dan
tinggi 6,5 m. Merupakan candi tunggal, tidak memiliki tangga masuk, hiasan
relief, maupun peninggalan berupa arca.Bangunan candi berbahan batuan
andesit, terdiri atas batur dan kaki candi. Bagian atas batur merupakan kaki
candi berdenah segi delapan, pada permukaan tampak bekas tembok
berpenampang bulat seperti sumuran berdiameter 3,35m, kedalaman 3
m. Di areal situs candi Dadi terdapat beberapa peninggalan yang dikenal
sebagai candi Urung, candi Buto, dan candi Gemali. Candi-candi tersebut
hanya berupa gundukkan bebatuan andesit. Dari bahan bangunan batuan
andesit ini, dapat diperkirakan situs candi Dadi sudah ada sebelum jaman
Majapahit.
Kebanyakan
bangunan
peninggalan
jaman
Majapahit
menggunakan batu bata merah seperti situs candi Gayatri dan candi
Mirigambar. Menurut penelitian Stutterheim, candi Dadi tergolong candi
menara yang berfungsi sebagai pembakaran mayat.
Kemudian di barat laut candi Dadi, terdapat candi berbahan batu
andesit yang dikenal sebagai candi Cungkup. Jaraknya juga tidak begitu
jauh. Candi ini terletak di desa Sanggrahan, kecamatan Boyolangu,
Tulungagung. karena itu dikenal pula sebagai candi Sanggrahan. Bentuk
bangunan utama candi masih cukup baik, hanya pada bagian atasnya sudah
lenyap.
Candi Cungkup atau Sanggrahan dikelilingi dinding batu bata,
berhalaman luas. Posisi candi menghadap barat, pada dinding candi bagian
bawah terdapat hiasan berupa relief-relief aneka hewan. Di bagian timur
candi terdapat bekas bangunan terbuat dari batu bata dan saluran
air. Sementara pada halaman candi pernah ditemukan beberapa arca
Boddha, sehingga dapat disimpulkan merupakan bangunan peninggalan
agama Boddha. Tidak ditemukan angka tahun di sekitar areal candi
Cungkup. Beberapa sejarawan menduga candi Cungkup merupakan
peninggalan jaman Majapahit, berdasarkan bekas bangunan di bagian pintu
gerbang dan di belakang candi serta bangunan dinding areal candi yang
terbuat dari batu bata. Akan tetapi jika melihat bangunan candi utama yang
terbuat dari batu andesit, sangat mungkin candi Cungkup sudah dibangun
sebelum jaman Majapahit. Dugaan yang lebih masuk akal, areal candi
Cungkup dibangun pada dua masa berbeda.
Lalu di barat candi Sanggrahan adalah candi Boyolangu, tempat
pendarmaan maharajapatni dyah Gayatri. Jaraknya agak jauh. Pupuh 74
bait 1 menulis: Makam rani: Kamal Pandak, Sagala, Simping, Sri
Ranggapura serta candi Budi Kuncir, bangunan baru Prajnyaparamitapuri di
Bayalangu yang baru saja dibangun. Kakawin Negarakertagama selesai
ditulis pada tahun 1365M. Dengan demikian dapat disimpulkan candi
Bayalangu selesai dibangun pada tahun 1365M.
20

Melihat kedudukannya yang berdekatan, bangunan situs goa Pasir,


candi Dadi, candi Sanggrahan, dan candi Boyolangu, sesungguhnya sangat
berhubungan, terkait Rajapatni dyah Gayatri. Empat situs tersebut
membentuk kesatuan dengan fungsi berbeda.
Sangat mungkin maharajapatni dyah Gayatri, setelah wafat tidak
dibawa ke Majapahit, tetapi langsung diperabukan di Tulungagung, yaitu di
candi Dadi. Ini berdasarkan analisa Stutterheim yang menyebutkan fungsi
candi Dadi sebagai tempat pembakaran mayat sebagaimana fungsi candi
Berahu di Trowulan. Melihat kedudukannya yang berada di ketinggian puncak
bukit, candi Dadi jelas bukan untuk tempat perabuan penduduk biasa,
melainkan digunakan khusus untuk para tokoh utama yang sangat dihormati,
salah satunya Rajapatni dyah Gayatri.
Sementara itu kedudukan candi Sanggrahan, sebagaimana namanya,
merupakan tempat untuk mesanggrah rombongan istana yang mengikuti
prosesi perabuan Rajapatni dyah Gayatri di candi Dadi. Rombongan
Majapahit mendirikan perkemahan di areal candi Sanggrahan yang memang
berhalaman luas, berpagar keliling dan terdapat saluran air. Dan ketika abu
jenazah Rajapatni dyah Gayatri ditanam di Boyolangu, rombongan istana
juga menggunakan candi Sanggrahan sebagai tempat mesanggrah atau
berkemah karena pada waktu itu lokasi wilayah antara candi Sanggrahan
dengan Boyolangu merupakan daerah rawa. Untuk menuju candi Boyolangu
harus menaiki perahu. Begitu pula ketika berjiarah ke candi Boyolangu,
rombongan istana mesanggrah di candi Cungkup.
Setelah ibunya wafat, Tribhuwanatunggadewi turun tahta dan
menyerahkan kekuasaan Majapahit kepada putra sulungnya, Hayam Wuruk.
Rajasanegara dyah Hayam Wuruk naik tahta Majapahit pada tahun
1350Mketika usia 16 tahun. Pada awal pemerintahannya, Hayam Wuruk
dalam menentukan kebijakan negara masih bergantung pada ibundanya,
ratu Kahuripan Tribhuwana Tunggadewi dan mahapatih Gajahmada. Dan
boleh dibilang, ketika itu yang paling berkuasa sesungguhnya mahapatih
Gajahmada.
Keberadaan sejarah Tulungagung pada masa Majapahit dibawah
pimpinan Hayam Wuruk antaralain terbaca dari banyaknya desa atau daerah
yang tertulis dalam kakawin Negarakertagama sebagai tempat penting dan
dihormati Negara.
Pupuh 73/3, 74/1 dan 2 kakawin Negarakertagama menulis 27 makam
raja yang pada tahun saka 1287/1365M sudah dijaga petugas pengawas atas
perintah raja dan sudah berprasasti diantaranya menyebut makam raja di
Tudan [Tiudan], Kalangbrat, Lumbang, Pager [Pagerwojo], Simping, dan
Bhayalangu.
Pupuh 76/3 kakawin Negarakertagama menyebut desa Jarak sebagai
desa perdikan kasogatan yang bebas pajak. Jarak merupakan nama kuna
dari desa Jarakan, kecamatan Gondang. Daerah ini satu jalur dengan
Bolorejo dan Baru.

21

Pupuh 77/2 menyebut Balamasin sebagai desa Kebudaan Bajradara


yang berprasasti. Balamasin merupakan nama kuna untuk desa Bolorejo,
kecamatan Kauman.
Pupuh 78 bait 3 menerangkan desa Baru sebagai daerah perdikan
Budha yang utama. Desa ini dalam kakawin Negarakertagama disebutkan
tidak memiliki bangunan candi. Desa Baru kini bernama Baruharjo,
kecamatan Durenan, Trenggalek.
Pupuh 78/7 kakawin Negarakertagama juga menyebut adanya
mandala atau caturasrama Pacira. Ini merupakan nama lain dari mandala
Pasir, Junjung, Sumbergempol, Tulungagung.
Kakawin Negarakertagama menulis pada waktu Hayam Wuruk akan
membangun candi pendarmaan maharajapatni dyah Gayatri di Boyolangu
Tulungagung, sebelumnya telah mendapat keijinan dari seorang tokoh
bernama Demung Bhoja. Diperkirakan tokoh ini merupakan kerabat atau
salah satu paman sri Hayam Wuruk yang ditempatkan sebagai penguasa
daerah Brang Kidul Tulungagung. Dari pembacaan Negarakertagama kuat
dugaan Demung Bhoja adalah penguasa wilayah Brang Kidul yang
mengijinkan daerah Bhoyolangu tanahnya diambil Negara sebagai tempat
pendarmaan kerajaan.
Keberadaan Tulungagung masa Majapahit ketika Hayam Wuruk
berkuasa juga terbaca dalam prasasti Trawulan I bertarikh 1358M. Dalam
prasasti yang dikeluarkan raja Hayam Wuruk menyebutkan Waringin Pitu
atau sekarang bernama desa Ringin Pitu, kecamatan Kedungwaru,
Tulungagung, sebagai salah satu pelabuhan penyeberangan sungai yang
sangat penting di Majapahit. Kedudukan ini terkait dengan pembangunan
tempat pendarmaan maharajapatni Dyah Gayatri di Bayalangu. Berdasarkan
Negarakertagama pupuh 74 bait 1, pembangunan tempat pendarmaan
Prajnaparamitapuri
di
Bhayalangu
selesai
pada
tahun
1365M.
Negarakertagama menyebutkan, setiap bulan Badrapadha, rombongan raja
dan istana berkunjung ke Bayalangu. Rombongan ziarah itu dipastikan
melalui pelabuhan penyeberangan sungai Brantas di Waringin Pitu.
Berdasarkan prasasti Trawulan I, Hayam Wuruk juga melindungi
keberadaan jembatan penyeberangan sungai Ngrowo di desa Madanten atau
Majan, karena terdapat pelabuhan penyeberangan atau penambangan yang
cukup penting, menjadi jalur utama dari arah Wengker. Rombongan dari
keraton Wengker, ketika hendak menuju Boyolangu berjiarah ke candi
makam maharajapatni dyah Gayatri, harus melalui penyeberangan sungai
Ngrowo di desa Madanten, sekarang bernama Majan, Kauman, Tulungagung.
Karenanya desa ini mendapat perlindungan raja Hayam Wuruk.
Pada tahun 1386M ayah Hayam Wuruk yaitu baginda Tumapel I
Batara
Parameswara
Kertawardhana
wafat
atau
mokta
ring
sunyalaya. Berdasarkan prasasti Wijaya Parakrama Wardhana 1447M,
baginda Tumapel Kertawardhana dikenal pula sebagai baginda Parameswara
sang Mokta Ring Sunyalaya dan didarmakan di Waringin Pitu, Tulungagung
dengan candi pendarmaannya bernama Rajasakusumapura.
22

Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389M dan tahta Majapahit


selanjutnya diduduki olehsang menantu yaitu Wikramawardhana, putra
sulung pasangan ratu Pajang I dyah Nertaja dan brhe Paguhan I raden
Sumana. Dyah Nertaja merupakan adik kandung Hayam Wuruk. Jadi
Wikramawardhana masih keponakannya. Wikramawardhana juga termasuk
cucu buyut maharajapatni dyah Gayatri.
Maharaja Wikramawardhana memiliki putra mahkota bernama Rajasa
Kusuma. Pada tahun 1398M, rajasa Kusuma yang memiliki kekuasaan cukup
berpengaruh di Majapahit mendesak ayahnya mengangkat Gajah Manguri
sebagai mahapatih Majapahit menggantikan Gajah Enggon. Pada waktu itu
Rajasakusuma juga berjuang meneruskan cita-cita neneknya, ratu Pajang
dyah Nirtaja yang berkeinginan mengukuhkan penetapan dharma perdikan
Waringin Pitu, Tulungagung, dalam bentuk penulisan prasasti kerajaan.
Daerah Waringin Pitu merupakan tempat pendarmaan baginda
Parameswara Kertawardhana, suami maharani Tribhuwanatunggadewi, ayah
kandung Hayam Wuruk dan dyah Nirtaja. Setelah ayahnya didarmakan di
Waringin Pitu, dyah Nirtaja menetapkan daerah Waringin Pitu sebagai
dharma sima perdikan. Tentunya penetapan itu secara resmi dikeluarkan
Hayam Wuruk, kakaknya yang masih menjadi raja. Tetapi pada waktu itu
belum dikukuhkan atau dicatat dalam prasasti, sampai dyah Nirtaja wafat.
Sampai Hayam Wuruk wafat, juga belum dicatat dalam prasasti.
Baginda Kertawardhana termasuk kakek buyut Rajasakusuma. Dyah
Nirtaja adalah sang nenek yang sangat dihormati Rajasakusuma. Maka ketika
sudah menjadi putra mahkota dan memiliki pengaruh besar, Rajasakusuma
berniat meneruskan gagasan sang nenek, yaitu berjuang mengukuhkan
anugerah yang telah diberikan kepada daerah Waringin Pitu dalam bentuk
prasasti atau piagam kerajaan.
Akan tetapi pada 1399M, Rajasakusuma keburu wafat sebelum
prasasti kerajaan ditulis. Wafatnya putra mahkota Majapahit ini sangat
mungkin akibat perseteruan yang terus berlangsung antara Kedaton Wetan
dan Kedaton Kulon. Rajasakusuma bergelar anumerta Hyang Wekas ing
Sukha didarmakan di Tajung, nama candi pendarmaannya adalah
Paramasukapura. Maka persoalan pengukuhan Waringin Pitu sebagai
perdikan kerajaan sementara waktu tenggelam oleh kisah perseteruan
Kedaton Barat dan Kedaton Timur.
Pada 1400M, Sri Wikramawardhana turun tahta menjadi Bagawan ke
daerah Junjung, Pacira, selatan sungai Brantas dan tahta diserahkan pada
permaisurinya Kusumawardhani. Sikap ini sebagai upaya meredam gejolak
akibat perseteruan dengan Brhe Wirabhumi.
Tetapi suasana keraton tetap bergolak sehingga Wikramawardhana
yang baru setahun bertapa di goa Pacira, Tulungagung, terpaksa kembali
mengendalikan kebijakan pemerintahan, meski secara resmi yang menjadi
raja
tetap
permaisurinya.
Kembalinya
Wikramawardhana
justru
meningkatkan perselisihan.
Perang dingin antara Wikramawardhana dengan Aji Rajanatha
akhirnya pecah menjadi perang Regreg, Paregreg pertama pecah pada
23

1404M dan perang Regreg terbesar atau Paregreg Agung, pecah pada tahun
1406M. Kedaton Kulon berehasil mengalahkan pemerintahan Kedaton Wetan.
Kemudian Wikramawardhana memutuskan kembali meninggalkan keraton,
bertekad hidup sebagai biksu Boddha, bertapa di daerah Junjung, Pacira,
Tulungagung. Tahta Majapahit diduduki permaisuri Kusumawardhani.
Berdasarkan serat Pararaton, pada tahun 1427M, Wikramawardana
wafat,didarmakan di Lalangon atau Boyolangu, Tulungagung, dengan candi
pendarmaannya bernama Paramawisesapura. Negarakertagama menulis
candi pendarmaan Rajapatni dyah Gayatri juga di Wisesapura. Sudah barang
tentu keberadaan pelabuhan penyeberangan di Waringin Pitu dan Majan,
Tulungagung, semakin berperan sepanjang sejarah Majapahit
Selesai pendarmaan Wikramawardhana di Boyolangu, Maharani
Kusumawardhani menobatkan adik bungsu Manggalawardhana yaitu dyah
Kertawijaya sebagai Brhe Tumapel III. Kemudian Maharani Kusumawardhani
wafat pada 1429M.
Setelah Kusumawardhani wafat, tahta Majapahit diduduki maharaja
Ratnapangkaja dan pada tahun 1437M diduduki oleh permaisurinya yaitu sri
Suhita sampai tahun 1447M. Pada masa ini keberadaan Tulungagung tidak
banyak terbaca. Tulungagung kembali terbaca jelas setelah Majapahit
dipimpin sri maharaja Wijaya Parakrama wardhana dyah Kertawijaya yang
naik tahta menggantikan kakak kandungnya, sri Suhita.
Kertawijaya bertahta
pada
1447-1451M. Merupakan
keturunan
keempat Sri Nata Kertarajasa dan sang Rajapatni dyah Gayatri. Di awal
pemerintahan, putra bungsu Wikramawardhana dan Kusumawardhani ini
mengeluarkan prasasti yang dikenal sebagai prasasti Wijaya Parakrama
Wardhana atau Waringin Pitu, 1447M. Isi pokok prasasti Wijaya Parakrama
Wardhana adalah penetapan Waringin Pitu sebagai daerah perdikan dharma
kerajaan. Kedudukan perdikan dharma kerajaan di Waringin Pitu sebelumnya
ditetapkan Sri Paduka Rajasa Duhita Iswari dyah Nirtaja, Bhattara ring Pajang
I, nenek Sri Paduka Bhattara Prabu Wijaya Parakrama Wardhana.
Alasan pengukuhan dharma perdikan Waringin Pitu tercantum
lengkap dalam prasasti. Disebutkan bahwa pada awalnya yang
menyebabkan Waringin Pitu ditetapkan sebagai perdikan kerajaan atau
rajadharma oleh Sri Paduka Rajasa Duhita Iswari dyah Nirtaja, lantaran
mengingini supaya bangunan suci pratista di Waringin Pitu dijadikan
perdikan dharma untuk menjaga peninggalan fana ayahandanya, Sri Paduka
Parameswara sang mokta ring sunyalaya.
Rancangan pencatatan prasasti sebelumnya telah disusun Sri
Bhattara Hyang Wekas ing Suka. Kini tujuan utamanya menetapkan
kesusukan perdikan dharma sampai tuntas tak mangkrak lagi. Karena nama
abisheka Sri Bhattara Hyang Wekas ing Suka adalah Rajasa Kusuma, maka
perdikan ini bernama Rajasa Kusuma pura.
Semua itu atas kehendak Sri Kertawijaya. Kertawijaya memerintahkan
pelaksanaannya supaya pencatatan prasasti diselenggarakan, sebagai upaya
menjalankan kehendak yang mulia sang nenek, karena kedudukan perdikan
dharma belum juga dikukuhkan dengan penulisan prasasti kerajaan.
24

Untuk mencapai tujuan itu maka sang mahaguru Isyanata


menugaskan Aria Naya Adhikara mengerjakan penulisan prasasti kerajaan.
Prasasti dibubuhi cap lencana Wijaya Parakrama Wardhana, disampuli warna
kuning. Prasasti itu juga dibacakan dihadapan Sri Paduka Maharaja. Pada
tiap-tiap kesempatan yang tepat, para menteri utama senantiasa
menunjukkan kemuliaan kepada prasasti itu, utamanya kaum brahmana dan
alim ulama agama Siwa dan Boddha.
Pihak
perdikan
dharma
Rajasakusumapura
berkekuasaan
mengadakan peradilan secara mandiri menggunakan hukum adat pada
segala jahat yang menyatroni sepenjuru Waringin Pitu. Batas-batas dan
letaknya perdikan sima ditetapkan panjang lebar, disebutkan pula larangan
memasuki atau menginjak tanah suci itu bagi pegawai katrini yaitu pangkur,
tawan dan tirip. Para pegawai pajak bea cukai baik tinggi maupun rendah
dilarang bertugas di daerah Waringin Pitu.
Kenyataan sejarah ini jelas menunjukkan betapa daerah Waringin Pitu,
Tulungagung, mendapat perhatian besar dari keluarga istana Majapahit,
utamanya dari keturunan sang Rajapatni dyah Gayatri. Upaya besar yang
dirintis ratu Pajang dan Sri Batara Hyang Wekasing Suka, yang sempat
tertunda di tiga masa pemerintahan raja Majapahit, akhirnya diwujudkan Sri
Wijaya Parakrama Wardhana dyah Kertawijaya.
Selain penyebutan Waringin Pitu, Kamalagen, Klagen, Tanjung,
Arenarenan, Kepuh, dimana semua nama tempat itu berada di Tulungagung,
prasasti Waringin Pitu juga menyebut nama Bhayalangu. Semakin
menguatkan bahwa daerah perdikan dharma kerajaan Waringin Pitu memang
di Brang Kidul Tulungagung.
Sebagai daerah perdikan kerajaan, Waringin Pitu memiliki kekuasaan
mandiri, berhak antara lain mengadakan peradilan berdasarkan hukum adat
terhadap setiap kejahatan atau pelanggaran hukum yang terjadi di Waringin
Pitu. Daerah perdikan Waringin Pitu juga berada langsung di bawah
kekuasaan raja Majapahit, bukan termasuk kekuasaan keraton Daha atau
Kadiri. Keraton Daha dalam prasasti Waringin Pitu adalah salah satu keraton
bawahan Majapahit.
Sebagaimana telah dipaparkan, berdasarkan prasasti Wijaya
Parakrama Wardhana atau prasasti Waringin Pitu bertarikh 1447M, Bhatara
Parameswara Kertawardhana didharmakan di Waringin Pitu. Sementara
berdasarkan berita Pararaton, Baginda Kertawardhana yang wafat pada
1386M, didharmakan di Japan. Menilik dua sumber sejarah tersebut, sangat
mungkin yang dimaksud daerah Japan adalah daerah yang sekarang
bernama desa Jepun.
Dapat dikatakan bahwa pararaja Tumapel dan Majapahit sebagian
besar bersemayam di bhumi Lawadan Tulungagung. Para tokoh itu antara
lain: Tunggul Ametung di Pagerwaja, Mahisa Wonga Teleng di Kalangbret,
Tohjaya di Katanglumbang Kalangbret, Raden Wijaya di Simping
Suruhwadang, maharajapatni Dyah Gayatri di Boyolangu, Baginda
Parameswara Kertawardhana di Waringin Pitu atau Jepun, Rajasakusuma
25

Hyang Wekasing Suka di dharmakan di Suka, dan Sri Wikramawardhana di


Boyolangu Wisesapura.
Menjadi pertanyaan besar mengapa pararaja Tumapel Majapahit
banyak bersemayam di tanah Tulungagung. Satu jawaban paling masuk akal
adalah bahwa Tulungagung merupakan tanah leluhur pararaja Tumapel
Majapahit. [Siwi Sang]
Sumber: http://nabilrizqi.blogspot.co.id/2014/11/tulungagung-masa-kerajaanmajapahit.html

26

Anda mungkin juga menyukai