besar nama Panjora merupakan arkhais atau nama kuna dari desa Penjor.
Meski demikian, ini masih perlu ada kajian lebih lanjut. Kembali ke
pemerintahan Haji Balitung di Medang.
Setelah Haji Balitung wafat, tahta Medang berturut diduduki oleh Mpu
Daksa, rake Layang dyah Tulodong, dan terakhir rake Sumba dyah Wawa.
Rake Sumba dyah Wawa berkuasa antara tahun 927M- 928M. Pada
masa inilah kekuatan Sriwijaya wangsa Selendra kembali menggempur tanah
Jawa. Sriwijaya merupakan satu-satunya musuh bebuyutan wangsa Sanjaya.
Pada penyerbuan itu, Rakai Sumba dyah Wawa gugur. Sementara
mahamentri hino Mpu Sindok selamat dan menyingkir bersama sisa
pengikutnya ke Jawatimur. Penyerbuan Sriwijaya atas pemerintahan Rake
Sumba dyah Wawa memang tidak pernah termuat dalam prasasti yang
keluar masa kemudian. Tetapi peristiwa besar itu dapat diselusuri melalui
sejarah perseteruan Sriwijaya dan Medang.
TULUNGAGUNG MASA KERAJAAN MEDANG JAWA TIMUR
Berdasarkan prasasti Turyyan 929M, diketahui Mpu Sindok
membangun keraton baru pertama di Tamwlang. Sri maharaja makadatwan i
tamwlang. Tamwlang hanya ditemukan dalam prasasti ini. Diperkirakan
berada di desa Tambelang, Jombang. Kemudian berdasarkan prasasti
Anjukladang 937M, Mpu Sindok memindah ibukota Medang ke Watugaluh,
masih di daerah Jombang.
Mendengar kerajaan Medang muncul di Jawatimur, kekuatan wangsa
Selendra di Jawatengah tidak tinggal diam. Mereka berderap ke timur melalui
jalur darat atau pedalaman, dengan tujuan utama menghacurkan
pemerintahan Mpu Sindok. Karenanya pasukan itu dihadang di daerah
Anjukladang atau Nganjuk. Dua kekuatan bertempur dahsat. Sriwijaya harus
mengakui bahwa pedalaman Jawatimur bukan tempat yang cocok untuk
berperang. Sriwijaya tidak mampu menjangkau sungai Brantas di timur
Kertosono, tidak mampu memukul pusat pertahanan di daerah Jombang.
Pasukan besar wangsa Selendra terpukul mundur. Kemenangan mpu Sindok
itu berkat bantuan kekuatan para penduduk Anjukladang. Mpu Sindok
kemudian menganugerahi daerah Anjukladang sebagai sima perdikan dan
dikukuhkan pada prasasti.
Kemudian pada masa Sri Dharmawangsa Teguh berkuasa di kerajaan
Medang Jawatimur, wangsa Selendra yang masih membangun kekuasaan di
Jawatengah berupaya mendesak ke timur. Sementara kekuatan Medang
Watan juga giat menggempur Jawatengah. Sampai akhirnya wangsa
Selendra terdesak kembali ke tanah Sumatera. Sri Maharaja Dharmawangsa
Teguh menguasai sepenjuru Jawa.
Dharmawangsa giat membangun armada laut untuk mempermudah
upaya memburu wangsa Selendra yang membangun kekuatan di Sriwijaya
Palembang. Ia mulai berpikir meluaskan kekuasaan ke sepenjuru nusantara.
Tercatat beberapa kali melayarkan armada laut menyerbu Palembang.
Tetapi peristiwa dahsat pecah pada sekitar 1006M, saat pasukan
gabungan Lwaram dan Sriwijaya datang menggelombang menghancur
3
Brantas. Inilah awal mula terciptanya rawa di selatan gunung Wilis atau di
Tulungagung.
Erlangga tentu masih teringat peristiwa di penghujung 1030M saat
kekuatan Lodoyong menghancur istana Watan Mas. Meski sudah ditaklukkan,
Lodoyong tetap memiliki kekuatan besar, sanggup sewaktu-waktu
menggempur Kahuripan. Dari segi politik dan keamanan negara, peristiwa
bencana di Lodoyong terbilang rawan. Jika tidak segera ditanggulangi atau
diperhatikan secara khusus, besar kemungkinan menimbulkan pergolakan
daerah.
Daerah Lodoyong sejak lama terkenal dengan hasil panen padi
unggulan, utamanya padi hitam, barang dagangan yang banyak dicari para
pedagang Tiongkok. Setelah menjadi daerah bawahan Medang Kahuripan,
Lodoyong dikenal sebagai salah satu pemasok pajak hasil bumi terbesar di
Jawa Timur.
Pertanian di Lodoyong juga mendukung kegiatan perdagangan di
pelabuhan Hujung Galuh. Bencana itu menimbulkan gagal panen dalam
waktu panjang, mengakibatkan perdagangan di Hujung Galuh terganggu.
Kapal-kapal dari pulau lain banyak yang kesulitan mencari barang dagangan,
utamanya beras dan hasil bumi unggulan Lodoyong. Lesunya perdagangan
di Hujung Galuh akibat banjir di Brang Kidul ini kelak tersirat dalam prasasti
Kamalagyan.
Maka setelah memertimbangkan segalanya, atas nama kesejahteraan
dan ketenteraman negeri, serta memandang bakti besar Ratu Tulodong, Sri
Maharaja Erlangga segera mengambil kebijakan hebat, membangun
bendungan besar, berjuang mengendalikan banjir musiman sungai Brantas
di Lodoyong.
Pembangunan ini membutuhkan banyak tenaga. Sudah barang tentu
sepasukan prajurit Kahuripan datang ke Lodoyong, bergabung dengan
pasukan Ratu Tulodong dan para penduduk brang kidul. Pasukan tanggap
bencana dari Kahuripan itu menempati bukit tidak jauh di selatan sungai
Brantas yang kelak bernama Pulotandha, artinya tanah tempat berdiam para
tandha atau prajurit. Di timur laut desa Pulotandha inilah banjir sungai
Brantas naik menggerus tebing sungai, menciptakan sungai baru menuju
arah Boyolangu dan sekitarnya. Daerah di selatan Pulotandha sudah
terendam air rawa.
Selesai pembangunan tanggul di sisi selatan sungai Brantas, mereka
melanjutkannya dengan membuat sungai sebagai jalan mengeluarkan air
yang sudah menjadi hamparan rawa. Sungai baru itu memanjang dari
selatan ke utara, dari arah Boyolangu menuju tebing sungai Brantas di
daerah Kelagyan. Air rawa dapat mengalir melalui sungai itu. Para penduduk
kelak menyebut sungai itu sebagai sungai Ngrawa atau Ngrawa, artinya
sungai yang airnya berasal dari rawa.
Tapi memang air rawa tidak benar-benar habis. Penyebabnya adalah
dasar sungai Brantas ternyata lebih tinggi dari daerah palungan di lembah
Indrakila dan beberapa daerah lain di Lodoyong. Jika banjir berhenti, sungai
8
mengalir ke utara, tetapi jika musim banjir, air sungai Brantas mendesak
masuk melalui muara sungai Ngrawa di desa Kelagen itu.
Maka kemudian di muara sungai Ngrawa dibangun semacam pintu
terbuat dari gelondongan kayu yang sewaktu-waktu dapat dibuka dan
ditutup. Kelak yang bertugas menjaga pintu bendungan itu adalah para
penduduk desa Kelagyan dibantu penduduk desa sekitar Waringin Sapta.
Menaikkan dan menurunkan pintu bendungan ini jelas butuh tenaga banyak.
Menjelang pembangunan bendungan Waringin Sapta selesai, melapor
beberapa prajurit telik sandi kepada Erlangga. Bahwa Raja Wijayawarmma
yang pernah ditaklukkan Erlangga, berupaya memerdekakan diri dan
melancarkan pemberontakan. Rupanya kabar pembangunan bendungan di
Lodoyong terdengar sampai Wengker. Lodoyong berada tepat di timur
Wengker, di antara dua kerajaan ini merupakan wilayah Hasin. Wengker
tentu berpikir bahwa pelaksanaan pembangunan besar-besaran itu sangat
menguras tenaga dan perhatian kekuatan Medang Kahuripan. Sebagian
besar tercurah untuk menyelesaikan pembangunan bendungan Maharaja itu.
Ini yang kemudian dimanfaatkan Wengker untuk mencoba mengadakan
semacam pemberontakan, memerdekakan diri.
Maka begitu pembangunan bendungan Waringin Sapta rampung,
pasukan gabungan Medang dan Lodoyong berderap dari Lodoyong menuju
Wengker. Dalam prasasti memberitakan bahwa pasukan itu berderap ke arah
barat lalu menghancurkan Wengker. Raja Wijayawarmma melarikan diri.
Tetapi patih Wengker bersama sebagian prajuritnya menyerah dan
mendapat ampunan Erlangga. Sebagai tanda bakti, patih Wengker bersedia
menunaikan titah Erlangga, menghukum Wijayawarmma. Janji itu terbukti.
Raja Wikjayawarmma gugur terpancung bekas patihnya sendiri.
Selepas menghancurkan Wengker dan menyelesaikan pembangunan
bendungan Waringin Pitu, pada bulan kartika tahun saka 959 atau 1037M, Sri
Maharaja Erlangga mengeluarkan prasasti berisi pemberian anugerah berupa
pengurangan bukan pembebasan pajak-pajak hasil bumi yang
seharusnya disetor ke istana dari desa Kamalagyan dan sewilayahnya,
tepian sungai dan rerawanya, dari Kalagyan, serta dari Kakalangan.
Anugerah itu dikeluarkan sebagai imbalan kepada penduduk Kamalagyan
dan sekitar Kakalangan yang telah berjasa besar menyelesaikan
pembangunan bendungan Waringin Sapta. Anugerah ini sekaligus kewajiban
penerima anugerah untuk menjaga sepenuhnya keamanan bendungan
maharaja. Dalam prasasti bendungan ini disebut sebagai Bendungan
Maharaja.
Meski telah dibangun bendungan Maharaja, selama lebih empat abad,
rawa luas itu tetap ada. Meski telah dibangun sungai baru yang mengalir ke
utara dari arah Bhayalangu yang kelak disebut sungai Ngrawa, akan tetapi
kerap ketika musim banjir, arus sungai Ngrawa mengalir ke selatan, lantaran
banjir Brantas naik mendesak muara sungai Ngrawa.
Prasasti Kamalagyan merupakan prasasti Batu. Beberapa prasasti
batu yang ditemukan sekarang, bukan berada pada letak semula melainkan
pindahan dari tempat lain seperti Prasasti Kembangsore atau Mojojejer, juga
9
Prasasti Jiyu, 1486M. Jadi tidak heran jika sekarang Prasasti Kamalagyan
berada di Dukuh Klagen, Tropodo, Krian, Sidoarjo.
Analisa yang menguatkan bahwa prasasti Kamalagyan bukan jenis
prasasti in situ atau sudah berpindah dari tempat semula dapat dilihat dari
penyebutan nama-nama daerah seperti Kamalagyan, Waringin Sapta,
Kakalangan, Kala, Kalagyan, dan Kamulan dalam prasasti Kamalagyan.
Sementara prasasti Baru, 28 April 1030M, dan prasasti Kamulan1194M,
prasasti Waringin Pitu 1447M juga menulis nama-nama tersebut. Kamulan
Parhyanan kelak berubah menjadi Desa Kamulan, berbatasan dengan desa
Baru atau Baruharjo, kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung
dengan Tulungagung. Kakalangan, Kala, nama kuna desa Kalangbret,
Tulungagung. Kalagyan, nama kuna dusun Kelagen, Kecamatan Karangrejo,
Tulungagung. Waringin Sapta atau Wringin Pitu sekarang berganti menjadi
desa Ringin Pitu. Letaknya tidak jauh di selatan sungai Brantas Tulungagung.
Disimpulkan prasasti kamalagyan dikeluarkan Erlangga untuk suatu daerah
di Brang Kidul Tulungagung yang pada masa itu dipimpin ratu Tulodong.
Berdasarkan prasasti Kamalagyan tahun 1037M, Prabhu Erlangga
sepenuhnya berhasil menaklukkan Jawatimur, menguasai kerajaan-kerajaan
lain, seperti seperti Wura-Wari, Wengker, Hasin, Lodoyong, Wuratan, dan
Lewa. Prabhu Erlangga pada tahun itu bersemayam di keraton Kahuripan,
menjadi maharaja Medang bergelar Sri Maharaja Rake halu Sri Lokeswara
Dharmawangsa
Erlangganama
Prasadottunggadewa.
Sang
Prabhu
didampingi Rakryan Kanuruhan Mpu Narottama.
Prabu Erlangga memiliki dua istri, permaisuri dan selir. Dari
permaisuri,
menurunkan
Dewi
Kilisuci
atau
Sanggramawijaya
Dharmaprasada Utunggadewi dan Lembu Amiluhur atau Mapanji
Samarawijaya. Sementara dari selir, menurunkan Lembu Amerdadu atau
Mapanji Garasakan, dan Lembu Pangarang atau Mapanji Alanjung Ahyes.
Seluruh putra Prabhu Erlangga ketika itu ditempatkan di keraton
masing-masing. Dewi Kilisuci sebagai putri mahkota menempati keraton
Kadiri di barat sungai Brantas. Samarawijaya menempati keraton Daha di
timur sungai Brantas. Mapanji Garasakan menempati keraton Jenggala di
timur gunung Kawi. Mapanji Alanjung Ahyes diperkirakan menempati keraton
Hasin.
Pada masa itu putri mahkota Dewi Kilisuci belum menikah. Padahal
usianya sudah cukup dewasa. Berdasarkan Babad Tanah Jawi, putri makhota
Erlangga ini meninggalkan kehidupan keraton sebelum menikah, menjadi
seorang petapa di goa Selamangleng, lereng timur gunung Wilis. Di
Tulungagung juga ada goa bernama Selomangleng.
Dipastikan Sanggramawijaya atau Dewi Kilisuci melepas jabatan putri
mahkota atau meninggalkan keraton Kediri antara sekitar 1037M sampai
1041M. Pada prasasti Kamalagyan bertarikh 1037M, namanya masih tercatat
sebagai mahamentri hino. Sementara pada prasasti Pucangan bertarikh
1041M, mahamentri hino sudah berganti kepada Samarawijaya, adik
kandungnya.
10
gaib melalui kisah pengucuran air kendi oleh Mpu Bharada. Meski kental
nuansa dongeng, akan tetapi tidak menghilangkan kebenaran sejarah perihal
kebijakan Erlangga membagi kekuasaan kepada Samarawijaya dan Mapanji
Garasakan. Berikut terjemahan kakawin Negarakertagama pupuh 68:
Inilah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya.
Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak
membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua putranya. Tersebutlah
seorang pandita Boddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra dan yoga,
bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi
pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang
menapak permukaan lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga
jaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya
membelah Negara. Maka perbatasan negara ditandai dengan air kendi yang
mancur dari angkasa. Dari barat ke timur sampai lautan. Lalu dari utara ke
selatan. Daerah selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah
samudera besar. Di daerah selatan itu sang pandita turun dari angkasa,
berhenti di atas pohon kamal, berniat menaruh kendi suci di desa Palungan
untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. Tetapi sebelum menginjak
tanah, sang pandita murka lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal
yang tumbuh menjulang tinggi. Mpu Barada terbang ke angkasa lagi lalu
mengutuk pohon kamal menjadi pandak atau kerdil. Itulah tugu batas gaib
yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Itulah sebab
mengapa sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya menyatukan tanah
Jawa kembali. Dengan demikian semoga baginda prabu serta rakyat tetap
tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin negara yang kini sudah kembali
bersatu-padu.
Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebutkan candi yang
dibangun di Kamal Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi
Wisesapura, candi makam bagi sang Rajapatni dyah Gayatri. Candi makam
di Bhayalangu Tulungagung ini sohor sebagai tempat keramat, tiap bulan
badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para pandita.
Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon asem alas
atau pohon kamal mengandung arti Mpu Barada mendapat rintangan besar
ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna.
Ada sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk
pada kekuasaan Panjalu maupun Jenggala. Karena itu Mpu Barada yang
hampir selesai menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk
kekuasaan Panjalu dan daerah-daerah mana yang masuk wilayah Jenggala,
menjadi murka pada penolakan penguasa daerah brang kidul yang ingin
merdeka. Padahal daerah itu digolongkan sebagai daerah berkedudukan
lebih rendah dari daerah sekitar, dilambangkan sebagai daerah palungan
atau cekungan. Daerah itu memutuskan berdiri sendiri, serupa menjulangnya
pohon kamal di tanah cekungan melebihi ketinggian pohon-pohon lain di
tanah lebih tinggi. Daerah palungan melawan kekuatan atau kehendak Mpu
Barada. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan kesepakatan
dua belah pihak, bahwa sejak saat itu brang kidul menjadi daerah merdeka,
12
Boddha, pada awal tahun 1205M, Ken Arok memisahkan diri dari Panjalu,
menjadi penguasa Tumapel yang merdeka dan mengambil gelar abhiseka Sri
Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi.
Beberapa bulan kemudian, masih pada 1205M, Ranggah Rajasa
melancarkan serangan pertama ke Panjalu Kediri. Raja Kertajaya yang tidak
menduga serangan itu terpaksa menyingkir ke selatan sungai Brantas,
mendapat perlindungan seluruh penduduk bhumi Lawadan, Tulungagung.
Sampai akhirnya Sri Kertajaya berhasil menduduki singgasana di istana
Kediri setelah penduduk Lawadan memukul pasukan Ranggah Rajasa.
Sebagai balas jasa atas segala pertolongan agung itu, raja Kertajaya
menganugerahi desa atau thani Lawadan sebagai sima perdikan kerajaan
Panjalu Kediri.
Prasasti bertarikh 18 Nopember 1205M ini memberikan keterangan
bahwa penduduk desa Lawadan beserta daerah sewilayahnya telah
menerima anugerah raja berupa pembebasan pajak dan penerimaan
sejumlah hak-hak istimewa seperti melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di
depan umum, mengenakan jenis-jenis pakaian dan perhiasan tertentu, juga
memakan makanan istimewa.
Selain itu juga menyebutkan bahwa penduduk Lawadan berhak
memiliki rumah dengan ciri tertentu, memiliki tempat duduk, balai-balai,
payung, serta tanaman di rumah mereka. Ini dapat dimaknai sebagai
kebebasan daerah Lawadan membentuk pusat pemerintahan sendiri yang
mandiri.
Sejak 2003, penanggalan prasasti Lawadan menjadi pedoman hari
jadi kabupaten Tulungagung.
Meski serbuan pertama gagal menjungkalkan Kertajaya, Ranggah
Rajasa tidak menghentikan upayanya menaklukkan Panjalu Kediri. Sejak
1205M, kekuatan Tumapel yang merupakan bentuk baru kerajaan Jenggala
bangkit mengemuka gigih menenggelamkan Panjalu Daha. Tumapel
mengokohkan kekuatan di timur gunung Kawi, menaklukkan beberapa
kerajaan yang dulu pernah menjadi bawahan Jenggala, seperti Lumajang,
Hering atau Pamotan, dan Madura.
Sampai 1210M, para putra Ranggah Rajasa sudah lahir baik dari
permaisuri Ken Dedes maupun selir Ken Umang. Dari permaisuri Ken Dedes,
Ranggah Rajasa menurunkan Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Guning
Bhaya, dan Dewi Rimbi. Sementara dari Ken Umang, Ranggah Rajasa
menurunkan Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rimbu.
Selama 17 tahun Panjalu dan Tumapel bersaing menjadi penguasa
tunggal di tanah Jawa. Keduanya kerap melangsungkan pertempuran
berupaya saling menaklukkan.
Pada 1222M, pasukan Siwa dan Boddha pimpinan Ranggah Rajasa
bergerak melintasi pegunungan Kawi, menyeberangi sungai Leksa, melintasi
lembah gunung Kelud berderap di utara sungai Brantas dan di padang
Ganter [sekarang diperkirakan bernama Ngantru, Tulungagung utara sungai
Brantas] bertemu pasukan Panjalu Kediri yang menganut Wisnu. Pasukan
17
Indie
Sumber:http://www.siwisangnusantara.web.id/2014/07/tafsir-baru-sejarahtulungagung.html
TULUNGAGUNG MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
Peran Tulungagung pada masa Majapahit terbilang sangat penting
karena dianggap sebagai tanah leluhur pararaja Girindra. Tidak heran jika
beberapa tokoh penting Majapahit didarmakan di brang kidul Tulungagung.
Tercatat pendiri Majapahit kertarajasa Jayawardhana raden Wijaya
18
21
1404M dan perang Regreg terbesar atau Paregreg Agung, pecah pada tahun
1406M. Kedaton Kulon berehasil mengalahkan pemerintahan Kedaton Wetan.
Kemudian Wikramawardhana memutuskan kembali meninggalkan keraton,
bertekad hidup sebagai biksu Boddha, bertapa di daerah Junjung, Pacira,
Tulungagung. Tahta Majapahit diduduki permaisuri Kusumawardhani.
Berdasarkan serat Pararaton, pada tahun 1427M, Wikramawardana
wafat,didarmakan di Lalangon atau Boyolangu, Tulungagung, dengan candi
pendarmaannya bernama Paramawisesapura. Negarakertagama menulis
candi pendarmaan Rajapatni dyah Gayatri juga di Wisesapura. Sudah barang
tentu keberadaan pelabuhan penyeberangan di Waringin Pitu dan Majan,
Tulungagung, semakin berperan sepanjang sejarah Majapahit
Selesai pendarmaan Wikramawardhana di Boyolangu, Maharani
Kusumawardhani menobatkan adik bungsu Manggalawardhana yaitu dyah
Kertawijaya sebagai Brhe Tumapel III. Kemudian Maharani Kusumawardhani
wafat pada 1429M.
Setelah Kusumawardhani wafat, tahta Majapahit diduduki maharaja
Ratnapangkaja dan pada tahun 1437M diduduki oleh permaisurinya yaitu sri
Suhita sampai tahun 1447M. Pada masa ini keberadaan Tulungagung tidak
banyak terbaca. Tulungagung kembali terbaca jelas setelah Majapahit
dipimpin sri maharaja Wijaya Parakrama wardhana dyah Kertawijaya yang
naik tahta menggantikan kakak kandungnya, sri Suhita.
Kertawijaya bertahta
pada
1447-1451M. Merupakan
keturunan
keempat Sri Nata Kertarajasa dan sang Rajapatni dyah Gayatri. Di awal
pemerintahan, putra bungsu Wikramawardhana dan Kusumawardhani ini
mengeluarkan prasasti yang dikenal sebagai prasasti Wijaya Parakrama
Wardhana atau Waringin Pitu, 1447M. Isi pokok prasasti Wijaya Parakrama
Wardhana adalah penetapan Waringin Pitu sebagai daerah perdikan dharma
kerajaan. Kedudukan perdikan dharma kerajaan di Waringin Pitu sebelumnya
ditetapkan Sri Paduka Rajasa Duhita Iswari dyah Nirtaja, Bhattara ring Pajang
I, nenek Sri Paduka Bhattara Prabu Wijaya Parakrama Wardhana.
Alasan pengukuhan dharma perdikan Waringin Pitu tercantum
lengkap dalam prasasti. Disebutkan bahwa pada awalnya yang
menyebabkan Waringin Pitu ditetapkan sebagai perdikan kerajaan atau
rajadharma oleh Sri Paduka Rajasa Duhita Iswari dyah Nirtaja, lantaran
mengingini supaya bangunan suci pratista di Waringin Pitu dijadikan
perdikan dharma untuk menjaga peninggalan fana ayahandanya, Sri Paduka
Parameswara sang mokta ring sunyalaya.
Rancangan pencatatan prasasti sebelumnya telah disusun Sri
Bhattara Hyang Wekas ing Suka. Kini tujuan utamanya menetapkan
kesusukan perdikan dharma sampai tuntas tak mangkrak lagi. Karena nama
abisheka Sri Bhattara Hyang Wekas ing Suka adalah Rajasa Kusuma, maka
perdikan ini bernama Rajasa Kusuma pura.
Semua itu atas kehendak Sri Kertawijaya. Kertawijaya memerintahkan
pelaksanaannya supaya pencatatan prasasti diselenggarakan, sebagai upaya
menjalankan kehendak yang mulia sang nenek, karena kedudukan perdikan
dharma belum juga dikukuhkan dengan penulisan prasasti kerajaan.
24
26