KELAS : XI BULAN : OKTOBER JUMLAH MINGGU : 3 (TIGA) MATARI : KERAJAAN – KERAJAAN BESAR INDONESIA PADA MASA HINDU - BUDHA
2. Kerajaan Mataram
2.1. Kerajaan Mataram di Jawa Tengah: Dinasti Sailendra (Śailendrawangśa)
Sejak pertengahan abad ke-7 di Jawa Tengah telah muncul sebuah kerajaan yang berlatarkan keagamaan Hindu dan Buddha. Kerajaan ini diperintah oleh raja-raja dari dinasti Sailendra (Śailendrawangśa). Di dalam prasasti Sojomerto dari daerah Batang, Pekalongan, yang berasal dari pertengahan abad ke-7 disebutkan seorang tokoh bernama Dapunta Selendra yang menganut agama Siwa.Tokoh ini dianaggap sebagai cikal-bakal pendiri dinasti (wangśakara) Sailendra. Dari sumber-sumber prasasti diketahui bahwa kerajaan dinasti Sailendra itu bernama Mataram dan ibukotanya disebut Medang, sedangkan sumber-sumber Tionghoa dari zaman dinasti T’ang (618-906) menyebutnya Ho-ling yang berlangsung sampai tahun 818, dan kemudian menyebutnya dengan nama She-p’o sampai tahun 856. Menurut berita Tionghoa tersebut pada tahun 674 rakyat kerajaan tersebut menobatkan seorang wanita bernama Simo (Hsi-imo) menjadi raja. Pada masa pemerintahan Simo di Holing telah ada seorang pendeta Buddha yang terkenal bernama Jnanabhadra yang membantu pendeta Tionghoa bernama Hwi-ning menerjemahkakitab suci agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa. Siapa yang menggantika ratu Simo tidak diketahui dengan pasti. Namun berdasarkan keterangan yang terdapat dalam prasasti Canggal yang dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun 732, menyebutkan raja Sanna yang kemudian digantikan oleh saudara perempuannya yang bernama Sannaha. Pengganti Sannaha ialah anaknya yang bernama Sanjaya. Sanjaya memerintah sejak tahun 717. Di dalam prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh raja Dyah Balitung pada tahun 907 Sanjaya disebutkan ralam urutan pertama raja-raja Mataram dengan nama Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Pada tahun 732 ia mendirikan sebuah bangunan untuk pemujaan lingga di Gunung Wukir. Selanjutnya Sanjaya digantikan oleh anaknya, Rakai Panangkaran Dyah Sangkhara, pada tahun 746. Raja ini semula menganut agama Hindu (Siwa) tetapi kemudian beralih menjadi penganut agama Buddha. Dialah yang mendirikan bangunan suci agama Buddha untuk pemujaan Dewi Tara (Tarābhāvanam) di Klasan pada tahun 778, candi Sewu (Mañjuśrigṛha) pada tahun 782, dan candi Plaosan Lor yang melambangkan kesatuan kerajaan Mataram. Ia pun membangun pula sebuah wihara di Bukit Ratu Baka yang diberi nama Abhayagiriwihara yang diresmikan pada tahun 792. Rakai Pangkaran digantikan oleh anaknya, Samaratungga yang memerintah sekitar tahun 792-847. Samaratungga mempunyai seorang anak perempuan bernama Pramodawarddhani, yang telah mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha yang diberi nama Srimad Wenuwana dan mentahbiskan arca Gananatha di dalamnya pada tahun 824, seperti disebutkan di dalam prasasti Kayumwungan. Anaknya yang kedua yang lahir dari permaisurinya yang lain bernama Balaputradewa. Pramodawarddhani kemudian dikawinkan dengan Rakai Pikatan, anak Rakai Patapan pu Palar yang menganut agama Siwa. Setelah Samaratungga meninggal atau mengundurkan diri dari pemerintahan, Rakai Patapan menggantikannya menjadi raja Mataram. Pada masa pemerintahannya Rakai Pikatan mendirikan candi kerajaan yang berlatarkan agama Siwa, yaitu percandian Lara Jonggrang (Śiwagrha), di Prambanan, seperti disebutkan didalam prasasti Siwagrha tahun 856. Rakai Pikatan digantikan oleh anaknya, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala pada tahun 856, dan berkedudukan di ibukota Mdang di Mamratipura. Ia memerintah sampai tahun 883. Sebenarnya Rakai Pikatan mempunyai seorang anak perempuan tertua, yaitu Rakai Gurunwangi Dyah Saladu yang dijadikan putri mahkota. Tetapi ia baru menjadi raja setelah adiknya, Rakai Kayuwangi. Rakai Gurunwangi disebutkan dalama prasasti Munguantan tahun 887 sebagai Sri Maharaja. Sementara itu dari prasasti Panunggalan tahun 896 kita mengenal seorang tokoh bernama Rakai Watuhumalang dan dari prasasti Pohdulur tahun 890 kita mengenal pula tokoh yang bernama Sri Maharaja Rake Limus Dyah Dewindra. Raja Mataram selanjutnya ialah rakai Watukura Dyah Balitung yang memerintah sekitar tahun 899-991. Pada masa pemerintahannya ia meluaskan kekuasaannya sampai ke Jawa timur. Penggantinya ialah Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksasaya. Ia bukanlah anak Dyah Balitung. Di dalam berita Tionghoa dari zaman dinasti Sung ia disebut Ta-tso-kan- hiung. Untuk menunjukkan bahwa ia adalah pewaris yang sah dari kerajaann Mataram, ia menghubungkan dirinya dengan raja Sanjaya dan menggunakan tarikh Sanjaya dalam prasastinya, yaitu prasasti Tajigunung tahun 194 Sanjayawarsa (= 910 Masehi) dan prasasti Timbananwungkal tahun 196 Sanjayawarsa (= 913 Masehi). Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti, tetapi prasastinya yang terakhir dari masa pemerintahannya berasal dari tahun 915, yaitu prasasti Sugihmanek. Pengganti Watukara Dyah Balitung ialah Rakai Layang Dyah Tulodhong yang mengeluarkan prasastinya yang pertama ialah prasasti Lintakan pada tahun 919. Sampai kapan Dyah Tulodhong memerintah tidak diketahui. Dari Masa pemerintahan Dyah Tulodhong terdapat pula sebuah prasasti yaitu prassti Wintangmas yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya dari tahun 919. Berdasarkan gelar jabatannya ia adalah orang kedua setelah raja, dan biasanya jabatan tersebut diduduki oleh putra mahkota yang akan menjadi raja sebagai pewaris atas takhta kerajaan Mataram. Namun kita tidak pernah menemukan prasasti lain yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya sampai munculnya prasasti Wulakan dari Sri Maharaja Dyah Wawa tahun 928. Sanjaya dalam prasastinya, yaitu prasasti Tajigunung tahun 194 Sanjayawarsa (= 910 Masehi) dan prasasti Timbananwungkal tahun 196 Sanjayawarsa (= 913 Masehi). Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti, tetapi prasastinya yang terakhir dari masa pemerintahannya berasal dari tahun 915, yaitu prasasti Sugihmanek. Pengganti Watukara Dyah Balitung ialah Rakai Layang Dyah Tulodhong yang mengeluarkan prasastinya yang pertama ialah prasasti Lintakan pada tahun 919. Sampai kapan Dyah Tulodhong memerintah tidak diketahui. Dari Masa pemerintahan Dyah Tulodhong terdapat pula sebuah prasasti yaitu prassti Wintangmas yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya dari tahun 919. Berdasarkan gelar jabatannya ia adalah orang kedua setelah raja, dan biasanya jabatan tersebut diduduki oleh putra mahkota yang akan menjadi raja sebagai pewaris atas takhta kerajaan Mataram. Namun kita tidak pernah menemukan prasasti lain yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya sampai munculnya prasasti Wulakan dari Sri Maharaja Dyah Wawa tahun 928. Sanjaya dalam prasastinya, yaitu prasasti Tajigunung tahun 194 Sanjayawarsa (= 910 Masehi) dan prasasti Timbananwungkal tahun 196 Sanjayawarsa (= 913 Masehi). Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti, tetapi prasastinya yang terakhir dari masa pemerintahannya berasal dari tahun 915, yaitu prasasti Sugihmanek. Pengganti Watukara Dyah Balitung ialah Rakai Layang Dyah Tulodhong yang mengeluarkan prasastinya yang pertama ialah prasasti Lintakan pada tahun 919. Sampai kapan Dyah Tulodhong memerintah tidak diketahui. Dari Masa pemerintahan Dyah Tulodhong terdapat pula sebuah prasasti yaitu prassti Wintangmas yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya dari tahun 919. Berdasarkan gelar jabatannya ia adalah orang kedua setelah raja, dan biasanya jabatan tersebut diduduki oleh putra mahkota yang akan menjadi raja sebagai pewaris atas takhta kerajaan Mataram. Namun kita tidak pernah menemukan prasasti lain yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya sampai munculnya prasasti Wulakan dari Sri Maharaja Dyah Wawa tahun 928. Dalam prasasti Wulakan tahun 928 muncul seorang raja yang bernama Rakai Sumba Dyah Wawa, yang menyebut dirinya anak kryan landheyan sang lumah ring alas. Kryan Landheyan adalah tokoh yang disebutkan dalam prasasti Wuatantija tahun 880 dengan nama Rakryan Landheyan, yaitu adik ipar raja Rakai Kayuwangi. Jadi jelaslah bahwa Dyah Wawa adalah anak Rakryan Landheyan, dan bukan anak Dyah Tulodhong raja pendahulunya. Pergantian kekuasaan dari Dyah Tulodhong ke Dyah Wawa menimbulkan berbagai dugaan, di antaranya kemungkinan adanya perebutan kekuasaan dari tangan putra mahkota Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya oleh Dyah Wawa. Masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa berlangsung tidak lama. Masa pemerintahannya diduga berakhir karena bencana alam yang sangat dahsyat akibat letusan gunung Merapi. Bencana alam ini mungkin merusakkan ibukota Medang dan menghancurkan sebagian besar wilayah Mataram sehingga dianggap sebagai pralaya. Masa pemerintahan Dyah Wawa agaknya berakhir pada tahun 928 atau awal tahun 929, karena tidak lama setelah itu Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok tampil sebagai penguasa baru di kerajaan Mataram seperti disebutkan dalam prasasti Gulung-gulung tahun 929. Pu Sindok adalah orang yang memang mempunyai hak atas takhta kerajaan Mataram. Ketika Rake Pangkaja Dyah Wawa menjadi raja Mataram, Pu Sindok berkedudukan sebagai Rakryan Mapatih i Hino, suatu jabatan yang biasanya diduduki oleh putra mahkota yang akan mewarisi takhta kerajaan Sanjaya dalam prasastinya, yaitu prasasti Tajigunung tahun 194 Sanjayawarsa (= 910 Masehi) dan prasasti Timbananwungkal tahun 196 Sanjayawarsa (= 913 Masehi). Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti, tetapi prasastinya yang terakhir dari masa pemerintahannya berasal dari tahun 915, yaitu prasasti Sugihmanek. Pengganti Watukara Dyah Balitung ialah Rakai Layang Dyah Tulodhong yang mengeluarkan prasastinya yang pertama ialah prasasti Lintakan pada tahun 919. Sampai kapan Dyah Tulodhong memerintah tidak diketahui. Dari Masa pemerintahan Dyah Tulodhong terdapat pula sebuah prasasti yaitu prassti Wintangmas yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya dari tahun 919. Berdasarkan gelar jabatannya ia adalah orang kedua setelah raja, dan biasanya jabatan tersebut diduduki oleh putra mahkota yang akan menjadi raja sebagai pewaris atas takhta kerajaan Mataram. Namun kita tidak pernah menemukan prasasti lain yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya sampai munculnya prasasti Wulakan dari Sri Maharaja Dyah Wawa tahun 928. Sanjaya dalam prasastinya, yaitu prasasti Tajigunung tahun 194 Sanjayawarsa (= 910 Masehi) dan prasasti Timbananwungkal tahun 196 Sanjayawarsa (= 913 Masehi). Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti, tetapi prasastinya yang terakhir dari masa pemerintahannya berasal dari tahun 915, yaitu prasasti Sugihmanek. Pengganti Watukara Dyah Balitung ialah Rakai Layang Dyah Tulodhong yang mengeluarkan prasastinya yang pertama ialah prasasti Lintakan pada tahun 919. Sampai kapan Dyah Tulodhong memerintah tidak diketahui. Dari Masa pemerintahan Dyah Tulodhong terdapat pula sebuah prasasti yaitu prassti Wintangmas yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya dari tahun 919. Berdasarkan gelar jabatannya ia adalah orang kedua setelah raja, dan biasanya jabatan tersebut diduduki oleh putra mahkota yang akan menjadi raja sebagai pewaris atas takhta kerajaan Mataram. Namun kita tidak pernah menemukan prasasti lain yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya sampai munculnya prasasti Wulakan dari Sri Maharaja Dyah Wawa tahun 928. Dalam prasasti Wulakan tahun 928 muncul seorang raja yang bernama Rakai Sumba Dyah Wawa, yang menyebut dirinya anak kryan landheyan sang lumah ring alas. Kryan Landheyan adalah tokoh yang disebutkan dalam prasasti Wuatantija tahun 880 dengan nama Rakryan Landheyan, yaitu adik ipar raja Rakai Kayuwangi. Jadi jelaslah bahwa Dyah Wawa adalah anak Rakryan Landheyan, dan bukan anak Dyah Tulodhong raja pendahulunya. Pergantian kekuasaan dari Dyah Tulodhong ke Dyah Wawa menimbulkan berbagai dugaan, di antaranya kemungkinan adanya perebutan kekuasaan dari tangan putra mahkota Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya oleh Dyah Wawa. Masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa berlangsung tidak lama. Masa pemerintahannya diduga berakhir karena bencana alam yang sangat dahsyat akibat letusan gunung Merapi. Bencana alam ini mungkin merusakkan ibukota Medang dan menghancurkan sebagian besar wilayah Mataram sehingga dianggap sebagai pralaya. Masa pemerintahan Dyah Wawa agaknya berakhir pada tahun 928 atau awal tahun 929, karena tidak lama setelah itu Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok tampil sebagai penguasa baru di kerajaan Mataram seperti disebutkan dalam prasasti Gulung-gulung tahun 929. Pu Sindok adalah orang yang memang mempunyai hak atas takhta kerajaan Mataram. Ketika Rake Pangkaja Dyah Wawa menjadi raja Mataram, Pu Sindok berkedudukan sebagai Rakryan Mapatih i Hino, suatu jabatan yang biasanya diduduki oleh putra mahkota yang akan mewarisi takhta kerajaan. 2.2. Kerajaan Mataram di Jawa Timur: Dinasti Isyana (Īśānawangśa) Sejak masa pemerintahan Pu Sindok pusat kerajaan Mataram telah dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ia membangun kembali kerajaan Mataram dan mendirikan kedatonnya di ibukotanya yang baru di Tamwlang, seperti disebutkan dalam prasasti Turyyan tahun 929. Perpindahan ibukota dari Jawa Tengah ke Jawa T imur itu dilakukan karena keadaan ibukota dan wilayah kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran (pralaya) akibat bencana alam dari letusan gunung Merapi yang sangat dahsyat. Sesuai dengan landasan kosmogoni, maka kerajaan Mataram di Jawa Timur itu dianggap sebagai dunia baru yang dibangun dengan ibukota dan kadaton baru, tempat pemujaan yang baru dan diperintah oleh wangsa yang baru pula. Maka walaupun sebenarnya Pu Sindok masih anggota wangsa Sailendra dan kerajaannya di Jawa Timur itu masih kerajaan Mataram, ia merupakan pendiri wangsa baru, yaitu wangsa Isyana (Īśānawangśa). Dalam prasasti-prasastinya ia disebutkan bergelar Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isyanawikrama Dharmmottunggadewa yang memerintah pada tahun 929-948. Pu Sindok digantikan oleh anak perempuannya yang bernama Sri Isyana Tunggawijaya yang bersuamikan Sri Lokapala. Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti. Sepeninggalnya ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sri Makutawangsawarddhana. Ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Sri Mahendradatta Gunapriyadharmmapatni yang bersuamikan Sri Dharmma Udayana, seorang raja Bali, dan seorang anak laki-laki bernama Sri Dharmmawangsa Tguh. Dari perkawinan Mahendradatta dengan Udayana lahirlah di antaranya seorang anak bernama Airlangga. Sri Makutawangsawarddhana kemudian digantikan oleh Sri Dharmmawangsa Tguh, yang memerintah sekitar tahun 991- 1017. Masa pemerintahannya berakhir dengan tragis, mengalami keruntuhan karena serangan seorang raja bawahannya. Di dalam prasasti Pucangan dari raja Airlangga tahun 1041, disebutkan bahwa penyerangan itu dilakukan oleh raja Wurawari dari Lwaram pada tahun 1017 tidak lama setelah perkawinan putri Dharmmawangsa Tguh dengan Airlangga. Dalam serangan itu raja Dharmmawangsa Tguh gugur bersama para pembesar kerajaan. Dharmmawangsa Airlangga bersama pengiringnya dapat menyelamatkan diri dari serangan musuh dan mengungsi ke hutan di lereng gunung di lingkungan para pertapa. Pada tahun 1019 ia direstui oleh para pendeta Siwa, Buddha dan Mahabrahmana sebagai raja dengan gelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Masa pemerintahan raja Airlangga dipenuhi dengan peperangan menaklukkan kembali raja-raja bawahan. Pada masa pemerintahannya raja Airlangga berusaha pula untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, dengan membangun sarana keairan untuk meningkatkan perekonomian di antaranya dengan membangun waduk, kanal, bendungan dan tanggul. Dari permaisurinya Airlangga mempunyai empat orang anak. Anak yang tertua seorang perempuan benama Sri Sanggramawijaya-uttunggadewi. Ia ditahbiskan menjadi putri mahkota, namun kemudian melepaskan kedudukannya dan memilih menjadi seorang pertapa (bhiksuni).