Anda di halaman 1dari 25

Tugas Ujian Praktek IPS Tentang Kerajaan

Hindu Buddha

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

Royuki Glebova Sitio


IX-4
No urut: 24
Kelompok B
Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno adalah kerajaan Hindu-Buddha yang berdiri di Jawa


Tengah bagian selatan pada abad ke-8, kemudian pindah ke Jawa Timur pada
abad ke-10. Di Jawa Tengah, letak Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan
terletak di Bhumi Mataram (sebutan lama untuk Yogyakarta). Kerajaan
bercorak Hindu-Buddha ini berdiri dari tahun 752 M hingga 1045 M.
Latar belakang berdirinya kerajaan mataram kuno diwarnai oleh balas dendam
dan perebutan kekuasaan. Raja pertama kerajaan tersebut, Sanjaya adalah
keponakan raja yang memerintah di jawa, Sanna, dari kerajaan Galuh. Saat itu
kerajaan tersebut mengalami kekacauan apalagi raja Sanna sempat
digulingkan terlebih dahulu oleh saudaranya Purbasora. Sanjaya, yang dibawa
lari ibunya bersama Sanna, ke Kerajaan Sunda, berniat menuntut balas atas
Purbasora dan keluarganya. Sebuah niat yang berhasil diwujudkan setelah dia
menjadi Raja Sunda (istrinya adalah anak dari Raja Sunda, Tarusbawa) dan
mendapat dukungan penuh dari kerajaan di jawa barat tersebut. Setelah itu,
Sanjaya kembali ke Jawa Tengah dan mewarisi wilayah kerajaan dari ibunya,
yang merupakan saudara Raja Galuh, Sanna di Mataram. Maka, berdirilah
kerajaan yang juga disebut Medang tersebut di tahun 752 M.
Pendiri Kerajaan Mataram Kuno adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya yang
berkuasa antara 732-760 masehi. Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada tahun
732 masehi dan runtuh pada 1007 masehi. Selama hampir tiga abad berkuasa,
terdapat tiga dinasti yang memerintah, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti
Syailendra (di Jawa Tengah), serta Dinasti Isyana (di Jawa Timur).
Kerajaan Mataram Kuno mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan
Raja Balitung (898 -910 M). Dimasa kekuasaannya, daerah-daerah di sebelah
timur Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh Karena itu, daerah kekuasaan
Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang
(Jawa Timur).

Raja Raja Kerajaan Mataram Kuno

a.Raja Sanjaya
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang
periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang
memerintah dari tahun 732 – 760 Masehi. Namanya dikenal melalui prasasti
Canggal dan prasasti Mantyasih, serta naskah Carita Parahyangan.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732 yang
berisi tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja
Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing
reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.
Pada zaman Kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan
lama di samping gelar sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan
prasasti Mantyasih (907) adalah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung
Dharmodaya Mahasambhu.
Gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Disebutkan pula di prasasti Mantyasih bahwa Sanjaya adalah raja pertama
yang bertakhta di Kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu (‘’rahyangta
rumuhun i Medang i Pohpitu’’). Dengan demikian, Pohpitu adalah ibu kota
Kerajaan Medang yang dibangun oleh Sanjaya, tetapi di mana letaknya belum
bisa dipastikan sampai saat ini.

b.Raja Rakai Panangkaran


Raja Rakai Pangangkaran adalah raja kedua Kerajaan Medang periode Jawa
Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Ia memerintah sekitar
tahun 770-an. Periode pemerintahannya menandai dimulainya kegairahan
membangun berbagai candi beraliran Buddha Mahayana di Dataran
Prambanan; antara lain Tarabhavanam, Abhayagirivihara, dan Manjusrigrha.
Maharaja Rakai Panangkaran menempati urutan kedua dalam daftar raja-raja
Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih. Namanya ditulis setelah Sanjaya,
yang diyakini sebagai pendiri kerajaan tersebut. Prasasti ini dikeluarkan oleh
Maharaja Dyah Balitung pada tahun 907, atau ratusan tahun sejak masa
kehidupan Rakai Panangkaran.
Sementara itu, prasasti yang berasal dari zaman Rakai Panangkaran adalah
prasasti Kalasan tahun 778. Prasasti ini merupakan piagam peresmian
pembangunan sebuah candi Buddha bernama Tarabhavanam (Buana Tara)
untuk memuja Dewi Tara. Pembangunan ini atas permohonan para guru raja
Sailendra. Dalam prasasti itu Rakai Panangkaran dipuji sebagai
Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Candi yang didirikan
oleh Rakai Panangkaran tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Candi
Kalasan.
Periode pemerintahannya ditandai dengan giatnya pembangunan candi-candi
beraliran Buddha Mahayana di kawasan Dataran Prambanan. Selain candi
Kalasan, berapa candi yang diperkirakan dibangun atas prakarsa Rakai
Panangkaran antara lain Candi Sari yang dikaitkan sebagai wihara pendamping
Candi Kalasan, Candi Lumbung, Prasada Vajrasana Manjusrigrha (Candi Sewu),
dan Abhayagiri Vihara (kompleks Ratu Boko).

c.Raja Rakai Panunggalan


Dharanindra, atau kadang disingkat Indra, adalah seorang raja dari Wangsa
Sailendra yang memerintah sekitar tahun 782. Namanya ditemukan dalam
prasasti Kelurak dengan disertai gelar Sri Sanggrama Dhananjaya. Tokoh ini
dipercaya telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan Wangsa Sailendra
sampai ke Semenanjung Malaya dan daratan Indocina.
Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra sebagai raja Jawa telah
berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, termasuk daerah bawahannya di
Semenanjung Malaya, yaitu Ligor. Prasasti Ligor B ditulis olehnya sebagai
pertanda bahwa Wangsa Sailendra telah berkuasa atas Sriwijaya. Prasasti ini
berisi puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu. Daerah Ligor
kemudian dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Campa
tahun 787 dan juga Kamboja.
Penaklukan terhadap Sriwijaya, Ligor, Campa, dan Kamboja ini sesuai dengan
julukan Dharanindra, yaitu "penumpas musuh-musuh perwira". Kamboja
sendiri akhirnya berhasil merdeka di bawah pimpinan Jayawarman tahun 802.
Mungkin saat itu Dharanindra telah meninggal dunia.

d.Raja Rakai Warak


Sri Maharaja Rakai Warak adalah raja keempat Kerajaan Medang periode Jawa
Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno) yang memerintah sekitar
tahun 800-an. Nama ini ditemukan dalam daftar raja-raja Medang dalam
prasasti Mantyasih.
Sri Maharaja Rakai Warak menempati urutan keempat dalam daftar para raja
Kerajaan Medang yang ditemukan pada prasasti Mantyasih. Namanya disebut
sesudah Rakai Panunggalan dan sebelum Rakai Garung.
Istilah Rakai Warak sendiri bukan nama asli karena nama ini bermakna “kepala
daerah Warak”. Siapa nama aslinya tidak diketahui dengan pasti karena
peninggalan sejarah atas nama tokoh ini sangatlah minim ditemukan. Satu-
satunya prasasti yang menyebut adanya tokoh bernama Rakai Warak hanyalah
prasasti Mantyasih (907)yang baru ditulis puluhan tahun setelah kematiannya.
Sepeninggal Dharanindra, putranya yang bernama Samaragrawira naik takhta.
Meskipun ia dipuji sebagai pahlawan perkasa dalam prasasti Nalanda, tetapi
raja baru ini mungkin tidak sekuat ayahnya. Hal itu terbukti dengan
ditemukannya prasasti Po Ngar yang menceritakan bahwa, Kamboja berhasil
melepaskan diri dari penjajahan Jawa pada tahun 802. Saat itu Dharanindra
kemungkinan sudah meninggal, sedangkan Samaragrawira sebagai raja baru
tidak mampu menaklukkan negeri itu kembali.
Atas dasar tersebut, pada akhir pemerintahan Samaragrawira, kekuasaan
Wangsa Sailendra pun dibagi menjadi dua agar pengawasannya lebih mudah.
Pada umumnya teori yang berkembang menyebutkan bahwa, sepeninggal
Samaratungga terjadi perebutan takhta Jawa antara kedua anaknya, yaitu
Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Teori ini mengatakan, bahwa
Rakai Pikatan suami Pramodawardhani berhasil mengusir Balaputradewa dari
benteng persembunyiannya di bukit Ratu Baka.lau Jawa, serta Balaputradewa
di pulau Sumatra.

e.Raja Rakai Garung


Rakai Garung adalah raja Kerajaan Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya yang
berkuasa di Kerajaan Medang antara tahun 828 sampai dengan 847. Dalam
Prasasti Mantyasih, nama gelarnya ialah Sri Maharaja Rakai Garung. Dalam
Prasasti Wanua Tengah III (908), ia memerintah antara 24 Januari 828 s.d. 5
Agustus 847. Ia adalah raja setelah Dyah Gula dan sebelum Rakai Pikatan.
Prasasti tertua yang dikeluarkan Rakai Garung ialah Prasasti Pengging (819).
Dalam prasasti ini, namanya disebut sebagai Rakaryan i Garung, dan masih
belum bergelar sri maharaja. Ia mungkin adalah pejabat tinggi sebelum naik
tahta, serta adalah anak atau saudara dari raja-raja sebelumnya.

f.Raja Rakai Pikatan


Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Nama
aslinya menurut Prasasti Argapura adalah Mpu Manuku. Pada Prasasti
Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan.
Kemudian pada Prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan
dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan
menjadi Rakai Pikatan.
Akan tetapi, pada prasasti Tulang Air tahun 850 Mpu Manuku kembali bergelar
Rakai Patapan. Sedangkan menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah
meninggal sebelum tahun 832. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi
tanggung jawab Mpu Manuku, meskipun saat itu ia sudah menjadi maharaja.
Tradisi seperti ini memang berlaku dalam sejarah Kerajaan Medang di mana
seorang raja mencantumkan pula gelar lamanya sebagai kepala daerah,
misalnya Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung.
Samaragrawira adalah raja Kerajaan Sriwijaya. Teori populer yang dirintis oleh
sejarawan Krom menyebutkan bahwa, Samaragrawira identik dengan
Samaratungga sehingga secara otomatis, Balaputradewa adalah saudara
Pramodawardhani.
Dalam prasasti Wantil disebutkan bahwa Sang Jatiningrat alias Rakai Pikatan
berperang melawan musuh yang membangun pertahanan berupa timbunan
batu di atas bukit. Musuh tersebut dikalahkan oleh Dyah Lokapala putra
Jatiningrat. Dalam prasasti itu terdapat istilah Walaputra, yang ditafsirkan
sebagai Balaputradewa. Akibatnya, muncul teori bahwa telah terjadi perang
saudara memperebutkan takhta sepeninggal Samaratungga yang berakhir
dengan kekalahan Balaputradewa.

g.Raja Rakai Karuwangi


Rakai Garung adalah raja Kerajaan Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya yang
berkuasa di Kerajaan Medang antara tahun 828 sampai dengan 847. Dalam
Prasasti Mantyasih, nama gelarnya ialah Sri Maharaja Rakai Garung. Dalam
Prasasti Wanua Tengah III (908), ia memerintah antara 24 Januari 828 s.d. 5
Agustus 847. Ia adalah raja setelah Dyah Gula dan sebelum Rakai Pikatan.
Prasasti tertua yang dikeluarkan Rakai Garung ialah Prasasti Pengging (819).
Dalam prasasti ini, namanya disebut sebagai Rakaryan i Garung, dan masih
belum bergelar sri maharaja. Ia mungkin adalah pejabat tinggi sebelum naik
tahta, serta adalah anak atau saudara dari raja-raja sebelumnya.
De Casparis menyamakan Rakai Garung dengan tokoh Dang Karayan Partapan
Pu Palar yang tertulis di Prasasti Gandasuli (832). Dalam prasasti itu, Dang
Karayan lah yang mengadakan upacara sima. Nama Rakaryan Patapan Pu Palar
juga ditemukan dalam Prasasti Karangtengah (824), bersamaan dengan
penyebutan Pramodawardhani dan Samaratungga. Pramodhawardhani
dianggap de Casparis sama dengan Sri Kaluhunnan. Oleh karena itu, ia
menganggap bahwa Pramodawardhani adalah menantu Rakai Garung yang
menikah dengan Rakai Pikatan.

h.Raja Watuhumalang
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang adalah raja kedelapan Kerajaan Medang
periode Jawa Tengah yang memerintah sekitar tahun 890-an.
Rakai Watuhumalang menjadi raja kedelapan menggantikan Rakai Kayuwangi.
Prasasti tersebut dikeluarkan tahun 907 oleh Dyah Balitung, yaitu raja sesudah
Rakai Watuhumalang.
Rakai Watuhumalang sendiri tidak meninggalkan prasasti atas nama dirinya.
Sementara itu prasasti Panunggalan tanggal 19 November 896 menyebut
adanya tokoh bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar
maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan).
Rakai Watuhumalang memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap)
dan menantu bernama Dyah Balitung (prasasti Mantyasih). Dyah Balitung
inilah yang mungkin berhasil menjadi pahlawan dalam menaklukkan Rakai
Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga takhta pun jatuh kepadanya
sepeninggal Rakai Watuhumalang.

i.Raja Watukura
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu
adalah raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut
Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 899–911. Wilayah
kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.
Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak lagi
berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah dipindahkan
ke daerah Poh Pitu yang diberi nama Yawapura. Hal ini dimungkinkan karena
istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai Pikatan) telah rusak akibat
perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi.
Prasasti tertua atas nama Balitung yang berhasil ditemukan adalah Prasasti
Telahap tanggal 11 September 899. Namun bukan berarti ini adalah prasasti
pertamanya, atau dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah naik takhta
sebelum tahun 899.
Prasasti Taji beetarikh 823 Saka (901 M) berisi tentang peresmian tanah di
wilayah Taji menjadi daerah perdikan untuk bangunan suci “kuil Dewasabhā“
dan sawah di Taji dijadikan daerah perdikan untuk kuil itu oleh Rakryān Watu
Tihang Pu Sanggrāma dhurandhara atas perintah Srī Mahārāja Rake Watukura
Dyah Balitung.
j.Raja Mpu Daksa
Mpu Daksa adalah raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim
disebut Kerajaan Mataram Kuno yang memerintah sekitar tahun 913–919,
bergelar Sri Maharaja Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya Uttunggawijaya.
Prasasti tertua atas nama Daksa sebagai maharaja yang sudah ditemukan
adalah prasasti Timbangan Wungkal yang mencantumkan tahun 196
Sanjayawarsa atau 913 Masehi.[2] Isinya tentang pengaduan Dyah Dewa, Dyah
Babru, dan Dyah Wijaya yang dulu mendapatkan hak istimewa dari Rakai
Pikatan, tetapi kemudian dipermasalahkan oleh Dang Acarya Bhutti yang
menjabat sebagai Sang Pamgat Mangulihi.
Selain itu ditemukan pula Prasasti Ritihang tanggal 13 September 914 tentang
persembahan hadiah dari Mpu Daksa untuk permaisurinya, dan Prasasti Er
Kuwing membebaskan desa di Poh Galuh dan Er Kuwing untuk bhaţāra di
Barāhāśrama di Serayu dari pajak-pajak yang membebani desa tersebut.

k.Raja Rakai Layang Dyah Tulodong


Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmatanuraga
Uttunggadewa atau disingkat Dyah Tulodong atau Tlodhong adalah raja
Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno),
yang memerintah sekitar tahun 919–924.
Dyah Tulodong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti
Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang
namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan
Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama
dengan Dyah Tulodhong.
Prasasti Palebuhan tanggal April 927 menyebut adanya raja baru bernama Sri
Maharaja Pu Wagiswara. Ia diyakini sebagai raja pengganti Dyah Tulodong
namun tak berlangsung lama. Sedangkan Sri Ketudhara Manimantaprabha
Prabhusakti yang tercatat dalam Prasasti Harinjing (921 M) sebagai Rakryan
Mapatih Hino tidak diketahui lagi nasib dan keberadaannya.
l.Raja Rakai Sumba Dyah Wawa
Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga adalah raja
terakhir Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan
Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 928–929.
Dyah Wawa naik takhta menggantikan Sri Maharaja Pu Wagiswara. Nama
Rakai Sumba tercatat dalam prasasti Culanggi tanggal 7 Maret 927, menjabat
menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai
pengadilan. Selain bergelar Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai
Pangkaja.
Peninggalan sejarah Dyah Wawa tertua adalah Prasasti Wulakan Februari (928
M), berupa anugrah sima di wulakan, Prasasti Kinawe (928 M) anugrah sima di
kinawe dan prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928 tentang penetapan desa
Sangguran sebagai sima swatantra (daerah otonom) agar penduduknya ikut
serta merawat bangunan suci di daerah Kajurugusalyan.

m.Raja Mpu Sindok


Mpu Sindok atau Sindok)) adalah raja terakhir dari dinasti Sanjaya yang
memerintah Kerajaan Medang (dikenal pula sebagai Mataram (Hindu)) dan
berkuasa dari sekitar 928 atau 929 Masehi. Sindok dikenal sekali dalam sejarah
Nusantara karena meninggalkan banyak prasasti dari masanya, dan karena
ialah yang memindahkan pusat kekuasaan kerajaan Medang dari bumi
Mataram di Jawa bagian tengah ke Jawa bagian timur, kemungkinan besar
pada tahun 929 M. Pemicu perpindahan ini memiliki dasar macam-macam, dua
dugaan yang terkuat adalah sebagai akibat dari letusan Gunung Merapi
dan/atau invasi dari Sriwijaya. Ia menjadi raja pertama Kerajaan Medang
periode Jawa Timur yang memerintah sekitar tahun 929 – 947.
Pusat kerajaan yang baru ada di Watugaluh, di tepi Sungai Brantas, sekarang
masuk wilayah Kabupaten Jombang. Sindok juga merupakan pendiri Wangsa
Isana, dan dengan demikian kerajaan baru ini terkadang juga disebut sebagai
"Ishana". Sebuah prasasti yang saat ini berada di museum Kolkata, India,
menggambarkan keturunan Sindok hingga Airlangga, pada abad ke-11 Masehi.
Sindok memiliki dua istri, salah satunya, Sri Parameswari Dyah Kbi,
kemungkinan adalah putri Dyah Wawa, raja Mataram sebelumnya. Dengan
demikian, Sindok berhasil naik takhta Mataram karena pernikahannya.
Pada masa pemerintahannya, Kakawin Ramayana dan Sanghyang
Kamahayanikan dituliskan. Pemerintahan Sindok kemudian digantikan oleh
putrinya, Sri Isanatungawijaya.

n.Raja Sri Lokapala


Sri Isyana Tunggawijaya adalah raja perempuan Kerajaan Medang yang
memerintah sejak tahun 947. Ia memerintah berdampingan dengan suaminya
yang bernama Sri Lokapala. Namanya diambil menjadi dasar nama Wangsa
Isyana, sebuah dinasti yang didirikan oleh ayahnya, Mpu Sindok yang
memerintah di Jawa Timur.
Sri Isyana Tunggawijaya merupakan putri dari Mpu Sindok, yaitu raja yang
telah memindahkan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa
Timur. Tidak banyak diketahui tentang masa pemerintahannya. Suaminya yang
bernama Sri Lokapala merupakan seorang bangsawan dari pulau Bali.
Tidak diketahui dengan pasti kapan pemerintahan Sri Lokapala dan Sri Isyana
Tunggawijaya berakhir. Menurut prasasti Pucangan, yang menjadi raja
selanjutnya adalah putra mereka yang bernama Sri Makuthawangsawardhana.

o.Raja Makuthawangsawardhana
Sri Makutawangsawardhana adalah raja Kerajaan Medang yang memerintah
sebelum tahun 990-an.
Jalannya pemerintahan Makutawangsawardhana tidak diketahui dengan pasti.
Namanya hanya ditemukan dalam Prasasti Pucangan sebagai kakek Airlangga.
Disebutkan bahwa, Makutawangsawardhana adalah putra pasangan Sri
Lokapala dan Sri Isana Tunggawijaya putri Mpu Sindok.
Prasasti Pucangan juga menyebut Makutawangsawardhana memiliki putri
bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga. Dalam prasasti itu juga
disebut adanya nama seorang raja bernama Dharmawangsa, tetapi
hubungannya dengan Makutawangsawardhana tidak dijelaskan.
Prasasti Wwahan berangka tahun 907 Saka (985 M) di duga masih peninggalan
Makutawangsawardhana, sedangkan Dharmawangsa Teguh baru memerintah
tahun 991. Airlangga mengaku sebagai anggota keluarganya. Berdasarkan hal
itu, para sejarawan pun sepakat bahwa Dharmawangsa adalah saudara dari
Mahendradatta, dan keduanya merupakan anak dari Makutawangsawardhana.
Teori yang berkembang ialah, Makutawangsawardhana memerintah sampai
tahun 991, dan digantikan oleh putranya yang bernama Dharmawangsa.
Sedangkan putrinya yang bernama Mahendradatta menikah dengan raja Bali
bernama Udayana dan kemudian melahirkan Airlangga.

p.Raja Dharmawangsa Teguh


Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa adalah
raja terakhir Kerajaan Medang yang memerintah pada tahun 991–1007.
Prasasti Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yang
menyebut dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan
pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana
raja Bali. Adapun Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari
Wangsa Isana. Airlangga sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa.
Dharmawangsa juga memiliki putri yang diperistri oleh Sri Jayabhupati dari
Kerajaan Sunda.
Pada musim semi tahun 992 duta San-fo-tsi tersebut mencoba pulang namun
kembali tertahan di Campa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar
Song supaya menyatakan bahwa San-fo-tsi berada dalam perlindungan
Tiongkok.
Utusan Cho-po juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang
naik takhta tahun 991. Raja baru tersebut diduga kuat adalah Dharmawangsa
Teguh. Dengan demikian, dari berita Tiongkok tersebut dapat diketahui kalau
pemerintahan Dharmawangsa dimulai sejak tahun 991.
Kerajaan Medang berhasil menguasai Palembang tahun 992, tetapi pasukan
Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung
Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap
Sumatra.
Penyebab Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno mengalami keruntuhan dikarenakan oleh beberapa


faktor berikut :

 Letusan gunung berapi menyebabkan istana yang telah dibuat


mengalami kerusakan.
Letak kerajaan Mataram Kuno awalnya adalah di daerah Jawa Tengah yang
memiliki banyak gunung aktif. Letusan gunung berapi membuat istana
kerajaan mengalami kerusakan.

 Adanya kekosongan jabatan di akhir kerajaan


Di akhir masa kepemimpinan raja terakhir dari Mataram Kuno, ia tidak
memiliki pewaris tahta sehingga jabatan terpaksa diberikan kepada
penasihatnya yaitu Mpu Sindok. Mpu Sindok inilah kemudian memindahkan
ibukota ke Jawa Timur.

 Keadaan ekonomi yang terus menurun


Keadaan ekonomi yang terus menurun dari akibat menanggulangi kerusakan
akibat letusan gunung berapi, membuat negara ini perlahan mulai runtuh.

 Kekhawatiran akan kembalinya Sriwijaya untuk menyerang


Pada saat dipimpin oleh Rakai Pikatan, kerajaan Mataram Kuno berhasil
membendung serangan Kerajaan Sriwijaya dan pasukan Sriwijaya terpaksa
mundur. Dikhawatirkan, keadaan Mataram Kuno yang semakin memburuk
membuat Sriwijaya kembali menyerang Mataram Kuno. Oleh karena itu, Mpu
Sindok juga mengubah nama Kerajaan Mataram Kuno menjadi Medang
Kamulan.
Peninggalan Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

1.Candi Borobudur

Candi Borobudur merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang sangat


terkenal di Indonesia, bahkan dunia. Sebagai candi Buddha terbesar di
Indonesia, Borobudur terdiri dari 10 tingkat dengan tinggi mencapai 42 meter.
Bagian dasarnya disebut Kamadhatu, empat tingkat di atasnya disebut
Rupadhatu, dan bagian paling atas disebut Arupadhatu. Pada setiap tingkatan,
terdapat relief-relief indah yang mencerminkan ajaran sang Buddha. Candi
Borobudur dibangun pada masa Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra.
Konon katanya, candi yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, ini selesai
dibangun pada 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak awal
pembangunannya. adalah sebuah candi buddha yang terletak di
borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia Candi ini terletak kurang lebih
100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan
40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi dengan banyak stupa ini
didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-
anMasehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah
candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus salah satu monumen
Buddha terbesar di dunia.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya
terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672
panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur memiliki koleksi
relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa utama terbesar teletak
di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan
melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah
duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
2.Candi Sewu

Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi
Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi
Borobudur dan Prambanan. Meskipun aslinya memiliki 249 candi, oleh
masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam
bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.
Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa
Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti
Manjusrigrha yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama
asli candi ini adalah ”Prasada Vajrasana Manjusrigrha”. Istilah Prasada
bermakna candi atau kuil, sementara Vajrajasana bermakna tempat Wajra
(intan atau halilintar) bertakhta, sedangkan Manjusri-grha bermakna Rumah
Manjusri. Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran buddha. Candi
Sewu diperkirakan dibangun pada abad ke-8 masehi pada akhir masa
pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746–784) adalah raja
yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno.
Candi ini rusak parah akibat gempa pada bulan Mei 2006 di Yogyakarta dan
Jawa Tengah bagian selatan. Kerusakan struktur bangunan sangat nyata dan
candi utama menderita kerusakan paling parah. Pecahan batu candi
berserakan di atas tanah, retakan dan rekahan antar sambungan batu terlihat.
Untuk mencegah keruntuhan bangunan, kerangka besi dipasang di keempat
sudut bangunan untuk menunjang dan menahan tubuh candi utama.
3.Candi Arjuna

Candi Arjuna adalah sebuah bangunan candi Hindu yang terletak di Dataran
Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia. Candi Arjuna
merupakan salah satu bangunan candi di Kompleks Percandian Arjuna, Dieng.
Candi Arjuna diperkirakan sebagai candi tertua, candi ini diperkirakan dibangun
pada abad 8 Masehi oleh Dinasti Sanjaya dari Mataram Kuno. Di kompleks ini
juga terdapat Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi
Sembadra. Candi Arjuna terletak paling utara dari deretan percandian di
kompleks tersebut. Sementara itu, Candi Semar adalah candi perwara atau
pelengkap dari Candi Arjuna. Kedua bangunan candi ini saling
berhadapan.Seperti umumnya candi-candi di Dieng, masyarakat memberikan
nama tokoh pewayangan Mahabarata sebagai nama candi.
Di bagian dalam candi ini terdapat ruang untuk menaruh sesaji, atau yang biasa
disebut dengan yoni. Yoni tersebut berbentuk segi empat dengan bentuk mirip
seperti meja, di mana di bagian atas lebih menjorok keluar. Di bagian atas
terdapat lubang yang juga berbentuk segi empat, di mana lubang ini berfungsi
untuk menampung air dari atap candi. Apabila air di lubang ini sudah penuh,
air akan mengalir melalui jalur yang sudah disediakan, lalu dialirkan menuju
bagian lingga yang kemudian dialirkan menuju bagian luar candi.
Lingkungan sekitar candi juga kurang mendukung pemeliharaan. Lahannya
sudah lama digarap penduduk untuk lahan pertanian tanaman kentang, sayur-
mayur, dan bunga-bungaan.
Saat ini, para wisatawan yang mengunjungi Candi Arjuna atau juga candi-candi
lainnya tak akan menjumpai arca atau patung yang biasa dijumpai di dalam
candi. Sebagian besar arca-arca tersebut disimpan di Museum Kailasa.
4.Candi Bima

Candi Bima adalah salah satu peninggalan purbakala di kawasan Dataran Tinggi
Dieng.
Candi ini berada di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten
Banjarnegara, Jawa Tengah,candi ini terletak paling selatan di kompleks
Percandian Dieng.
Pintu masuk berada di sisi timur. Candi ini cukup unik dibanding dengan candi-
candi lain, baik di Dieng maupun di Indonesia pada umumnya, karena
kemiripan arsitekturnya dengan beberapa candi di India. Bagian atapnya mirip
dengan shikara dan berbentuk seperti mangkuk yang ditangkupkan. Pada
bagian atap terdapat relung dengan relief kepala yang disebut dengan kudu.
Candi ini berada dalam kondisi buruk, antara lain karena beberapa kali kasus
pencurian arca Kudu yang unik pada bagian atap tersebut serta rusak akibat
solfatara dari Kawah Sikidang.
Pada tahun 2012, Candi Bima kembali dipugar oleh Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Pemugaran dilakukan karena susunan
batuan candi sudah banyak yang lapuk dan bergeser akibat dimakan usia dan
terkena getaran,juga karena terdapat rongga yang dapat menyebabkan
amblesnya bangunan.
5.Candi Kalasan

Candi Kalasan merupakan sebuah Bangunan Cagar Budaya yang dikategorikan


sebagai candi umat Buddha. Candi ini terletak di Desa Tirtomartani, Kecamatan
Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
Candi ini memiliki 52 stupa dan berada di sisi selatan jalan raya antara
Surakarta dan Jogja serta sekitar 2 km dari candi Prambanan.
Pada awalnya hanya candi Kalasan ini yang ditemukan pada kawasan situs ini,
namun setelah digali lebih dalam maka ditemukan lebih banyak lagi bangunan
bangunan pendukung di sekitar candi ini. Selain candi Kalasan dan bangunan -
bangunan pendukung lainnya ada juga tiga buah candi kecil di luar bangunan
candi utama, berbentuk stupa.
Berdasarkan prasasti Kalasan bertarikh 778 yang ditemukan tidak jauh dari
candi ini menyebutkan tentang pendirian bangunan suci untuk menghormati
Bodhisattva wanita, Tarabhawana dan sebuah vihara untuk para
pendeta.Penguasa yang memerintah pembangunan candi ini bernama
Maharaja Tejapurnapana Panangkaran (Rakai Panangkaran) dari keluarga
Syailendra. Kemudian dengan perbandingan dari manuskrip pada prasasti
Kelurak tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan Dharanindra atau dengan
prasasti Nalanda adalah ayah dari Samaragrawira. Sehingga candi ini dapat
menjadi bukti kehadiran Wangsa Syailendra.
Dalam Prasasti Kalasan berhuruf Pre Nagari, berbahasa Sanskerta ini
menyebutkan para guru sang raja Tejapurnapana Panangkaran dari keluarga
Syailaendra berhasil membujuk raja untuk membuat bangunan suci bagi Dewi
Tara beserta biaranya bagi para pendeta sebagai hadiah dari Sangha.
6.Candi Plaosan

Candi Plaosan terletak kira-kira satu kilometer ke arah timur-laut dari Candi
Sewu atau Candi Prambanan. Adanya kemuncak stupa, arca Buddha, serta
candi-candi perwara (pendamping/kecil) yang berbentuk stupa menandakan
bahwa candi-candi tersebut adalah candi Buddha. Kompleks ini dibangun pada
abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan pada zaman Kerajaan
Medang, atau juga dikenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno.
Kompleks Candi Plaosan terdiri atas Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul.
Pada masa lalu, Kompleks percandian ini dikelilingi oleh parit berbentuk
persegi panjang. Sisa struktur tersebut masih bisa dilihat sampai saat ini di
bagian timur dan barat candi.
Kompleks Candi Plaosan Lor memiliki dua candi utama. Candi yang terletak di
sebelah kiri (di sebelah utara) dinamakan Candi Induk Utara dengan relief yang
menggambarkan tokoh-tokoh wanita, dan candi yang terletak di sebelah kanan
(selatan) dinamakan Candi Induk Selatan dengan relief menggambarkan tokoh-
tokoh laki-laki. Di bagian utara kompleks terdapat masih selasar terbuka
dengan beberapa arca buddhis. Kedua candi induk ini dikelilingi oleh 116 stupa
perwara serta 50 buah candi perwara, juga parit buatan.
Pada masing-masing candi induk terdapat 6 patung/arca Dhyani Boddhisatwa.
Walaupun candi ini adalah candi Buddha, tetapi gaya arsitekturnya merupakan
perpaduan antara agama Buddha dan Hindu.
Candi Induk Selatan Plaosan Lor dipugar pada tahun 1962 oleh Dinas
Purbakala.
7.Candi Prambanan

Candi Prambanan adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang


dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti,
tiga dewa utama Hindu yaitu dewa Brahma sebagai dewa pencipta, dewa
Wisnu sebagai dewa pemelihara, dan dewa Siwa sebagai dewa pemusnah.
Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha
(bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha
(ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter
yang menunjukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Kompleks percandian Candi Prambanan secara keseluruhan berada di wilayah
provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, namun pintu administrasinya berada di
Jawa Tengah, hal ini yang membuat Candi Prambanan terletak di 2 tempat
yakni di kelurahan Bokoharjo, kapanéwon Prambanan, kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan di desa Tlogo, kecamatan Prambanan,
kabupaten Klaten, Jawa Tengah, atau kurang lebih 17 kilometer timur laut dari
kota Yogyakarta, 50 kilometer barat daya dari kota Surakarta dan 120
kilometer selatan dari kota Semarang, persis di perbatasan antara Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar
di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur
bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu
pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian
mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang
lebih kecil. Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi
Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.
8.Candi Mendut

Candi Mendut adalah Candi yang terletak di Desa Mendut, Jalan Mayor Kusen
Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar
3 kilometer dari Candi Borobudur.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti
Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi,
disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama
wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi
Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu
alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga
tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke
barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi.
Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-
stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah.Tinggi bangunan adalah
26,4 meter.
Ada beberapa Relief Relief Candi ini, antara lain:
 Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)
 Relief 2 (Angsa dan kura-kura)
 Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)
 Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)
9.Candi Pawon

Candi Pawon adalah nama sebuah candi, peninggalan Masa Klasik, yang
terletak di Dusun Brojonalan, Desa Wanurejo, Kec. Borobudur, Kabupaten
Magelang.
Letak Candi Pawon ini berada di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur,
tepat berjarak 1750 meter dari Candi Borobudur ke arah timur dan 1150 m dari
Candi Mendut ke arah barat.
Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. Ahli
epigrafi J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa
awu yang berarti 'abu', mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang
menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti
'dapur', akan tetapi de Casparis mengartikannya sebagai 'perabuan' atau
tempat abu. Penduduk setempat juga menyebutkan Candi Pawon dengan
nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata bahasa Sanskerta vajra
=yang berarti 'halilintar' dan anala yang berarti 'api'. Candi Pawon dipugar
tahun 1903.
Di dalam bilik candi ini sudah tidak ditemukan lagi arca sehingga sulit untuk
mengidentifikasikannya lebih jauh. Suatu hal yang menarik dari Candi Pawon
ini adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief
pohon hayati (kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk
setengah manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung).
10.Candi Puntadewa

Seperti candi lainnya di kelompok Candi Arjuna, ukuran Candi Puntadewa tidak
terlalu besar, namun candi ini tampak lebih tinggi. Tubuh candi berdiri di atas
batur bersusun setinggi sekitar 2,5 m. Tangga menuju pintu masuk ke dalam
ruang dalam tubuh candi dilengkapi pipi candi dan dibuat bersusun dua, sesuai
dengan batur candi. Atap candi mirip dengan atap Candi Sembadra, yaitu
berbentuk kubus besar. Puncak atap juga sudah hancur, sehingga tidak terlihat
lagi bentuk aslinya. Di keempat sisi atap juga terdapat relung kecil seperti
tempat menaruh arca.
Pintu dilengkapi dengan bilik penampil dan diberi bingkai yang berhiaskan
motif kertas tempel. Ruang dalam tubuh candi sempit dan terdapat sebuah
Yoni yang patah pada bagian ceratnya. Di ketiga sisi lainnya terdapat jendela
yang bingkainya diberi hiasan mirip dengan yang terdapat di pintu. Sekitar
setengah meter di luar kaki candi terdapat batu yang disusun berkeliling
memagari kaki candi.Di depan candi terdapat batu yang disusun berkeliling
membentuk ruangan berbentuk bujur sangkar. Di tengah ruangan terdapat
dua buah susunan tumpukan dua buah batu bulat yang puncaknya berujung
runcing. Di utara candi terdapat batu yang disusun berkeliling membentuk
ruangan berbentuk persegi panjang. Di tengah ruangan terdapat dua buah
batu berbentuk mirip tempayan yang lebar.
11.Candi Semar

Di hadapan Candi Arjuna berdiri sebuah candi yang berdenah empat persegi
panjang berukuran 7 x 3.50 meter, dengan pintu menghadap ke timur. Seperti
candi-candi lainnya, Candi Semar memiliki kaki-tubuh dan atap. Alas kaki candi
dan alas tubuh candi dihias dengan perbingkaian berupa bingkai padma (sisi
genta) dan bingkai rata. Pintu dihias dengan kala-makara, tubuh candi diberi
bidang penghias yang kosong. Atap candi bentuknya sangat unik, karena tidak
berlapis seperti halnya Candi Arjuna dan candi-candi lainnya, namun hanya
satu lapis melengkung ke atas, bentuknya seperti padma yang besar. Puncak
atap berbentu apa, sudah tidak diketahui karena telah hilang. Candi Semar ini
berfungsi sebagai candi perwara, atau candi pengiring, namun yang diletakkan
di ruangan candi tidak jelas.
Apabila dibandingkan dengan kompleks kuil di India, bangunan yang
berhadapan dengan bangunan utama, biasanya dipakai untuk menempatkan
arca Nandi, vahana (kendaraan) Siwa. Candi Semar. Candi ini letaknya
berhadapan dengan Candi Arjuna. Denah dasarnya berbentuk persegi empat
membujur arah utara-selatan. Batur candi setinggi sekitar 50 cm, polos tanpa
hiasan. Tangga menuju pintu masuk ke ruang dalam tubuh candi terdapat di
sisi timur. Pintu masuk tidak dilengkapi bilik penampil. Ambang pintu diberi
bingkai dengan hiasan pola kertas tempel dan kepala naga di pangkalnya. Di
atas ambang pintu terdapat Kalamakara tanpa rahang bawah. Pada dinding di
kiri dan kanan pintu terdapat lubang jendela kecil. Di dinding utara dan selatan
tubuh candi terdapat, masing-masing, dua lubang yang berfungsi sebagai
jendela, sedangkan di dinding barat (belakang) candi terdapat 3 buah lubang.
12.Candi Srikandi

Kelompok Candi Arjuna terletak di tengah Kawasan Candi Dieng. Kelompok


candi ini terdiri atas 5 candi yang berderet memanjang arah utara-selatan.
Candi Arjuna berada di ujung selatan, kemudian berturut-turut ke arah utara
adalah Candi Srikandi, Candi Sembadra dan Candi Puntadewa. Candi Semar
berada di depan candi Arjuna dan menghadap ke Timur. Keempat candi selain
candi Semar di kompleks ini menghadap ke barat.
Candi Srikandi terletak di selatan Candi Arjuna. Batur candi setinggi sekitar 50
cm dengan denah dasar berbentuk kubus. Di sisi timur terdapat tangga dengan
bilik penampil. Pada dinding utara terdapat pahatan yang menggambarkan
Wisnu, pada dinding timur menggambarkan Siwa dan pada dinding selatan
menggambarkan Brahma. Sebagian besar pahatan tersebut sudah rusak. Atap
candi sudah rusak sehingga tidak terlihat lagi bentuk aslinya.
Kompleks candi Arjuna terletak di koordinat antara 7°12’13.11″ LS –
7°12’20.50″ LS dan 109°54’23.80″ BT – 109°54’29.12″ BT. Kelompok candi ini
dapat dikatakan yang paling utuh dibandingkan kelompok candi lainnya di
Kawasan Dieng.

Anda mungkin juga menyukai