Anda di halaman 1dari 16

ARTIKEL SEJARAH MINAT

KERAJAAN MATARAM KUNO

Disusun oleh :

Kelompok 6

Nama Anggota :

1. Adinda Agata Setyani (01)


2. Aisyah Cahyahanifia M.(02)
3. Cindy Alifiya Fonda (11)
4. Cita Laras (12)
5. Maheswari Ariela L. (20)
6. Nafilatu Sofiya (29)

SMA NEGERI 1 BOJONEGORO

TAHUN AJARAN 2022/2023


A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-8. Pada awal
berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi, pada abad ke-10 pusat Kerajaan
Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur. Wilayah kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berada
di daerah yang dialiri sungai, seperti Sungai Progo, Bogowonto, dan Bengawan Solo yang
meliputi daerah Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Kerajaan ini sebenarnya
memiliki dua corak agama yang dianut di dalamnya, yaitu Hindu Siwa dan Buddha
Mahayana.
Berdasarkan prasasti Canggal, raja pertama Mataram Kuno adalah Sanna. Kemudian,
berasal dari Raja Sanjaya yang berasal dari Dinasti Sanjaya. Setelah Sanjaya, Mataram
diperintah oleh Panangkaran. Dari Prasasti Balitung diketahui bahwa Panangkaran bergelar
Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Raka i Panangkaran. Hal ini menunjukkan bahwa
Rakai Panangkaran berasal dari keluarga Sanjaya dan juga keluarga Syailendra.
Sepeninggal Panangkaran, Mataram Kuno terpecah menjadi dua, Mataram bercorak Hindu
dan Mataram bercorak Buddha. Wilayah Mataram-Hindu meliputi Jawa Tengah bagian utara,
diperintah oleh Dinasti Sanjaya. Sementara wilayah Mataram-Buddha meliputi Jawa Tengah
bagian selatan yang diperintah Dinasti Syailendra.
Perpecahan di Mataram ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 850, Rakai Pikatan dari
Wangsa Sanjaya mengadakan perkawinan politik dengan Pramodhawardhani dari keluarga
Syailendra. Melalui perkawinan ini, Mataram dapat dipersatukan kembali. Pada masa
pemerintahan Pikatan−Pramodhawardani, wilayah Mataram berkembang luas, meliputi Jawa
Tengah dan Timur. Pikatan juga berhasil Candi Plaosan.
Sepeninggal Pikatan, Mataram diperintah oleh Dyah Balitung (898 910 M). Setelah
Balitung, pemerintahan dipegang berturut-turut oleh Daksa, Tulodong, dan Wawa. Raja
Wawa memerintah antara tahun 924−929 M. Ia kemudian didukung oleh menantunya
bernama Mpu Sindok.
B. Pemerintahan
Kerajaan Mataram Kuno dikenal sebagai kerajaan yang toleran dalam hal beragama.
Sebab, di Kerajaan Mataram Lama berkembang agama Buddha dan Hindu secara
berdampingan. Kerajaan ini diperintah oleh dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama
Hindu dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha.
Berdasarkan interpretasi terhadap prasasti-prasasti bahwa kedua dinasti itu saling bersaing
berebut pengaruh dan kadang-kadang memerintah bersama-sama. Asal usul Dinasti Sanjaya
tercantum dalam prasasti Canggal (732 M) yang menyebutkan bahwa Sanjaya adalah
keponakan Sanna (anak dari Sannaha). Dinasti Syailendra sendiri tercantum dalam prasasti
Sojomerto (tidak berangka tahun), isinya menceritakan tentang Dapuntahyang Syailendra.

1. Raja-Raja yang Memerintah


Prasasti Kedu ( Prasasti Mantyasih ) berangka tahun 907 M mencantumkan silsilah raja-
raja yang memerintah di Kerajaan Mataram. Prasasti Kedu dibuat pada masa Raja Rakai
Dyah Balitung. Adapun silsilah raja-raja yang pernah memerintah di Mataram yaitu sebagai
berikut.
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran
3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan
4. Sri Maharaja Rakai Warak
5. Sri Maharaja Rakai Garung
6. Sri Maharaja Rakai Pikatan
7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
9. Sri Maharaja Rakai Dyah Balitung
10. Raja Daksa
11. Raja Tulodong
12. Raja Sumba Dyah Wawa
13. Mpu Sindok
14. Sri Lokapala dan Ratu Sri Isnatunggawijaya
15. Makutawangsawardhana
16. Dharmawangsa teguh
17. Airlangga
Menurut prasasti Kedu dapat diketahui bahwa Raja Sanjaya digantikan oleh Rakai
Panangkaran. Selanjutnya salah seorang keturunan raja Dinasti Syailendra yang bernama Sri
Sanggrama Dhananjaya berhasil menggeser kekuasaan Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai
Panangkaran pada tahun 778. Sejak saat itu, Kerajaan Mataram dikuasai sepenuhnya oleh
Dinasti Syailendra.
Tahun 778 sampai dengan tahun 856 sering disebut sebagai pemerintahan selingan.
Sebab, antara Dinasti Syailendra dan Dinasti Sanjaya silih berganti berkuasa. Dinasti
Syailendra yang beragama Buddha mengembangkan Kerajaan Mataram Lama yang berpusat
di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu
mengembangkan kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah bagian Utara.

2. Kehidupan Politik
a. Dinasti Sanjaya
Raja-raja wangsa Sanjaya, seperti dimuat dalam prasasti Mantyasih (Kedu),
sebagai berikut.
1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 – 746 M) 
Raja ini adalah pendiri Kerajaan Mataram sekaligus pendiri wangsa Sanjaya.
Setelah wafat, ia digantikan oleh Rakai Panangkaran
2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 – 784 M)
Dalam prasasti Kalasan (778 M) diceritakan bahwa Rakai Panangkaran (yang
dipersamakan dengan Panamkaran Pancapana) mendirikan candi Kalasan untuk
memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa Gautama, dan candi Sari untuk dijadikan
wihara bagi umat Buddha atas permintaan Raja Wisnu dari dinasti Syailendra. 
Ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan raja ini datanglah dinasti
Syailendra dipimpin rajanya, Bhanu (yang kemudian digantikan Wisnu), dan
menyerang wangsa Sanjaya hingga melarikan diri ke Dieng, Wonosobo. Selain itu,
Raja Panangkaran juga dipaksa mengubah kepercayaannya dari Hindu ke Buddha.
Adapun penerus wangsa Sanjaya setelah Panangkaran tetap beragama Hindu.
3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784 – 803 M)
4) Sri Maharaja Rakai Warak (803 – 827 M)
Dua raja ini tidak memiliki peran yang berarti, mungkin karena kurang cakap
dalam memerintah sehingga dimanfaatkan oleh dinasti Syailendra untuk berkuasa
atas Mataram. Setelah Raja Warak turun takhta sebenarnya sempat digantikan
seorang raja wanita, yaitu Dyah Gula (827 – 828 M), namun karena kedudukannya
hanya bersifat sementara maka jarang ada sumber sejarah yang mengungkap
peranannya atas Mataram Hindu.
5) Sri Maharaja Rakai Garung (828 – 847 M)
Raja ini beristana di Dieng, Wonosobo. Ia mengeluarkan prasasti Pengging
(819 M) di mana nama Garung disamakan dengan Patapan Puplar (mengenai
Patapan Puplar diceritakan dalam prasasti Karang Tengah – Gondosuli).
6) Sri Maharaja Rakai Pikatan (847 – 855 M)
Raja Pikatan berusaha keras mengangkat kembali kejayaan wangsa Sanjaya
dalam masa pemerintahannya. Ia menggunakan nama Kumbhayoni dan Jatiningrat
(Agastya).
Sebagai raja, Pikatan berusaha menguasai seluruh Jawa Tengah, namun harus
menghadapi wangsa Syailendra yang saat itu menjadi penguasa Mataram Buddha.
Untuk itu, Pikatan menggunakan taktik menikahi Pramodhawardhani, putri
Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti Syailendra. Pernikahan ini memicu
peperangan dengan Balaputradewa yang merasa berhak atas tahta Mataram sebagai
putra Samaratungga. Balaputradewa kalah dan Rakai Pikatan menyatukan kembali
kekuasaan Mataram di Jawa Tengah.
7) Sri Maharaja Kayuwangi (855 – 885 M)
Nama lain Sri Maharaja Kayuwangi adalah Lokapala. Dalam
pemerintahannya, Kayuwangi dibantu oleh dewan penasihat merangkap staf
pelaksana yang terdiri atas lima orang patih. Dewan penasihat ini diketuai seorang
mahapatih.
8) Sri Maharaja Watuhumalang (894 – 898 M)
Masa pemerintahan Kayuwangi dan penerus-penerusnya sampai masa
pemerintahan Dyah Balitung dipenuhi peperangan perebutan kekuasaan. Itu
sebabnya, setelah Kayuwangi turun takhta, penggantinya tidak ada yang bertahan
lama. 
Di antara raja-raja yang memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah
Balitung yang tercatat dalam prasasti Kedu adalah Sri Maharaja Watuhumalang.
Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885 – 887 M),
dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat dalam prasasti tersebut mungkin
karena masa pemerintahannya terlalu singkat atau karena Balitung sendiri tidak mau
mengakui kekuasaan mereka.
9) Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898 – 913 M)
Raja ini dikenal sebagai raja Mataram yang terbesar. Ialah yang berhasil
mempersatukan kembali Mataram dan memperluas kekuasaan dari Jawa Tengah
sampai ke Jawa Timur.
Sebenarnya, Balitung bukan pewaris takhta Kerajaan Mataram. Ia dapat naik
takhta karena kegagahberaniannya dan karena perkawinannya dengan putri Raja
Mataram. Selama masa pemerintahannya, Balitung sangat memperhatikan
kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal mata pencaharian, yaitu bercocok tanam,
sehingga rakyat sangat menghormatinya.
Tiga jabatan penting yang berlaku pada masa pemerintahan Balitung adalah
Rakryan i Hino (pejabat tertinggi di bawah raja), Rakryan i Halu, dan Rakryan i
Sirikan. Ketiga jabatan itu merupakan tritunggal dan terus dipakai hingga zaman
Kerajaan Majapahit.
Balitung digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri Maharaja
Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun, ketiga raja ini sangat lemah sehingga
berakhirlah kekuasaan dinasti Sanjaya.

b. Dinasti Syailendra
Ketika Mataram diperintah oleh Panangkaran (wangsa Sanjaya), datanglah
dinasti Syailendra ke Jawa. Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul dinasti
Syailendra ini. Dr. Majumdar, Nilakanta Sastri, dan Ir. Moens berpendapat bahwa
dinasti Syailendra berasal dari India. Adapun Coedes berpendapat bahwa dinasti
Syailendra berasal dari Funan.
Dinasti ini lalu berhasil mendesak wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan
Dieng, Wonosobo, di wilayah Jawa Tengah bagian utara. Di sanalah wangsa Sanjaya
kemudian memerintah. Sementara itu, dinasti Syailendra mendirikan Kerajaan
Syailendra (Mataram Buddha) di wilayah sekitar Yogyakarta dan menguasai Jawa
Tengah bagian selatan.
Sumber-sumber sejarah mengenai keberadaan dinasti Syailendra sebagai
berikut.
1) Prasasti Kalasan (778 M)
2) Prasasti Kelurak (782 M)
3) Prasasti Ratu Boko (856 M)
4) Prasasti Nalanda (860 M)
Raja-raja dinasti Syailendra sebagai berikut.
1) Bhanu (752 – 775 M)
Bhanu berarti matahari. Ia adalah raja Syailendra yang pertama. Namanya
disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Plumpungan (752 M), dekat Salatiga.
2) Wisnu (775 – 782 M)
3) Indra (782 – 812 M)
Raja Indra mengeluarkan prasasti Kelurak (782 M) yang menyebutkan
pendirian patung Boddhisatwa Manjusri, yang mencakup Triratna (candi Lumbung),
Vajradhatu (candi Sewu), dan Trimurti (candi Roro Jongrang). Setelah wafat, Raja
Indra dimakamkan di candi Pawon. Nama lain candi ini adalah candi Brajanala atau
Wrajanala. Wrajanala artinya petir yang menjadi senjata dewa Indra.
4) Samaratungga (812 – 832 M)
Raja ini adalah raja terakhir keturunan Syailendra yang memerintah di
Mataram. Ia mengeluarkan prasasti Karang Tengah yang berangka tahun Rasa
Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824 M). Dalam prasasti tersebut disebutkan nama
Samaratungga dan putrinya, Pramodhawardhani. Disebutkan pula mengenai
pendirian bangunan Jimalaya (candi Prambanan) oleh Pramodhawardhani.
Nama Samaratungga juga disebutkan dalam prasasti Nalanda (860 M) yang
menceritakan pendirian biara di Nalanda pada masa pemerintahan Raja
Dewapaladewa (Kerajaan Pala, India). Pada masa pemerintahannya, Samaratungga
membangun candi Borobudur yang merupakan candi besar agama Buddha.
Samaratungga kemudian digantikan oleh Rakai Pikatan, suami Pramodhawardhani
yang berasal dari wangsa Sanjaya. Kembalilah kekuasaan wangsa Sanjaya atas
Mataram Kuno sepenuhnya.

3. Masa Kejayaan
Berikut ini adalah faktor – faktor yang yang menimbulkan kejayaan kerajaan Mataram
Kuno, antara lain:

1. Sanjaya yang mempunyai keahlian di dalam peperangan akhirnya naik tahta menjadi
Raja. Raja Sanjaya juga mampu menjembatani keinginan penduduk di Mataram Kuno
yang ingin memeluk agama lain yakni agama Hindu dan Buddha sesuai yang
dijelaskan dalam kitab Negarakertagama.
2. Kecakapan memimpin Raja Rakai Panangkaran sebagai pengganti Raja Sanjaya
sebagai Raja kerajaan Mataram Kuno hingga ia berhasil menaklukkan kerajaan –
kerajaan kecil si sekitar wilayah kekuasaan kerajaannya. Selain itu, Raja Rakai
Panagkaran juga berhasil menjaga ketentraman rakyatnya dengan menempatkan kaum
Hindu wilayahdi Mataram Kuno bagian utara dan menempatkan para pemeluk
Buddha di wilayah Jawa Tengah sebelah Selatan.
3. Dilakukannya pembangunan waduk Hujung Galuh di Waringin Sapta (Waringin Pitu)
yang berperan untuk mengatur aliran Sungai Brantas, sehingga aktivitas perdagangan
di wilayah kerajaan Mataram kuno sangat tinggi yang dibuktikan dengan banyaknya
kapal – kapal dagang yang singgal di wilayahnya yang berasal dari Champa,
Benggala, Chola, Sri Lanka, Burma, dan lain sebagainya.
4. Pemindahan ibukota dari Jawa Tengah ke wilayah Sungai Brantas, Jawa Timur yang
juga dekat dengan Sungai Begawan Solo telah memudahkan bagi lalu lintas
perdagangan.
5. Luasnya wilayah dataran rendah kerajaan Mataran Kuno sehingga mendukung untuk
ditanami tanaman padi dan lain – lain secara luas.
6. Lokasi wilayah kerajaan Mataran Kuno yang berada di Jawa Timur relatif dekat
dengan jalur perdagangan rempah – rempah dari Maluku ke Selat Malaka.

Kerajaan Mataram Kuno yang telah berjaya di bawah pemerintahan Raja Sanjaya dan
Raja Rakai Pangkaran semakin berjaya ketika Raja Sindok memindahkan ibukota kerajaan
Mataran Kuno ke wilayah hilir Sungai Brantas di Jawa Timur pada tahun 929 M.
Pemindahan ibukota tersebut dilakukan karena wilayah Sungai Brantas masih merupakan
wilayah kekuasaan kerajaan serta dengan pertimbangan wilayah Sungai Brantas yang sangat
strategis. Letak strategis Sungai Brantas adalah karena kesuburan tanahnya sehingga sangat
cocok untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Selain itu, Sungai Brantas yang lebar sangat
berguna untuk digunakan sebagai akses lalu lintas pelayaran menuju Laut Jawa.

Kerajaan Mataram Kuno atau dikenal juga dengan sebutan kerajaan Medang Kawulan
meraih puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Balitung yang memerintah pada
tahun 898 M hingga tahun 910 M. Kejayaan Kerajaan Mataram dapat dilihat dengan
ditaklukkannnya wilayah – wilayah yang berada di sebelah Timur kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan kerajaan ini kemudian berkembang hingga ke wilayah Bagelen di Jawa Tengah
hingga ke Malang di Jawa Timur.

4. Masa Keruntuhan
Sesudah pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami
kemunduran. Raja yang berkuasa setelah Balitung adalah Daksa, Tulodong, dan Wawa.
Beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya bencana
alam dan ancaman dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.Pertentangan di antara keluarga
Mataram, tampaknya terus berlangsung hingga masa pemerintahan Mpu Sindok pada tahun
929 M. Pertikaian yang tidak pernah berhenti menyebabkan Mpu Sindok memindahkan ibu
kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti
Isyanawangsa. Di samping karena pertentangan keluarga, pemindahan pusat kerajaan juga
dikarenakan kerajaan mengalami kehancuran akibat letusan Gunung Merapi. Berdasarkan
prasasti, pusat pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak Tamwlang
diperkirakan dekat Jombang, sebab di Jombang masih ada desa yang namanya mirip, yakni
desa Tambelang. Daerah kekuasaannya meliputi Jawa bagian timur, Jawa bagian tengah, dan
Bali.

Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya bernama Sri
Isyanatunggawijaya. Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala. Dari perkawinan ini
lahirlah putra yang bernama Makutawangsawardana. Makutawangsawardana naik takhta
menggantikan ibunya. Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh Dharmawangsa.
Dharmawangsa Tguh yang memeluk agama Hindu aliran Waisya. Pada masa
pemerintahannya, Dharmawangsa Tguh memerintahkan untuk menyadur kitab Mahabarata
dalam bahasa Jawa Kuno. Setelah Dharmawangsa Tguh turun takhtah ia digantikan oleh Raja
Airlangga, yang saat itu usianya masih 16 tahun. Hancurnya kerajaan Dharmawangsa
menyebabkan Airlangga berkelana ke hutan. Selama di hutan ia hidup bersama pendeta
sambil mendalami agama. Airlangga kemudian dinobatkan oleh pendeta agama Hindu dan
Buddha sebagai raja. Begitulah kehidupan agama pada masa Mataram Kuno. Meskipun
mereka berbeda aliran dan keyakinan, penduduk Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan
yang ada.

Setelah dinobatkan sebagai raja, Airlangga segera mengadakan pemulihan hubungan baik
dengan Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India
Selatan. Pada tahun 1037 M, Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang
pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, meliputi seluruh Jawa Timur. Airlangga kemudian
memindahkan ibu kota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan. Pada tahun 1042, Airlangga
mengundurkan diri dari takhta kerajaan, lalu hidup sebagai pertapa dengan nama Resi
Gentayu (Djatinindra). Menjelang akhir pemerintahannya Airlangga menyerahkan
kekuasaanya pada putrinya Sangrama Wijaya TunggaDewi. Namun, putrinya itu menolak
dan memilih untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu Giriputri.

Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan. Kerajaan itu
adalah Kediri dan Janggala. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di
antara kedua putranya yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan
kepada putra sulungnya yang bernama Garasakan (Jayengrana), dengan ibu kota di
Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya meliputi daerah sekitar Surabaya sampai Pasuruan, dan
Kerajaan Panjalu (Kediri). Kerajaan Kediri di sebelah barat diberikan kepada putra
bungsunya yang bernama Samarawijaya (Jayawarsa) dengan ibu kota di Kediri (Daha),
meliputi daerah sekitar Kediri dan Madiun.

C. Ekonomi
Letak kerajaan Mataram yang terisolasi menyebabkan perekonomian kerajaan itu sulit
untuk berkembang dengan baik. Selain itu, transportasi dari pesisir ke pedalaman sulit
untuk dilakukan karena keadaan sungainya. Dengan demikian, perekonomian rakyat
banyak yang mengandalkan sektor agraris daripada perdagangan, apalagi perdagangan
internasional. Dengan keadaan tersebut, wajar bila Raja Kayuwangi berusaha untuk
memajukan sektor pertanian, sebab dengan sektor inilah, perekonomian rakyat dapat
dikembangkan.
Berdasarkan prasasti Purworejo (900 M) disebutkan bahwa Raja Belitung
memerintahkan pendirian pusat-pusat perdagangan. Pendirian pusat-pusat perdagangan
tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan perekonomian masyarakat, baik di sektor
pertanian dan perdagangan. Selain itu, dimaksudkan agar menarik para pedagang dari
daerah lain untuk mau berdagang di Mataram.
Prasasti Wonogiri (903 M) menceritakan tentang dibebaskannya desa-desa di daerah
pinggiran sungai Bengawan Solo apabila penduduk setempat mampu menjamin
kelancaran lalu lintas di sungai tersebut. Terjaminnya sarana pengangkutan atau
transportasi merupakan kunci untuk mengembangkan perekonomian dan membuka
hubungan dagang dengan dunia luar. Dengan demikian, usaha-usaha mengembangkan
sektor perekonomian terus diusahakan oleh raja Mataram demi kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakatnya.

D. Sosial Budaya
Struktur sosial masyarakat Mataram Kuno tidak begitu ketat, sebab seorang Brahmana
dapat menjadi seorang pejabat seperti seorang ksatria, ataupun sebaliknya seorang Ksatria
bisa saja menjadi seorang pertapa. Dalam masyarakat Jawa, terkenal dengan kepercayaan
bahwa dunia manusia sangat dipengaruhi oleh alam semesta (sistem kosmologi). Dengan
demikian, segala yang terjadi di alam semesta ini akan berpengaruh pada kehidupan manusia,
begitu pula sebaliknya. 

Oleh karena itu, untuk keserasian alam semesta dan kehidupan manusia maka harus
dijalin hubungan yang harmonis antara alam semesta dan manusia, begitu pula antara sesama
manusia. Sistem kosmologi juga menjadikan raja sebagai penguasa tertinggi dan penjelmaan
kekuatan dewa di dunia. Seluruh kekayaan yang ada di tanah kerajaan adalah milik raja, dan
rakyat wajib membayar upeti dan pajak pada raja. Sebaliknya raja harus memerintah secara
arif dan bijaksana.

Dalam bidang kebudayaan, Mataram Kuno banyak menghasilkan karya yang berupa
candi. Pada masa pemerintahan Raja Sanjaya, telah dibangun beberapa candi antara lain:
Candi Arjuna, Candi Bima dan Candi Nakula. Pada masa Rakai Pikatan, dibangun Candi
Prambanan. Candi-candi lain yang dibangun pada masa Mataram Kuno antara lain Candi
Borobudur, Candi Gedongsongo, Candi Sambisari, dan Candi Ratu Baka.

E. Peninggalan-Peninggalan
Berikut candi-candi peninggalan Kerajaan Mataram Kuno:

1. Candi Sewu

Candi Sewu terletak di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah.
Kompleks candi yang cukup luas ini di dalamnya terdapat 249 bangunan yang terdiri dari
candi induk, delapan candi apit, dan 240 candi perwara.

2. Candi Prambanan

Candi Prambanan merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang terletak 17 km


dari pusat Kota Yogyakarta. Kompleks candi yang dikenal juga sebagai Candi Loro
Jonggrang ini dibangun pada abad ke-10 pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan
Rakai Balitung untuk menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa. Kompleks Candi
Prambanan memiliki tiga candi yang menghadap Timur di halaman utama, yaitu Candi
Wisnu, Brahma, dan Siwa, yang merupakan lambang Trimurti dalam kepercayaan
Hindu. Masing-masing candi tersebut memiliki satu candi pendamping yang menghadap
ke Barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu.
Selain itu, masih terdapat dua candi apit, empat candi kelir, dan empat candi sudut.
Sementara halaman kedua memiliki 224 candi.

3. Candi Borobudur

Candi Borobudur merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang sangat terkenal
di Indonesia, bahkan dunia. Sebagai candi Buddha terbesar di Indonesia, Borobudur
terdiri dari 10 tingkat dengan tinggi mencapai 42 meter. Bagian dasarnya disebut
Kamadhatu, empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu, dan bagian paling atas disebut
Arupadhatu. Pada setiap tingkatan, terdapat relief-relief indah yang mencerminkan ajaran
sang Buddha. Candi Borobudur dibangun pada masa Raja Samaratungga dari Dinasti
Syailendra. Konon katanya, candi yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, ini selesai
dibangun pada 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak awal pembangunannya.

4. Candi Gedong Songo

Kelompok Candi Gedong Songo terletak di utara Ambarawa, di lereng Gunung Ungaran.
Candi Hindu ini memiliki kemiripan dengan candi-candi di Dieng dan keduanya
dianggap sebagai candi tertua di Jawa Tengah. Umur dan pendiri bangunan ini belum
dapat dipastikan, karena tidak ditemukan prasasti yang menjelaskannya. Sesuai namanya,
Candi Gedong Songo terdiri atas sembilan candi yang berderet dari bawah ke atas dan
dihubungkan dengan jalan setapak.

5. Candi Mendut

Candi Mendut merupakan bangunan bercorak Buddha yang terletak 3 km ke arah timur
dari Candi Borobudur. Tokoh pendirinya adalah Raja Indra dari Dinasti Syailendra yang
bergelar Sri Sanggramadananjaya. Candi Mendut diperkirakan dibangun pada 824
Masehi, lebih dulu dari Candi Borobudur. Di dalamnya terdapat tiga patung besar, yaitu
Cakyamuni, Avalokiteswara, dan Maitreya.
6. Candi Pawon

Candi Pawon terletak pada satu garis lurus ke arah timur dari Candi Borobudur dan
Candi Mendut. Oleh karena itu, muncul dugaan kuat bahwa ketiganya didirikan sebagai
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Terlebih lagi, saat dilakukan penelitian, terungkap
bahwa relief Candi Pawon adalah permulaan dari relief Candi Borobudur.

7. Candi Dieng

Kelompok Candi Dieng termasuk candi bercorak Hindu, yang letaknya berada di
Kecamatan Kejajar, berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara. Candi yang tersebar di
dataran tinggi Dieng terdiri atas beberapa candi yang berdiri sendiri maupun candi yang
membentuk satu kompleks kecil. Candi-candi tersebut dinamai dengan nama tokoh-
tokoh wayang, seperti Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, Candi Puntadewa,
Candi Srikandi, dan Candi Semar. Tokoh yang membangun Candi Dieng belum dapat
dipastikan, hanya saja pembangunannya diperkirakan berlangsung antara abad ke-7
sampai abad ke-13.

8. Candi Kalasan

Candi Kalasan terletak di Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta.


Bangunan candi setinggi 34 meter ini memiliki tiga bagian, yaitu bagian bawah atau kaki
candi, tubuh candi, dan atap candi. Candi Buddha yang dibangun pada 778 Masehi ini
merupakan persembahan untuk Dewi Tara.

9. Candi Plaosan

Candi Plaosan disebut juga sebagai candi kembar, karena memang terdiri dari dua
bangunan candi yang berbentuk sama. Candi ini terletak di Dusun Bugisan, Kecamatan
Prambanan, tidak jauh dari Candi Prambanan. Raja Mataram Kuno, Rakai Pikatan,
sengaja membangun candi ini untuk istrinya yang bernama Pramudyawardani.
Candi Plaosan memiliki 116 stupa dan 50 candi pewara (candi pengiring).
10. Candi Ngawen

Candi Ngawen terletak di Dusun Ngawen, Kecamatan Muntilan, Magelang. Seperti


disebutkan dalam Prasasti Karang Tengah, candi Buddha ini dibangun pada abad ke-8.
Sebagai tempat pemujaan umat Buddha, seni arsitektur candi ini sangat unik, salah
satunya ditemukan pada arca singa yang menopang empat sisi bangunan. Gaya ukiran
arca singa yang menyerupai lambang singa pada negara Singapura tersebut dapat ditemui
di beberapa kuil di wilayah Mathura, India.

11. Candi Sambisari

Candi Sambisari terletak di Dusun Sambisari, Kecamatan Kalasan, Sleman. Bangunan


candi ini dikelilingi oleh dua lapis tembok yang di dalamnya terdapat empat buah candi.
Candi Sambisari merupakan bangunan bercorak Hindu, dibuktikan dengan tulisan Jawa
Kuno pada lempengan logam yang berarti Dewa Siwa. Gaya tulisan tersebut merujuk
pada permulaan abad ke-9, yang masih berhubungan dengan pemerintahan Rakai
Garung. Candi Sojiwan Candi Sojiwan terletak di Kebondalem Kidul, Kecamatan
Prambanan, Klaten. Dari sebuah prasasti yang kini disimpan di Museum Nasional
Jakarta, candi bercorak Buddha ini dibangun sekitar 824-850 Masehi.

12. Prasasrti Sojomerto

Prasasti Sojomerto adalah peninggalan dari Wangsa Sailendra yang pertama kali
ditemukan di desa sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang di provinsi Jawa
Tengah. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu kuno serta beraksara kawi. Prasasti
sojomerto sendiri bersifat keagamaan siwais.

Prasasti ini berisikan tentang keluarga dari tokoh utamanya yaitu Dapunta Selendra.
Dapunta Selendra ini memiliki Ayah yang bernama Santanu, ibu yang bernama
Bhadrawati serta istrinya yang bernama Sampula. Menurut Prof. Drs. Boechari, beliau
berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta selendra merupakan cikal bakal adanya
raja-raja keturunan dari Wangsa Sailendra yang saat itu berkuasa di kerajaan Mataram
Hindu.
13. Prasasti Shankara

Prasasti Shankara adalah prasasti yang berasal dari abad ke-8 masehi yang ditemukan
pertama kali di Sragen Jawa Tengah. Saat ini prasasti ini tidak diketahui lagi di mana
keberadaannya dikarenakan telah hilang. Prasasti ini dahulunya pernah disimpan oleh
museum Adam Malik  akan tetapi ketika bangkrut pada kisaran tahun 2005 atau 2006,
prasasti tersebut di jual begitu saja. Prasasti shankara menceritakan tentang seorang
tokoh yang bernama Raja Shankara yang berpindah agama karena agama Siwa yang
dianut oleh dirinya termasuk agama yang ditakuti oleh banyak orang. Raja Shankara
sendiri berpindah ke agama Buddha karena di agama tersebut disebutkan bahwa agama
Buddha adalah agama yang welas asih.

14. Prasasti Canggal

Prasasti Canggal disebut juga dengan prasasti Sanjaya ataupun Prasasti Gunung Wukir.
Prasasti ini ditemukan di halaman Candi Gunung wukir di desa kadiluwih, Kecamatan
salam di provinsi Jawa Tengah. Prasasti Canggal ditulis pada batu menggunakan bahasa
Sansekerta dengan aksara pallawa. Prasasti ini dipandang sebagai sebuah pernyataan diri
dari Raja Sanjaya pada tahun 732 M sebagai seorang penguasa dari Kerajaan Mataram
Kuno.

15. Prasasti Mantyasih

Prasasti Mantyasih adalah prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini
memiliki nama lain seperti prasasti tembaga kedu atau sering juga dikenal dengan nama
prasasti Balitung. Prasasti ini pertama kali ditemukan di kampung mateseh, Magelang
Utara yang berada di provinsi Jawa Tengah. Prasasti ini memberikan informasi tentang
daftar silsilah raja-raja yang memimpin Kerajaan Mataram sebelum raja Balitung

F. Pengaruh Terhadap Masa Kini


Salah satu pengaruh kerajaan Mataram Kuno pada masa kini dapat dilihat dari salah satu
peninggalannya, yaitu candi Borobudur. Candi Borobudur yang telah dipercaya dunia sebagai
salah satu keajaiban dunia adalah peninggalan terbesar kerajaan Mataram Kuno.

Desain bangunan candi Borobudur, mempengaruhi arsitek bangunan di Indonesia. Hal itu
dapat ditemui diberbagai tempat. Misalnya, arsitektur bangunan gapura, pendopo, dan
beberapa candi di daerah Jawa.
Relief yang terdapat di sekitar bangunan candi Borobudur dijadikan sebagai rujukan para
seniman pahat. Bangunan yang diresmikan oleh pemerintah sebagai monumen nasional pada
tahun 1983 ini juga menjadi inspirasi bagi para peneliti untuk menjelaskan cikal bakal hingga
makna relief dari candi borobudur.

Anda mungkin juga menyukai