Anda di halaman 1dari 12

A.

Sejarah, letak geografis dan Prasasti


Sejarah
Riwayat berdirinya Kerajaan Mataram tersurat pula dalam kitab Carita
Parahiyangan. Di dalam Carita Parahiyangan diceritakan bahwa Sanna
terpaksa turun takhta karena dikalahkan Rahyang Purbasora di Galuh.
Beliau dan para pengikutnya menyingkir ke lereng Gunung Merapi.
Tidak lama, anak Sannaha, yaitu Sanjaya berhasil membalas kekalahan
Raja Sanna. Beliau kemudian menguasai Galuh kembali dan
menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di Jawa Barat bagian timur dan
Jawa Tengah. Setelah itu Sanjaya mendirikan Kerajaan Mataram yang
beribukota di "Medang ri Poh Pitu" pada tahun 717 Masehi.
Kerajaan Mataram diperintah oleh raja-raja dari Dinasti Sanjaya dan
Dinasti Syailendra. Dinasti Sanjaya adalah raja-raja keturunan Sanjaya
yang menganut agama Hindu, sedangkan Dinasti Syailendra adalah raja-
raja yang diduga berasal dari India Selatan atau Kamboja yang
menganut agama Budha Mahayana. Menurut beberapa ahli sejarah,
antara kedua dinasti terjadi persaingan sehingga mereka secara
bergantian memerintah di Mataram.
Raja Sanjaya meninggal pada tahun 746 M. Beliau diganti oleh Rakai
Panangkaran. Pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran agama
Budha mulai berkembang di Mataram. Dalam Prasasti Sankhara (sekitar
abad ke-8) yang ditemukan di Sragen (Jawa Tengah), tertulis bahwa
Rakai Panangkaran telah berpindah dari agama Siwa ke agama Budha.
Beliau mendirikan Candi Kalasan untuk menghormati Dewi Tara. Beliau
juga membangun biara untuk para bhiksu dan bhiksuni Budha. Sejak
saat itu, keluarga kerajaan ada yang beragama Hindu, ada pula yang
beragama Budha. Mereka yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah
bagian utara, dan mereka yang menganut agama Budha berada di
wilayah Jawa Tengah bagian selatan.
Agama Budha mengalami perkembangan yang amat pesat pada masa
pemerintahan Samaratungga, anak dari Rakai Panangkaran. Nama
Samaratungga tidak tercatat dalam silsilah raja-raja yang tertuang
dalam Prasasti Mantyasih. Beliau diketahui namanya dari Prasasti
Nalanda dan Prasasti Kayumwungan (824 M). Pada tahun 824 M, beliau
berhasil membangun Candi Borobudur untuk para penganut agama
Budha. Bangunan ini terdiri atas 10 tingkat yang melambangkan makna
bahwa kesempurnaan hidup akan dicapai setelah melampaui 10
tingkatan.
Samaratungga mempunyai anak yang bernama Pramodhawardani dan
Balaputeradewa. Samaratungga menikahkan Pramodhawardani dengan
Rakai Pikatan. Balaputeradewa tidak menyetujui perkawinan tersebut
karena terancam kedudukannya sebagai putera mahkota Syailendra.
Oleh karena itu, timbullah perselisihan antara Balaputeradewa dan
Pramodhawardani yang dibantu Rakai Pikatan. Dalam pertikaian itu,
Balaputeradewa menderita kekalahan sehingga melarikan diri ke
Sumatera. Kelak ia menjadi raja di Sriwijaya.
Semenjak Rakai Pikatan berkuasa, Kerajaan Mataram menjadi aman
dan makmur. Umat Hindu dan Budha hidup berdampingan dengan
rukun dan damai. Toleransi kehidupan beragama terwujud dalam
pembangunan dan pemeliharaan candi-candi secara bergotong royong.
Kerajaan Mataram Kuno mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya,
daerah-daerah di sebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh
karena itu, daerah kekuasaan Mataram semakin luas, yang meliputi
Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur).
Sepeninggal Raja Balitung, Kerajaan Mataram kuno diperintah oleh
raja-raja, yakni Daksa (910-919 M), Tulodong (919-924 M), dan Wawa
(924-929 M). Namun,tidak ada sumber berarti yang dapat
menerangkan peran ketiga raja tersebut.
Pada tahun 929 pusat Kerajaan Mataram kuno dipindahkan ke
Watugaluh (Jawa Timur) oleh Mpu Sindok. Beliau dianggap sebagai
pendiri Dinasti Isyana. Menurut para ahli sejarawan, perpindahan pusat
kerajaan itu dilakukan karena wilayah Mataram ditimpa bencana
letusan Gunung Merapi. Masa pemerintahan Mpu Sindok berlangsung
secara aman dan tenteram. Mpu Sindok seringkali memberikan
bantuan bagi pembangunan tempat-tempat suci. Dalam bidang sastra
muncul Kitab Suci Agama Budha Tantrayana, yaitu Sang Hyang
Kamahayanikan.

Pengganti Mpu Sindok ialah Raja Dharmawangsa. Demi berbuat bagi


kesejahteraan hidup rakyatnya, Dharmawangsa berupaya menguasai
jalur perdagangan dan pelayaran yang saat itu dikuasai Kerajaan
Sriwijaya. Pada tahun 990 M, beliau mengirim tentaranya ke Sumatera
dan Semenanjung Malaka. Misi pasukannya berhasil menaklukkan
beberapa daerah pantai di Sriwijaya. Upaya Dharmawangsa dianggap
telah berhasil membawa kemajuan yang berarti bagi kerajaannya.
Pada tahun 1016 kekuasaan Dharmawangsa dilanda malapetaka yang
sangat mengerikan. Ketika beliau sedang menikahkan puterinya dengan
Airlangga (putera mahkota Kerajaan Bali. Putra dari saudara
perempuan Dharmawangsa, Mahendradatta), di Watan, ibu kota
Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur),
tiba-tiba istana kerajaan diserang oleh tentara Wurawari yang berasal
dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora) raja bawahan
Dharmawangsa yang bersekutu dengan Sriwijaya. Dalam peristiwa itu
hampir semua petinggi-petinggi Kerajaan Mataram gugur. Peristiwa
penyerbuan Raja Wurawari terhadap kekuasaan Raja Dharmawangsa
ini terkenal dengan sebutan "Pralaya Medang". Kejadian tersebut
tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan
Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis,
menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka,
atau sekitar 1006/7 Masehi.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga
lolos ke hutan pegunungan (Wonogiri) ditemani pembantunya yang
bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai
menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga
sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu,
Jombang, Jawa Timur.
Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat
yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang.
Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu
kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Pada
tahun 1019 Airlangga dinobatkan menjadi raja oleh para pendeta
Budha dan para brahmana dengan gelar "Sri Maharaja Rake Halu Sri
Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa".

Letak Geografis
Kerajaan Mataram Kuno berada di daerah Medang I Bhumi Mataram,
sekarang di sekitar Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Prasasti 3lembar
1. Prasasti Sojomerto
2. Prasasti Mantyasih
Prasasti

B. Silsilah
C. Sosial,Politik, Ekonomi.
1. Sosial
Kehidupan sosial masyarakat Mataram Kuno, memiliki kelebihan dalam
seni budaya bangunan/arsitektur seperti berhasil membangun candi-
candi yang besar, indah dan megah, masyarakatnya juga dikenal
sebagai masyarakat bermatapencaharian di bidang agraris, menjunjung
toleransi antara umat beragama Hindu dan Buddha.
2. Politik
Berdasarkan prasasti Canggal diketahui, Mataram kuno mula-mula
diperintah oleh Raja Sanna. Sanna kemudian digantikan oleh
keponakannya, Sanjaya. Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara
perempuan Raja Sanna (Sanna tidak memiliki keturunan). Sanjaya
memerintah dengan bijaksana sehingga rakyat hidup makmur, aman
dan tenteram. Hal ini terlihat dari prasasti Canggal yang menyebutkan
bahwa tanah Jawa kaya akan padi dan emas. Selain Prasasti Canggal,
nama Sanjaya juga tercantum pada prasasti Balitung.
Setelah Sanjaya, Mataram diperintah oleh Panangkaran. Dari prasasti
Balitung diketahui bahwa Panangkaran bergelar Syailendra Sri
Maharaja Dyah Pancapana Raka i Panangkaran. Hal ini menunjukkan
Raka i Panangkaran berasal dari keluarga Sanjaya dan juga keluarga
Syailendra. Sepeninggal Panangkaran, Mataram kuno terpecah menjadi
dua, Mataram bercorak Hindu dan Mataram bercorak Buddha. Wilayah
Mataram-Hindu meliputi Jawa Tengah bagian utara, diperintah oleh
dinasti Sanjaya dengan raja-raja seperti Panunggalan, Warak, Garung
dan pikatan. Sementara wilayah Mataram- Buddha meliputi Jawa
Tengah bagian selatan yang diperintah oleh dinasti Syailendra dengan
rajanya antara lain Raja Indra.
Perpecahan di Mataram ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 850,
Raka i Pikatan dari Wangsa Sanjaya mengadakan perkawinan politik
dengan Pramodhawardhani dari keluarga Syailendra. Melalui
perkawinan ini, Mataram dapat dipersatukan kembali. Pada masa
pemerintahan Pikatan- Pramodhawardhani, wilayah Mataram
berkembang luas, meliputi Jawa Tengah dan Timur. Pikatan juga
berhasil mendirikan Candi Plaosan.
Raja-raja wangsa Sanjaya, seperti dimuat dalam Prasasti Mantyasih
(Kedu) sebagai berikut.

1. Raka Mataram Sang Ratu Sanjaya (717- 746 M)


2. Sri Maharaja Raka Panangkaran (746 - 784 M)
3. Sri Maharaja Raka Panunggalan (784 - 803M)
4. Sri Maharaja Raka i Warak (803 - 827 M)
5. Sri Maharaja Raka i Garung (828-847 M)
6. Sri Maharaja Raka Pikatan (847-855 M)
7. Sri Maharaja Kayuwangi (855-885 M)
8. Sri Maharaja Watuhumalang (894-898 M)
9. Sri Maharatu Watukura Dyah Balitung (898-913 M)

Balitung digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri
Maharaja Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun ketiga raja ini
sangat lemah sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti Sanjaya.

Raja-raja dinasti Syailendra sebagai berikut.


• Bhanu (752-775 M)
• Wisnu (775-782 M)
• Indra (782 812 M)
• Samaratungga (812-832 M)
Samaratungga kemudian digantikan oleh Raka i Pikatan, suami dari
Pramodhawardhani yang berasal dari wangsa Sanjaya. Kembalilah
wangsa Sanjaya atas Mataram Kuno sepenuhnya.

3. Ekonomi
Wilayah Kerajaan Mataram Kuno dikelilingi pegunungan dan sungai-
sungai besar. Hal itu membuatnya memiliki tanah yang subur sehingga
cocok untuk kegiatan pertanian.
Itulah mengapa kehidupan ekonomi Kerajaan Mataram Kuno
cenderung bergerak di bidang pertanian.
Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan sektor pertanian
telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi.
Selain bertani, mata pencarian pokok masyarakat Mataram Kuno
adalah sebagai pedagang dan perajin.
Pada masa pemerintahan Rakai Dyah Balitung (899-911) sektor
perdagangan mendapatkan perhatian lebih. Aktivitas perdagangan
dihubungkan melalui Sungai Bengawan Solo. Raja Dyah Balitung
membangun pusat-pusat perdagangan di sekitar Sungai Bengawan
Solo.
Penduduk Mataram Kuno tidak melakukan transaksi perdagangan
setiap hari, tetapi hanya di hari-hari pasar yang menjadi hari
bertemunya para pedagang dan pembeli.

Komoditas pertanian yang diperdagangkan di antaranya beras, hasil


bumi, buah-buahan, sirih, hingga mengkudu.
Selain memperdagangkan produksi pertanian, masyarakat Mataram
Kuno juga berdagang hasil kerajinan tangan, perkakas dari logam,
pakaian, gula kelapa, arang, kapur sirih, dan hewan ternak seperti
ayam, kambing, itik, dan lembu.
Kerajaan Mataram Kuno Berdasarkan peninggalan sejarah, para
sejarawan menduga bahwa perdagangan tidak hanya dilakukan
antardesa atau antarwilayah, tetapi juga dengan pihak asing.
Pada relief Candi Borobudur peninggalan Kerajaan Mataram Kuno,
tertera beberapa kapal layar besar yang bercadik, yang jelas
menggambarkan kapal dagang Indonesia.
Dari prasasti juga diketahui bahwa pedagang asing dari daratan Asia
Tenggara dan China pernah menetap di Jawa dalam waktu tertentu
untuk keperluan dagang.
Mereka bertransaksi menggunakan uang dari emas dan perak, meski
beberapa berita China juga menyebut adanya sistem barter.

D. Keruntuhan kerajaan
Setelah Balitung, pemerintahan dipegang berturut-turut oleh Daksa,
Tulodong dan Wawa. Raja Wawa memerintah antara tahun 924-929 M.
la kemudian digantikan oleh menantunya bernama Mpu Sindhok. Pada
masa pemerintahan Mpu Sindhok inilah, pusat pemerintahan Mataram
dipindahkan ke Jawa Timur. Hal ini disebabkan semakin besarnya
pengaruh Sriwijaya yang diperintah oleh Balaputradewa. Selama abad
ke-7 hingga ke-9 terjadi serangan-serangan dari Sriwijaya ke Mataram.
Hal ini mengakibatkan Mataram semakin terdesak ke timur. Selain itu,
bencana alam berupa letusan gunung Merapi merupakan salah satu
penyebab kehancuran Mataram. Letusan gunung ini diyakini oleh
masyarakat Mataram sebagai tanda kehancuran dunia. Oleh karena itu,
mereka menganggap letak kerajaan di Jawa Tengah sudah tidak layak
dan harus dipindahkan.
Mpu Sindhok kemudian mendirikan dinasti Isana. Ia memerintah hingga
tahun 949. Pengganti Mpu Sindhok yang terkenal adalah
Dharmawangsa yang memerintah 990 - 1016. Dharmawangsa pernah
berusaha untuk mengalihkan pusat perdagangan dari Sriwijaya pada
990, akan tetapi mengalami kegagalan karena Sriwijaya gagal
ditaklukkan.
Pada tahun 1016 Dharmawangsa dan keluarganya mengalami pralaya
(kehancuran) akibat dari serangan Sriwiajaya yang bekerja sama
dengan kerajaan kecil di Jawa yang dipimpin Wurawari. Akibat serangan
ini kerajaan Dharmawangsa mengalami kehancuran. Menantu
Dharmawangsa yang bernama Airlangga kemudian membangun
kembali kerajaan, dan pada tahun 1019 ia dinobatkan sebagai raja.
Keberhasilan Airlangga membangun kerajaan diabadikan dalam karya
sastra Mpu Kanwa yaitu Arjuna Wiwaha. Pada 1041, Airlangga
membagi dua kerajaan menjadi Janggala dan Panjula.

Anda mungkin juga menyukai