Anda di halaman 1dari 19

Materi Presentasi Kelompok 10

Era Kenozoikum

Nama Anggota :
1. Rifan Gunawan
2. Rayla Baladika Rahmani
3. Nisrina Hanum
• Sistem Politik
Kerajaan Mataram Kuno dikenal sebagai
kerajaan yang toleran dalam hal beragama. Sebab, di
Kerajaan Mataram Kuno berkembang agama Buddha
dan Hindu secara berdampingan. Kerajaan ini diperintah
oleh dua dinasti, yaitu Dinasti Sanjaya yang beragama
Hindu dan Dinasti Syailendra yang beragama
Relief Borobudur abad ke-8 menggambarkan pemandangan di istana kerajaan.
Buddha. 
Berdasarkan interpretasi terhadap prasasti-prasasti bahwa Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M), terletak di atas
kedua dinasti itu saling bersaing berebut pengaruh dan Gunung Wukir, Kecamatan Salam Magelang, diketahui
kadang-kadang memerintah bersama-sama. Asal usul Dinasti bahwa raja pertama dari Dinasti Sanjaya adalah Sanjaya yang
Sanjaya tercantum dalam prasasti Canggal (732 M) yang memerintah di ibu kota bernama Medang. Prasasti itu juga
menyebutkan bahwa Sanjaya adalah keponakan Sanna (anak menceritakan tentang pendirian sebuah lingga (lambang dewa
dari Sannaha). Dinasti Syailendra sendiri tercantum dalam Syiwa) di atas bukit di wilayah Kunjarakunja oleh Raja
prasasti Sojomerto (tidak berangka tahun), isinya Sanjaya pada tanggal 6 Oktober 732. 
menceritakan tentang Dapuntah yang Syailendra.
Disebutkan juga tentang Pulau Jawa yang subur dan banyak menghasilkan
gandum atau padi dan kaya akan tambang emas, yang mula-mula diperintah
oleh Raja Sanna. Setelah Raja Sanna meninggal, ia digantikan oleh Raja
Sanjaya, anak saudara perempuan Raja Sanna. Raja Sanjaya adalah seorang raja
yang gagah berani yang telah menaklukkan raja di sekelilingnya dan
menjadikan kemakmuran bagi rakyatnya . Menurut Carita Parahyangan (buku
sejarah Pasundan), disebutkan Sanna berasal dari Galuh (Ciamis).

Selain prasasti Canggal, ada juga prasasti Kalasan (778 Prasasti Kedu dibuat pada masa Raja Rakai Dyah Balitung.
M) yang terdapat di sebelah timur Yogyakarta. Dalam prasasti Adapun silsilah raja-raja yang pernah memerintah di Mataram
itu disebutkan Raja Panangkaran dengan nama Syailendra Sri yaitu sebagai berikut.
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Hal itu
2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran
menunjukkan bahwa raja-raja keturunan Sanjaya termasuk 3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan
4. Sri Maharaja Rakai Warak
keluarga Syailendra.Prasasti Kedu ( Prasasti Mantyasih )
5. Sri Maharaja Rakai Garung
berangka tahun 907 M mencantumkan silsilah raja-raja yang 6. Sri Maharaja Rakai Pikatan
7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
memerintah di Kerajaan Mataram.
8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
9. Sri Maharaja Rakai Dyah Balitung.
Menurut prasasti Kedu dapat diketahui bahwa Raja
Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran. Selanjutnya
salah seorang keturunan raja Dinasti Syailendra yang bernama
Sri Sanggrama Dhananjaya berhasil menggeser kekuasaan
Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai Panangkaran pada tahun
778. Sejak saat itu, Kerajaan Mataram dikuasai sepenuhnya
oleh Dinasti Syailendra.
Prasasti Kedu

Tahun 778 sampai dengan tahun 856 sering disebut sebagai pemerintahan selingan. Sebab, antara Dinasti Syailendra dan
Dinasti Sanjaya silih berganti berkuasa. Dinasti Syailendra yang beragama Buddha mengembangkan Kerajaan Mataram Lama yang
berpusat di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu mengembangkan kerajaan yang berpusat
di Jawa Tengah bagian Utara.
Puncak kejayaan Dinasti Sanjaya terjadi pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Ia mendirikan candi Prambanan dan Loro Jonggrang menurut model candi-candi Syailendra. Masa pemerintahan raja-raja
Mataram setelah Dyah Balitung tidak terlalu banyak sumber yang menceritakannya. Yang dapat diketahui adalah nama-nama raja
yang memerintah, yakni, Daksa (913-919), Wawa (919-924), Tulodhong (924-929), sampai Mpu Sindok pada tahun 929 M
memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isanawangsa
• Sistem Ekonomi
Masyarakat umum sebagian besar bermata pencaharian di bidang
pertanian, terutama sebagai petani padi, namun ada juga yang
menekuni pekerjaan lain, seperti pemburu, pedagang, perajin, pembuat
senjata, pelaut, tentara, penari, pemusik, penjual makanan atau
minuman, dan lain-lain. Penggambaran kaya kehidupan sehari-hari di
Jawa abad ke-9 dapat dilihat di banyak relief candi. Budidaya padi
telah menjadi basis ekonomi kerajaan di mana desa-desa di seluruh
wilayah mengandalkan hasil padi tahunan mereka untuk membayar
Relief Borobudur abad ke-8 menggambarkan
pajak ke pengadilan. pertanian padi di Jawa kuno

Pemanfaatan tanah vulkanik yang subur di Jawa Tengah dan penanaman padi sawah (sawah) yang intensif
memungkinkan populasi tumbuh secara signifikan, yang berkontribusi pada ketersediaan tenaga kerja dan tenaga kerja
untuk proyek-proyek publik negara. Desa dan tanah tertentu diberi status sebagai tanah sima yang diberikan melalui dekrit
kerajaan yang tertulis dalam prasasti. Hasil padi dari lahan sima biasanya dialokasikan untuk pemeliharaan bangunan
keagamaan tertentu.
Kegiatan ekonomi juga tidak hanya terpusat pada satu pasar di ibu
kota. Kemungkinan besar pasar digilir setiap hari dalam seminggu di antara
desa-desa yang berpartisipasi, dalam sistem Jawa yang disebut pasaran.
Sistem ini masih dapat ditemukan di desa-desa Jawa pedesaan, sebelum
sebagian besar berubah menjadi pasar permanen seperti yang biasa
ditemukan saat ini. Praktik perdagangan ekonomi di pasar ini kemungkinan
besar dilakukan dengan cara barter dan juga menggunakan uang, karena Bukti paling awal dari sistem mata uang di Jawa —

selama periode ini, ekonomi Jawa sebagian telah dimonetisasi. mas emas Jawa atau tahil ingot, sekitar abad ke-9

Relief candi pada periode ini, terutama dari Borobudur dan Prambanan menggambarkan pekerjaan dan karir selain pertanian;
seperti tentara, pejabat pemerintah, abdi dalem, terapis pijat, musisi keliling dan rombongan penari, penjual makanan dan
minuman, kurir logistik, pelaut, pedagang, bahkan preman dan perampok digambarkan dalam kehidupan sehari-hari di Jawa abad
ke-9. Pekerjaan ini membutuhkan sistem ekonomi yang mempekerjakan mata uang. Timbunan Wonoboyo, artefak emas yang
ditemukan pada tahun 1990, mengungkapkan koin emas dalam bentuk yang mirip dengan biji jagung, yang menunjukkan bahwa
ekonomi Jawa abad ke-9 sebagian dimonetisasi. Pada permukaan koin emas tersebut terukir tulisan "ta", bentuk pendek dari "ekor"
atau "tahil" satuan mata uang di Jawa kuno.
• Sistem Sosial
Masyarakat Jawa Kuno yang
kompleks dan bertingkat-tingkat serta
tatanan sosialnya dapat dilihat melalui
kajian tentang penggambaran yang kaya
pada relief-relief periode ini, serta
kajian prasasti.

Kerajaan telah mengembangkan masyarakat yang kompleks; yang dicirikan oleh heterogenitas masyarakatnya, ketimpangan
stratifikasi sosial, dan pembentukan lembaga administrasi nasional di kerajaannya. Orang Jawa kuno memang mengenal catur
varna atau kelas sosial kasta Hindu; Brahmana (pendeta), Ksatria (raja, panglima perang dan bangsawan), Waisya (pedagang dan
pengrajin), dan Sudra (pelayan dan budak). Namun demikian, sistem stratifikasi sosial di Jawa kuno sedikit berbeda dengan di
India, karena tidak terlalu kaku.
Seorang ahli Sastra Pigeaud membagi masyarakat Jawa
kuno menjadi empat kelas: kelas penguasa, otoritas agama,
rakyat jelata, dan budak. Sementara Filolog De Casparis
menyarankan; Meskipun masyarakat Jawa kuno mengenal
perbedaan kasta, aturan dan pelaksanaannya tidak terlalu kaku
dibandingkan dengan sistem kasta di India. De Casparis
membagi mereka menjadi tiga kelompok:
1. Rakyat jelata yang membentuk mayoritas populasi kerajaan.
2. Raja dengan keluarga kerajaannya, termasuk para
bangsawan, tuan tanah dan anggota kelas penguasa elit yang
bergantung pada istana raja dan dinastinya. Bisa biasa disebut
"orang keraton/pengadilan". Seorang tamu ditemani rombongan dan
pelayannya, relief Borobudur.
3. Para tokoh agama dan otoritas keagamaan. Kelas pendeta;
brahmana dan biksu, termasuk pelayan berpangkat rendah yang
bekerja di kompleks kuil dan biara.
Berdasarkan kajian tentang corak dan jenis pakaian dan
perhiasan yang dikenakan oleh orang-orang yang tergambar pada
relief candi—khususnya relief Borobudur—masyarakat Jawa
Kuno secara garis besar dapat dibagi menjadi:
1. Para bangsawan, raja dan keluarga kerajaan, tuan tanah,
bangsawan dan mereka yang terkait dengan elit penguasa. Mereka
mengenakan pakaian mewah dari kain panjang yang dililitkan di
pinggul hingga mata kaki, ikat pinggang, dan selempang, baik
yang dilingkarkan di pinggul sebagai sampur, maupun melingkari
tubuh yang digantung dari bahu kiri hingga pinggul. Dihiasi
dengan perhiasan emas yang rumit seperti jamang (hiasan dahi),
makuta (mahkota), anting-anting, kelat bahu (gelang), kalung, Adegan istana Jawa yang tergambar kelas para bangsawan, raja, dan
elit penguasa dalam relief Borobudur
upavita (hiasan tubuh rantai emas yang dikenakan di dada),
gelang, cincin, gelang kaki. Para dewa dan dewa juga
digambarkan dengan cara yang sama sebagai bangsawan,
meskipun mereka digambarkan memiliki prabhamandala (halo
ilahi) di sekitar kepala mereka.
2. Para abdi dalem atau bangsawan berpangkat rendah, mereka adalah abdi raja,
rombongan atau abdi dalem. Mereka menduduki posisi sebagai dayang-dayang (pelayan
kerajaan wanita), penjaga atau pejabat negara. Mereka mengenakan kain panjang di
sekitar pinggul hingga mata kaki, dan juga memakai perhiasan dan perhiasan, seperti
anting-anting, kalung dan gelang, meskipun tidak selengkap dan semewah yang dikenakan
oleh raja dan para bangsawan.
3. Para pendeta, brahmana, biksu Buddha, atau tokoh agama yang dipekerjakan di kuil
atau biara. Mereka biasanya mengenakan jubah atau jubah yang disebut sinhel. Biksu
Buddha biasanya digambarkan sebagai pria botak mengenakan jubah dengan bahu kanan
terbuka, sedangkan brahmana biasanya digambarkan sebagai pria berjanggut mengenakan
sorban.
4. Rakyat jelata, mayoritas masyarakat, kebanyakan digambarkan sebagai penduduk desa. Seorang pertapa Buddha bermeditasi
Mereka mengenakan pakaian sederhana sekitar pinggul mereka, ujung bawah kadang- di hutan terpencil, relief Borobudur

kadang diikat ke atas untuk membuat cawat pendek. Biasanya mereka tidak memakai
perhiasan atau hiasan, tetapi ada juga yang memakai sedikit hiasan sederhana, antara lain
kalung atau gelang, atau tali yang dipakai sebagai ikat pinggang.
• Sistem Budaya
Hindu dan Budha adalah dua agama yang dianut oleh para penguasa
dan orang-orang kerajaan. Namun demikian, praktik keagamaan rakyat
jelata mungkin masih bercampur dengan perdukunan asli dan kepercayaan
pra-Dharma asli. Sejak awal pembentukannya, raja-raja Mataram tampaknya
lebih menyukai agama Hindu Siwa, seperti pembangunan lingga di candi
Candi Borobudur
Hindu Gunung Wukir sebagaimana disebutkan dalam prasasti Canggal oleh
raja Sanjaya. Namun, pada masa pemerintahan Panangkaran, Buddhisme
Mahayana mulai berkembang dan mendapatkan dukungan pengadilan.
Candi Kalasan, Sari, Sewu, Mendut, Pawon dan Candi Borobudur yang
megah menjadi saksi kebangkitan Buddha di Jawa Tengah. Perlindungan
istana terhadap agama Buddha terbentang dari pemerintahan Panangkaran
sampai Samaratungga. Pada masa pemerintahan Pikatan, agama Hindu Siwa
mulai mendapatkan kembali dukungan istana, ditandai dengan pembangunan
Patung Dhyani Buddha Vairocana, Avalokitesvara, dan
Siwagrha agung (Prambanan). Vajrapani di dalam candi Mendut
Selain mengkaji relief yang terpahat di dinding candi, kajian masyarakat Jawa kuno
juga dilakukan melalui peninggalan arkeologis. Penimbunan artefak emas Wonoboyo
membuktikan kekayaan, seni, dan budaya serta pencapaian estetika Kerajaan Mataram.
Artefak menunjukkan karya seni yang rumit dan penguasaan teknis pandai emas Jawa kuno.
Timbunan itu diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Raja Balitung. Harta tersebut
telah diidentifikasi sebagai milik seorang bangsawan atau anggota keluarga kerajaan.
Candi Hindu Prambanan yang monumental di sekitar Yogyakarta—
Timbunan Wonoboyo menampilkan kekayaan luar
awalnya dibangun pada masa pemerintahan Raja Pikatan (838–850), dan terus biasa dan pencapaian artistik kerajaan Mataram.
berkembang melalui masa pemerintahan Lokapala (850–890) hingga Balitung
(899–911)—adalah contoh seni dan arsitektur Mataram kuno. Deskripsi
kompleks candi agung yang didedikasikan untuk Dewa Siwa, dan proyek
publik untuk mengalihkan aliran sungai di dekat candi (sungai Opak) untuk
mengalir lurus di sepanjang dinding barat kompleks candi juga disebutkan
dalam prasasti Shivagrha. Kompleks candi agung didedikasikan untuk
Trimurti, tiga dewa tertinggi dalam jajaran Hindu (Siwa, Brahma, Wisnu). Itu
adalah candi Hindu terbesar yang pernah dibangun di Indonesia, bukti Candi Hindu abad ke-9 yang megah di Prambanan, Yogyakarta,
kekayaan besar dan pencapaian budaya kerajaan. adalah monumen Hindu utama di kerajaan Mataram.
Dari abad ke-9 hingga pertengahan abad ke-10, Kerajaan Mataram
menyaksikan mekarnya seni, budaya dan sastra, terutama melalui penerjemahan
teks-teks suci Hindu-Budha dan transmisi dan adaptasi ide-ide Hindu-Budha ke
dalam teks dan relief visual Jawa Kuno. rendering. Relief yang dipahat di setiap
sisi tangga candi Mendut dan juga di dasar candi Sojiwan misalnya, menceritakan
kisah populer Buddhis Jataka, kisah-kisah yang menceritakan kehidupan Buddha
sebelumnya, baik dalam bentuk manusia maupun hewan. Relief Borobudur
khususnya, berisi teks-teks suci Buddha yang paling lengkap. Mulai dari
Karmavibhanga (hukum karma), Lalitavistara (kisah Sang Buddha), kisah Relief Bas di Prambanan menggambarkan pemandangan yang
diambil dari Ramayana. Penerjemahan epos India ke dalam
Manohara, Jataka dan Jatakamala, Avadana (kumpulan perbuatan baik) dan bahasa Jawa Kakawin Ramayana terjadi pada masa kerajaan
Gandavyuha (pencarian Sudhana untuk kebenaran tertinggi). Mataram.

Bas-relief narasi epos Hindu Ramayana dan juga terpahat di dinding candi Siwa dan Candi Brahma Prambanan, sedangkan
cerita Kresna yang diambil dari Bhagavata Purana dipahat di candi Wisnu. Selama periode ini, Kakawin Ramayana, terjemahan
Jawa kuno ditulis. Kakawin Ramayana ini, juga disebut Yogesvara Ramayana, dikaitkan dengan juru tulis Yogesvara c. abad ke-9
M, yang dipekerjakan di istana Mataram di Jawa Tengah. Ini memiliki 2774 bait dalam gaya manipravala, campuran prosa
Sansekerta dan Jawa kuno. Versi Ramayana yang paling berpengaruh adalah Rahwanavadham dari Bhatti, yang dikenal sebagai
Bhattikavya. Ramayana Jawa sangat berbeda dari Hindu asli.
• Warisan
Dirayakan sebagai zaman keemasan peradaban Indonesia kuno—
lebih tepatnya peradaban Jawa klasik—era kerajaan Mataram telah
meninggalkan jejak dan warisan abadi dalam budaya dan sejarah
Indonesia; monumen mereka. Borobudur dan Prambanan yang megah dan
megah khususnya, telah menjadi kebanggaan bangsa, tidak hanya bagi
masyarakat Jawa setempat tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mungkin dengan cara yang sama seperti bagaimana orang Khmer
Kamboja bangga dengan warisan Angkor mereka. Monumen-monumen Upacara Waisak Nasional di Borobudur, candi Hindu-
Budha yang berasal dari Kerajaan Mataram sangat
ini hari ini telah menjadi daya tarik utama bangsa; Borobudur adalah satu-
penting untuk ziarah dan upacara bagi umat Buddha dan
satunya objek wisata yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Hindu Indonesia.

Belum pernah—dan lagi—Indonesia melihat semangat yang begitu besar untuk pembangunan dan pengembangan candi,
yang menunjukkan penguasaan teknologi, pengelolaan tenaga dan sumber daya, estetika dan penyempurnaan seni, serta
pencapaian arsitektur seperti itu, selain era ini. Periode antara akhir abad ke-8 hingga akhir abad ke-9, antara masa pemerintahan
Panangkaran hingga Balitung, telah meninggalkan sejumlah monumen keagamaan yang mengesankan; antara lain Manjusrigrha, --
Bhumisambharabudhara dan Shivagrha. Sendratari Ramayana Jawa
tampil di panggung terbuka Prambanan. Era Kerajaan Mataram telah
meninggalkan dampak yang mendalam dalam budaya Jawa.
Era Mataram dipuji sebagai periode klasik peradaban Jawa; karena
selama periode ini budaya, seni dan arsitektur Jawa berkembang dan
tumbuh lebih jauh, mengkonsolidasikan dan mencampurkan unsur-unsur
asli mereka dengan pengaruh dharma. Dengan memasukkan kerangka
acuan dan elemen Hindu-Budha ke dalam budaya, seni dan arsitektur
mereka, dan dengan bahasa Sanskerta, orang Jawa telah merumuskan gaya
Jawa Hindu-Budha mereka sendiri dan mengembangkan peradaban yang
cerdik. Seni Sailendran gaya Jawa ini, baik seni pahat maupun arsitektur,
Sendratari Ramayana Jawa tampil di panggung terbuka
pada gilirannya mempengaruhi seni daerah, khususnya seni Sriwijaya di Prambanan. Era Kerajaan Mataram telah meninggalkan dampak
Sumatera dan Semenanjung Malaya Thailand Selatan. yang mendalam dalam budaya Jawa.

Juga selama periode inilah sejumlah kitab suci dharma baik Hindu atau Buddha, telah masuk dari India ke dalam budaya Jawa.
Misalnya, kisah Jataka Buddha dan Lalitavistara, juga epos Hindu Ramayana dan Mahabharata yang diadopsi ke dalam versi Jawa. Kisah-
kisah dan epos ini selanjutnya akan membentuk budaya dan seni pertunjukan Jawa, seperti tarian Jawa dan seni wayang.
Dipersilahkan yang ingin bertanya
seputar materi tersebut
Max 39 pertanyaan
1.
2.
3.
...
...
...
Matur Nuwun
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai