Ku
tidak merasa berbobot, terambang-ambang, seperti yang tidak masuk akal. Ku
mencoba untuk bangun, namun ku tidak bisa, ku terjebak, di masa laluku!
Serentak, aku mendengar suara pertempuran, suara peluru dan meriam
mendebarkan jantungku. Kebakaran, ku di Neraka! Kulit-kulitku terbakar menjadi
debu! Ku mencoba melupakannya, Neraka tidaklah berproduktif! Ku bermimpi
dan bermimpi lagi. Dan mencoba bertanya dimana keberadaanku. Ku sedang
berlayar! Dengan sebuah teman?! Ditengah jamuan teh? Ada sesuatu yang akrab
disini, sesuatu yang meresahkan, sungguh meresahkan! Seperti apa hal yang
meresahkan tersebut ialah wajah temanku! Dia tampak marah! Salah satu matanya
membesar dan mengeluarkan darah! Mengubah segalanya menjadi merah!
Kepalanya meledak! Percikan darahnya menyirami wajahku! Polusi! Korupsi!
Seluruh serat penglihatan mengacaukanku! Duniaku hancur! Pikiran ku dalam
sebuah keruntuhan!
Ku memakai sepatu ku secara gegas dan berlari membuka pintu kamarku. Suatu
kesalahan tak terduga, suara tersebut hanyalah suara Ibuku yang sedang memalu
potongan kayu terhadap pintu kamarnya sendiri. "Jangan masuk ke ruangan ini,
Manisku, ruangan ini tercium bau busuk yang tak sehat!" Ucap Ibuku secara
tergesa-gesa. Dari pada menunggu Ibuku, lebih baik aku pergi ke dapur terlebih
dahulu. Dengan pikiran yang heran kenapa Ibuku menghadang pintu kamarnya
hanya karena bau busuk?! Saat Ibuku menyiapkan sarapan, ku bertanya pada
Ibuku, "Bu, bau busuk semacam apa di kam-..." Gugup, dengan lekas dia
menjawab, "Hehe...Manis, lupakanlah ruangan itu, kau mungkin lapar seperti tikus,
Ibu buatkan roti panggang untuk mu, sekarang bangunkanlah Kakakmu!"
Lalu aku langsung pergi ke kamar Kakakku, tidak! Malahan ku mencoba mencium
bukti perkataan Ibu. Dekat dan lebih dekat menuju pintu kamarnya, ku tahu tidak
bisa membukanya tapi masih bisa tercium bau busuk, tidak lebih baunya seperti
daging busuk yang membengkak. Rasa penasaran memenuhi pikiranku, hanya
sekejap dan tidak lagi. Ah, ku baru sadar apa yang Ibu suruh. Tapi kenapa perlu
mengisi perintahnya? Gumamku. Seketika merenungkan cara lain menghancurkan
potongan kayu, tiba - tiba datang suara gelincir dan pecah dari dapur. Terhadap
semua keganjilan ku bergegas berlari menuju dapur. Dan lebih dari sekedar piring
yang hancur pada lantai. Yang jatuh secara fisik. Terlihat mayat Ibuku, dengan
rupa muka melawan lantai, yang sudah berlumuran darah. Kecelakaan yang tidak
alami ini, takdir ini, kematian ini. Adalah awalan dari seluruh malapetaka
kehidupan.
Terhadap semua kejanggalan ini, Ku memakai sepatu ku secara gegas dan berlari
membuka pintu kamarku. Suatu kepastian yang benar, suara tersebut hanyalah
suara Ibuku yang sedang memalu potongan kayu terhadap pintu kamarnya sendiri.
"Jangan masuk ke ruangan ini, Manisku, ruangan ini tercium bau busuk yang tak
sehat!" Ucap Ibuku secara tergesa-gesa. Belum tentu jika mimpiku tadi hanyalah
sebuah kebetulan. Namun ku masih bahagia menemukan Ibuku tetap hidup disini.
Dan seterusnya iritasi dibalik pintu mesti dijawab. Ku berpikir dan merenung, dari
apa yang ku ingat
Ku datang berjinjit, ku datang tanpa hati, keringat mengalir pada wajahku, dan di
dalam mulutku -- sebuah kebohongan dimuntahkan, "Kak, kau baik-baik sajakah?
Ku tidak bermaksud menggangu. Tapi, pernahkah Kakak bermimpi sebuah Surga,
pernahkah Kakak berharap untuk mati?!" Dia berkedip dua kali, namun tidak
menjawab. Di tuntut dengan senyuman jahat lebar, ke dalam kedengkian hati tanpa
kenal ampun, ku meraba pisauku dan kehilangan kendali! Mati! Mati! Teriakku,
tanpa henti pisau yang dibutakan oleh darah terus menusuki badannya. Yes! Dia
mati! Mati seperti kehidupan biasanya! Sebagai boneka kain. Mata kancingnya
yang seram menakuti jiwa ku tidak lagi! Yes! Kemunculan perasaan dan
pengertianku tumbuh lebih kuat. Setengah kemenangan, setengah penyesalan. Ku
terbahak, ku terbakar, ku tersipu, ku bermurung. Bermurung dengan apa yang telah
ku lakukan. Bermurung karena ku telah membuat tindakan sesat, kesesatan yang
tumbuh bersama diriku. Bermurung dengan duka air mata mengalir pada mataku.
Teringat dengan seseorang yang sering ku lihat, teringat dengan seseorang yang
membuatku ceria. Keceriaan hilang secara tragis niscaya. Kesedihan muncul
seketika -- kesedihan untuk Malaikat keriangan ku,
Bagaikan buah persik yang langka dan berseri-seri dengan sebutan,
Tanpa bekas nama disini, untuk selama-lamanya lagi. Dan suara melodi-melodi
piano, sedih, tidak pasti dari memori berumur lanjut. Membuatku bahagia dan ceria
-- mengubahku seperti dirinya, namun ku bukanlah dia. Sampai saat ini, ku selalu
datang ke kamarnya, kegelapan menelan seluruh benda, tanpa bekas peninggalan.
Hanya ini dan tidak lebih, boneka semirip-nya.