Anda di halaman 1dari 3

Bangkai tidur

Di sebuah ruangan gelap ada seorang pria muda kesakitan yang tengah terbaring di kasur tua.
Keringat meleleh dari kepala hingga ke bawah. Sesekali ia batuk menahan kesakitan karena luka
yang tumbuh sejak ia menggunakan obat-obatan. Napasnya kian sempit begitu pula udara di
ruangan itu. Beranjaklah ia dari tempat tidurnya, menuju dapur dan mengambil segelas air yang
tersisa. Hanya bertemankan cahaya remang ia kini menyulut rokok di tangannya. Sambil
merenungkan hari-hari kemarin. Semakin kelam saja seperti malam. Mengepul asap dari
mulutnya, ia kembali ke kamar. Berkacalah ia lalu mulai ia rasakan bahwa tangannya lemas
tubuhnya lesu. Melihat tubuhnya yang kian compang camping hatinya mulai jadi sedih. Tumbuh
rasa yang mendesak dadanya, rasa yang penuh sesal serta kesedihan yang tiada makna.
Seketika ia melempar rokoknya dan memaki dirinya sendiri di depan cermin itu.

“ apa yang telah kau lakukan?! Apa kau tidak sadar bahwa kau telah menghancurkan hidupmu
sendiri dengan obat-obatan itu?! Kau menyiksa dirimu sendiri dengan dalih mencari
ketenangan! Kau seperti anjing liar yang seenaknya saja tanpa memperdulikan majikanmu!
Dasar anjing bodoh!”

Seketika ia diam, ia sadar bahwa memaki diri sendiri bukanlah hal baik. namun mengikuti
kecanduannya adalah hal yg lebih tidak baik. Sudah berapa butir sejak pertama kali ia minum
obat itu. hatinya kian sesak semakin lama otaknya kian hancur karena hal itu.

“hah sudahlah, mengeluh tidak akan mengubah apapun”

namun apa salahnya mengeluh, itu hak semua manusia, dan siapa orangnya yang menyalahkan
apabilla kita mengeluh, kalau ada itu bukanlah kawan baik, kawan kok menyalahkan.

“aduh”

tangannya terbakar rokok

“bisa bisanya aku sampai seperti ini”

hatinya semakin kacau melamun tak tahu porsi. rokoknya pun tinggal dua malam ini.

“Besok mau makan apa?”

tak pernah ia terpikir kata kata itu, karena semua makanan yang masuk ke mulutnya tak pernah
terasa lezat sedikitpun. ya! Hanya hal itulah yang lezat, hanya itu!

Tiba tiba ia berdiri, meninju kaca itu hingga pecah, tangannya terluka berdarah. Kemudian ia
duduk di kursi, mengobati tangannya yang terluka dan tidak lupa mengambil bius yang ada di
lemarinya. Namun obatnya sudah habis. Ia terkejut lalu ia mulai mengingat kapan terakhir kali
obat itu dimasukkan ke dalam mulutnya. terkenang di pikirannya kapan pertama kali ia mulai
meminum obat obatan itu. Sampai ia sadar bahwa tubuhnya jatuh di lantai. Napasnya
terengah-engah, ia mencoba untuk bangun , bahkan badannya sudah tak sesuai dengan
umurnya. Ia ingin sekali mengeluh, tapi pada sendiri lagi? Seperti hutan saja tak ada manusia
yang berada di sekelilingnya. Tuhan? Ia tak ingin mengenal lebih jauh halitu, menyebutnya saja
enggan. Kecewa adalah alasan mengapa ia benci kepadaNYA padahalkan semua orang pernah
kecewa. Tapi menurutnya ialah yang paling sengsara di dunia ini, jadi membenciNYA bukanlah
sebuah masalah untuknya, boleh saja,

“siapa yang salah? Aku tak pernah ingin dilahirkan!”

Matanya mulai kaku. Sudah dua hari ia tak tidur.

“memangnya siapa yang butuh tidur? Aku akan menggantikan pekerjaan tuhan kurang baik apa
diriku, jadi bolehlah sedikit membenciNYA kan?”

setelah ke 3 kali menguap, barulah ia ambil hal itu, sembari air di atas meja

“ah aku benci hal ini!”

benci? Namun ia selalu melakukannya setiap hari, bahkan setiap malam, bahkan mungkin
hampir setiap jam.

Tiba tiba ketokan pintun membuantnya kaget

“iya ada apa”

“ini berkat tahlilan dari pak agung”(seseorang mengantar berkat tahlilan)

“ya letakkan saja disitu”

Anak pak agung baru 3 hari meninggal dan ia tak pernah datang ke acara tahlilan atau
selamatan. memangnya siapa yang wajib datang toh akhirnya aku dapat makanan bukan hal
seperti itu yg ada di kepalanya melainkan rasa bersalah karena tak pernah ikut kegiatan
masyarakat yang ada di desanya. Memang sejak kecil ia selalu diikutkan acara kecil yg ada di
desanya, oleh ayahnya, namun tak hanya rasa bersalah yg ada disitu, rasa benci akan orang
orang desa yang selalu mengucilkannya. hanya karena ia bermain main dengan hal itu

“apakah begitu rendahnya diriku hingga hal seperti in terjadi pada diriku?”

“bodoh! Bukan aku yang salah, mereka saja yang tak tahu arti kemanusiaan”

memangnya apa arti sebuah kemanusiaan kalau ia saja dianggap sebagai anjing tak berguna,
rasa bersalah dan benci semakin beraduk campur dalam kepalanya. ia ingin pikiran itu berhenti,
sudah lama ia memikirkan ini namun bagaimana caranya?

“Kalau pikiran ini memang berputar putar di kepalaku, maka memutusnya akan menghilangkan
semua masalah”

tidak! Itu terlalu beresiko baginya, namun memang ada kalanya untuk kita mengambil sebuah
resiko, apapun pilihannya pasti ada resiko dibelakangnya. Ia tersenyum, suatu saat ia akan
mengambil resiko tersebut entah saat ini, besok, minggu depan atau tahun depan tergantung
seberapa kacau kepalanya. Maka ia mengambil pilihan yang pertama. Seorang manusia yang
hanya anjing tua dimata lingkungannya.

Sukolilan,6 Agustus 2022

Anda mungkin juga menyukai