Anda di halaman 1dari 27

Sejarah

KERAJAAN BALI
 Abil Gamal Shakavi
 Zulkifli
 Ardiansyah

Daftar isi
1) Pembukaan
2) Daftar isi
3) Kata pengantar
4) Pembahasan
5) Struktur kerajaan Bali kuno
6) Struktur kerajaan Bali pasca penaklukan majapahit
7) Sistem pemerintahan
8) Kehidupan masyarakat
9) Selesai
Kata pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul sejarah kerajaan bali ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas ibu rizkiyah khaerani pada studi sajarah indonesia. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang kerajaan
bali bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu rizkiyah khaerani,


selaku guru sejarah Indonesia  yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Sumbawa 21 januari 20
BAB 1
PEMBAHASAN

Sejarah kerajaan Bali hingga saat ini kurang dikenal dikarenakan


banyaknya prasasti dan lontar yang sampai sekarang masih disimpan,
namun tidak dapat diakses. Ini disebabkan masyarakat Bali umumnya
tidak mengizinkan prasasti dibaca oleh orang lain, karena mereka
percaya bahwa pembacaan tersebut mengakibatkan malapetaka.
Tidak jarang pula terjadi bahwa prasasti hanya dapat dibaca bila
sebelumnya diadakan uttama ning uttama atau saji-sajian yang tidak
dapat ditanggung oleh penyelidik ataupun instansi pemerintah.

     Namun, terdapat beberapa berita asing yang dapat dijadikan


sebagai sumber bahwa di Bali pernah berdiri suatu kerajaan. Berita
tertua dari bangsa asing satu-satunya berasal dari Bangsa Cina. Di
dalam kitab sejarah Tang Kuno disebutkan bahwa Ho-ling  terletak di
kepulauan di sebelah selatan. Di sebelah timur terletak Po-li, di
sebelah barat To-po-teng, disebelah utara Chen-La dan di sebelah
selatan lautan.

     Selanjutnya, dikatakan bahwa negeri Dva-pa-tan terletak di sebelah


selatan Kamboja, jauhnya dua bulan berlayar. Dva-pa-tan ini
ditafsirkan dengan Bali. Dikatakan bahwa Dva-pa-tan terletak di timur
Ho-ling dan memiliki adat istiadt yang sama. Namun di kitab Chu-fa-
chih bagian Su-chi-tan, Bali dilafalkan dengan Ma-li.
     Berita tertua tentang keadaan Bali dari wilayah sendiri, berupa
beberapa buah cap kecil tanpa tahun yang disimpan dalam stupa kecil
dari tanah liat. Dituliskan dengan bahasa Sansakerta dan berisi
mantra-mantra agama Budha yang memiliki kesamaan dengan Candi
Kalasan di Jawa Tengah. Sehingga, bisa disimpulkan ia berasal dari
abad VIII Masehi. Berita tertuanya lainnya mengenai Bali berasal dari
beberapa buah prasasti berbahasa Sansakerta yang ditemukan di
Pejeng. Prasasti ini sudah sangat rusak, sehingga tidak dapat dibaca
dengan jelas. Sebuah diantaranya berangka
tahun wanadrigajasakabade atau 875 S (953 M). Prasasti ini ditutup
dengan perkataan siwamatsu (keselamatan dari dewa Siwa). Di dalam
Tugu Belanjong (Sanur) yang berangka tahun sarahwanimurti atau 855
S (933 M).

     Prasasti yang dinilai paling awal adalah prasasti yang berasal dari
pura desa Sukawana. Prasasti ini berasal dai tahun 804 S (882 M).
Isinya antara lain pemberian izin kepada tiga biksu yang akan
membangun pertapaan dan pesanggrahan di daerah perburuan di
Bukit Cintamani mmal. Biksu tersebut adalah Sikawangsia,
Siwanirmala, dan Siwaprajna. Melihat namanya dapat dipastikan
mereka pendeta Hindu golongan Siwa. Prasasti selanjutnya berasal
dari tahun 818 S (896 M) yang berasal dari Desa Bebetin. Berisi
tentang pemberian izin kepada nanyakan pradhana kumpi dan biksu
untuk membangun sebuah kuil untuk Hyang Api di desa Banua Baru,
warga desa dibebaskan dari pajak.

     Kemudian prasasti yang berasal dari desa Trunyan berangka tahun


833 S (911 M). Isinya berupa pemberian izin kepada penduduk desa
Turunan untuk membangun kuil bagi Bathara Da Tonta. Mereka
dibebaskan dari pajak, namun harus memberikan sumbangan untuk
kuil tersebut yang diberikan tiap bulan Caitra (Maret-April tahun
Masehi) dan bulan Magha  (Januari-Februari dalam Masehi). Prasasti
selanjutnya berangka tahun 833 S (911 M) yanga memiliki kemiripan
dengan prasasti dari desa Trunyan. Namun, ditambahkan pengaturan
untuk warga desa Air Hawang yang tinggal di daerah Turunan sebelah
timur danau Batur. Di bulan Bhadrawada, Bathara Da Tonta harus
dihormati, dimandikan, dibedaki kuning, dihiasi cincin permata dan
sebagainya. Di akhir prasasti dimuat kutukan untuk mereka yang
melanggar ketentuan tersebut.

     Masih terdapat dua prasasti sejenis namun tidak memuat angka


tahun. Salah satunya tidak dapat dapat disalin karena rusak parah,
dikenal dengan nama Angsari. Sisanya berangka tahun 836 S (914 M)
yang terdiri hanya satu lempengan saja. Isinya tentang pemberian izin
kepada kuil Ida Hyang di bukit Tunggal Paradyan Indrapura di daeah
Air Tabar. Batas wilayah, pajak dan warisan ditetapkan oleh
pemerintah.

     Prasasti terakhir berasal dari penglapuhan Sighamandawa, dikenal


dengan nama Bangli, Pura Kehen. Berupa satu lempengan tanpa
penanggalan tahun yang berisi pemberian izin kepada biksu dan warga
di Simpat Bunut dibawah menteri kehutanan agar mendirikan
pertapaan di kuil Hyang Karimana yang dihubungkan dengan
kuil Hyang Api. Batas wilayah dan warisan ditetapkan pemerintah,
dibebaskan dari pajak dan biksu yang menjadi anggota desa harus
tunduk dengan peraturan desa.
     Selain itu terdapat delapan buah prasasti tipe yumu pakatahu yang
menyebut nama Sri Ugrasena dan menyebut panglapuan di
Singhamandewa. Prasasti ini berasal dari tahun 837 S – 888 S (915 M –
966 M). Letak Singhamadewa sampai sekarang belum dipastikan.
Kemungkinan terletak antara Kintamani (Danau Batur) dan Pantai
Sanur, disekitar Tampaksiring dan Pejeng atau dialiran sungai Patanu
dan Pakeriskan.
BAB 2
STRUKTUR KERAJAAN BALI KUNO

Sejak tahun 835 S (913 M) nama Warmmadewa mulai mucul


memerintah di Bali. Keterangan ini diperoleh dari tiga prasasti
berbentuk tugu atau pilar yang dipahat dengan tulisan melingkar.
Prasasti pertama ditemukan di Belonjong, kedua di Penempahan dan
ketiga di Meletgede. Nama raja yang disebut dalam tiga prasasti
tersebut adalah Sri Kesariwarmmadewa.

a.    Prasasti Belonjong menggunakan dua bahasa dan dua macam huruf.


Bagian yang menggunakan huruf Nagari menggunakan bahasa Bali
Kuno dan bagian yang menggunakan huruf Kawi menggunakan bahasa
Sansakerta. Berangka tahun 835 S (913 M) dan menyebut musuh-
musuh raja yang berhasil dikalahkan, yaitu Gurun dan Suwal. Prasasti
ini juga menyebut singhadwalapura yang berarti negara Singhadwala.
Prasasti ini juga menyebut kutaraja yang merupakan tempat tinggal
raja.

b.    Prasasti Penempahan ditemukan dalam sebuah pura di desa


Panempahan sebelah utara Tampaksiring. Angka tahunnya pecah
namun bisa dipastikan dari tahun 835 S dan menyebutkan tentang raja
Sri Kaisari.

c.    Prasasti Meletgede ditemukan di desa Meletgede, sebelah utara


Penempahan. Angka tahunnya dengan jelas disebutkan 835 S.
Menyebut kerajaan Sri Kesari dengan istilah parhajyan.
Ketiga prasasti ini disebut jayastambha yang bermakna tugu
kemenangan. Bisa disimpulkan bahwa Sri Kesariwarmmadewa
merupakan pendiri dari Dinasti Warmmadewa di Bali.

Raja selanjutnya adalah Sri Ugrasena yang memerintah mulai tahun


837 S (915 M). Raja ini memerintah sampai tahun 864 S di istana
Singhamandawa. Salah satu prasasti yang meceritakan dirinya adalah
Prasasti Buwunan. Isinya berupa perjalanan Ugrasena ke Buwunan
untuk memberikan beberapa anugerah.

Setelah mangkat, Ugrasena digantikan oleh Sri Aji Tabenendra


Warmmadewa, dimana ia memerintah bersama permaisurinya yang
bernama Sri Suhadrika Warmmadewi. Di dalam prasastinya disebutkan
bahwa sang ratu sang sidhha dewata sang lumah di Air Madatu (Raja
yang wafat dicandikan atau dimakamkan di Air Madatu). Dibandingkan
dengan prasasti lain, yang dicandikan di Air Madatu adalah Ugrasena,
sehingga bisa dikatakan bahwa Tabenendra merupakan keturunan dari
Ugrasena. Tabenandra memerintah sejak 877 S (955 M) – 889 S (967
M). 

Namun, di tahun 882 S (960 M) muncul seorang raja bernama Indra


Jayasingha Warmmadewa yang berada di tengah-tengah
pemerintahan Tabenendra. Keterangan yang didapat dari prasasti
tersebut ialah pembuatan telaga suci di desa Manukraya,
pemandiannya dinamakan Tirtha Emphul. Prasasti ini sekarang
disimpan di pura Sakenan, di desa Manukraya.

Berikutnya di tahun 897 S (975 M) Janasadhu Warmmadewa mulai


memerintah Bali. Tidak ada penjelasan lain mengenai raja ini. Prasasti
yang ia tinggalkan hanya menyebutkan anugerah raja terhadap desa
Julah. Disebutkan bahwa terdapat raja yang dicandikan di Bwah
Rangga, namun tidak disebutkan secara jelas siapa yang dicandikan.

Pada tahun 905 S (983 M) muncul ratu yang memerintah kerajaan


Bali, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Kemungkina ia
merupakan puteri dari kerajaan Sriwjaya atau adanya ekspansi
kekuasaan dari kerajaan Sriwjaya. Namun, ada juga yang mengatakan
bahwa ia merupakan putri dari Mpu Sindok, Sri Isanatunggawijaya. Di
dalam prasastinya disebutkan tentang desa Air Tabar, sebuah desa di
Buleleng. Diketahui, di museum Frankfurt am Main di Jerman terdapat
sebuah prasasti yang menyebut nama Sri
Mahadewi siniwi (ditahtakan) di Kadiri berangka 937 S (1015 M).

Kemudian ia digantikan oleh Dharma Udayana Warmmadewa,


memerintah Bali bersama permaisurinya Gunapriya Dharmapatni
seorang putri dari Jawa Timur. Terdapat dua pendapat mengenai
Udayana ini:

a.       Pendapat F.D.K Boseh yang mengatakan bahwa Udayana


merupakan seorang putra dari kerajaan Kamboja yang melarikan diri
ke Jawa Timur dan menikah dengan putri Mahendratta.

b.      Pendapat Ir. J.L Moens yang mengatakan bahwa sebenarnya


terdapat dua Udayana, yaitu Udayana I dan Udayana II (anak dari
Udayana I). Udayana I memerintah di Jawa Timur dan diandikan di
Jalatunda, sedangkan Udayana II memerintah di Bali. Sebelum
menikah dengan putri Mahendratta, ia sudah menikah dengan putri
Dharmawangsa yang nantinya akan melahirkan Airlangga.
Udayana memerintah dengan istrinya sejak 911 S (989 M).
Dikatakan bahwa Udayana merupakan keturunan Warmmadewa yang
pergi dari Bali karena dipimpin oleh Janasadhu atau Wijaya Mahadewi.
Setelah pemerintahan Wijaya Mahadewi berakhir Udayana kembali
untuk memimpin Bali.

Ia dan istrinya memerintah bersama sampai tahun 923 S (1001 M).


Berdasarkan prasasti yang mereka tinggalkan di tahun 911 S, 915 S,
916 S, 923 S Gunapriya selalu disebutkan lebih dahulu, maksudnya
mungkin kedudukan Gunapriya lebih tinggi dari Udayana, setelah
prasasti 923 S nama Gunapriya tidak disebutkan lagi. Sedangkan
Udayana mangkat setelah tahun 933 S (1011 M) berdasarkan prasasti
Air Hawang yang hanya menyebutkan nama Udayana sendiri.p
kemudian dicandikan di Bhatari luwah i Burwan, di Kurti yang desanya
berbatasan dengan desa Buruan di dalam Pura Kedarman. Suaminya,
Udayana dicandikan Bhatara luwah i Banuwka.

Udayana memiliki tiga orang anak, salah satunya adalah Airlangga


yang pergi ke Jawa Timur dan menikah dengan putri Dharmawangsa.
Selain itu, Udayana memiliki dua orang anak, yaitu Marakatapangkaja
dan Anak Wungsu.

Marakatapangkaja menggantikan ayahnya untuk memimpin Bali.


Gelarnya adalah Dharmawangsamardhana Marakata Pangkajasthana
Utunggadewa yang berasal dari prasasti Baturan 944 S (1022 M), Bila
945 S (1023 M), Tengkulak A 945 S (1023 M) dan prasasti Buwahan.
Disimpulkan bahwa Marakata memerintah dari tahun 944 S – 947 S
(1022 M – 1025 M). Isi prasasti tersebut berupa kebijakannya
terhadap rakyat dan pembangunan candi di Gunung Kawi atau
Tampaksiring.

Setelah pemerintahan Marakata berakhir, dilanjutkan oleh Anak


Wungsu dengan gelar Paduka Haji Anak Wungsu. Diantara semua raja
yang  pernah memerintah Bali, ia merupakan yang paling aktif dalam
mencatat sejarah. Anak Wungsu memerintah dari tahun 971 S – 999 S
(1049 M – 1077 M). Prasastinya ditemukan tersebar di daerah Selatan,
Utara dan Tengah. Selain itu, prasasti di Bali menggunakan tembaga
yang ringan, sehingga mudah dipindah-pindah ke tempat lain. Namun,
beberapa prasasti masih tersimpan di tempat semula, seperti misalnya
di Julah (Bali Utara), Trunyan (Bali Tengah), dan Sukawati (Bali
Selatan).

Raja yang memerintah selanjutnya adalah Sri Maharaja Sri


Walaprabu. Ia meninggalkan tiga buah prasasti yang tidak berangka
tahun, sehingga Walaprabu diperkirakan oleh Damais memerintah dari
tahun 1001 S – 1010 S (1079 M – 1088 M). Dialah yang pertama kali
menggunakan gelar Sri Maharaja.

Kemudian Walaprabu mangkat dan digantikan oleh Sri Maharaja Sri


Sakelendukirana Isana Gudhadharma Laksmidhara Wijayttunggadewi.
Menurut Goris analisis nama yang panjang ini diambil dari nama-nama
yang terdahulu untuk menyatakan bahwa keturunan dari rja-raja
tersebut. Sakelendukirana hanya meninggalkan tiga buah prasasti yang
berangka tahun 1010 S (1088 M), 1020 S (1098 M), dan 1023 S (1104
M).

Penggantinya adalah Sri Suradhipa yang memerintah tahun 1037 S


(1116 M) sampai tahun 1041 S (1119 M). Kemudian ia digantikan oleh
Sri Maharaja Sri Jayasakti. Sejak jaman Jayasakti di pulau Bali
memerintah beberapa orang raja  yang menggunakan unsur nama
Jaya. Dalam masa pemerintahannya Jayasakti menggunakan kitab
undang-undang Uttara widhi balawan dan Rajana atau Rajaniti. Di
dalam prasastinya, ia disebut-sebuta sebagai titisan dari dewa Wisnu.
Ia memerintah sejak tahun 1055 S – 1072 S (1133 M – 1160 M).

Jayasakti kemudian digantikan oleh Ragajaya yang memerintah sejak


tahun 1077 S (1166 M). Tidak diketahui secara pasti kapan ia
memerintah dikarenakan hanya satu prasasti yang ia tinggalkan dan
tidak menyebutkan akhir masa jabatannya. Pada masa ini agama
Budha dan Hindu dapat berdampingan hidup dengan baik.

Selanjutnya adalah Jayapangus yang memerintah tahun 1099 S –


1103 S (1177 M – 1181 M). Menurut urutanj Jayapangus
menggantikan Ragajaya dengan masa kosong selama 22 tahun. Dari
sumber sejaarah Usana Bali di aba ke 16 M dikatakan bahwasebelum
Jayapangus berkuasa yang memerintah adalah raja Jayakusumu.
Disebutkan didalamnya bahwa Jayakusum adalah penyelamat
kerajaan Bali yang terkena malapateka karena lalai menjalankan
ubadat. Tetapi, nama Jayakusumu belum pernah dijumpai dalam
prasasti dan nama Jayasakti serta Ragajaya tidak dikenal kisah
tersebut.

Tidak lama setelah Jayapangus meninggal, kedudukannya digantikan


oleh Si Maharaja Aji Ekajayalancana yang memerintah bersama ibunya
Sri Maharaja Sri Arjayyadengjayaketana. Prasasti peniggalannya
berangka tahun 1122 S (1200 M), namun prasastinya menggunakan
bahasa dan ejaan yang kurang baik.
Empat tahun kemudian mencul seorang raja bernama Bhatara Guru
Sri Adikuntiketana, prasatinya berangka tahun 1126 S (1204 M). Ia
disebut juga Bathara Guru I. Di tahun 1182 S (1260 M) muncul seorang
raja bernama Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang ning Hyang
Adiewalancana. Sejak tahun 1182 S – 1246 S terjadi kekosongoan
wilayah kekuasaan selama 64 tahun. Mungkin hal ini terjadi karena
aanya peristiwa-peristiwa di Jawa Timur.

Di tahun 1246 S muncul lagi seorang raja yang bernama Paduka


Bhatara Guru yang menurut Goris adalah Bathara Guru II. Kemudian di
prasasti tahun 1247 S (1326 M) disebutkan nama raja Sri Maharaha
Bhatara Mahaguru Dharmatungga Warmmadea. Tiga tahun kemudian
di tahun 1250 S (1328 M) raja ini mangkat dan digantikan oleh Paduka
Bhatara Sri Astasuraratna Bumi Banten berdasar prasasti Langgahan di
tahun 1259 S (1337 M). Menurut Stutterheim arca besar yang terdapat
di Pura Kebo Edan berasal dari abad ke 13 M, yang kemungkinan
berasal dari Astasura. Bentuk arca menyerupai raksasa karena
Astasura melakukan bhaira warga.

Astasura dikenal juga dengan sebutan Dalem Bedahulu, ia terkenal


karena menentang ekspansi Majapahit yang dilakukan oleh Gajah
Mada. Namun, ia gagal dan wilayah Bali menjadi daerah kekuasaan
Majapahit.

Astasura merupakan raja Bali yang terakhir, di tahun 1265 S (1343


M) bali berada di bawah kekuasaan Majapahit. Mulanya pusat
kerajaan berada di Samprang dan dikuasai oleh Keluarga Jawa,
kemudian dipindah di Gelgel dan Klungkung. Beberapa tahun
kemudian mereka menyebut dirinya wong Majapahit.
BAB 3
STRUKTUR KERAJAAN BALI PASCA PENAKLUKAN MAJAPAHIT

Setelah pulau Bali ditaklukan oleh Majapahit, kira-kira di tahun 1274 S


(1352 M) Majapahit mulai mengatur bekas kerajaan Bali dan
menimbulkan beberapa keajaan baru, diantaranya yaitu:

a.    Kerajaan Samprangan
Setelah penaklukan Majapahit terjadi kekosongan kekuasaan di Bali
sehingga Gajah Mada mendudukkan Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai
gubernur Majapahit di Bali pada 1352 M. Ia didampingi 11 orang Arya
dan masing-masing diberikan tempat kedudukan di kerajaan Bali oleh
Majapahit. Istanya miliknya disebut sebagai Dhalem Samprangan.
Pemilihan Samprangan sebagai pusat kerajaan dikarenakan tempat
tersebut adalah markas tentara Majapahit ketika menaklukan
Astasura. Menurut Babad Dalem pemerintahannya berakhir pada
1302 S (1380 M).

Kemudian ia digantikan oleh anak tertuanya, I Dewa Samprangan, ia


gemar berhias sehingga dijuluki Dalem Ile. Ia tidak capak mengatur
pemerintahan dan membuat orang Arya merasa kecewa. Dewa
Samprangan kemudian digantikan oleh Dalem Ketutr Ngulesir dan ibu
kota kerajaan berpindah ke Gelgel.

b.    Kerajaan Gelgel

Pemerintahan di Gelgel mulai berdiri pada tahun 1305 S (1383 M)


dengan keratonnnya dinamakan Sweasapura/Lingarsapura. Gelar
resmi raja pertama adalah Dalem Ketut Samara Kepakisan. Bali
mencapai puncak kejayaannya pada masa Batturenggong, anak dari
Ketut Samara. Ia mulai memerintah sejak tahun 1380 S (1458 M).

Bali memperlebar wilayahnya hingga ke Blambangan, Pasuruan,


Nusa Penida, dan Sumbawa di tahun 1512 M. Kemudian dilanjutkan
Lombok pada tahun 1520 M. Danghyang Nirartha dari Jawa Timur
mendadar di Kapurancak terjadi pada masa Baturenggong, Nirartha
membaa perubahan yang besar terhadap kehidupan agama Hindu di
Bali. Kerajaan Gelgel kemdian diulingkan oleh I Gusti Maruti tahun
1686 M. Raja yang pernah memerintah di kerajaan ini adalah:

·         Dalem Ketut (1305 S)

·         Dalem Watur Enggong (Saka 1382-1472/1460-1550M)

·         Dalem Bekung (Saka 1472-1502/1550-1580M)

·         Dalem Sagening (Saka 1502-1543/1580-1621M)

·         Dalem Di Made (Saka 1543-1573/1621-1651M)

·         Gusti Anglurah Ketut Karang (Saka 1572-1602/1650-1680M)

c.    Kerajaan Klungkung

Merupakan kelanjutan dari kerajaan Gelgel, didirikan pada abad ke-


17 Masehi di Pulau Bali bagian tenggara. Kerajaan ini meguasai pulau-
pulai di lepas pantai Selat Badung. Kerajaan in berdiri sejak tahun 1668
M 0 1950 M, pada tahun 1908 terjadi Perang Puputan Klungkung yang
menewaskan Dewa Agung Jambe II dan para pengikutnya. Setelah
kemerdekaan Indonesia, Kerajaan Klungkung bersatus sebagai daerah
tingkat II Klungkung. Raja yang pernah memimpin kerajaan ini adalah:

·      Dewa Agung Jambe I (1686 S - 1722 S)

·      Dewa Agung Gede (1722 S - 1736 S)

·      Dewa Agung Made (1736 S - 1760 S)


·      Dewa Agung Śakti (1760 S - 1790 S)

·      Dewa Agung Putra I Kusamba (1790 S - 1809 S) [

·      Gusti Ayu Karang (wali raja, 1809 S - 1814S)

·      Dewa Agung Putra II (1814 S – 1850 S )

·      Dewa Agung Istri Kanya (ratu, 1814 S –1850 S)

·      Bhatara Dalem (1851 S – 1903 S)

·      Dewa Agung Jambe II (1903  S – 1908 S)

d.   Kerajaan Mengwi

I Gusti Agung Putu adalah putra dari I Gusti Agung Anom. Ia bergelar
I Gusti Agung Made Agung mendirikan kerajaan Mengwi dan menjadi
Raja Mengwi I pada tahun 1723 M. Mengwi pada zaman dahulu
merupakan sebuah kerajaan mandiri. Namun, Mengwi kalah perang
dan akhirnya pada tahun 1891 M wilayahnya dibagi-bagi antara
Tabanan dan Badung. Raja yang pernah berkuasa:

· Gusti Agung Śakti (Gusti Agung Putu) (1690 S – 1722 S)

· Gusti Agung Made Alangkajeng (1722 S – 1740 S)

· Gusti Agung Putu Mayun (1740 S)

· Gusti Agung Made Munggu (1740 S -1770/80 S)

· Gusti Agung Putu Agung (1770/80 S -1793/94 S)

· Gusti Ayu Oka Kaba-Kaba (1770/80 S -1807 S)


· Gusti Agung Ngurah Made Agung I (1807 S –1823 S)

· Gusti Agung Ngurah Made Agung II Putra (1829 S –1836 S )

· Gusti Agung Ketut Besakih (1836 S -1850/55 S)

e.    Kerajaan Tabanan

Kerajaan Tabanan didirikan setelah keruntuhan Majapahit, setelah


Dewa Agung Ketut, penguasa Bali dan Lombok membagi kerajaannya
menjadi beberapa kerajaan. Kerajaan Tabanan merupakan pemegang
kekuasaan kedua di Bali. Arya Kenceng, berkuasa di Pucangan, Buahan
(Tabanan) dengan diberikan rakyat sebanyak 40.000 orang. Sehingga
dapat dipastikan berdirinya Kerajaan Tabanan adalah pada tahun 1343
Masehi atau tahun Saka 1265. Kerajaan ini runtuh di tahun 1906 M.
Raja yang pernah memimpin:

·      Shri Arya Kenceng

·      Shri Magada Nata [anak Arya Kenceng]

·      Arya Nangun Graha (Prabhu Singasana) [anak Magada Nata]

·      Gusti Ngurah Tabanan (Prabhu Winalwan) [anak Arya Nangun


Graha]

·      Gusti Wayahan Pamedekan  [anak Gusti Ngurah Tabanan]

·      Gusti Made Pamedekan (1647 S - 1650 S) [saudara Gusti Made


Pamedekan]
·      Gusti Ngurah Tabanan (Prabhu Winalwanan)

·      Prabhu Nisweng Panida  [anak Gusti Made Pamedekan]

·      Gusti Made Dalang [saudara Prabhu Nisweng Panida]

·      Gusti Nengah Malkangin [anak Gusti Wayahan Pamedekan]

·      Gusti Bolo di Malkangin [anak Prabhu Winalwanan]

·      Gusti Agung Badeng (wali negara, abad ke-17 akhir) [menantu Gusti
Made Pamedekan]

·      Prabhu Magada Śakti (1700 S) [anak Prabhu Nisweng Panida]

·      Anglurah Mur Pamade [anak Prabhu Magada Śakti]

·      Gusti Ngurah Sekar (1734 S) [anak Anglurah Mur Pamade]

·      Gusti Ngurah Gede [anak Gusti Ngurah Sekar]

·      Gusti Ngurah Made Rai (1793 S) [saudara Gusti Ngurah Made Gede]

·      Gusti Ngurah Rai Penebel (1793 S - 1820 S) [saudara Gusti Ngurah


Made Rai ]

·      Gusti Ngurah Ubung (1820 S) [anak Gusti Ngurah Rai Penebel]

·      Gusti Ngurah Agung I (1820 S - 1844 S) [cucu Gusti Ngurah Made


Rai]

Masih terdapat beberapa kerajaan lagi setelah runtuhnya Kerajaan


Bali Kuno, ini dikarenakan terdapat konflik-konflik yang menyebabkan
Bali terpecah-pecah. Diantara kerajaan tersebut ialah kerajaan
Buleleng, Gianyar, Karangasem dan Bangli.

BAB 4
SISTEM PEMERINTAHAN

Raja-raja di Bali menggunakan gelar anak agung, cokorda, ida


cokorda,atau yang lainnya. Raja dihormati sebagai penguasa tertinggi,
yang mana kekuasaan tersebut didapat dari hak keturunan.  Para raja
masing-masing tinggal di dalam istana (puri) bersama keluarga dekat
dari raja. Di dalam puri terdapat banyak benda pusaka dan benda
upacara milik kerajaan. Beberapa buah keris tua diantara benda
pusaka dikatakan berasal dari Majapahit.  Karena pada jaman dahulu
Bali pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Jawa Timur, sekitar pada
abad ke-10 oleh Kerajaan Singasari dan abad ke-14 oleh Kerajaan
Majapahit. Selain di dalam purimenyimpan benda-benda pusaka,
disana raja juga mempunyai para abdi yang diberi tugas tertentu. Pada
saat upacara resmi dalam istana, para raja dihadap oleh para
punggawa kerajaan, baik yag berada di kota kerajaan maupun yang di
daerah-daerah.

Di beberapa kerajaan Bali terdapat upacara semacam grebeg,


dimana raja menyaksikan parade pasukan bersenjata yang terdiri dari
para kaula.  Di Kerajaan Badung dan Mengwi, upacara seperti itu
disebut dengan ngarebeg. Di Badung, upacara ngarebeg jatuh pada
hari Kamis Sungsang, sedangkan di Mengwi jatuh pada hari Jum’at
Dungulan.

Para abdi yang beradaa di dalam istana mempunyai beberapa


keahlian di bidang masing-masing. Pada bidang seni,
petugas sangging  yang ahli dalam ukir-mengukir juga membuat
patung, ia ditugaskan menghias puri dan rumah-rumah bangsawan
keluarga raja. Kemudian para undagi druwe mempunyai tugas
membuat bangunan-bangunan dan barang dari kayu, seperti yang
terdapat di puri kerajaan Klungkung.  Di puri Gianyar juga terdapat
kelompok abdi pangentengan yang mempunyai tugas membuat
genteng untuk keperluan puri. Kelompok-kelompok petugas tersebut
masing-masing dikepalai oleh prebekel. Di dalam puri terdapat pula
prebekel gong yang diserahi tugas mengenai  alat-alat gamelan di
dalam istana. Kelompok dari prabekel pengobatan bertugas
mengurusi obat senjata api, kelompok prabekel pengawin  bertugas
membuat tombak waktu mengiringi raja, kelompok prabekel luput
senapan ditugaskan sebagai pengiring raja dengan bersenjatakan
senapan, dan masih terdapat kelompok-kelompok petugas lain di
dalam puri.

Para abdi yang bekerja untuk keperluan dalam puri biasanya


disebut pangayah sjroning ancak siji.  Sedangkan para abdi yang
bekerja di luar puri disebut truna manca jabaning ancak
saji. Kelompok pekerja dalam puri yang di beberapa kerajaan juga
disebut panjeroan mempunyai tempat tinggal di sekitar puri dan
mendapat kebutuhan hidup sehari-hari (pecatu) dari puri. Masih perlu
pula disebut abdi raja yang menjadi pengayah kadalem yang diberi
tugas untuk menjaga pasanggarahan raja. Sebagai pengahssilan,
mereka juga mendapat sebidang tanah sebagai tanah pecatu .
Pangayah kadalemdiberi tugas juga untuk menjaga rumah-rumah raja
dan para pembesar kerajaan.
Pergantian raja-raja Bali didasarkan pada hak karena keturunan.
Biasanya pengganti raja yang sudah meninggal adalah putra laki-laki
yang lahir dari permaisuri yang berasal dari  golongan bangsawan
(ksatriya). Apabila putra laki-laki lebih dari soerang, raja ,memilih putra
yang dicintai dan dianggap cakap sebagai calon pengganti. Adapun
adat kebiasaan  di Bali, bahwa putra mahkota, baru aktif menjadi raja
setelah upacara pembakaran jenazah dari raja yang baru saja
meninggal telah selesai. Apabila putra mahkota yang telah ditunjuk
sebagai pengganti raja masih dibawah umur, biasanya diakili oleh
ibuny atau salah seorang bangsawan yang dipilih  oleh para punggawa
pedanda istana. Atau juga bisa dibentuk suatu dewan perwalian yang
terdiri dari para bangsawan dan punggawa istana yang mana kekuasan
kerajaan semantara dipegang oleh dewan tersebut. Namun meskipun
berbagai cara dapat dilakukan untuk pemegang kekuasaan, tetaplah
dari bangsawan keluarga terdekat dari raja.

Raja dibantu oleh para pejabat pemerintahan yang secara hierarkis


menduduki fungsi tertentu dalam birokrasi kerajaan. Pusat pemegang
kekuasaan adalah raja, yang di dalam mengambil kebijkasanaan dalam
pemerintahan di dampingi oleh sebuah Dewan Kerajaan (Pasamuan
Agung). Tugas pokok Pasamuan Agung adalah memberi nasihat dan
pertimbangan pada raja dalam memecahkan persoalan-persoalan sulit
yang dihadapi oleh pemerintah kerajaan dan ikut membantu dalam
penyusunan undang-undang kerajaan. Di samping itu Pasamuan
Agung  juga diserahi tugas untuk mengurusi hubungan dengan
penguasa-penguasa di luar kerajaan. Di beberapa kerajaan penguasa
pembantu raja disebut made atau pamade.
Di dalam melakukan pekerjaan sehari-hari raja dibantu oleh
seorang Bagawanta. Di bawah raja terdapat jabatan patih,
prebekel atau pambekel kota dan punggawa-punggawa daerah. Di
kerajaan Badung, jabatan patih  merangkap tugas sebagai jaksa
atau sedahhan gede. Sesuai dengan pembagian wilayah kerajaan,
punggawa-punggawa dikuasai pleh raja untuk memerintah di daerah-
daerah dan membawahkan pejabat-pejabat pemerintahan bawahan
sampai di tingkat desa. Punggawa-punggawa ini kedudukannya setara
dengan kepala distrik.

BAB 5
KEHIDUPAN MASYARAKAT

Masyarakat sebelum masa pemerintahan Gunapriya dan Udayana


hidup secara berkelompok dalam suatu daerah yang disebut Wanua,
sedangkan penduduknya disebut sebag anak wanua. Sebagian besar
penduduk hidup bercocok tanam. Hal ini berasal dari istilah tanayan
thani atau anak thani yang menunjukkan adanya masyarakat yang
agraris. Sewaktu pemerintahan Anak Wungsu masyarakat dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu golongan catur warna dan luar
kasta atau budak. Pembagian berasal dari agama Hindu. Bahkan
sampai sekarang masyarakat Bali tetap masih mengenal pembagian
masyarakat Caturwangsa (empat golongan) terutama di wilayah Bali
sebelah selatan.

Disamping itu peraturan-peraturan mengenai perkawinan,


perbudakan, kematian, pencurian, dan sebagainya diatur dengan baik
oleh pemerintah. Dalam bidang agama pengaruh Megalitikum di Bali
masih terasa sangat kuat. Hal ini terlihat dari bangunan pura yang
berbentuk undak-undakan, juga kepercayaan terhadap dewa-dewa
alam yang setelah datangnya agama Hindu dan Budha disembah
bersamaan dengan dewa. Kadang-kadang dewa tertentu namanya
diubah dalam bahasa Sansakerta.

Pada masa pemerintahan Sri Wijaya Mahadewi, diketahui bahwa


biksu menggunakan nama Siwa. Pada masa pemerintahan Udayana
dua aliran agama dipeluk oleh penduduk yaitu Budha dan Hindu Siwa.
Namun, masih ada beberapa penduduk yang menganut sekte-sekte
kecil ynag menyemba dewa tertentu, seperti sekte Ganapatya, Sora
dan Ganesha.
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai