Anda di halaman 1dari 6

Kerajaan Hindu di Bali Kisah sejarah Kerajaan Bali Kuna lebih banyak bersumber dari tinggalantinggalan arkeologi, seperti

prasasti, arca, bangunan-bangunan kuno dan lain sebagainya yang ditemukan di daerah Bali, terutama yang berasal dari abad ke- 8 hingga abad ke-14 masehi. Pada zaman Bali Kuna kerajaan bercorak Hindu di Bali awalnya dari pemerintaan Raja dan permaisuri Dharmodayana Varmadewa dengan Gunapriya Dharmapatni(putra Empu Sendok). Pada zaman itu datanglah Empu Kuturan yang ditugaskan untuk menata kehidupan beragama sehingga Bali menjadi aman dan tertib. Pada masa Bali pertengahan sampai masa Bali baru/kini diawali jatuhnya kerajaan Bali Kuno, sehingga terjadi kekosongan pimpinan di Bali, kemudian terbentuk majelis Umat Hindu yang tertinggi bernama Parisada Hindu Bali. Perkembangan agama Hindu pada masa Bali pertengahan Sri Krsna Kepakisan yang berstana di Samprangan Kabupaten Gianyar. Kemudian diganti oleh Dalem Watu Renggong dengan mengangkat Dang Hyang Nirarta sebagai pendeta istana. Pada saat inilah Bali mencapai puncak keemasannya. Berdasarkan data arkeologi perkembangan Agama Hindu di Bali diduga mendapat pengaruh dari kerajaan-kerajaan di Jawa Timur yang dimulai pada abad ke-8 M. Sebagai bukti pengaruh Hindu masuk di Bali adalah adanya prasasti yang ditemukan di Pejeng Gianyar, Bali dengan memakai bahasa Sanskerta, kalau ditinjau dari segi hurufnya, sezaman dengan materai Tanah Liat, yang memuat mantra Budha disebut Yete Mantra tahun 778 Masehi. Menurut Dr. R. Goris berdasarkan prasasti tersebut diatas agama Hindu yang berkembang di Bali adalah Agama Siwa Sidhanta yang masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8, karena pada saat tersebut telah dijumpai agama Siwa Sidhanta telah menyebar secara luas dan mendalam. Dengan menonjolkan pahan Siwa dengan adanya ajaran Tantrayana, karena ajaran ini bersumber pada ajaran Siwa. Sebagai bukti lain penyebaran agama Hindu di Bali adalah ditemukannya arca Siwa di Pura Putra Betara Desa di desa Bedaulu Gianyar. Arca tersebut satu type dengan arca Siwa di Candi Dieng. Kemudian dalam Prasasti Sukawana A 1 dari tahun 882 Masehi menyebutkan ada tiga tokoh agama, yakni : Bhiksu Sivakangsita, Sivanirmala, Sivapradnya, membangun pertapaan di Bukit Kintamani. Menurut lontar Bhuana Tattwa Maharesi Markandeya menyebutkan kedatangannya ke Bali bertujuan untuk membuka lahan pertanian di Desa Taro, kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, dan disebutkan bahwa Maha Resi menganut paham Tri Sakti Paksa dan beliau menanam Pancadatu di Pura Besakih.

Pancadatu terdiri dari likma jenis logam, yaitu : emas, perak, tembaga, besi, dan campuran dari kelima jenis logam tersebut. Dalam tahun 911 saka (989 M) disebutkan bahwa raja yang memerintah wilayah kerajaan yang sudah meliputi Bali itu adalah pasangan Raja dan Ratu bernama Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni bersama suaminya bernama Sang Ratu Maruhani Sri Dharmodayana Varmadewa. Pasangan raja yang memerintah Bali ini adalah pasangan yang paling terkenal bila dibandingkan dengan raja-raja yang memerintah sebelumnya. Pasangan raja ini juga disebutkan dalam prasasti Batu Calcutta yang bertahun saka 963(1041 M) yang dibuat oleh Raja Airlangga ( Erlangga). Termuatnya pasangan raja yang memerintah Bali dalam prasasti yang dibuat oleh Airlangga yang memeritah di Kediri ( Jawa) juga dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa pada masa pemerintahannya pasangan raja dan ratu ini telah terjadi hubungan antara Jawa dengan Bali. Berdasarkan atas sejumlah prasasti yang dibuat oleh pasangan raja dan ratu ini dapat diketahui bahwa mereka telah memerintah bersama dari tahun saka 911(989 M) sampai 923 saka ( 1001 M). Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni wafat terlebih dahulu dari suaminya dalam tahun saka 923 (1001 M). Pemerintahan dilanjutkan oleh suaminya bernama Sang Ratu Maruhani Dharmodayana Varmadewa yang memerintah sampai tahun 933 saka (1011 M). Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni yang juga bernama Mahendradatta adalah ibu kandung Airlangga yang menjadi raja di Kadiri (Jawa). Sang Ratu adalah adalah putri dari Makutawangsawardhana dan karena itu juga cucu dari Empu Sendok. Dari perkawinan antara Ratu Mahendradatta dengan Raja Dharmodayana lahirlah Airlangga yang pada usia 16 tahun kemudian diminta oleh Dharmawangsa untuk dijadikan sebagai penggantinya memerintah di Kadiri (Jawa). Pada saat menjelang wafatnya, Mahendradatta melahirkan lagi seorang putra yang diberi nama Anak Wungsu ( anak bungsu atau anak yang terakhir). Gunapriya Dharmapatni ( Mahendradatta) adalah seorang Ratu yang sangat dihormati, dan karena itu ketika wafat dia dipuja sebagai Durga dan diarcakan dalam bentuk Durga Mahisasura Mardhini. Dewasa ini arca itu berada dalaqm kawasan Pura Dharma di Desa Kutri ( termasuk wilayah Gianyar), dan karena itu arca ini sering disebut dengan Durga Kutri. Pada masa pemerintahan Raja suami istri di Bali datanglah Empu Kuturan, saudara kandung dari Empu Bharadah, yang ikut menata kehidupan di Bali. Pada masa itu di Bali berkembang sekte-sekte yang banyaknya sembilan, antara lain : a. Sekte Siva Sidhanta pemujaan terhadap Dewa Siva b. Sekte Pasupata pemujaan terhadap Lingga c. Sekte Bhairava pemujaan terhadap Siwa dalam wujud Dhurga d. Sekte Vaisnawa pemujaan terhadap Dewi Seri dewanya padi e. Sekte Boddha pemujaan terhadap Budha Mahayana f. Sekte Brahmana pemujaan terhadap Siva g. Sekte Rsi pemujaan terhadap Surya Dewa Utama

h. Sekte Sora Dewa pemujaan terhadap Dewa matahari disebut Surya Sewana i. Sekte Ganapatiya pemujaan terhadap Dewa Ganesa Kedatangan Empu Kuturan di Bali membawa konsep kahyangan tiga dengan harapan untuk mempersatukan umat Hindu yang ada di Bali, kahyangan tiga yang dimaksud adalah : a. Pura desa atau bale agung adalah stana Dewa Brahma manifestasi dari Sang Hyang Widhi sebagai pencipta b. Pura Puseh adalah stana Dewa Wisnu manifestasi dari Sang Hyang Widhi sebagai pemelihara c. Pura adalah stana Dewa Siwa atau Dewa Durga manifestasi dari Sang Hyang Widhi sebagai pelebur. Selain itu Empu Kuturan juga menulis beberapa lontar, seperti Ksuma Dewa, Dewa Tattwa, dan Usana Bali. Dibidang sosial beliau mendirikan dan memberikan status Sad Kahyangan yang ada di Bali seperti : Besakih, Lempuyang, Andakasa, Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu, dan sebagai ciri khas peninggalan Empu Kuturan adalah palinggih yang berbentuk meru. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Anak Wungsu adalah putra terkecil dari perkawinan Dharmodayana dengan Mahendradatta, dinobatkan sebagai Raja Bali. Dalam masa pemerintahan Anak Wungsu yang memerintah dari tahun 972 saka (1050 M) sampai dengan tahun 1000 saka (1078 M ), telah terbit sekitar 27 buah prasasti. Prasasti-prasasti tersebut ditemukan menyebar di seluruh Bali, dari Sangsit di utara sampai Kelungkung di selatan. Setengah dari jumlah prasasti itu menyebutkan nama Anak Wungsu. Setelah masa pemerintahan Raja Anak Wungsu terdapat nama raja yang memerintah Bali berikutnya. Raja yang memerintah Bali setelah Raja Anak Wungsu bernama Sri Maharaja Soka Lendu Kirana. Pemerintahan raja ini termuat dalam prasasti Canggi dalam tahun saka 1020 (1098 M). Kemudian menyusul pemerintahan raja yang bernama Paduka Sri Maharaja Sri Suradhipa yang masa pemerintahannya termuat dalam prasasti bertahun saka 1037 (1015 M) dan prasasti bertahun saka 1041 (1119 M). Dalam prasasti yang bertahun saka 1041 (1119 M) disebutkan nama raja pengganti berikutnya bernama Raja Bhatara Haji Uganendra Dharmadewa sebagai pengganti raja ini disaebutkan pula raja berikutnya bernama Jaya Sakti yang memerintah antara tahun 1068 saka (1146 M) sampai tahun 1072 saka (1150 M). Raja yang memerintah Bali berikutnya disebut bernama Raja Jayapangus yang memerintah antara tahun 1100 saka (1178 M) sampai 1103 saka (1181 M). Dalam tahun 1100 saka (1178 M) raja ini telah menerbitkan 30 buah prasasti pada hari yang sama. Dalam beberapa prasasti yang diterbitkannya dia menyebutkan namanya dengan nama Arkajacihna (puta surya = son of the sun), juga dengan nama Sasangkaketana ( putra ratih = son of the moon). Setelah pemerintahan Raja

Jayapangus disebutkan raja yang memerintah di Bali bernama Paduka Sri Maharaja Haji Ra-ajaya yang memerintah bersama ibunya bernama Paduka Srirtaya. Pemerintahan raja dan ratu ini disebutkan dalam prasasti bertahun 1122 saka (1200 M). berikutnya raja yang memerintah bernama Paduka Bhatara Guru Sri Adhikunti Ketana. Raja ini digantikan oleh putranya bernama Sri Bhatara Parameswara Sri Dhana Dewiketu. Pemerintahan raja ini disebutkan dalam prasasti bertahun 1126 saka (1204 M). Ketika Kerajaan Singasari diperintah oleh Raja Kertanegara yang memerintah mulai dari tahun 1190 saka(1268 M) sampai dengan tahun 1214 saka(1292M), Kerajaan Singasari melakukan intervensi militer dan menaklukkan Bali. Peristiwa penaklukan militer ini terjadi dalam tahun 1206 saka(1284 M). Dengan penaklukan melalui intervensi militer ini Raja Kerajaan Singasari menganggap Kerajaan Bali berada dibawah kekuasaan Singasari (Jawa). Oleh karena belum ditemukan informasi yang tepat dan dapat memberitahukan tentang nama Raja yang berkuasa di Bali pada saat laskar Kertanenegara melakukan invasi militernya ke Bali, maka dianggap intervensi militer berhasil, karena di Bali sedang terjadi kekosongan penguasa. Hampir 120 tahun lamanya setelah pemerintahan Raja Sri Bhatara Parameswara Wirama berakhir tahun 1204 M sampai dengan tahun 1324 M, belum ditemukan buktibukti yang dapat memberikan informasi tentang raja-raja yang secara sah memerintah di Bali. Dalam prasasti yang berangka tahun 1246 saka (1324 M) disebutkan raja yang memerintah di Bali bernama Raja Bhatara Guru. Raja ini dinyatakan memerintah Bali yang berada dibawah pengaruh Singasari. Raja Bhatara Guru kemudian digantikan oleh cucunya bernama Aji Sri Tarunajaya. Dalam prasasti berangka tahun 1260 saka( 1338 M) disebutkan bahwa raja yang memerintah Bali bernama Paduka Bhatara Sri Ashtasura Ratna Bumi Banten. Raja ini menempatkan keratonnnya sebagai pusat pemerintahan di Desa Bedahulu, sehingga raja ini lebih dikenal bernama Prabu Badahulu atau Prabu Bedahulu. Kebenaran tentang masa pemerintahan Raja ini juga dimuat dalam prasasti Perean yang bertahun saka 1261 (1339M). Raja ini ternyata menjadi raja terakhir dari Dinasti raja-raja Bali Kuna, karene kemudian raja dan kerajaan Bali ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1343 M. Setelah jatuhnya pemerintahan Sri Ashtasura Ratna Bumi Banten, akhirnya Patih ulung dengan para arya datang ke Majapahit untuk memohon agar di Bali ditunjuk seorang pemimpin. Akhirnya diangkatlah Mpu Sri Krsna Kepakisan dan beristana di Samprangan, memeluk agama Siva Sidhanta dengan paham Tri Murti. Pada perkembangan selanjutnya pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel dengan ibukotanya Swecapura dan rajanya Dalem Ketut Ngelusir. Pengganti Dalem Ketut selanjutnya adalah Dalem Waturenggong. Pada masa pemerintahannya kerajaan Bali mengalami perkembangan yang sangat pesat. Oleh beliau diangkatlah seorang purohito dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang melakukan Dwijati dua kali :

a. Pertama dalam Bauddha Paksa dengan gelar Dang Hyang Nirartha b. Kedua dalam Siva Paksa dengan gelar Dang Hyang Dwijendra. Selanjutnya Dang Hyang Nirartha berjasa menyatukan paksa yang ada di Bali dengan konsep Tri Purusa yang merupakan konsepsional keesaan Tuhan atau Sang Hyang Widhi, dengan mendirikan bangunan padmasana, yang mulanya dibangun di Pura Besakih. Raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Hindu di Bali : 1. Pasangan raja dan ratu Dharmodayana Varmadewa dan Mahendadatta (989 M-1001 M) 2. Anak Wungsu Dharmodayana Varmadewa (1050 M-1078 M) 3. Sri Maharaja Soka Lendu Kirana 4. Paduka Sri Maharaja Sri Suradhipa 5. Raja Bhatara Haji Uganendra Dharmadewa 6. Jaya Sakti (1146 M-1150 M) 7. Jayapangus (1178 M-1181 M) 8. Paduka Sri Maharaja Haji Ra-ajaya bersama Paduka Srirtaya 9. Paduka Bhatara Guru Sri Adhikunti Ketana 10. Sri Bhatara Parameswara Sri Dhana Dewiketu 11. Raja Sri Bhatara Parameswara Wirama 12. Raja Bhatara Guru 13. Aji Sri Tarunajaya 14. Paduka Bhatara Sri Ashtasura Ratna Bumi Banten 15. Mpu Sri Krsna Kepakisan 16. Dalem Waturenggong Peninggalan-peninggalan kerajaan Hindu di Bali : 1. Mantram Buddha Ye te yang menyatakan tentang Siwa 2. Prasasti Blanjong Sanur 3. Arca Siva 4. Prasasti Sukaswana 5. Candi Gunung Kawi

Anda mungkin juga menyukai