Anda di halaman 1dari 5

PELATIHAN DASAR CPNS GOLONGAN II

ANGKATAN LXXIX
KELAS GABUNGAN (KAB. PASER, KAB. KUBAR,
KAB. KUTIM)

TUGAS AGENDA I : SIKAP PERILAKU BELA NEGARA

SORAYA ANWAR,A.Md.Kep
PERAWAT PELAKSANA
GOLONGAN II
ANGKATAN LXXIX
KELOMPOK 3

I. PEMBUKA
Dalam buku Negara Kertagama disebutkan bahwa di Jawa Timur terdapat suatu
daerah bernama Keling (sekarang Kediri), yang pada saat itu berada dibawah kekuasaan
Kerajaan Majapahit. Sebagai daerah kekuasaan majapahit maka negri itu tentunya
mempunyai kewajiban menyampaikan upeti kepada Raja Majapahit. Adanya kewajiban
yang dirasa memberatkan itulah yang menyebabkan penduduk negri kecil ini tidak merasa
tentram. Usaha kaum pedagang umumnya dirasa sudah tidak menguntungkan lagi. Hal
inilah yang menyebabkan seorang saudagar yang sudah berusia lanjut di negri Keling
bernama Mangkubumi sebelum meninggal berwasiat kepada anaknya yang bernama
Ampu Jatmika. Dalam wasiatnya itu Mangkubumi mengatakan bahwa apabila ia
meninggal nanti supaya Empu Jatmika beserta istri, anak-anak, dan pengikutnya
meninggalkan negri Keling ini dan mencari suatu tempat kediaman yang tanahnya panas
dan wangi baunya.
Setelah kematian orangtuanya berlalu, Ampu Jatmika beserta keluarga dan
pengikutnya meninggalkan negri Keling di Jawa Timur dan berlayar menuju ke utara
menggunakan kapal layar bernama si Prabayaksa dan sejumlah kapal layar lainnya.
Setelah berlayar lama mengarungi lautan, sampailah rombongan itu di Pulau Hujung
Tanah yang kemudian memasuki muara Sungai Barito. Kemudian Rombongan itu mulai
menyusuri anak sungai barito hingga sampai pada lokasi yang menjadi pertemuan antara
Sungai Nagara dan Sungai Balangan. Rombongan Empu Jatmika memutuskan untuk
bermukim di daerah tersebut. Dibawah kepemimpinan Empu Jatmika mereka mulai
membuka hutan di daerah tersebut dan mendirikan tempat tinggal (astana) dan beberapa
rumah perbendaharaan. Sebagai umat beragama Hindu, mereka juga mendirikan sebuah
Candi yang dinamakan Candi Agung untuk menyelenggarakan upacara-upacara adat.
Negri baru yang dibangun oleh Empu Jatmika beserta pengikutnya tersebut kemudian
diberi nama Negara Dipa.

II. NEGARA DIPA


Negara Dipa merupakan negri baru yang dibangun oleh Empu Jatmika beserta
pengikutnya. Empu Jatmika sendiri kemudian bergelar Maharaja di Candi. Dalam Hikayat
Banjar diceritakan bahwa, Empu Jatmika merasa takut “ketulahan” karena bergelar
Maharaja padahal beliau bukan keturunan Raja sehingga, Empu Jatmika memesan
langsung sebuah patung “gangsa” buatan orang cina yang kemudian diletakkan didalam
candi. Patung inilah yang kemudian disembah sebagai ganti Raja di Negara Dipa tersebut.
Selama memerintah Negara Dipa, Ampu Jatmaka melakukan penaklukkan di
daerah-daerah sekitarnya yang berpenduduk pribumi suku Dayak. Ampu Jatmaka
memerintahkan tangan kanannya yang bernama Aria Magatsari untuk menaklukkan
batang Tabalong, batang Balangan dan batang Pitap serta penduduk perbukitannya (suku
Bukit). Ampu Jatmaka juga memerintahkan tangan kirinya yang bernama Tumanggung
Tatah Jiwa untuk menaklukkan Batang Alai, batang Amandit, batang Laobuan Amas serta
penduduk perbukitannya.

III. LAMBUNG MANGKURAT


Setelah beberapa tahun memimpin negri yang dibangunnya tersebut, Empu Jatmaka
diakhir usianya berpesan kepada kedua anaknya bahwa apabila ia meninggal nanti patung
gangsa yang ditempatkan di dalam Candi Agung harus dibuang kelaut, lalu kedua anaknya
harus pergi bertapa memohon pada Dewa Batara agar menunjukkan seorang raja untuk
bertahta di Negara Dipa dan negri-negri sekitarnya. Diingatkan pula oleh Empu Jatmika
bahwa jangan sekali-kali Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat mengangkat diri
sebagai raja, karena keluarga mereka bukan keturunan raja.
Demikianlah setelah Empu Jatmika meninggal, kedua anaknya lalu melakukan
seperti apa yang diwasiatkan oleh ayahnya. Sementara untuk mencari petunjuk dari Dewa
Batara guna menemukan raja bagi Negara Dipa, Empu Mandastana melakukan pertapaan
di gunung Meratus sedangkan Lambung Mangkurat melakukan pertapaan dipinggir sungai
besar.
Dua tahun lamanya mereka bertapa, kemudian diakhir pertapaannya Lambung
Mangkurat menemukan sebuah buih besar yang didalamnya terdengar suara yang lemah
lembut menanyakan apa yang dilakukan Lambung Mangkurat disitu. Kemudian Lambung
Mangkurat menjawab bahwa ia sedang mencari Raja untuk memimpin Negara Dipa. Lalu
suara itu terdengar lagi, suara itu menyebutkan bahwa ia adalah raja yang sedang dicari
Lambung Mangkurat. Suara itu memperkenalkan dirinya sebagai Putri Junjung Buih.
Lambung Mangkurat tampak senang dengan jawaban dari suara itu, kemudian ia berjanji
mempersembahkan candi sebagai istana, tetapi Putri Junjung Buih menolaknya karena di
candi itu pernah diletakkan patung yang disembah sebagai ganti raja. Sebagai gantinya
Putri Junjung Buih meminta untuk dibangunkan sebuah Mahligai, tiangnya haruslah
diambil 4 pohon batung batulis dari Gunung Batu Piring. Mahligai itu harus selesai
dikerjakan dalam satu hari. Selanjutnya 40 orang gadis harus menyelesaikan kain kuning
yang nantinya akan dipakai Putri Junjung Buih sebagai selendang jika ia bepergian.
Setelah mengetahui ini semua, Lambung Mangkurat segera memberi tahu Empu
Mandastana. Rakyat dilarang melayari sungai tersebut sebelum putri naik ke Mahligai. 4
orang patih ditugaskan untuk mengambil 4 pohon batung batulis, serta 40 orang gadis juga
menyanggupi untuk membuat kain tenun untuk selendang putri. Dengan melakukan
upacara kebesaran, berangkatlah Lambung Mangkurat beserta 40 orang gadis yang
berpakaian kuning untuk menjempiut sang Putri Junjung Buih. Dengan khidmat
dipersembahkanlah kain kuning yang ditenun itu kepada sang putri, kemudian keluarlah
putri dari dalam buih dengan berpakaian rapi dan memakai selendang kuning. Dengan
diiringi oleh rakyat, berangkatlah putri Junjung Buih menuju Mahligainya, hanya 40 orang
gadis penggiring yang diperbolehkan tinggal bersama Putri Junjung Buih.
Kini putri Junjung Buih pun menjadi Ratu di kerajaan Negara Dipa dengan
Lambung Mangkurat sebagai mangkubumi kerajaan yang memberikan keputusan penting
dalam hal yang menyangkut negri. Kemudian pada suatu hari Lambung Mangkurat
melihat keponakannya yaitu Bambang Sukmaraga dan Bambang Fatmaraga yang
merupakan anak kembar dari Empu Mandastana itu bermain-main dibawah Mahligai putri
Junjung Buih. Keponakan Lambung Mangkurat ini dikenal sangat rupawan sehingga
membuat putri Junjung Buih jatuh hati dan memberikan sekapur sirih serta bunga
Nagasari sebagai tanda mata. Melihat hal ini, Lambung Mangkurat langsung menegur
keponakannya dan menyuruh mereka untuk Kembali ke kediamannya.
Setelah peristiwa tersebut, Lambung Mangkurat menjadi khawatir jika putri Junjung
Buih ingin menikah dengan salah satu keponakannya itu. Dimana apabila putri menikah
dengan salah satu keponakannya berarti raja Negara Dipa masih ada sangkut pautnya
dengan keturunan Empu Jatmika, orangtuanya. Sehubungan dengan itulah kemudian
Lambung Mangkurat mendapat pesan dari tetua agama bahwa jodoh putri Junjung Buih
adalah keturunan dari Raja di tanah Jawa yang nantinya Lambung Mangkurat sendiri yang
akan menjemput calon suami dari putri Junjung Buih untuk dinobatkan sebagi Raja di
Negara Dipa. Tetapi yang menjadi kendala, putri Junjung Buih sudah terlanjur jatuh hati
pada Bambang Sukmaraga dan Bambang Fatmaraga, bila terjadi pernikahan dengan salah
satu keponakan Lambung Mangkurat itu maka akan terjadi kegemparan di kerajaan dan
diramalkan akan menyebabkan kehancuran negri serta dapat terjadi “ketulahan” karena
jodoh putri Junjung Buih sudah ditakdirkan dewata berasal dari tanah jawa.
Untuk menghindari hal-ha yang tidak diinginkan maka dilangsungkanlah
musyawarah kerajaan yang hasilnya diputuskan bahwa Lambung Mangkurat sendiri yang
akan memisahkan putri Junjung Buih dari keponakannya Bambang Sukmaraga dan
Bambang Fatmaraga. Maka diambillah keputusan oleh Lambung Mangkurat untuk
membunuh keponakannya sendiri yang juga sangat dicintainya demi kemakmuran
kerajaan Negara Dipa dan dijauhkan dari “Bala Ketulahan” yang menurut pemangku
agama dapat menghancurkan negri. Kemudian keesokan harinya Lambung Mangkurat
menemui Empu Mandastana untuk meminta izin akan membawa kedua putranya melunta
dengan perahu namun niatnya adalah untuk membunuh mereka saat menangkap ikan.
Akhirnya pergilah si Kembar bersama Lambung Mangkurat dengan menaiki perahu,
mereka bertiga menuju Hulu selama berhari-hari, hingga tiba pada sebuah Lubuk yang
anak dari Sungai Besayangan. Lubuk itu kini dikenal dengan Lubuk Badangsanak. Kedua
kakak beradik kembar itu diperintah oleh Lambung Mangkurat untuk bercebur karena jala
untuk melunta itu tersangkut. Ketika Sukmaraga muncul kepermukan, Lambung
Mangkurat langsung memukulkan pengayuh perahunya tepat dikepalanya dan
tenggelamlah Sukmaraga. Begitu pula dengan Fatmaraga yang juga mengalami nasib yang
sama. Setelah Lambung Mangkurat menyelesaikan niatnya, dia terduduk sambil menangis
dan menunggu selama beberapa hari munculnya jasad kedua keponakannya, tetapi tidak
juga muncul. Hingga Lambung Mangkurat berteriak memanggil mereka serta terjun
kedalam Lubuk itu, tapi tidak juga ditemukan, hingga akhirnya Lambung Mangkurat
kembali pulang.

IV. PENUTUP
Setelah peristiwa Lambung Mangkurat membunuh keponakannya, ia berusaha agar
kekuasaan di Negara Dipa betul-betul dari orang yang mempunyai keturunan Raja. Karena
itulah kemudian Lambung Mangkurat Bersama beberapa pengikutnya berlayar ke tanah
Jawa untuk menghadap Raja Majapahit meminta salah seorang keturunannya untuk
menjadi Raja di Negara Dipa. Permohonan Lambung Mangkurat itu disambut baik oleh
Raja Majapahit. Sehubungan dengan itu kemudian berangkatlah putra raja majapahit
bernama Raden Putra yang kemudian diberi gelar Pangeran Suryanata ke Negara Dipa
Bersama rombongan Lambung Mangkurat. Sesampainya di Negara Dipa dilaksanakanlah
“pendudusan” (pelantikan) Raja di Balai Pendudusan. Kepala Pangeran Suryanata
dipakaikan Mahkota yang ternyata cocok di kepala Pangeran Surayanata. Itu artinya yang
memakainya telah direstui menjadi Raja di negri tersebut. Bersama itu pula dilangsungkan
pernikahan antara Pangeran Suryanata dengan Putri Junjung Buih.

V. KESIMPULAN
Menurut opini saya sikap Lambung Mangkurat dalam kisah ini penuh
pertanggungjawaban terhadap kedudukannya sebagai pemangku kerajaan. Beliau
memegang erat wasiat orangtuanya yang melarang keluarganya mengangkat diri sebagai
raja agar tidak terjadi musibah terhadap negri yang dibangunnya. Bahkan beliau lebih
memikirkan kemakmuran serta masa depan rakyat kerajaannya. Hanya saja caranya yang
terlalu ekstrem, yaitu dengan membunuh keponakannya sendiri. Jadi kembali lagi, dari sisi
mana kita menilai perbuatan seseorang.
Sumber :

1. https://id.wikipedia.org/wiki/Lambung_Mangkurat
2. http://hisamihalidi.blogspot.com/2011/07/lambung-mangkurat.html
3. https://web.facebook.com/miladkesultananbanjar/photos

Anda mungkin juga menyukai