Di tempat itu, Sibaitang memperoleh dua anak laki-laki dalam perkawinannya. Masing masing
bernama si Muara dan Sipartomuan. Dikemudian hari si Muara pergi membuka perkampungan baru
yang dibelakang hari dikenal dengan Manambit. Sedangkan si Partomuan pergi lagi ke Huta Dakka
lalu menjadi raja di tempat itu.
Keturunannya membuka perkampungan baru, kemudian berkembang menjadi Tamiang. Sebagian ada
pula yang membuka perkampungan lain, kemudian berkembang menjadi Huta Pungkut.
Semua keturunan Sibaitang juga bermarga Lubis, dan secara khasnya disebut Lubis singasoro
yang berkembang di kawasan Selatan Kotanopan. Sedangkan keturunan Silangkitang bermarga Lubis
singengo berkembang dikawasan utara Kotanopan.
Lama kelamaan keturunan Silangkitang dan Sibaitang yang bermarga Lubis menjadi raja – raja di
tempat Mandailing julu sampai ke Pakantan.
Dari cerita legenda ini, dapat diambil kesimpulan bawa Daeng Malela yang kemudian
bergelar Namora Pande Bosi mempunyai empat orang istri.
Salah seorang istrinya disebut sebagai putri bunian, yang melahirkan Silangkitang dan Sibaitang,
kemudian hari melahirkan orang-orang Mandailing bermarga Lubis.
Istri pertama dikawininya ketika ia singgah di Toba dan mendapat anak laki-laki yang bermarga si
Tonggo Lubis. Di daerah Toba sampai sekarang memang terdapat orang-orang bermarga Lubis dan
ada kampung bernama Huta Lubis. Di Sigalangan, Namora Pande Bosi memperistri Silenggana Boru
Dalimunte. Melahirkan dua orang putra bernama Sutan Bugis dan Butan Burayun, yang kemudian
menurunkan orang-orang bermarga Hutasuhut.
Disamping itu, ia juga memperistri seorang gadis dari Pijor Koling yang tidak jauh dari
Sigalangan. Kemudian melahirkan dua orang putra yaitu Sipanawarih dan Sibargot Lage yang
kemudian menurunkan orang orang bermarga Pulungan di Huta Bargot, dekat dengan kota
Panyabungan.
Dapat disimpulkan, bahwa keturunan Namora Pande bosi terdiri atas tiga marga, masing-masing
adalah Lubis, Huta Suhut dan Pulungan, mereka mendiami beberapa tempat di wilayah Tapanuli
Selatan.
Dalam struktur hukum adat Mandailing dikenal sistem kekerabatan yang disebut Dalihan Na
Tolu. Secara etimologis Dalihan Na Tolu berarti `tungku yang tiga` tempat untuk menjerangkan
periuk ke atas api pada waktu memasak. Ketiga tungku ini berukuran sama dan harus disusun dalam
keadaan seimbang sehingga kecil kemungkinan periuknya untuk jatuh. Adanya ketiga tungku yang
sama menunjukkan bahwa masyarakat Mandailing mempunyai persamaan derajat, yang berbeda
adalah tugas dan fungsi mereka di dalam adat. Dalihan Na Tolu merupakan lambang semua kekuatan
peradatan yang ada dan menjadi sumber dari semua peraturan-peraturan adat yang ada.
Adapun yang dimaksud dengan ketiga tungku itu adalah kahanggi, anak boru dan mora.
Kahanggi adalah barisan orang yang semarga atau sepewarisan, unsur dari kahanggi ini termasuk
juga, saama saina, marangka maranggi, saama saompu, saparamaan, saparompuan, sabonasaha
turunan. Kemudian kahanggi parabean yaitu kerabat yang istrinya berasal dari keluarga yang sama
dengan keluarga istri kahanggi. Kahanggi dan kahanggi parabean di dalam siding adat berada dalam
satu kelompok. Di Toba kahanggi ini disebut juga sebagai dongan sabutuha ini berarti satu ayah satu
marga.
Menurut adat istiadat sesama kahanggi tidak dibenarkan untuk kawin walaupun kahanggi
jauh. Nmun belakangan ini, dongan samarga yang ditabukan untuk dinikahkan sudah banyak yang
melanggarnya. Dimana sudah banyak Nasution mengambil boru Nasution, Lubis mengambil boru
Lubis, dan di daerah lainpun sudah banyak yang ikut-ikutan.
Anak boru adalah kelompok kerabat yang mengambil istri dari mora atau orang yang
bermarga lain dari kita yang merupakan kelompok yang menikahi anak gadis kita atau semua famili
pihak suami saudara kita perempuan, anak boru ini harus hormat kepada moranya, walaupun di dalam
kedudukan pekerjaan atau jabatan anak boru lebih tinggi, akan tetapi dia harus hormat dan patuh
kepada semua permintaan moranya. Tugas-tugas anak boru adalah sebagai pekerja di dalam satu
peradatan dan harus menyenangkan hati pihak moranya. Dari pihak anak boru ini juga diangkat salah
satu kepala dari kumpulan anak boru dan dinamakan orang kayo atau bendahara. Orang kayo ini
merupakan pimpinan dari semua anak boru yang ada, serta mengatur semua tugas-tugas anak boru
yang sudah dibebankan kepadanya.
Mora adalah kelompok yang borunya diambil oleh pihak anak boru atau kelompok orang-
orang tempat kita mengambil boru atau istri, atau semua famili pihak saudara ibu ataupun keluarga
menantu kita perempuan. Pihak mora sangat sayang kepada pihak anak borunya, demikian pula
sebaliknya. Mora ni mora disebut juga hula-hula, artinya mora dari mora. Kemungkinan besar mora
dari mora ini semarga dengan pisang raut dan memiliki dua jalinan kekerabatan yaitu sebagai mora
dan sebagai kahanggi. Boru atau anak-anak gadis dari mora disebut boru tulang halalango bagi anak
laki-laki pisang raut. Anak gadis tersebut sebenarnya boru tulang akan tetapi setara pula dengan
iboto, jadi bukan boru tulang sesungguhnya. Mora ni mora ini tidak mempunyai tugas khusus dalam
satu horja yang diadakan. Mora ini ada pula dua macam : 1). Mora yang anak gadisnya diambil oleh
anak boru, 2). Mora pusaka. Mora pusaka ini berasal dari turunan dari turunan-turunan pengambilan
terdahulu.
4. SIFAT BAIK SIFAT BURUK
Lubis" mempunyai kepribadian Peduli sesama, dermawan, tidak mementingkan diri sendiri,
patuh terhadap kewajiban, ekspresi kreatif.
Laki laki yang bermarga lubis biasanya memiliki sifat yang pemalu dan pendiam(pohom-
pohom).
Sedangkan perempuan yang bermarga lubis biasanya memiliki sifat yang cerewet dan
pemarah (bek bek).
Tugu tumanggo
Tugu ini berada di hutan
Silubis si borong borong
Tuan Syech Arsjad Thalib Lubis (EYD:Arsyad Thalib Lubis) (08 Oktober 1908 – 06 Juli
1972) adalah seorang Politikus Indonesia, Penulis, Ulama, dan tokoh pendiri Al Washliyah. Ia adalah
anak ke lima dari delapan bersaudara, ayahanda ia bernama H. Lebai Thalib Lubis bin Haji Ibrahim
Lubis. Perkataan Lebai menunjukkan ia seorang ulama di daerahnya. Ibunya bernama Markoyom
binti Abdullah, kakek Muhammad Arsyad Thalib Lubis bernama Ibrahim Lubis yang berasal dari
Kabupaten Tapanuli Selatan.
B. Bidang angkatan
Mayor Jenderal TNI (Purn.) Erwin Hudawi Lubis (lahir 7 Agustus 1956) adalah seorang
purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Darat lulusan Akademi Militer tahun 1980. Dia pernah
menjabat sebagai Pangdam XII/Tanjungpura (2011 - 2012) dan Pangdam Jaya (2012 - 2014).
C. Dibidang Olahraga
Zulkarnaen Lubis (21 Desember 1958 – 11 Mei 2018) adalah salah seorang mantan pemain
nasional sepak bola Indonesia dari klub PSMS Medan pada era 1970-an. Dia adalah pemain PSMS
Medan (1979-1980) dan Mercu Buana Medan (1981-1982), sebelum memperkuat klub-klub elite di
Pulau Jawa, di antaranya Yanita Utama Bogor.
D. Dibidang pemerintahan
H. Basyrah Lubis, S.H. (lahir 19 Juni 1961) adalah Bupati Padang Lawas periode 2009—
2012. Ia diberhentikan dari jabatan Bupati karena tersangkut kasus Korupsi.[1] Ia digantikan oleh Ali
Sutan Harahap Melanjutkan jabatan Bupati Padang Lawas.
E. Di bidang politik
F. Dibidang seni
Batara Lubis adalah Seorang Pelukis yang mempunyai karakter dengan corak warna yang
kontras. Ia hijrah dari Medan dan menetap di Yogyakarta belajar ilmu Seni Lukis.Ia adalah Anak dari
mantan Gubernur Sumatra Utara Raja Djundjungan Lubis.