Anda di halaman 1dari 14

KONSEP DALIHAN NA TOLU

Pemahaman terhadap sistem dalihan na tolu harus betul dikuasai. Ketika mengikuti perhelatan adat
mandailing. Bagaimanakah hubungan kekerabatan seseorang dengan pelaksana acara. Apakah sebagai
mora, kahanggi, anak boru. Dalihan natolu (tiga tumpuan) yang masing – masing memiliki tugas dan hak
yang mesti dipenuhi. Filosofi mandailing mengatakan:

a. Somba Marmora (Santun kepada mora)


b. Manat manat markahanggi (Perhatian kepada Kahanggi)
c. Elek maranak boru (Sayang kepada anak boru)

Sedangkan kebalikannya adalah :

a. Muda nialo kahanggi urang panoboti (jika berseteru dengan kahanggi maka tidak akan kokoh, tidak
ada kawan bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu)
b. Muda nialo anak boru urang ma pargogo (Jika berseteru dengan anak boru maka akan kurang
mendapatkan sokongan dan dukungan)
c. Muda nialo mora inda marsinabue suan – suanan (Jika berseteru dengan mora maka perkembangan
keturunan kita kurang banyak)

A. MORA
Mora harus dimuliakan karena telah memberikan anak gadisnya sebagai ibu yang akan melahirkan
pewaris marga. Mora juga dapat dijadikan sebagai tempat mengadukan kesusahan. Dalam kaitan tersebut
maka mora sering diungkapkan:
1. Mataniari na so gakgakon (mora di ibaratkan sebagai matahari yang tidak dapat ditentang
cahayanya)
2. Liung na turuk naso tungkiron (mora dilambangkan sebagai jurang yang dalam yang membuat kita
gemetaran kalau memperhatikannya).
3. Ulu ni bondar na so asopsopan (mora sebagai hulu mata air yang tidak tertimbuni)
B. Kahanggi
Kahanggi adalah saudara semarga atau kelompok marga lain yang menjadi kahanggi kita karena satu
besanan (Kahanggi Pareban) Kahanggi adalah saudara penderitaan. Dalam segala hal, kahanggilah orang
yang pertama kita ajak berunding, membantu, bekerja sama dengan mora diumpamakan sebagai :
1. Gotap tumpuan aek (memiliki hubungan erat, tidak terpisahkan seperti air yang di tebas)
2. Sasiriaon sasidangolan (senasib sepenanggungan)
3. Ulu ni bondar na so asopsopan ( persatuan erat yang diwujudkan seperti memiliki anak yang sama)
C. Anak Boru
Anak boru adalah pihak yang senantisa berutang kepada mora sepanjang adat karena telah
mempersunting anak gadis dari pihak mora. Oleh sebab itu dalam segala cara yang dilaksanakan pihak anak
boru adalah pihak yang bertanggung jawab untuk menyukseskan horja tersebut. Dengan demikian maka
hendaklah pandai – pandai mengambil hati anak boru. Ada beberapa ungkapan yang sering diungkapkan
kepada anak boru :
1. Sitamba na urang siorus na lobi (orang yang bertanggung jawab untuk menutupi kekurangan dan
membatasi keperluan )
2. Sulu sulu na golap, tungkot di na landit (pendukung atau penopang dalam keadaan yang sulit)
3. Di ginjang jadi tiang bungkulan di toru manjadi sinot (ditempatkan diatas untuk menjadi penyokong
atau tiang bubungan, dibawah menjadi pasak penguat)
Ketiga unsur yang dijelaskan diatas : mora, kahanggi, anak boru adalah kesatuan yang saling
membutuhkan sehingga disebut sebagai dalihan (tungku batu) yang terdiri atas tiga batu yang sama
tingginya. Manakala salah satu batu tumpuan tersebut tidak ada atau tidak sama tegak maka tumpuan
tersebut tidak berfungsi sempurna. Dalihan na tolu adalah asas yang menjadi landasan bertingkah laku
dalam adat mandailing. Falsafah ini digambarkan dengan segitiga sama sisi; mora, kahanggi, dan anak boru
yang memiliki kedudukan yang sama dnegan fungsi yang berbeda.

No Jabatan Adat Fungsi


1 Suhut Mengutarakan pokok masalah yang akan dilaksanakan dalam acara atau
upacara adat
2 Kahanggi Memberikan penguatan terhadap maksud dan keinginan suhut
3 Anak boru Memberi dukungan penuh serta ikut memohon atas permintaan suhut
4 Mora Memberi izin dan suka cita ata permohonan dan permintaan suhut
5 Hatobangon Memertegas dan memperjelas permintaan suhut dan ulasan terhadap mora
6 Namora Natoras Merangkum, merestui, merevisi, siding kerapatan
7 Harajaon Menyimpulkan dan mengundang keputusan siding dan kerapatan adat

TOR TOR PADA HORJA GODANG

Tari atau Tor-tor di daerah Tapanuli Selatan digunakan dalam acara-acara tertentu misalnya
pesta perkawinan, acara penyambutan tamu-tamu terhormat, memasuki rumah baru, atau kelahiran
anak (aqiqah). Tor-tor adalah tarian yang gerakannya seirama dengan iringan musik, yang
dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, dan ogung. Tor-tor biasanya
dihadirkan pada saat pesta besar yang biasa disebut dengan horja godang. Sebelum horja godang
dilaksanakan, tempat dan lokasi pesta dibersihkan lebih dulu, supaya pelaksanaan horja godang
tersebut jauh dari marabahaya.
Tor-tor digunakan pada upacara adat perkawinan masyarakat Tapanuli Selatan, tetapi tidak
semua perkawinan yang ada di daerah Tapanuli Selatan menggunakan tor- tor. Tor-tor hanya
digunakan pada
perkawinan yang besar yang disebut dengan horja godang, dan pada saat itulah
margondang dilaksanakan. Margondang adalah sebutan untuk pesta atau pelaksanaan horja
godang. Horja godang dan margondang adalah perangkat adat Tapanuli Selatan yang tidak bisa
dipisahkan. Jika tidak ada horja godang maka margondang pun tidak akan dilaksanakan. Horja
godang dilaksanakan selama satu hari satu malam, tiga hari tiga malam, atau tujuh hari tujuh
malam. Saat ini, masyarakat lebih sering melaksanakannya selama satu hari satu malam atau
tiga hari tiga malam. Setiap pelaksanaan upacara adat, ada manortor (menari), tetapi dalam
manortor tidak terdapat panortor (penari) khusus, dengan demikian adat pada hakekatnya
menghendaki agar semua orang yang berhak melakukan tor-tor dalam upacara adat dapat
manortor. Dalam upacara adat perkawinan yang disebut horja haroan boru
(pesta kedatangan pengantin yang dilaksanakan di tempat laki- laki) manortor boleh
ditarikan setelah selesai maralok-alok (penyampaian pidato adat dalam suatu upacara adat).
Manortor dalam suatu adat perkawinan tidak boleh dilakukan berpasangan laki- laki dan
perempuan, kecuali ketika tor-tor naposo nauli bulung (tor-tor muda-mudi) dengan ketentuan
muda-mudi yang manortor tidak boleh satu marga.

Tor-tor pada upacara adat perkawinan Tapanuli Selatan diberi nama sesuai dengan status
adat yang di gunakan pada saat upacara perkawinan tersebut. Oleh karena itu tor-tor dalam
upacara perkawinan dikategorikan sebagai berikut :
1. Tor-tor Suhut Bolon
2. Tor-tor Kahanggi
3. Tor-tor Anak Boru
4. Tor-tor Raja-raja Torbing Balok
5. Tor-tor Panusunan Bulung
6. Tor-tor Naposo Nauli Bulung
7. Tor-tor Manora Pule (pengantin) Seluruh
tor-tor tersebut diatas,ditarikan pada hari pertama, kedua dan ketiga. Setiap tor-tor di atas
selalu dimulai dari pihak laki- laki sampai selesai, kemudian dilanjutkan oleh pihak perempuan dan
begitu seterusnya. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk menjelaskan tor-tor sebagai
sebuah bentuk tari pada upacara perkawinan masyarakat Tapanuli Selatan

1. Pengertian Tor-tor
Menurut Tambunan (1977: 170), secara leksikal kata tor-tor berarti gerakan. Pengertian ini
diambil dari kata kerja manortor (menari). Tor-tor merupakan kebudayaan yang cukup lama
tanpa diketahui siapa penggagasnya. Tor-tor memiliki keunikan dan ciri khas yang
menempatkan tor-tor sebagai bagian dalam acara-acara adat. Tor-tor adalah tarian yang
gerakannya seirama dengan iringan musik yang dimainkan oleh alat-alat musik tradisional
seperti gondang, suling, dan ogung. Bagi etnis Tapanuli Selatan, tor-tor bukan hanya gerak yang
indah semata, tetapi harus berlandaskan falsafah kehidupan dan ritual serta merupakan bagian
dari ritual adat yang digerakkan secara simbolis. Tor-tor berarti gerakan tubuh yang teratur,
terlatih dan menjadi yang diakui dan didukung serta memiliki ciri-ciri tertentu yang dapat dilihat
dan dinikmati oleh pelakunya dan penonton.

2. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Tapanuli Selatan adalah Dalihan Natolu yang terdiri
dari : (1) mora, (2) kahanggi dan, (3) anakboru.
Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Mora ini menempati posisi yang paling dihormati
dalam pergaulan dan adat- istiadat Batak Mandailing sehingga kepada semua orang Batak
Mandailing dipesankan harus hormat kepada Mora. Kahanggi disebut juga Dongan Sabutuha
adalah saudara laki- laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti
batang pohon yang saling berdekatan dan saling menopang. Kedekatan tersebut kadang- kadang
berakibat saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga (silsilah
keturunan) bisa terpisah.
Kepada semua warga Mandailing dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga,
diistilahkan dengan manat mardongan tubu (hati- hati dalam menjaga hubungan dengan saudara
satu marga agar tidak terjadi perselisihan). Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil
isteri. Anak Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas (istilah yang mempunyai
maksud apabila dalam pelaksanaan upacara adat posisinya di bagian belakang/ dapur) baik dalam
pergaulan sehari- hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Meskipun berfungsi sebagai
parhobas bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena- mena. Melainkan pihak anak boru harus
diambil hatinya, dibujuk, atau diistilahkan dengan Elek maranak boru.

Tor-tor Bagi Masyarakat Mandailing


Bagi masyarakat Mandailing , tor- tor tidak hanya tarian, tetapi sebuah karya yang diciptakan
berdasarkan tujuan untuk apa tor-tor itu digunakan. Dalam pelaksanaannya, tor-tor diiringi musik
tradisional masyarakat Tapanuli Selatan seperti gondang, suling dan ogung, yang juga memiliki
tujuan dalam pelaksanaannya. Tor-tor ini merupakan salah satu media utama bagi masyarakat
Tapanuli Selatan dalam pelaksanaan upacara adat, seperti memasuki rumah baru, kelahiran anak
(aqiqah), membuka kampung, dan horja haroan boru (upacara adat perkawinan masyarakat
Tapanuli Selatan). Motif- motif Gerak Tor-tor Tapanuli Selatan adalah sebagai berikut:
a. Gerak mayomba tu raja (hormat pembuka)
b. Gerak markusor
c. Gerak singgang
d. Gerak manyomba tu raja (hormat penutup)
Tor-tor menjadi sangat penting, karena melalui pelaksanaan tor-tor kegiatan adat yang
dilaksanakan akan mewujudkan harapan masyarakatnya.

a) Tor-tor Suhut Bolon


Urutan pertama dalam manortor selalu dimulai oleh suhut (tuan rumah) karena suhut adalah
yang punya pesta dan yang membiayai semua persiapan pesta. Pada saat suhut manortor (suhut
menari) dimulai oleh suhut pihak laki- laki, setelah suhut laki- laki selesai manortor kemudian
masuklah suhut pihak perempuan.

Tor – tor suhut pihak laki – laki Tor-tor suhut pihak perempuan

b) Tor-tor Kahanggi
Kahanggi adalah saudara laki- laki yang satu marga dengan suhut

c) Tor-tor anakboru
Anak boru adalah pihak atau kelompok keluarga yang mengambil istri.

d) Tor-tor Raja Torbing Balok


Raja-raja torbing balok adalah raja-raja adat dari kampung sebelah.
e) Tor-tor Raja Panusunan Bulung

Raja panusunan bulung adalah raja yang paling tinggi posisinya atau jabatannya dalam
paradaton (adat) masyarakat Tapanuli Selatan dalam melaksanakan upacara adat.

f) Tor-tor Naposo Nauli Bulung


Tor-tor naposo nauli bulung atau sering disebut dengan tor-tor muda- mudi.

g) Tor-tor Namora pule (Pengantin)


Tor-tor namora pule (pengantin) adalah tor-tor yang ditarikan oleh pasangan pengantin,
yang mana kedua pengantin manortor di depan kedua orang tua dan keluarga besar dari pihak
pengantin laki- laki.

Sebelum pelaksanaan horja godang haroan boru diberitahukan kepada masyarakat, terlebih
dulu diadakan martahi ungut-ungut (musyawarah antara kedua orang tua), dilanjutkan dengan
tahi ulu ni tot (musyawarah dengan pihak keluarga besar). Pada musyawarah ini ayah dan ibu
bercerita kepada keluarga, bahwa mereka akan mengadakan pesta besar untuk membuktikan
meraih kebahagian, karena anaknya akan menikah. Setelah diperoleh kesepakatan, kemudian
dilaksanakan tahi godang (musyawarah besar) yang dihadiri raja-raja, hatobangon (pemuka adat)
serta seluruh masyarakat kampung. Setelah tanggal dan waktu pelaksanan horja godang
ditetapkan, maka pihak keluarga besar mulai mempersiapkan acara tersebut. agar ketika pada
puncak acara, suhut tidak mendapat malu kepada para undangan dan para raja- raja.
Horja godang dilaksanakan selama tiga hari tiga malam, dan di bagi atas tiga bagian yaitu:
(1) hari pertama disebut dengan panaek gondang, (2) hari kedua disebut dengan mangalo-alo
mora, dan (3) hari ketiga disebut dengan patuaekkon.

Panaek gondang
Pada hari ini, acara mulai sekitar pukul
09.00 pagi. Dengan melaksanakan acara sidang adat, yaitu makkobar suhut sihabolonan (yang
punya pesta/ horja) menyampaikan maksud dan tujuanya kenapa mereka mengadakan horja
godang. Setelah selesai, kira-kira pukul 12.00 siang mulailah gondang dinaikkan yang
kemudian suhut suhabolonan manortor di dalam rumah

Mangalo-alo Mora
Mangalo-alo mora (menyambut mora), dilaksanakan pada hari ke dua, kira- kira pukul 13.00
siang. Sebelum mora datang, dilakukan marosong-osong, yaitu menjalin kembali atau mengingat
kembali tali persaudaraan yang renggang. Pada waktu ini anak boru datang bersama anaknya (anak
mamboru) untuk diperkenalkan kepada boru tulangnya (putri dari mora/ suhut).

Setelah selesai acara marosong osong, dilanjutkan ke acara mangalo-alo mora. Pada bagian ini,
suhut dan semua pihak kahanggi dan anak boru bergerak ke pintu gerbang untuk menyambut
mora.

Patuaekkon
Hari ketiga adalah hari terakhir pelaksanaan upacara adat yang disebut mata ni horja
(puncak dari pesta). Di hari ini acara patuaekkon dilaksanakan, yaitu kedua pengantin dibawa
ketapian raya bangunan (sejenis bangunan yang terbuat dari kayu dan memiliki anak tangga
yang khusus disediakan untuk acara patuaekkon). Peralatan yang dibawa untuk acara patuaekkon
yaitu pangir (sejenis air yang dicampur dengan jeruk purut), beras kuning, kapur sirih dan kelapa
muda. Adapun makna dari patuaekkon adalah untuk menandakan bahwasanya kedua pengantin
tersebut sudah melepaskan masa lajangnya, dan sudah berumah tangga.
Setelah acara patuaekkon selesai dilaksanakan, maka kedua pengantin akan dibawa ke bagas
godang untuk acara mangupa (serangkaian upacara adat untuk mengembalikan tondi ke badan).
Acara mangupa merupakan penutup dalam horja godang haroan boru

SUKU ETNIK DI MANDAILING NATAL

Pedalaman pesisir pantai barat daya pulau Sumatera terdapat dua suku-bangsa Proto
Malayan, yaitu Suku Lubu (Siladang) di Panyabungan dan Suku Ulu (Urak Ulu) di Muara Sipongi,
Kabupaten Mandailing Natal (Madina) sekarang. Suku Lubu dan Suku Ulu ini sejak abad ke-2
Masehi diperkirakan telah bermukim di Pulau Sumatera, tepatnya di pedalaman pesisir pantai barat
daya Pulau Sumatera, yaitu di luat (wilayah) Mandailing, tepatnya di kaki-kaki pegunungan Bukit
Barisan.
Berikut ini diuraikan sedikit tentang beberapa aspek kehidupan Suku Lubu dan Suku Ulu.

1. URAK ULU (MUARA SIPONGI)

Urak Ulu (Suku Ulu) atau sering juga disebut "Orang Tanah Hulu", adalah suatu
masyarakat adat yang tempat pemukimannya terletak di Desa Sibinail dan Desa Tamiang Mudo di
kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatra Utara. Diperkirakan
populasi suku Ulu ini sekitar 135 Kepala Keluarga.
Suku Ulu ini telah eksis di banua (kawasan) Mandailing sejak awal abad ke-2 Masehi, yang
bermukim di hutan pedalaman di luat (wilayah) Mandailing. Ketika itu mereka hidup sebagai
nomaden, menjelajah di hutan pedalaman, dan tidak menetap pada suatu tempat secara permanen.
Namun kemudian akhirnya mereka menemukan suatu tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai
lahan pertanian (sawah dan ladang). Namun lama kelamaan setelah mereka menetap dan
membangun perkampungan di daerah baru tersebut, pemukiman mereka di perkampungan ini
semakin terasa sempit, sementara mereka masih membutuhkan lahan untuk memperluas tanah
garapan. Pada masa itu lahan di pemukiman mereka semakin terbatas seiring dengan pertambahaan
penduduk. Wilayah pemukiman mereka dianggap tidak mencukupi lagi sumberdaya alamnya, baik
persawahan maupun perladangan, sehngga mereka memilih pergi untuk mencari tempat baru untuk
dijadikan pemukiman dan lahan pertanian baru. Akhirnya sampailah mereka di suatu tempat dan
membuat sebuah perkampungan yang disebut sebagai Desa Sibinail di Muara Sipongi.
Pada awalnya di daerah Sibinail ini sudah dihuni oleh tiga suku yang telah lebih dahulu
bermukim di wilayah ini, yaitu Suku Mondoilig (Mandailing), Suku Pungkut dan Suku Kamak
Kepuh. Keturunan dari tiga suku yang mendiami Desa Sibinail ini berbaur pula dengan suku Ulu.
Desa Sibinail ini dalam perjalanan sejarahnya, awalnya terdiri dari tiga Dusun yaitu Dusun
Sibinail, Dusun Ranto Lolo dan Dusun Tamiang Mudo. Setelah sekian lama, ketiga dusun tersebut
semakin berkembang, lalu digabungkan dan membentuk dua desa, yaitu Desa Sibinail dan Desa
Tamiang Mudo.
Sewaktu Perang Paderi yang bergolak pada akhir abad ke-19, sebagian penduduk dari
ketiga dusun tua tersebut pindah ke tempat pemukiman lain yang dikenal dengan sebutan Sipaga-
paga di luat Panyabungan (Mandailing Godang) yang dihuni oleh Suku Lubu yang lebih dikenal
sebagai Alak Siladang (Suku Siladang). Perpindahan mereka dikabarkan karena menghindar dari
pasukan serdadu Paderi. Di tempat baru tersebut mereka berbaur dan terjadi perkawinan campur
dengan Suku Siladang yang menyebabkan terbentuknya bahasa dan adat-istiadat tersendiri, yang
berbeda dengan bahasa dan adat-istiadat penduduk di Sibinail. Sedangkan sebagian lain yang
bertahan di desa Sibinail dan desa Tamiang Mudo, tetap mempertahankan adat-istiadat asli mereka
hingga saat ini, dan tetap memakai identitas diri sebagai suku Ulu atau Alak Ulu.
Bahasa Suku Ulu sendiri berbeda dengan bahasa Mandailing. Bahasa Ulu ini tampaknya bernuansa
Melayu, tetapi bisa jadi lebih tua dari bahasa Melayu itu sendiri. Selain itu bahasa Suku Ulu ini
juga menyerap perbendaharaan kata dari bahasa Mandailing, sehingga terjadi perubahan pada
pengucapan bunyi, yang menyesuaikan dengan dialek Suku Ulu.Secara klasifikasi bahasa, bahasa
Ulu diklasifikasikan ke dalam rumpun bahasa Malayic (Melayu Purba).
Masyarakat suku Ulu saat ini mengandalkan hidup pada bidang pertanian terutama pada
persawahan dan perladangan. Selain itu mereka juga banyak menjadi buruh tani.
Contoh kata-kata dalam bahasa Suku Ulu, antara lain: "aengko" = kau, engkau; "bulih" = boleh;
"denga" = dengar; "dilihek" = dilihat; "dioso" = tahu, tau; "dusto" = dusta; "elah" = sudah; "idenga"
= didengar; "iko" = ini; "indo" = tidak; "ingek" = ingat; "ke" = kan; "kirit" = kirim; "kiro-kiro" =
kira-kira; "ko" = ke; "koro" = kalau; "liaek" = lihat; "lihek" = lihat; "minto" = minta; "mono" =
mana; "siopo" = siapa; "torus" = terus; dan "urak" = orang.

2. SUKU LUBU (SILADANG)

Selain Suku Ulu, di Mandailing juga terdapat Suku Lubu atau lebih dikenal dengan sebutan
Alak Siladang oleh orang Mandailing, yang di masa lalu mereka dipandang sebagai "suku terasing"
dengan bahasa dan adat-istiadat yang berbeda dengan bahasa dan adat-istiadat masyarakat
Mandailing.
Tempat pemukiman Suku Siladang yaitu di Desa Siladang. Desa ini memang tidak begitu
besar, namun desanya memanjang. Nama desa ini sekarang di beri nama Sipapaga, tidak jauh dari
ibukota Kabupaten Madina yaitu Panyabungan. Di sekitar tempat pemukiman mereka berkebun
karet dan pohon aren yang amat luas sebagai mata pencaharian utama. Mereka memasak air nira
dari pohon enau untuk diolah jadi gula, yang dimasak di luar rumah dengan membuat gubuk
khusus di depan rumah mereka.
Bahasa Suku Siladang yaitu Bahasa Siladang adalah bahasa yang digunakan oleh
masyarakat Siladang, yaitu sebagian penduduk yang bermukim di bagian Utara daerah
Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal. Secara geografis,masyarakat Siladang tinggal di
lembah perbukitan Tor Sihite. Pada bagian Timur, Utara, dan Selatan berbatasan langsung dengan
suku Mandailing yang menggunakan bahasa berbeda dengan Bahasa Siladang, yaitu bahasa
Mandailing. Secara historis, dalam literatur Belanda Adatrechtbundels SerieA No. 25 (Maret 1916
- 1 Mei 1919) tentang masyarakat Siladang dinamakan Lubu dan Ulu di Afdeeling Mandailing
(Residentie Tapanoeli).
Tempat pemukiman di lembah Tor Sihite tersebut didiami oleh dua suku yaitu orang Lubu
dan orang Ulu. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa suku Lubu dan Ulu masih menganut sisa-
sisa agama animisme Hindu. Mereka berasal dari Minangkabau yang melarikan diri ke Mandailing
karena sebelum adanya pembahagian suku di kalangan orang Minangkabau di zaman dahulu telah
terjadi banyak peperangan-peperangan. Orang-orang Lubu dan Ulu tersebut melarikan diri ke
tengah hutan sehingga hidup mereka menjadi terisolasi dan menjadi setengah liar. Pada umumnya
mereka memakai pakaian yang terbuat dari kulit kayu dan beberapa hiasan untukmenutupi bagian
bawah badan (setengah telanjang). Pekerjaan orang Ulu adalah berladang dan berburu serta
mengumpulkan hasil hutan, yang ditukarkan dengan penduduk Lubu. Senjata mereka ialah
sumpitan dengan panah-panah beracun. Orang Ulu mempunyai rumah dan pakaian lebih baik dari
orang Lubu.
Laporan J. Kreemer (1912) dalam De Loeboes in Mandailing dinyatakan bahwa orangLubu
berdiam di daerah Padang Lawas dan Mandailing yang terbagi atas 11 pemukiman. Padatahun
1891 pengambilan sensus mentabulasi jumlah mereka 2033 jiwa. kemudian berdasarkan statistik
kependudukan tahun 1975, penduduk Siladang berjumlah 1113 jiwa denganrincian : 1. Kampung
Sipapaga, luas 10 HA dengan jumlah penduduk 264 jiwa dan terdiri dari 55 rumah tangga; dan 2.
Kampung Aek Banir, luasnya 8 HA dengan jumlah penduduk 849 jiwa.

Contoh kata-kata dalam Bahasa Siladang, antara lain: "ivang" = mereka; "loki" = laki; "ipah" =
lepas; "pajusi" = gadis; "léhé" = leher; "aé" = air; "hélé" = hilir; "apé" = api; "jalme" = manusia;
"amai" = ibu; "balinda" = lari; "holo" = alu; "mentuhe" = mentua; "edi" = ndik; "tobo" = terbang;
"bopo" = bapak : "baso" = basuh; "pavéok" = periuk; "lopoi" = lapar; "podo" = lpadang; "ponjo" =
panjang; "topo" = tapak; "botu" = batu; "tomi" = tumit; "amai" = ibu; dan "hanau" = enau.
Tradisi Lisan Mandailing
No Nama Penggunaan Keterangan
1. Mangambat Upacara menghalang-halangi pengantin Hampir punah
wanita yang akan diboyong ke rumah
pengantin laki-laki
2. Mangandung Nyanyian tradisional yang menyiratkan
keluh-kesah dan ratapan seperti istri Punah
yang ditinggal mati suami, anak gadis
yang akan berangkat ke rumah
suaminya selesai menikah
3. Mangalehen mangan Tradisi memberikan upa-upa kepada Hampir punah
anak perempuan yang akan menikah,
4. Mangupa Tradisi memberikan upa-upa kepada Hampir punah
anak laki-laki yang menikah, pada saat
terlepas dari suatu bencana, atau setelah
mendapat kelulusan, pangkat dll.

5. Manjeir Nyanyian tradisi/religi yang mengiringi Hampir punah


tor-tor adat Mandailing
6. Maralok-alok Menyampaikan pengaturan pembicaraan Hampir punah
adat dan pengantar pembicara pada
upacara adat
7. Marbue-bue Nyanyian/senandung sendu para ibu Hampir punah
sewaktu menidurkan bayi
8. Marburas Menyampaikan cerita kelakar/anekdot Hampir punah
di kedai kopi, di tempat keramaian, dan
di podoman
9. Markobar Pidato yang dilaksanakan pada upacara Hampir punah
adat
10. Maronang-onang Nyanyian pengiring tari tortor pemuda Hampir punah
dan remaja
11. Marsitogol/jengjeng Senandung keluh kesah yang diiringi Hampir punah
dengan suling atau uyup-uyup
12. Marturi Mendongeng/ menyampaikan cerita Punah
rakyat
13. Marungut-ungut Mendeskripsikan suasana hati yang Hampir punah
galau dengan senandung
14. Marmayam Berbagai jenis permainan anak-anak Hampir punah
yang menggunakan bahasa sebagai
sarana permainan

Perkembangan aktivitas kebahasaan masa lampau yang begitu pesat tidak terlepas dari
tatanan kehidupan masyarakatnya yang sudah mapan dan tertata. Etnis Mandailing memiliki
aksara, yang menjadi asal aksara untuk seluruh daerah tapanuli dan sekitarnya, bahasa
Mandailing memiliki tujuh ragam bahasa. Begitu juga dalam sistem kesenian, mata pencarian
dll. Kemudian, sebelum berkembangnya raja-raja di Mandailing, sudah terbentuk kian tokoh-
tokoh masyarakat yang berkompeten untuk mengurusi hal tersebut. Tokoh yang dimaksud adalah
para datu yang dijadikan sebagai cendekiawan dalam bidangnya seperti,
1. datu pandaoni, ahli pengobatan
2. datu parlidung, ahli bahasa
3. datu pangupa, ahli mangupa
4. datu paruning-uningan, ahli dalam bidang musik dan
5. datu parkalaan ahli perbintangan dll.

Fungsi Markobar
Menurut Parinduri ( 2013: 3-5), Sebagian besar masyarakat Mandailing masih
memandang tradisi markobar sebagai bagian upacara adat yang penting. Urgensitas yang
dimaksud terbukti dalam pelaksanaan upacara adat, mulai dari adat yang sekecil-kecilnya hingga
pelaksaan adat besar yang senantiasa menggunakan prosesi markobar; Selanjutnya, Ketua
Bidang Adat Seni-Budaya HIKMA ( Himpunan Keluarga Besar Mandailing ) Sumatera Utara
tersebut mengkategorikan markobar dalam empat fungsi : sakral, traditif, ataraktif, dan artistik.
1. Kegiatan markobar dianggap sebagai sesuatu yang sakral karena sebagian besar
pokok pikiran yang disampaikan dalam acara markobar adalah hal-hal yang menjunjung
kebaikan dan menghindari perbuatan yang tidak baik ( amar ma’ruf nahi munkar). Pada
bagian lain markobar juga memiliki tendensi yang sama sekali bertujuan untuk
bernasihat ( marsipaingot). Tradisi marsipaingot disampaikan kepada sepasang pengantin
baru. Nasihat yang disampaikan tidak terlepas dari ajaran agama Islam agar mematuhi
Allah dan rasul-Nya, menegakkan sholat, menghormati dan menyayangi orang tua, sanak
keluarga ( mora-kahanggi, dan anak boru). Selanjutnya kepada seorang anak yang akan
pergi merantau disampaikan agar jangan lupa sholat, teguh dan gigih mencari rezeki,
jujur, amanah, dan jangan lupa kampung halaman.
2. Markobar dianggap sebagai kegiatan traditif karena sudah menjadi suatu konvensi
bagi masyarakat Mandailing, apakah yang berdomisili di Mandailing atau yang di
perantauan. Tentu akan janggal rasanya upacara pernikahan tanpa ada markobar,
meskipun hanya untuk beberapa sesi saja. Malah, pengantin yang dinasihati pun sama
sekali tidak berapa mengerti bahasa Mandailing. Penulis sendiri beberapa kali melihat
acara upaupa kepada pengantin Mandailing kelahiran Kota Medan, yang sama sekali
tidak memahami bahasa Mandailing sehingga mesti diterjemahlan ke bahasa Indonesia.
Anehnya justru mereka yang meminta acara itu dan mereka menikmatinya.
Markobar sebagai kegiatan atraktif karena dalam praktiknya para parkobar (parhata-
hata) bertindak sebagai juru runding yang dapat memengaruhi keputusan yang akan
diambil. Dalam kaitan tersebut akan terlihat persaingan parkobar umpamanya dalam hal
mangaririt (meresek), manyapai boru (melamar) , pataru batang boban (menyerahkan
antaran). dari pihak calon pengantin perempuan atau dari pihak calon pengantin pria
akan bersama-sama menampilkan kebolehannya dalam sidang adat tersebut. Kepiawaian
mendayagunakan kata-kata yang memesona itu dapat memperlancar dan memuluskan
urusan. Hal itu sejalan dengan peribahasa yang terdapat dalam bahasa Mandailing, bahwa
“ ata-ata do dupang-dupang
“ ata ata do panggarar utang”
“ata ata dupang-dupang”

“ tutur kata dapat jadi pembayar utang”

3. Markobar sebagai kegiatan artistik karena dalam prosesi tersebut memang


menggunakan fungsi bahasa artistik, yaitu dengan sengaja menggunakan gaya
berbahasa yang khas, pilihan kata, dan intonasi yang sesuai. Parinduri, (2013 : 3-5 )
Gaya bahasa dan diksi yang digunakan dalam kegiatan markobar sesuai dengan
situasi dan kondisi. Pihak anak boru atau calon anak boru akan berbicara dengan
merendah dan memelas serta menyampaikan keluh kesah agar apa yang dipintanya akan
dikabulkan oleh pihak mora. Sementara pihak mora akan berbicara dengan tangkas dan
berwibawa. Kesan yang ditampilkan tersebut akan menambah rasa hormat dari anak
borunya.

Ragam diksi dalam bahasa Mandailing


No Jenis Penggunaan Keterangan
1 Ata somal ragam sehari-hari dipakai untuk Banyak
komunikasi sehari-hari, tergolong digunakan
ragam biasa.
2 Ata andung ragam estetika/kesusasteraan Jarang
Dipakai dalam menyampaikan digunakan
ratapan, peradatan, nyanyian
tergolong dalam ragam yang
terhormat

3 Ata datu/sibaso ragam keilmuan dipakai untuk Sangat jarang


berdialog dengan sibaso, dalam
perbintangan, dan pengobatan,
tergolong ragam terhormat

4 Ata teas/ bura/ ragam caci maki dipakai untuk Sangat jarang
jampolak mengejek menghina ketika terjadi
permusuhan tergolong ragam kasar
5 Ata parkapur ragam khusus tabu/ dipakai di hutan Sangat jarang
dipakai pada ketika merotan,
mendamar, dan mencari nafkah di
hutan tergolong ragam hormat
6 Ata poda ragam khusus pustaha dipakai dalam Sangat jarang
penulisan pustaha yang sebagian
isinya dapat berupa sejarah, hal magis
dan mistis
7 Ata bulung- ragam simbolis dipakai dalam bentuk Sangat jarang
bulung perlambang makna dalam pergaulan
remaja dan dalam upacara
adat, seperti mangupa dll
Kesantunan dalam berbahasa adalah sesuatu yang diutamakan. Hal tersebut
tercermin dalam filosofi Mandailing yang berbunyi “ pantun angoluan, teas amatean”
Artinya lebih kurang, dengan bertutur bahasa yang santun kita akan hidup selamat dan
tenteram, sedangkan caci maki akan membawa bahaya, celaka, dan kematian

Anda mungkin juga menyukai