Anda di halaman 1dari 16

DAMPAK MAZHAB TERHADAP PERKEMBANGAN FIQIH

MAKALAH

Disusun Utuk Memenuhi Tugas Pengantar Perbandingan Mazhab

Dosen Pengampu Mata Kuliah :

Dr.AMRAR MAHFUZ FAZA,M.A

DISUSUN OLEH:
Nurisyah 22070026
Roslina 22070025

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MADINA (STAIN)
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, sebagai rasa syukur kita
kepada kehadirat Illahi Rabbi yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
serta menganugerahkan nikmat Iman, Islam dan nikmat sehat kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat
beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan alam Nabi
Muhammad SAW, sebagai suri tauladan terbaik, beserta keluarga, para sahabat
dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Beliau orang yang begitu mencintai
kita sehingga diakhir hayatnya yang beliau sebut dan kenang hanyalah kita
umatnya.

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan dari
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dengan penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala urusan kita, Amin.

Panyabungan, Maret 2024

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI ..................................................................................................ii

BAB II PENDAHULUAN..............................................................................1

A. Latar belakang......................................................................................1
B. Rumusan masalah.................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2
A. Perkembangan Mazhab.........................................................................2
B. Mazhab yang bertahan dan berkembang..............................................3
C. Dampak positif dan negatif mazhab terhadap fiqh...............................6
BAB III KESIMPULAN DAN SARAbN......................................................11
A. Kesimpulan...........................................................................................11
B. Saran.....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................11

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan


penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan
pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan
persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam
masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi.
Perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah melahirkan pemikiran Islam
bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan
secara amat dominan abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi
perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam
tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi
dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam
berikutnya.

Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang perkembangan mazhab, mazhab


yang bertahan dan berkembang, dampak positif dan negatif mazhab terhadap fiqh.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perkembangan Mazhab?
2. Apa saja Mazhab yang bertahan dan berkembang?
3. Apa Dampak positif dan negatif mazhab terhadap fiqh?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Mazhab

Periode Keemasan (Abad ke 3-9 H )

Pada periode ini muncul lah ulama-ulama besar yang menisbatkan diri ke
madzhab tertentu di antaranya : Dari kalangan Syafiiyyah seperti Imam An
Nawawi, Imam a-Muzani, Imam Ibnu hajar al Asqolani, Ibnu hajar al haistami
dan lain-lain. Dari Kalangan Hanafiyyah seperti Imam Abu Yusuf, Imam As
syaibani, Imam al Maruzi dan lain lain. Dari kalangan Hanabilah seperti Imam
Ibnu Qoyyim, Ibnu taimiyyah, Ibnu Rojab dan lain lain. Dari kalangan
Malikiyyah seperti Imam Ibnu Qosim, Imam Syahnun, Imam Ibnu Rusyd dan lain
lain.

Mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama abad ke 3 -9 telah


banyak kitab yang membahasnya, masing masing menguatkan prndapat Imam
mazhabnya, walau tak jarang ada sebagian ulama yang berbeda dengan imam
mazhabnya.

Periode Kemunduran ( Abad ke 10 – 13 H )

Pada periode ini, Madzhab mengalami kemunduran karena faktor


penjajahan di dunia islam, dan tidak kuatnya kekuasaan muslim pada saat itu di
bawah kepemimpinan daulah usmaniyyah pada periode akhir.

Periode Kebangkitan ( Abad ke 14 – Sekarang )

Pada periode ini, madzhab mengalami kebangkitan kembali, di mulai


dengan munculnya para ulama dengan kitab-kitabnya yang terkenal seperti Syekh
Wahbah Zuhaili, Syekh Muhammad bin Sholeh al Usaimin, Syekh Yusuf al
Qordhowi, Syekh Ali Jum’ah dan lain lain, ada yang masih mengukuti dan selaras
dengan metodologi para Imam madzhab yang empat, adapula yang mulai
berusaha keluar dari metodologi para ulama terdahulu karena pertimbangan
zaman.

2
B. Mazhab yang bertahan dan berkembang
A. Mazhab Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah, yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi, mempunyai nama
lengkap: Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi. lahir di Irak pada
tahun 80 Hijriah/699 M, bertepatan dengan masa khalifah Bani Umayyah Abdul
Malik bin Marwan. Beliau digelari dengan nama Abu Hanifah yang berarti suci
dan lurus, karena sejak kecil beliau dikenal dengan kesungguhannya dalam
beribadah, berakhlak mulia, serta menjauhi perbuatan-perbuatan dosa dan keji.
Dan mazhab fiqihnya dinamakan Mazhab Hanafi.

Guru-guru yang pernah beliau temui antara lain adalah : (Hammad bin Abu
Sulaiman Al-Asy’ari (W. : [120 H/ 738]) faqih kota “Kufah”, ‘Atha’ bin Abi
Rabah (W. : (114 H/ 732 M) faqih kota “Makkah”, ‘Ikrimah’ (W104 H/ 723 M)
maula serta pewaris ilmu Abdullah bin Abbas, Nafi’ (W. : [117 H/ 735 M]) maula
dan pewaris ilmu Abdullah bin Umar serta yang lain-lain. Beliau juga pernah
belajar kepada ulama’ “Ahlul-Bait” seperti missal : Zaid bin Ali Zainal ‘Abidin
(79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir ([57-114 H/ 676-732 M]), Ja’far bin
Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/ 699-765 M) serta Abdullah bin Al-Hasan.
Beliau juga pernah berjumpa dengan beberapa sahabat seperti missal : Anas bin
Malik (10 SH-93 H/ 612-712 M), Abdullah bin Abi Aufa (w. 85 H/ 704 M]) di
kota Kufah, Sahal bin Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/ 614-697 M) di kota Madinah
serta bertemu dengan Abu Al-Thufail Amir bin Watsilah (W 110 H/729 M) di
kota Makkah.

Salah satu muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-
Shaibani, guru Imam Syafi’i. Melalui goresan tangan para muridnya itu,
pandangan-pandangan Imam Hanafi menyebar luas di negeri-negeri Islam, bahkan
menjadi salah satu mazhab yang diakui oleh mayoritas umat Islam

3
B. Madzhab Imam Malik

Malik bin Anas bin Malik, Imam maliki di lahirkan di Madinah al Munawwaroh.
sedangkan mengenai masalah tahun kelahirannya terdapat perbedaaan riwayat. al-
Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik
dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam
Malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam
malik dilahirkan 90 H. Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan dalam
penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia
menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.

Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in
dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al
Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad,
Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah
Hudzafah as Sahmi al Anshari.

Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang
lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti
al Auza’i, Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan
Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb,
Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.

Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul
Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah
bin Dinar, dan lain-lain. Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al
Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf,
Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu
Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu
Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.

C. Mazhab Imam Syafii

4
Mazhab Syafi’i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-syafi’i. Ia
wafat pada 767 masehi 158 H. Selamahidup Beliau pernah tinggal di Baghdad,
Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah konvergensi atau
pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis. Imam Syafi`i mempunyai dua dasar
berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan
Qaulun Jadid[20]

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid
Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15
tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-
Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa
Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang
ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan
sebagai mufti Makkah. Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman
Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin
Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki,
Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia
pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja
duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji
kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam
Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan
pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Adapun Murid beliau yang paling
terkenal antara lain adalah Imam ahmad bin hanbal.

D. Mazhab Imam Ahmad

Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-
Syaibani. Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan Abbasiyah di
Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi pusat
peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-masing berkumpul
untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan lingkungan keluarga yang

5
memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di lingkungan pusat peradaban
dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki lingkungan yang sangat
kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang yang besar pula.

Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad
Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin
Dinar As-Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin
`Uyainah, Abdurrazaq, serta Ibrahim bin Ma’qil.

Adapun muridnya adalah Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal Abdullah bin
Imam Ahmad bin Hambal Keponakannya, Hambal bin Ishaq.

E. Mazhab lainnya

Ada beberapa mazhab lain yang terkenal yang muncul pada abad 2 sampai
dengan 3 hijriyyah antara lain Madzhab Atho, Madzhab Ibnu sirin, Madzhab
Zhohiriyyah yang di pelopori Imam Daud az zhohiri, Madzhab As ya’bi, Mazhab
Imam an-Nakho’i; akan tetapi madzhab-madzhab tersebut tidak begitu
berkembang seiring berjalannya zaman dari masa ke masa.

C. Dampak positif dan negatif mazhab terhadap fiqh

Dampak positif

bermazhab itu sangat penting bagi orang beragama agar pemahaman dan praktik
agamanya benar. Karena bermazhab merupakan metode untuk mengetahui hukum
suatu peristiwa yang dihadapi dengan merujuknya pada fiqih mazhab tertentu
yang dianut atau upaya penyimpulannya dilakukan berdasarkan ushul al-mazhab
yang diyakininya.

Hakikat kebenaran dalam Islam, khususnya yang berkaitan erat dengan al-ahkam
al-ijtihadiyah (hukum-hukum praktis hasil ijtihad) akan lebih aman, terjaga,
selamat dari kekeliruan pemahaman, jauh dari ketersesatan dan lebih maslahat
apabila dalam beragama umat Islam bersedia mengikuti dan terikat kepada salah
satu dari mazhab yang empat (mazhab: al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi’i atau al-

6
Hanbali), karena para imam mazhab (mujtahidun) itu telah disepakati para ulama
paling memiliki otoritas dan lebih bisa dipercaya dalam menafsirkan sumber
utama hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah, dan merekalah ulama yang
diberi kewenangan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menjelaskan kebenaran
agama Islam kepada kita semua. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris ilmu dan
amalan para nabi terdahulu yang wajib kita ikuti dan harus kita hormati

Dampak Negatif

Berpedoman terhadap satu mazhab dan kemudian menolak mentah-mentah


pendapat di luar mazhabnya yang jelas-jelas didukung oleh dalil yang kuat
berdasarkan al-Quran dan Sunnah, disamping hal tersebut merupakan sikap yang
tidak diajarkan dalam ajaran Islam, bertentangan dengan sunnah Rasulullah para
shahabatnya dan salafushshaleh, hal tersebut juga memberikan dampat negatif
yang tidak sedikit; baik bagi pelakunya ataupun umat Islam secara umum.

Di antara dampak-dampak tersebut adalah :

1. Lahirnya sikap (diakui atau tidak) yang menjadikan pendapat-pendapat


mazhabnya lebih dihormati dan diagungkan daripada Al-Quran dan As-Sunnah.
Hal tersebut dapat terjadi manakala seseorang melakukan suatu perbuatan yang
sebenarnya bertentangan menurut al-Quran dan as-Sunnah. Namun karena dia
sudah terlanjur meyakini bahwa itulah pendapat mazhabnya, maka apa yang
nyata-nyata terdapat dalam al-Quran dan as- Sunnah dia abaikan.
2. Lahirnya sikap beragama yang tidak berdasarkan dalil dan pemahaman yang
akhirnya menghilangkan sikap kritis terhadap suatu permasalahan.
Karena seseorang yang berpedoman dengan mazhab tertentu merasa bahwa
sebuah ajaran sudah cukup untuk dijadikan pedoman manakala telah dikatakan
kepadanya bahwa inilah ajaran dalam mazhab yang dia anut, terlepas apakah hal
tersebut ada dalilnya atau tidak. Padahal sikap tersebut dikecam oleh Allah ta’ala :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya” (QS. al-Isra’ : 36)

Rasulullah saw juga telah berpesan:

7
“Siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang tidak bersumber dari ajaran
kami, maka dia tertolak” (Riwayat Muslim)

Tidak ada manusia yang ma’shum selain para nabi dan rasul. Itu artinya apa yang
disampaikan oleh seseorang -betapapun kedudukannya- ada kemungkinan salah
atau benar. Dan untuk menilainya, maka al-Quran dan as-Sunnah harus dijadikan
barometernya.
Namun hal tersebut tidak terjadi pada mereka yang sudah fanatik terhadap mazhab
tertentu, apa saja yang di sampaikan oleh mereka yang dianggap berasal dari
mazhabnya pasti diterima. Tidak ada dorongan untuk mengkaji atau bertanya
lebih jauh lagi tentang dalilnya atau alasannya.

Padahal imam Syafi’i berkata :

“Jika aku menyampaikan suatu masalah, maka cocokkanlah dengan Kitabullah


dan Sunnah Rasulullah, jika -cocok, terimalah, namun jika bertentangan, maka
tolaklah dan lemparlah pendapatku keluar pagar”‘)

Sikap tidak kritis inilah yang banyak dimanfaatkan oleh mereka yang ingin
menyebarkan bid’ah dan khurafat di tengah masyarakat. Karena hanya dengan
mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ajaran dalam mazhab yang mereka
anut, sudah cukup menjadi alasan bagi seseorang untuk menerimanya dan
mengamalkannya, tanpa meneliti kebenarannya atau sekedar bertanya tentang
dalilnya.

Contoh: Di masyarakat kita yang mayoritas menganut mazhab Syafi’i. Banyak


praktek bid’ah bahkan kesyirikan, yang terjadi di kuburan; misalnya dengan
mengapur kuburan atau mendirikan bangunan di atasnya dan kemudian mohon
kepada penghuninya.

Di antara sebabnya adalah karena masyarakat menerima hal tersebut tanpa sikap
kritis, ketika dikatakan kepada mereka bahwa inilah ajaran dalam mazhab kita
(mazhab Syafi’i) mereka menerimanya begitu saja bulat-bulat.
Padahal jelas disebutkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah melarang hal
tersebut, sebagaimana hadits riwayat Muslim:

8
“Rasulullah t melarang mengapur kuburan, dan duduk di atasnya serta mendirikan
bangunan di atasnya”

Bahkan hal itulah yang menjadi pendirian Imam Syafi’i serta murid-muridnya,
karena adanya dalil yang jelas dari hadits Rasulullah (Lihat: Pandangan Ulama
Bermazhab Syafii tentang Syirik (terjemah), Abdullah bin Abdurrahman al-
Khumais, Penerbit: Kantor Da’wah al-Sulay.)

Karena itu dikatakan bahwa taklid buta merupakan salah satu sumber tersebarnya
banyak perbuatan bid’ah di tengah masyarakat.

3. Tertutupnya pintu-pintu kebaikan dan pemahaman terhadap agama.


Sikap fanatisme terhadap suatu mazhab, sering membuat seseorang terhalang
menerima nasihatnasihat atau ajaran agama yang benar.
Seringkali seseorang yang sudah terlanjur berpedoman dengan mazhab tidak
bersedia sama sekali untuk menerima masukan atau pemahaman yang datang
dari orang yang menurut rriereka berbeda mazhabnya atau menghadiri majlis
ilmunya padahal di lingkungannya tidak dia dapatkan selain itu. Bahkan tidak
jarang ada orang yang tidak bersedia ikut shalat berjamaah, karena mereka nilai
tata caranya berbeda dari apa yang dia kenal dalam mazhabnya, tanpa
menyelediki sejauh mans hal tersebut memiliki landasan dalam ajaran Islam.
4. Timbulnya Perpecahan di Kalangan Umat.

Dampak paling nyata dari sikap fanatisme mazhab adalah, terjadinya pengkotak-
kotakkan dalam masyarakat Islam yang kemudian sangat besar peranannya
dalam menimbulkan perpecahan umat.

Sejarah telah mencatat, betapa fanatisme mazhab telah membuat umat terkotak-
kotak sedemikian rupa bahkan timbul permusuhan dan kebencian di antara umat
Islam sendiri. Mereka mendirikan komunitas masyarakat sendiri-sendiri,
masjidnya masing-masing, sekolahnya masing-masing, Ialu membuat organisasi
masing-masing atas nama mazhabnya.

Bahkan pada masanya, di Masjidilharam, setiap pengikut mazhab memiliki


mihrabnya sendiri-sendiri. Mereka yang bermazhab Syafi’i tidak ikut bermakmum

9
kepada yang bermazhab Hanafi, yang bermazhab Hambali tidak ikut bermakmum
kepada yang bermazhab Maliki. Namun al-Hamdulillah hal tersebut dapat
dihilangkan sehingga kaum muslimin dapat shalat di mesjidilharam dengan satu
imam.

Dapat kita bayangkan jika kondisi seperti dahulu terus berlanjut hingga sekarang,
betapa akan terjadi kekacauan setiap kali akan dilaksanakan shalat.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kesimpulannya, yaitu: Pertama, Mazhab merupakan kenyataan sejarah yang


tumbuh dan berkembang -diantaranyadalam ranah hukum islam. Kemunculannya,
pada tataran substansi,

Telah ada sejak masa sahabat. Benih ini kemudian tumbuh subur di era tabi'in dan
mengerucut pada masa tabi'at-tabi'in. Kedua, Afiliasi nama mazhab awalnya
diambil dari nama daerah tempat mazhab itu muncul. Ini merupakan lanjutan dari
kecenderungan persoanal dari kalangan sahabat dalam persoalan hukum.
Selanjutnya, dari nama daerah kemudian nishat nama mazhab kembali kepada
nama perseorangan dengan mengambil nama tokoh yang paling dominan di
wilayah itu, di samnping muncul pula nama-nama mazhab yang berbeda dalam
satu wilayah yang sama. Ketiga, faktor kemunculan mazhab dalam hukum islam
ditengarai berdasarkan tiga hal: Perbedaan sumber hukum, perbedaan metodologi,
dan perbedaan lingkungan. Keempat, eksistensi sebuah mazhab dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu: adanya kitab rujukan , keberadaan murid , dan dukungan
kekuasaan.

B. Saran

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran yang
membangun masih sangat diharapkan penulis demi perbaikan makalah
selanjutnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Afif, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Darul Ulum Press,
1995
Abdus Sami’ Ahmad Imam, Pengantar Studi Perbandingan Mazhab, Jakarta: Al-
Kautsar, 2016
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008
E. Abdurrahman, Perbadndingan Mazhab, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2010
Fuad Zein dkk, Studi Perbandingan Mazhab, Yogyakarta: Tim Pokja Akademik
UIN SUKA, 2006
Huzaiman Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos,
1997 Ibnu Abdul Ghafur, Fenomena Relevansi Fiqh Klasik, Kediri: Harapan
Mandiri, 2006

12

Anda mungkin juga menyukai