Anda di halaman 1dari 10

DALIHAN NA TOLU

Rabu, 20 Juli 2016

DALIHAN NA TOLU DAN NILAI-NILAI KEKERABATAN

A. Pendahuluan

Syukur alhamdulilah kita panjatkan kehadiran Alllah SWT yang telah memberikan kesehatan dan
kesempatan bagi kami menyelesaikan makalah ini. Serta shalawat bertangkaikan salam kita hadirkan ke
ruh Rasullah SAW yang membawa umatnya dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.

Peranan Dalihan Na Tolu dalam hukum perkawinan masyarakat adat Batak Toba merupakan suatu hal
yang tidak dapat dipisahkan selama melangsungkan acara adat perkawinan yang sah menurut tradisi
orang Batak. Sementara itu upacara agama serta catatan sipil dianggap hanya perlengkapan belaka. Hal
ini dilatar belakangi oleh keberadaan Dalihan Na Tolu itu sendiri yang diterima ditengah-tengah
masyarakat Batak Toba sebagai suatu system sosial kemasyarakatan. Dalam suatu perkawinan yang sah,
Dalihan Na Tolu telah menggariskan dan menerapkan aturan dan ketentuan rinci mengenai berbagai
hubungan sosial baik antara suami dengan istri, anatara orang tua dengan saudara-saudara kandung dari
masing-masing pihak penganten, maupun dengan boru serta hula-hula dari masing-masing pihak.

B. Konsep Dalihan Na Tolu

Dalian Na Tolu (makna harfiah: “tungku yang tiga”) mencerminkan sistem kekerabatan dalam
melaksanakan aktivitas sosial-budaya.[1]

Konsep hubungan fungsional antar marga Dalian Na Tolu (three pillars)-

pihak kahanggi (barisan satu marga), pihak kedua mora (barisan mertua), dan ketiga anak boru (barisan
menantu) dalam masyarakat diterapkan karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Sistem kekerabatan ini mempunyai tiga unsur dasar yang terdiri atas:[2]

1. Kahanggi, yaitu keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua laki-laki
2. Anak boru, yaitu keluarga laki-laki dari suami adik/kakak perempuan yang sudah kawin

3. Mora, yaitu keluarga laki-laki dari saudara istri

Ketiga unsur ini memegang peran penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Batak Angkola-
Mandailing. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling
memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya

Dalam sistem kekerabatan Dalian Na Tolu, interaksi sosial antara mora dan anak boru berlandaskan hak
dan kewajiban masing-masing terhadap satu sama lain. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban
fungsi sebagai sitamba na urang siorus na lobi (si penambah yang kurang si pengurang yang lebih).
Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai na manorjak tu pudi juljul tu jolo
(yang menerjang ke belakang, menonjol ke depan), yang maksudnya pihak anak boru ini sudah
semestinya membela kepentingan dan kemuliaan pihak mora, atau dengan kata lain pihak anak boru
harus sangap marmora (menghormati dan memuliakan pihak mora). Di samping itu, anak boru juga
diibaratkan sebagai si tastas nambur (penghalau embun pagi pada semak belukar), yang artinya pihak
anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan yang dihadapi pihak mora.

Pihak anak boru berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat pihak mora).
Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi pihak anak
boru) agar pihak anak boru senantiasa manjuljulkon morana.

Kahanggi (saudara semarga) sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai persoalan hidup
seperti perkawinan, kematian dan mencari nafkah, terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi.
Untuk hal ini, para orangtua senantiasa memberi nasihat untuk manta-manat markahanggi (bersikap

hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang semarga.[3]

Pada suatu upacara adat, tiga status kekeluargaan ini dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan suhut
(tuan rumah) penyelenggara acara adat, yakni sebagaimana berikut:[4]

1. Kahanggi: saudara laki-laki dari suhut beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif
para istri mereka

2. Anak boru: saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh
keturunannya menurut garis laki-laki

3. Mora: saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari suhut, serta seluruh keturunannya menurut garis
laki-laki, inklusif istri-istri mereka

Apabila jaringannya diperluas, selain daripada tiga kelompok kekerabatan inti tersebut, maka dikenal
juga kelompok kekerabatan tambahan, yakni mora ni mora dan pisang raut. Mora ni mora adalah
kelompok mora dari mora dan pisang raut adalah anak boru ni anak boru (anak boru dari anak boru).
Menurut filosofi orang Batak Angkola-Mandailing, seluruh tali-temali jaringannya dipersatukan oleh satu
tali pegangan yang mengikat dari sudut puncaknya.

“Tali pegangan” itulah olong yang menyatukan setiap kelompok kekerabatan dan anggota masyarakat
dalam satu sistem sosial Dalian Na Tolu yang secara simbolik dianalogikan sebagaimana layaknya sebuah
“jala” seperti ditunjukkan pada gambar berikut:[5]

Dalian Na Tolu

Olong (kasih sayang) adalah nilai budaya tertinggi dan paling abstrak yang merupakan landasan bagi
hubungan fungsional di antara ketiga kelompok

kekerabatan tersebut, yang lahir karena pertalian darah dan hubungan perkawinan sebagai inti
kehidupan ketiga kelompok kekerabatan itu sehingga

masing-masing terintegrasi ke dalam kelompok kekerabatan mora, kahanggi dan anak boru yang terikat
hubungan fungsional tersebut senantiasa menempatkan diri mereka sebagai orang-orang yang sahancit
sahasonangan dan sasiluluton sasiriaon (sakit dan senang dirasakan bersama). Sebagai konsekuensinya,
orang Batak menjadi sahata saoloan satumtum sapartahian (seia sekata menyatu dalam mufakat untuk
sepakat) dan mate mangolu sapartahian (hidup dan mati dalam mufakat untuk sepakat).

Sejalan dengan terciptanya suatu sistem sosial yang ideal berupa jaringan besar, maka orang Batak
secara filosofis simbolik memolakan dirinya seperti sebuah jala berbentuk segitiga sama sisi. Setiap
sudutnya merupakan posisi penting dalam mengatur hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan.
Oleh karena itu pada sudut puncaknya ditempatkan kelompok kekerabatan mora,dan pada dua sudut
lainnya ditempatkan pula kelompok kekerabatan kahanggi dan anak boru.

Posisi ketiganya bisa saja beralih sewaktu-waktu akibat terjadinya praktek perkawinan, dan hubungan
perkawinan pulalah yang menciptakan sisi-sisi yang terentang menautkan ketiganya sehingga terbentuk
pola dasar kehidupan sosial-budaya berupa segi-tiga besar. Di dalamnya secara fungsional terintegrasi
sejumlah besar segitiga-segitiga kelompok kekerabatan yang kecil-kecil mengikuti pola dasar yang
menjadi acuannya. Sebagai suatu totalitas, segitiga besar itu bersama segitiga-segitiga kecil yang menjadi
isinya menjelma menjadi sistem Dalian Na Tolu.[6]

C. Nilai Inti Budaya Batak

Nilai inti budaya (core values of culture) suatu bangsa atau suku bangsa biasanya mencerminkan jati diri
suku atau bangsa yang bersangkutan. Sedangkan jati diri itu maksudnya merupakan gambaran atau
keadaan khusus seseorang yang meliputi jiwa atau semangat daya gerak spiritual dari dalam. Dari
pengertian itu dapat dipahami bahwa nilai inti budaya Batak cukup luas. Dari berbagai kajian terhadap
sejumlah ungkapan kata-kata, aksara orang Batak yang diikuti dengan pengalaman adat budaya tersebut
dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat dilihat adanya tujuh macam nilai inti budaya suku Batak.
Ketujuh nilai inti budaya Batak dimaksud ialah kekerabatan, agama, hagabeon, hamoraan, uhum dan
ugari, pangayoman, dan marsisarian. Secara ringkas nilai tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:[7]

1) Kekerabatan

Nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat paling utama dari tujuh nilai inti budaya utama
masyarakat batak. Hal ini terlihat baik pada Toba maupun Batak Angkola Mandailing dan sub suku Batak
lainnya. Semuanya sama-sama menempatkan nilai kekerabatan pada urutan yang paling pokok. Nilai inti
kekerabatan masyarakat batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat Dalihan Na Tolu. Hubungan
kekerabatan dalam hal ini terlihat pada tutur sapa baik karena pertautan darah ataupun pertalian
perkawinan.

2) Agama

Nilai agama atau kepercayaan pada orang Batak tergolong sangat kuat. Sedang agama yang dianut oleh
suku batak amat bervariasi. Menurut data (Departemen Agama Sumatera Utara, 1999) ada wilayah Batak
yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam seperti Angkola Mandiling, ada wilayah Batak yang
mayoritas penduduknya menganut agama Kristen seperti Batak Toba, dan ada wilayah Batak yang
prosentase penganut agamanya berimbang seperti wilayah Batak Simalungun.

Secara intensif ajaran agama telah disosialisasikan kepada anak-anak orang Batak sejak masa kecilnya
dengan penuh pengawasan. Diantara pengajaran agama (khususnya Islam) yang diberikan ialah belajar
membaca/mengaji al-Qur’an sejak kecil. Belajar ibadah dilaksanakan di rumah ibadah. Dalam pengaturan
upacara perkawinan nuansa keagamaan cukup menonjol, demikian juga dalam suasana kematian.

Fenomena keagamaan kadang-kadanng menjadi lebih kuat dari fenomena adat, khususnya di lingkungan
suku masyarakat Mandailing Angkola. Tampilnya nuansa agama lebih dominan di lingkungan masyarakat
Mandailing Angkola karena didukung oleh sarana pendidikan agama yakni pondok pesantren yang
banyak jumlahnya didaerah itu. Diketahui bahwa 32 dari 70 pondok pesantren di Sumatera Utara
terdapat di wilayah Mandailing Angkola, Padanglawas, dan Sipirok.

Bukti pengaruh agama Islam yang dominan dalam kehidupan masyarakat Batak Mandailing Angkola
terlihat dalam perjodohan atau perkawianan semarga dapat diterima di sana (meskipun jarang terjadi).
Padahal perkawinan semarga secara jelas dilarang dalam adat Batak, karena dinilai sumbang atau inces.
Diterima kawin semarga oleh mereka jelas merupakan kuatnya keyakinan agama yang membolehkan itu.
Siapa yang dapat dijodohkan dan siapa yang tidak dapat dijodohkan jelas disebutkan dalam Islam,
misalnya dalam al-Qur’an surat an-Nisa 23-24 dengan jelas disebut siapa yang boleh dinikahi, tidak ada
dalam ayat itu larangan kawin semarga, kecuali muhrimnya.

3) Hagabeon

Nilai budaya hagabeon bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu yang banyak, dan baik-baik.
Dengan lanjut usia diharapkan ia dapat mengawinkan anak-anaknya serta memeperoleh cucu.
Kebahagiaan bagi orang Batak belum lengkap, jika belum mempunyai anak. Terlebih lebih anak laki-laki
yang berfungsi untuk melanjutkan cita-cita orang tua dan marganya. Hagabeon bagi orang Batak Islam
termasuk keinginannya untuk dapat menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah.[8]

Namun mengenai jumlah anak yang banyak (secara adat diharapkan memiliki 17 laki-laki dan 16
perempuan = 33 anak) yang telah berakar lama, telah mengalami pergeseran dari bersifat kuantitas pada
anak yang berkualitas, mempunyai ilmu dan keterampilan hidup sekalipun jumlahnya tidak banyak.
Peranan program KB (Keluarga Berencana) yang dilancarkan pemerintah cukup dominan dalam merubah
pandangan tersebut. Seseorang makin bertambah kebahagiaannya bila ia mampu menempatkan diri
pada posisi adat di dalam kehidupan sehari-hari. Jelasnya perjuangan yang berdiri sendiri tetapi ditopang
oleh keteladanan dan pandangan yang maju.[9]

4) Hamoraan

Adapun nilai (kehormatan) menurut adat Batak adalah terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan
material yang ada pada diri seseorang. Kekayaan harta dan kedudukan jabatan yang ada pada seseorang
tidak ada artinya bila tidak didukung oleh keutamaan spiritualnya. Orang yang mempunyai banyak harta
serta memiliki jabatan dan posisi tinggi diiringi dengan sifat suka menolong/memajukan sesama,
mempunyai anak keturunan serta diiringi dengan jiwa keagamaan maka dia dipandang mora
(terhormat).

5) Uhum dan Ugari

Nilai uhum (law) bagi orang Batak mutlak untuk ditegakan dan pengakuaanya tercermin pada
kesungguhan dalam penerapannya menegakan keadilan. Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari ketaatan
pada ugari (habit) serta setia dengan padan (janji). Setiap orang Batak yang menghormati uhum, ugari,
dan janjinya dipandang sebagai orang batak yang sempurna. Keteguhan pendirian pada orang Batak
sarat bermuatan nilai-nilai uhum. Perbuatan khianat terhadap kesepakatan adat amat tercela dan
mendapat sangsi hukum secara adat. Oleh karena itu, orang Batak selalu berterus terang dan apa adanya
tidak banyak basa-basi.[10]

6) Pengayoman

Pengayoman (perlindungan) wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat, tugas tersebut diemban
oleh tiga unsur Dalihan Na Tolu. Tugas pengayom ini utamanya berada di pihak mora dan yang diayomi
pihak anak boru. Sesungguhnya sesama unsur Dalihan Na Tolu dipandang memiliki daya magis untuk
saling melindungi. Hubungan saling melindungi itu adalah laksana siklus jaring laba-laba yang mengikat
semua pihak yang terkait dengan adat Batak. Prinsipnya semua orang menjadi pengayom dan mendapat
pengayoman dari sesamanya adalah pendirian yang kokoh dalam pandangan adat Batak. Karena merasa
memiliki pengayom secara adat maka orang Batak tidak terbiasa mencari pengayom baru. Sejalan
dengan itu, biasanya orang Batak tidak mengenal kebiasaan meminta-minta pengayom/belas kasihan
atau cari muka untuk diayomi. Karena sesungguhnya orang yang diayomi adalah juga pengayom bagi
pihak lainnya.

7) Marsisarian

Marsisarian artinya saling mengerti, menghargai, dan saling membantu. Secara bersama-sama masing-
masing unsur harus marsisarian atau saling menghargai. Di dalam kehidupan ini harus diakui masing-
masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga saling membutuhkan pengertian, bukan saling
menyalahkan. Bila terjadi konflik diantara kehidupan sesama masyarakat maka yang perlu dikedepankan
adalah prinsip marsisarian. Prinsip marsisarian (saling mengerti) ini merupakan antisipasi dalam
mengatasi konflik/pertikaian.[11]

D. Keharmonisan Dalihan Na Tolu

Ketertiban hubungan tiga unsure Dalihan Na Tolu dijaga dan dipelihara. Keharmonisan hubungan antara
unsur berlangsung atas dasar keseimbangan yang serasi antara hak dan kewajiban. Ada tiga nasihat
penting yang dipegang teguh oleh orang Batak agar keharmonisan hubungan antar unsur Dalihan Na Tolu
tetap terpelihara. Ketiga nasehat itu adalah:[12]

Manat Markahanggi

Elek Maranak Boru

Somba Marmora

Secara ringkas makna ketiga nasihat itu diuraikan sebagaimana dibawah ini:[13]

a. Manat Markahanggi

Manat artinya teliti, hati-hati, bertenggang rasa, dan sabar. Sikap dan prilaku ini mutlak diperlukan dalam
pergaulan sehari-hari. Potensi konflik dalam kalangan kerabat sakahanggi jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan potensi konflik dengan anak boru dan mora.

Titik rawan konflik dikalangan sakahanggi biasanya berkaitan dengan harta pusaka, iri hati, hasad dan
dengki. Semua hal ini boleh dikatakan bersumber pada gutgut (nyinyir). Namun demikian konflik dapat
dihindari apabila kalangan kerabat sakahanggi bersifat dan berprilaku teliti, hati-hati, tenggang rasa, dan
sabar. Itu sebabnya leluhur orang Batak menasihatkan agar keturunannya manat-manat markahanggi.
[14]

b. Elek Maranak Boru

Elek artinya pandai mengambil hati, malo mambuat roha, agar yang diambil hatinya senantiasa baik dan
setia. Elek maranak boru bermakna agar mora pandai menyenangkan hati anak borunya. Ini penting
sekali kareana anak boru adalah tulang punggung, soko guru bagi segala perstiwa adat dikalangan
kerabat mora. Apabila anak boru mogok, pastilah horja dikerabat mora akan gagal.
Anak boru bukan hanya sebagai tenaga kerja, manajer, atau pemberi bantuan modal dan material
lainnya didalam menyukseskan horja didalam kerabat mora. Akan tetapi anak boru juga memegang
peranan penting sebagai juru damai dan pemelihara ketentraman hidup moranya.

Anak boru bukan saja unsur Dalihan Na Tolu yang setiap saat dan situasi harus bersedia diperintah mora
untuk kepentingan mora. Akan tetapi anak boru juga adalah pemrakarsa tindakan yang menurutnya
harus dilakukan untuk memelihara keharmonisan dan kesejahteraan lahir batin moranya. Untuk menjaga
agar peranan itu berfungsi sebaik-baiknya, maka mora harus elek kepada anak borunya.[15]

c. Somba Marmora

Mora dipandang sebagai sumber kehidupan, kesejahteraan lahir dan batin bagi anak boru, antara lain
karena mora telah memberikan gadis mereka kepada anak boru yang kemudian melahirkan keturunaan
anak boru. Mora memiliki sahala yang ditebarkan kepada anak boru anatara lain dengan pemberkatan
ketika pahoras tondi dan manyulangi anak boru.

Karena kekuatan sahala tondi (kharisma) yang dimiliki mora untuk melindungi dan memberi
kesejahteraan kepada anak boru, maka mora menduduki posisi yang paling terhormat dikalangan tiga
unsur Dalihan Na Tolu. Dalam istilah religi tradisional, mora disebut sebagai Debata Na Tarida. Itu
sebabnya leluhur orang Batak menasihatkan somba Marmora agar kehidupan yang serasi dan harmonis
dapat diciftakan dengan cara senantiasa mencintai dan menghormati.

Setiap unsur Dalihan Na Tolu memiliki kahanggi, anak boru dan mora. Etika hubungan para anggota
dalam satu kelompok kerabat, berbeda dengan etika hubungan anggota antar kelompok kerabat.
Batasan-batasan tertentu dalam bertutur kata dan berprilaku tercipta dengan pemahaman dan
pengalaman partururon.[16]

E. Dalihan Na Tolu Dalam Perkawinan

Peranan Dalihan Na Tolu dalm hukum perkawinan masyarakat adat Batak Toba merupakan suatu hal
yang tidak dapat dipisahkan selama melangsungkan acara adat perkawinan yang sah menurut tradisi
orang Batak. Sementara itu upacara agama serta catatan sipil dianggap hanya perlengkapan belaka. Hal
ini dilatar belakangi oleh keberadaan Dalihan Na Tolu itu sendiri yang diterima ditengah-tengah
masyarakat Batak Toba sebagai suatu Sistem sosial kemasyarakatan. Dalam suatu perkawinan yang sah,
Dalihan Na Tolu telah menggariskan dan menetapkan aturan dan ketentuan rinci mengenai berbagai
hubungan sosial baik antara suami dengan isteri, antara orang tua dengan saudara-saudara kandung
dari masing-masing pihak penganten, maupun dengan boru serta hula-hula dari masing-masing pihak.

Perkawinan orang Batak yang hanya diabsahkan dengan upacara agama serta cacatan sipil boleh
dikatakan masih dianggap perkawinan gelap oleh masyarakat Batak dilihat dari sudut adat Dalihan Na
Tolu. Buktinya ialah apabila timbul keretakan didalam suatu rumah tangga demikian maka sudah pasti
marga dari masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk mencampurinya. Adapun
penyelesaian permasalahan-permasalahan yang sering timbul dalam perkawinan pada kehidupan
masyarakat Batak Toba misalnya tentang perceraian, dan pembagian harta warisan juga tidak akan dapat
berjalan apabila lembaga Dalihan Na Tolu tidak ada, disebabkan karena unsur lembaga Dalihan Na Tolu
dari pihak yang bersengketa yang sedang terjadi, apa, mengapa dan bagaimana sumber sengketa terjadi,
lalu mengajak berkumpul dan bermusyawarah untuk menyelesaikan sengketa yang sedang mereka
tersebut.

Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut, ada saatnya
menjadi hula-hula/tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya
menjadi Boru. Peranan Dalihan Na Tolu dalam perkawinan adat Batak tidak memandang posisi seseorang
berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Adat budaya Batak Dalihan Na Tolu dapat digunakan
sebagai sarana dalam mempertahankan integrasi dan identitas bangsa, terutama dikalangan suku-suku
yang ada didaerah secara luas. Kareana itu diperlukan kerjasama yang baik dari pihak dalam memberi
pengenalan dan pengamalan adat budaya daerah sebagai khazanah budaya nasional pembinaan adat
budaya daerah/lokal dalam situasi bangasa menghadapi tantangan globalisasi menjadi penting guna
menumbuhkan dan mengkuatkan kembali kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.[17]

F. Kesimpulan

Dalian Na Tolu (makna harfiah: “tungku yang tiga”) mencerminkan sistem kekerabatan dalam
melaksanakan aktivitas sosial-budaya.

Konsep hubungan fungsional antarmarga Dalian Na Tolu (three pillars)-

pihak kahanggi (barisan satu marga), pihak kedua mora (barisan mertua), dan ketiga anak boru (barisan
menantu)-dalam masyarakat diterapkan karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Ketiga unsur ini memegang peran penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Batak Angkola-
Mandailing. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling
memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya

Pada suatu upacara adat, tiga status kekeluargaan ini dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan suhut
(tuan rumah) penyelenggara acara adat, yakni sebagaimana berikut:

1. Kahanggi: saudara laki-laki dari suhut beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif
para istri mereka

2. Anak boru: saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh
keturunannya menurut garis laki-laki

3. Mora: saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari suhut, serta seluruh keturunannya menurut garis
laki-laki, inklusif istri-istri mereka
DAFTAR ISI

Basyral Hamidy Harahap, dkk. Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu (Jakarta: Tim Koreksi, 1993

Diambil Dari Hasil Wawancara Mahasiswa Kepada Sariana Sitompul Pada Hari Kamis 12 September
2013, Jam 20:00 WIB

http://bakkara.blogspot.com/2007/08/mengenal-dalihan-na-tolu.html/ diakses tgl 09-11-2014, jam


05:30 WIB

http://situmba.blogspot.com/2012/03/dalihan-na-tolu-sebagai-kearifan-lokal.html/ diaskes tgl 09-11-


2014, jam 05:22 WIB

http://margasiregar.wordpress.com/budaya/.diaskes tgl 09-11-2014 jam 05:01 WIB

[1] http://margasiregar.wordpress.com/budaya/.diaskes tgl 09-11-2014 jam 05:01 WIB

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] http://bakkara.blogspot.com/2007/08/mengenal-dalihan-na-tolu.html/ diakses tgl 09-11-2014, jam


05:30 WIB

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] http://situmba.blogspot.com/2012/03/dalihan-na-tolu-sebagai-kearifan-lokal.html/ diaskes tgl 09-


11-2014, jam 05:22 WIB

[11] Ibid.
[12] Basyral Hamidy Harahap, dkk. Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu (Jakarta: Tim Koreksi, 1993). hlm.
102-103

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Diambil Dari Hasil Wawancara Mahasiswa Kepada Sariana Sitompul Pada Hari Kamis 12 September
2013, Jam 20:00 WIB

camiluddinluddin di 04.49

Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beranda

Lihat versi web

Mengenai Saya

Foto saya

camiluddinluddin

Labuhanbatu Selatan, Labuhanbatu Selatan/Sumatera Utara, Indonesia

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai