Anda di halaman 1dari 4

NAMORA PANDE BOSI

ASAL-USUL MARGA LUBIS DI MANDAILING


Ida Yanti

Alkisah seorang anak raja yang berasal dari kerajaan goa bergelar Angin Bugis.
Ia menggembara dari Sulawesi Selatan dan sampai ke pedalaman Sumatera Utara. Dimana
cucunya yang bernama Daeng Malela melanjutkan pengembaraannya dan sampai di kerajaan
Sigalangan yang sekarang menjadi kelurahan sigalangan kabupaten Tapanuli Selatan kurang
lebih 17 km dari kota Padangsidimpuan. Dengan membawa seekor ayam jago.kelak beliaulah
yang menjadi nenek moyang marga lubis.

Sesampainya di kerajaan Dalimunthe di Sigalangan, ternyata seluruh rakyat sedang berduka


karena putri raja sedang sakit keras, dan tidak ada satupun dukun yang mengobatinya. Putri
lenggana Dalimunthe adalah kesayangan seluruh rakyat karena tutur kata dan budi bahasanya,
serta kecantikan parasnya. Sehingga raja mengeluarkan sayembara ‘Barang siapa yang bisa
menyembuhkan putri, kalau ia seorang laki-laki ia akan diangkat menjadi suami putri, kalau ia
perempuan ia akan diangkat menjadi saudari putri’. Singkat cerita Daeng Malela ikut dalam
sayembara itu, dan berhasil menyembuhkan Putri raja.Dan akhirnya seluruh rakyat bersuka cita,
dan raja memenuhi janjinya. Mereka mengadakan pesta pernikahan selama tujuh hari tujuh
malam. Kemudian sang raja Dalimunthe memberikan sebidang tanah kepada Daeng Malela
untuk tempat mereka tinggal, yang kemudian diberi nama Lobu Hatongga.

Pada saat itu masih sering terjadi perang antar kerajaan atau perang antar marga, maka Daeng
Malela menawarkan jasa untuk membantu dalam perang tersebut sebagai balas budinya pada
sang raja. Berbekal keahlian yang ia miliki dari tanah leluhurnya Daeng Malela menawarkan diri
untuk membuatkan senjata yang handal untuk pasukan kerajaan, karena saat itu tidak ada pandai
besi yang cakap dan senjata yang beredar di kerajaan pun kurang. Daeng Malela meminta kepada
raja untuk disediakan sebatang besi dan sejumlah takar atau batok kelapa sebagai bahan bakar
tungku.

Setelah besi dibakar hingga membara, maka Daeng Malela menempah besi tersebut menjadi
sebilah pisau, tombak, keris, anak panah dan lain-lain hanya dengan kedua belah tangannya. Raja
Dalimunthe takjub di buatnya. Konon senjata-senjata tersebut hingga sekarang masih ada,
dengan cap jari-jemari Daeng Malela tertera di bilah pisau tersebut. Dari keahlian Daeng Malela
kerajaan pun menang dalam perang yang dihadapi dengan senjata- senjata tempahan daeng
malela. Dari jasa tersebut ,dengan rasa hormat sang raja Dalimunthe memberikan gelar
kehormatan kepada Daeng malela yaitu Namora pande bosi yang artinya besi yang terhormat
atau orang yang ahli menempah besi dengan tangannya sendiri.

Suatu hari, disaat Putri Lenggana hamil muda anak pertama ia berkeinginan (markagiot)
burung yang di terbang di atas air. Sebagai seorang suami yang sangat mencintai istrinya
Namora Pande Bosi pun berangkat menuju hutan belantara. Setelah jauh masuk ke dalam hutan
Namora Pande Bosi melihat seekor burung yang sedang berdiri di atas air. Burung itu pun
berhasil disumpit oleh Namora Pande Bosi. Ternyata burung itu adalah burung peliharaan gadis
cantik, putri dari seorang raja penghuni hutan. Putri itupun marah melihat burungnya disumpit
tanpa permisi, dan Namora Pande Bosi pun ditangkap oleh Hulu Balang, dan diberi hukuman
dengan menikahi putri Bunian tersebut. Putri Bunian merupakan makhluk halus yang berwujud
kasar seperti manusia ( dalam persi lain Putri Bunian adalah manusia biasa yang sengaja
disembunyikan dari Raja Dalimunthe dan Putri Lenggana). Dari pernikahan tersebut lahirlah
sepasang anak kembar yang bernama si Langkitang dan si Baitang. Setelah beberapa tahun
kemudian, kedua putranya beranjak kanak-kanak, Namora Pande Bosi terpaksa meninggalkan
mereka sebab sudah terlampau lama meninggalkan kerajaan. Dan ia meninggalkan dua benda
pusaka untuk anaknya yaitu sepasang tanduk kerbau muring, yaitu tanduk kerbau besar yang
diukir sendiri oleh Daeng Malela dan sebilah keris pusaka sebagai pertanda bila berjumpa
dengan ayahnya Namora Pande Bosi

Lalu dari istri sahnya Putri Lenggana , lahir lah sepasang anak kembar yang bernama Sultan
Bugis dan Sultan Borayun. Saat si Langkitang dan si Baitang beranjak dewasa mereka pergi
mencari ayahnya dan sampailah mereka di kerajaan Dalimunte di Sigalangan untuk mencari
Ayah mereka. Saat itu Namora Pande Bosi melihat mereka berdua membawa sebilah keris dan
tanduk kerbau muring, sadarlah Namora Pande Bosi bahwa mereka berdua adalah anaknya dari
Putri Bunian. Ia pun membawa keduannya untuk tinggal dirumah nya, tetapi Namora Pande Bosi
tidak mau mengatakan pada Putri Lenggana bahwa Langkitang dan Baitang adalah putranya.

Seiring berjalannya waktu, putri dari abang ipar Namora Pande Bosi jatuh cinta pada
Langkitang, hal ini menimbulkan api cemburu bagi Sutan Bugis karena ia sangat menyukai boru
tulangnya itu. Putri Lenggana mulai curiga kepada Langkitang dan Baitang karena Namora
Pande Bosi memperlakukan mereka berdua seperti anaknya. Putri Lenggana pun mendesak
Namora Pande Bosi untuk mengatakan yang sebenarnya. Dan Namora Pande Bosi pun berkata
bahwa Langkitang dan Baitang adalah anaknya dari istrinya Putri Bunian. Ia mulai
memperlakukan keduanya dengan tidak baik, dan Sutan Bugis dan Sutan Borayun juga ikut
memperlakukan keduanya dengan buruk. Permusuhan yang terjadi antara merekapun semakin
parah,untuk mencegah pertumpahan darah terpaksa Namora Pande Bosi mengusir si Baitang dan
Langkitang

Namora Pande Bosi memberikan mereka amanat, untuk mengikuti hilir sungai Batang
Angkola, kemudian saat mereka bertemu dengan sungai Batang Gadis mereka harus menyusuri
sungai itu kearah hulu. Selanjutnya apabila mereka telah menemukan suatu tempat yang menjadi
bertemunya dua sungai yang bertentangan muaranya atau muara patongtang, maka ditempat
itulah mereka harus membuka kampung.

Sebelum berpisah, Namora Pande Bosi menyerahkan seekor ayam dan sebuah tanduk kerbau
yang tanpa diketahui istrinya ia memasukkan emas kedalam tanduk tersebut, kepada kedua
putranya tersebut, dengan pesan agar dalam perjalanan mereka telah sampai di tempat
bertemunya dua sungai yang berbeda muaranya, hendaknya ayam tersebut dilepaskan di mana
ayam tersebut berhenti dan berkokok, agar didirikan perkampungan.

Akhirnya kedua saudara kembar itupun berangkat menyusuri sungai Batang Angkola sampai
ke bagian hilir atau yang dikenal sekarang Sayurmatinggi, dibagian hilir inilah dua sungai besar
bertemu menjadi satu, yakni sungai Batang Angkola dan sungai Batang Gadis. Untuk melewati
pertemuan sungai ini, terkenal dengan istilah lumpatan babiat atau loncatan harimau, karena
dinding yang curam terbentuk dari batu-batu cadas yang menyatu dengan kuatnya dan tidak
mungkin dihancurkan oleh banjir yang besar sekalipun. Konon kabarnya tempat ini sering
diloncati harimau yang hendak menyebrang dari daerah Angkola ke daerah Mandailing atau
sebaliknya.

Mereka terus melanjutkan perjalanan, melintasi lembah-lembah Bukit Barisan dihadang oleh
hujan dan panas. Hingga pada suatu hari mereka sampai kesuatu daerah dimana dua buah sungai
yang bertentangan muaranya yaitu sungai ‘Aek Singangir’ dari sebelah utara dan sungai ‘Aek
Singengu’ dari sebelah selatan. Sesuai dari amanat ayahnya, mereka pun melepaskan ayam
jagonya. Dan ajaib ayam jago itupun berkokok ‘kukuruyuuk’ ayam tersebut bernama Sirangga
Balian atau Ayam Kinantan. Alangkah gembiranya hati kedua saudara itu, bahwa mereka telah
menemukan tempat yang telah diamanatkan oleh ayahnya. Mereka pun membagun
perkampungan di sana berbekal emas yang dititipkan ayah mereka Namora Pande Bosi dan
mereka menamai tempat tersebut sebagai ‘Huta Panopaan’ yang artinya kampung tempat
penempaan besi, yang seiring waktu berubah menjadi Huta Nopan dan sekarang menjadi Kota
Nopan tepatnya di Kabupaten Mandailing Natal.

Setelah lama tinggal di Huta Panopaan, si Langkitang pergi untuk mendirikan desa baru yang
tidak jauh dari desa tersebut. Pemukiman baru ini diberi nama Singengu, dan si Langkitang
menjadi raja. Setelah itu, keturunan si Langkitang terus mendirikan desa-desa baru dan masing-
masing menjadi raja. Di antara keturunannya, Japande menjadi raja di Desa Sayur Maincat,
Sutan Soripada menjadi raja di Desa Muara Mais, Sutan Manggo menjadi raja di Desa
Tambangan, dan Namora Raya menjadi raja di Roburan. Semua keturunan si Langkitang
bermarga Lubis, dan desa tempat si Langkitang menjadi raja dinamakan Lubis Singengu, yang
berkembang di bagian utara Kota Nopan

Seperti si Langkitang, si Baitang meninggalkan Huta Panopaan dan menetap di pemukiman


yang ia dirikan bernama Tomuan, di pertemuan sungai Batang Pungkut dan Batang Gadis, di
sana si Baitang menikah dan memiliki dua orang anak laki-laki yang bernama Muara dan
Partomuan.

Muara kemudian membuka sebuah desa baru, yang kemudian dikenal dengan nama
Manambit. Sementara itu, si Partomuan kembali ke Huta Dangka dan menjadi raja di sana.
Keturunannya membuka desa baru, yang kemudian berkembang menjadi Tamiang, dan beberapa
membuka desa lain, yang kemudian berkembang menjadi Huta Pungkut. Keturunan si Baitang
semuanya bermarga Lubis dan umumnya disebut sebagai Lubis Singasoro, yang berkembang di
bagian selatan Kota Nopan. Sementara itu, keturunan si Langkitang bermarga Lubis Singengu
dan berkembang di bagian utara Kota Nopan. Seiring berjalannya waktu, keturunan si
Langkitang dan si Baitang yang bermarga Lubis menjadi raja-raja di Mandailing Julu dengan
sebutan Pakantan

Maka, dari si Baitang dan si Langkitang menyebar marga Lubis di seantero Mandailing.
Semua keturunan si Baitang dan si Langkitang menggunakan nama Lubis di belakang nama
nya.karena kata Lubis berasal dari kata Bugis yaitu yang merupakan nenek moyang mereka
Angin Bugis (Alogo Lubis). Yang entah mengapa bisa sedemikian jauh berubah, barangkali
orang Mandailing jaman dulu terlalu sering menguyah sirih hingga lidahnya bebal hingga
berubahlah Bugis Jadi Lubis atau karena perubahan dialek. Sehingga Bayo Lubis di sebut juga
Bayo Angin.

Wallahu A’lam Bishawab

Berdasarkan dari berbagai sumber dan dari turi-turian (cerita dari mulut ke mulut )

Anda mungkin juga menyukai