0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
71 tayangan4 halaman
1. Asal usul Kabupaten Gunung Kidul dan Bupati Poncodirjo bermula dari pelarian Majapahit yang membuka hutan di Pongangan dan membentuk pemukiman.
2. R. Suromejo membangun Karangmojo dan berkonflik dengan Mataram hingga dikalahkan. Putranya Ki Poncodirjo diangkat menjadi bupati pertama Gunung Kidul.
3. Adipati Wiranagara memindahkan ibu kota Gunung Kidul dari Sambi Pitu ke Hutan Nangka D
1. Asal usul Kabupaten Gunung Kidul dan Bupati Poncodirjo bermula dari pelarian Majapahit yang membuka hutan di Pongangan dan membentuk pemukiman.
2. R. Suromejo membangun Karangmojo dan berkonflik dengan Mataram hingga dikalahkan. Putranya Ki Poncodirjo diangkat menjadi bupati pertama Gunung Kidul.
3. Adipati Wiranagara memindahkan ibu kota Gunung Kidul dari Sambi Pitu ke Hutan Nangka D
1. Asal usul Kabupaten Gunung Kidul dan Bupati Poncodirjo bermula dari pelarian Majapahit yang membuka hutan di Pongangan dan membentuk pemukiman.
2. R. Suromejo membangun Karangmojo dan berkonflik dengan Mataram hingga dikalahkan. Putranya Ki Poncodirjo diangkat menjadi bupati pertama Gunung Kidul.
3. Adipati Wiranagara memindahkan ibu kota Gunung Kidul dari Sambi Pitu ke Hutan Nangka D
Gunungkidul dan Bupati Pontjodirjo, berawal dari runtuhnya kerajaan Majapahit. Beberapa orang pelarian dari Majapahit masuk melalui Gunung Gambar wilayah Kecamatan Ngawen, dan berhasil membuka hutan untuk tempat tinggal di Pongangan wilayah Kecamatan Nglipar. Salah seorang pelarian dari Majapahit, yang sekaligus sebagai pimpinannya dan masih bersaudara dengan Raja Brawijaya bernama R. Dewa Katong. Di Pongangan R. Dewa Katong, karena kegigihan dan ketekunanya berhasil membangun sebuah dusun dan tidak lama kemudian banyak dihuni penduduk. Namun R.Dewa Katong tetap melakukan semedi bertapa, dengan maksud agar kelak anak cucunya menjadi orang yang berguna bagi orang lain serta tetap diberikan keselamatan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tidak lama kemudian R. Dewa Katong mendapat wagsit bahwa permintaanya dikabulkan, akhirnya R. Dewa Katong pindah kehutan lain sekitar 10 Km dari Pongangan. Di tempat yang baru ini R. Dewa Katong karena usianya yang sudah tua akhirnya meningal dunia, dan tempat ini kemudian diberi nama Desa Katongan hinga saat ini. Anak dari R. Dewa Katong yang bernama R.Suromejo, ternyata juga gigih membangun seperti orang tuanya, sehingga di Pogangan semakin ramai dihuni penduduk, karena keramaian itu kemudian R. Suromejo memutuskan untuk pindah tempat di dekat pohon Mojo yang tumbuh diatas karang, tempat ini kemudian diberi nama Karangmojo hingga saat ini. Di Karangmojo, R. Suromejo berhasil membangun lingkungannya, sehingga di tempat yang baru ini juga menjadi ramai dihuni penduduk. Namun karena keberhasilanya ini akhirnya didengar oleh Raja Mataram Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartasuro. Tidak lama kemudian, Sunan Amangkurat Amral menugaskan Tumenggung Prawiropekso, untuk bisa membuktikan dan melihat secara langsung kebenaran berita yang menyebutkan bahwa pelarian dari Majapahit telah berkembang dan membangun Karangmojo. Sesampainya di Karangmojo, Tumenggung Prawiropekso langsung memberikan nasehat kepada R. Suromejo agar secepatnya minta izin kepada Sunan Amangkurat Amral jika ingin tetap tinggal di Karangmojo, karena Karangmojo ini masuk kekuasaan Mataram. Namun R. Suromejo berpendapat lain, bahkan menyatakan bahwa tempat ini tidak ada dasar yang menentukan milik Sunan Amangkurat Amral. karena masing-masing mempertahankan argumentasinya, akhirnya terjadi peperangan. Dalam peperangan ini akhirnya R. Suromejo kalah dan menyerah kepada Tumenggung Prawiropekso. Tiga orang putranya terbunuh dalam peperangan itu yaitu Ki Mitowijoyo, Ki Poncobenawi, Ki Ponco Sadewa (menantu) dan hanya seorang putranya masih hidup yaitu Ki Poncodirjo. Ki Poncodirjo ini kemudian takluk, sehingga oleh Pangeran Sambernyowo ditunjuk dan diangkat menjadi Bupati Gunungkidul yang pertama dengan gelar Mas Tumenggung Poncodirjo pada tahun1831. Namun demikian Mas Tumenggung Poncodirjo tidak lama menjabat menjadi Bupati, karena dengan adanya penentuan batas daerah Gunungkidul, antara Sultan dan Mangkunegoro II pada tanggal 13 Mei 1831. Maka Gunungkidul pada saat itu dikurangi Ngawen daerah enelave Mangkunegara telah menjadi daerah Kadipaten. Selanjutnya, Gunung Kidul terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Kala itu yang menjadi raja adalah Sultan Hamengku Buwono I. Pada waktu pemerintahannya, daerah sepanjang pesisir Laut Selatan masuk ke dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta. Namun, pada waktu itu namanya bukan Gunung Kidul, tetapi Sumengkar [sekarang wilayah Sambi Pitu, Gunung Kidul]. Sumingkar itu berasal dari kata “sumingkir” yang berarti menyingkir dalam bahasa Indonesia. Menurut sejarah dan keadaan masyarakat Sambi Pitu, mereka adalah pelarian dari Majapahit, yang menyingkir ke hutan Gunung Kidul saat itu. Berawal dari Brawijaya yang melarikan diri ke hutan Gunung Kidul dan “babad alas”, dan menjadikannya desa serta meninggalkan budaya yang beraneka. Kemudian Brawijaya moksa di Guwa Bribin, Semanu, dikarenakan ketika diminta masuk Islam oleh Sunan Kalijaga tidak mau. Seperti halnya kini masyarakat yang telah menyebar di Rongkop, Semanu, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Sambi Pitu, saperangan Pathuk, dan Panggang, mereka telah menetap di hutan Gunungkidul sebelum terjadinya Palihan Nagari (perjanjian Giyanti) di Surakarta. Terbukti dengan adanya kebudayaan Jawa Asli-Hindhu-Buda-praIslam, seperti: tledhek, rasulan, cing nggoling, babad alas, reyog, peninggalan Hindu dan Buddha, dan sebagainya. Di Sumingkar Adipati Wiranagara didapuk menjadi adipati. Beliau memiliki dua istri, yang pertama berasal dari Sumingkar, dan yang satunya adalah pemberian Sultan. Dikarenakan istri yang satu dari kraton Ngayogyakarta, sudah dapat dipastikan semua adipati mendapatkan kesenangan dalam bentuk apa saja dari rajanya. Suatu ketika sang adipati bertamu ke Kraton Ngayogyakarta, beliau mendapat titah dari Kanjeng Sultan supaya memindahkan kota Praja Kabupaten Gunungkidul yang saat itu berada di Sumingkar (Sambi Pitu) menuju Hutan Nangka Dhoyong [yang kini menjadi Kabupaten Gunung Kidul]. Kota praja kabupaten Gunungkidul perlu dipindhah menurut tata letak tempat, sehingga kurang pas. Dan dirasa oleh Sultan kurang memberikan kenyamanan menyeluruh di kabupaten Gunungkidul. Itulah yang diceritakan oleh rakyat. Setelah pulang dari Kraton Ngayogyakarta, Adipati Wiranagara memanggil seluruh orang kepercayaan di Sumingkar supaya datang ke pendhapa kabupaten. Namun hingga waktu yang telah di tentukan sang Adipati belum juga memulai pertemuan di karenakan Demang Wanapawira, yaiku Demang Piyaman (wilayah Piyaman sampai Nglipar sekarang ini), belum terlihat di pendhapa kabupaten. Para hadirin yang ada disana saat itu memiliki pandangan yang berbeda tentang belum hadirnya Demang Wanapawira. Sebelum Demang Wanapawira tiba, Rangga Puspawilaga asal Siraman, berkata kepada Adipati Wiranagara supaya Demang Wanapawira diberi hukuman karena terlambat datang. Namun usul itu tidak disetujui Sang Adipati bahkan Sang Adipati marah kepada Puspawilaga. Dikarenakan Demang tak kunjung datang, maka Adipati Wiranagara pun memulai pertemuan itu. Beliau menceritakan kepada para hadirin saat itu. Namun mereka hanya bisa terdiam saat Adipati memerintahkan untuk membabad Hutan Nangka Dhoyong yang terkenal angker. Dan Sang Adipati pun menjelaskan jika tidak dilakukan pembabadan dan tidak memindahkan Kadipaten Sumingkar maka akan terjadi bencana hingga seluruh Kesultanan Ngayogyakarta. Adipati meminta agar dari sekian yang hadir berkenan melaksanakan titah Sultan, namun semua hanya diam. Sehingga beliau pun ingin melakukan titah Sultan sendirian. Namun tetika pernyataan itu muncul datanglah Sang Demang Wanapawiro. Sang Demang pun bersedia membabad Alas Nangka Dhoyong untuk membangun kota praja Kabupaten Gunungkidul, seperti halnya titah Sultan Hamengkubuwana. Sebelum melaksanakan babad alas, Demang Wanapawiro menuju Piyaman meminta saran kepada Nyi Nitisari. Nyi Niti adalah saudara kandung dari Demang Wanapawiro. Mereka termasuk dari keturunan pelarian Majapahit waktu itu. Nyi Niti itu adalah orang yang terkenal di Gunung Kidul. Beliau dikenal supranatural dan paham tentang Hutan Nangka Dhoyong. Nyi Niti menyarankan sebelum babad alas agar melakukan selametan dan pensucian diri. Kemudian Demang Wanapawiro dibantu dalam melaksanakan tirakat di bawah pohon tua yang besar. Mereka selalu mendapatkan gangguan dari jin dan makhluk halus lainnya. Namun semua itu dilalui tanpa takut. Malah makhluk-makhluk itu yang kalah. Dan munculah Nyi Gadhung Melati penghuni sekaligus utusan penguasa Laut Kidul, sehingga terjadilah pertarungan antara mereka. Dalam perterungan ini tak satupun yang dapat dikalahkan sehingga muncul perundingan dan Nyi Niti serta Demang Wanapawiro menceritakan niat mereka untuk babad alas untuk menjadikan Kota Praja. Akhirnya Nyi Gadhung Melati merestui tentu atas ijin Ratu Kidul. Namun harus ada syaratnya, yaitu agar pohon tua itu tidak ditebang supaya untuk menjaga masyarakat menempati wilayah itu nantinya. Syarat itu pun disetujui oleh Nyi Niti serta Demang Wanapawiro. Dan Nyi Gadhung Melati dengan segera memerintahkan kepada para Jin untuk membantu terwujudnya Kota Praja dengan membabad Hutan Nangka Dhoyong. Setelah perundingan selesai, Demang Wanapawiro segera menghadap Adipati Wiranagara untuk meminta persetujuan agar segera terlaksana dalam babad alas tersebut. Nyi Niti serta Demang Wanapawiro yang dibantu oleh penduduk Piyaman mengadakan selametan untuk babad alas. Diceritakan juga bahwa penduduk Piyaman ikut membantu babad alas dikarenakan lihai dan terbiasa babad alas. Kini terwujudlah Kota Praja yang diinginkan Sultan Hamengkubuwana I. Adipati Wiranagara memuji Demang Wanapawiro yang bisa mengubah hutan belantara menjadi sebuah kota. Diceritakan ada salah satu Putri dari Kepanjen Semanu (putra-putrinnya Panji Harjadipura) bernama Rara Sudarmi yang bersama Mbok Tuminah. Rara Sudarmi bertemu dengan Demang Wanapawiro yang juga menyukai Rara Sudarmi. Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah akhirnya bertamu ke rumah Nyi Niti yang tak lain adalah saudara jauh dari Panji Harjadipura ayah Rara Sudarmi. Singkat cerita, Demang Wanapawira dan Rara Sudarmi dijodohkan dan menikah yang disaksikan oleh Ki Niti dan Mbok Nitisari. Dalam waktu yang tidak lama Kota Praja yang dulunya Hutan Nangka Dhoyong kini menjadi ramai. Adipati Wiranegara sekali lagi memberi keparcayaan kepada Demang Wanapawira agar dapat membangun koya praja yang asri dan indah. Adipati Wiranegara melaporkan karya Demang Wanapawira kepada Sultan Hamengkubuwana melalui Patih Danureja. Karena jasanya dalam membabad Alas Nangka Dhoyong menjadi kota yang asri. Rakyat rakyatpun memuji Demang Wanapawira. Peresmian bekas Hutan Nangka Dhoyong pun terlaksana dan Sultan Hamengkubuwana I member tanda Kota Nangka Dhoyong diambil dari nama ‘Wanapawira’ digabungkan dengan nama ‘Nitisari’, menjadi ‘Wanasari’. Sekarang biasa disebut ‘Wonosari’. Adapula yang menyebut nama kutha praja Gunungkidul yang terbentuk dari babad alas ini berasal dari nama ‘Wana’ yang berarti ‘alas’ atau hutan dalam bahasa Indonesia, dan kata ‘asri’ yang sering terucap ‘sari’artinya ‘endah’ atau indah dalam bahasa Indonesia. Kemudian Demang Wanapawira diangkat menjadi adipati dengan gelar Adipati Wiranegara II. Panji Harjadipura diangkat jadi patih panitipraja Kabupaten Gunungkidul. Akhirnya nama Wanapawira dan Rara Sudarmi menyatu. Dimana Wanapawira, (‘Wana’ atau ‘wono’ berarti ‘alas’ atau hutan, ‘pawira’ berarti ‘wong lanang-kendel-prajurit/ seorang prajurit lelaki yang tangguh’), bisa ‘membabad’ semua kadurhakaan yang ada di kanan kirinya, dengan kesungguhan dalam hatinya. Yaitu ‘alas rowe/kekuatan’ di dalam hati. Tentu dengan ‘ilmu’ dan ‘saudara’ yang dapat menguatkan dirinya, menjadi ‘tukang babad’, sesungguhnya. Sumber sumber berasal dari cerita lisan (cerita rakyat) yang sementara masih menjadi misteri di Gunungkidul sebelah lor-kulon [utara-barat]. Diceritakan oleh Sastra Suwarna, mantan Kadus Piyaman I, Gunungkidul, dengan tambahan yang dirasa perlu untuk penulisan. Serta masih ada cerita yang belum tersingkap di Karangmojo-Ponjong-Semanu mengenai asal usul Kota Wonosari Kabupaten Gunungkidul, yang dirasa berbeda ‘kepentingan’ dengancerita lisan ini. Atau versi babad yang bewujud buku atau naskah yang tersimpan rapat di dalam Kraton Ngayogyakarta. Untuk Kabupaten Gunungkidul, data yang saya peroleh menyimpulkan bahwa hari lahir Kabupaten Gunungkidul adalah Hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau Tahun Jawa 15 Besar Tahun Je 1758 dan dikuatkan dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul No : 70/188.45/6/1985 tentang Penetapan hari, tanggal bulan dan tahun Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul yang ditandatangani oleh bupati saat itu Drs KRT Sosro Hadiningrat tanggal 14 Juni 1985.