Suatu hari, Datuk Limbatang berkunjung ke rumah Bujang Sambilan dan di saat itulah Sani dan Girang
menyadari bahwa mereka saling menaruh hati. Seiring berjalannya waktu, ketika musim panen tiba
kampung tersebut mengadakan adu silat.
Para pemuda kampung termasuk Kukuban dan Giran ikut mendaftarkan diri. Di acara tersebut Kukuban
berhadapan dengan Giran, keduanya sama-sama kuat. Namun, pada suatu kesempatan Giran berhasil
menangkis serangan dari Kukuban dan dinyatakan kalah. Hal ini membuat Kukuban merasa kesal dan
dendam terhadap Giran.
Beberapa hari setelah acara tersebut, Datuk Limbatang datang untuk meminang Sani. Namun karena
dendam, Kukuban menolak pinangan tersebut dengan memperlihatkan bekas kakinya yang patah
karena Giran. Hal ini pun membuat Sani dan Giran sedih.
Kemudian, Sani dan Giran sepakat untuk bertemu di ladang untuk mencari jalan keluar. Saat sedang
berbicara, sepotong ranting berduri tersangkut pada sarung Sani dan membuat pahanya terluka. Giran
pun segera mengobatinya dengan daun obat yang telah ia ramu.
Tiba-tiba puluhan orang muncul dan menuduh mereka telah melakukan perbuatan terlarang, sehingga
harus dihukum. Sani dan Giran berusaha membela diri tetapi sia-sia dan langsung diarak menuju puncak
Gunung Tinjau.
Sebelum dihukum, Giran berdoa jika memang mereka bersalah, ia rela tubuhnya hancur di dalam air
kawah gunung. Namun, jika tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi
ikan. Setelah itu, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah.
Beberapa saat berselang, gunung itu meletus sangat keras dan menghancurkan semua yang berada di
sekitarnya. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan. Letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah
luas yang berubah menjadi danau dan akhirnya diberi nama Danau Maninjau.
Pesan moral yang bisa dipetik adalah jangan berprasangka buruk terhadap seseorang dan tidak boleh
menyimpan dendam. Kedua hal tersebut dapat merugikan diri kita sendiri.
Berbeda dengan Kerajaan Prambanan, Kerajaan Pengging memiliki raja yang buruk. Ia suka berperang
dan memperluas wilayah kekuasaannya. Raja Pengging pun memiliki ksatria bernama Bandung
Bondowoso.
Tak hanya kuat, ia juga sakti. Suatu hari ia diperintahkan untuk menaklukkan Kerajaan Prambanan.
Usaha penaklukan pun berhasil dilakukan. Raja Baka tewas, Kerajaan Prambanan pun jatuh pada
Kerajaan Pengging.
Tersisa Roro Jonggrang yang ternyata disukai oleh Bandung Bondowoso. Usai kalah, ia malah dipinang
oleh Bandung Bondowoso untuk jadi pramaisurinya.
Roro Jonggrang sebenarnya tak mau menerima, tapi di sisi lain kasihan dengan rakyat Kerajaan
Prambanan. Alhasil, Roro Jonggrang memberikan syarat untuk dibuatkan 1.000 candi dan 2 sumur dalam
semalam. Ternyata, Bandung Bondowoso menyanggupi. Dengan pasukannya, ia nyaris berhasil
membangun candi dalam semalam.
Tapi, ia gagal membangun ke-1.000 karena pasukannya mengira hari sudah pagi usai mendengar bunyi
ayam berkokok. Rupanya, usaha Bandung digagalkan oleh Roro Jonggrang. Mengetahui Roro Jonggrang
yang mencuranginya, alhasil putri raja itu akhirnya dikutuk menjadi candi yang ke-1.000.
Pesan moral yang bisa dipetik adalah tidak ada pencapaian yang dapat diraih dengan instan. Semuanya
butuh proses. Kemudian, janganlah berbuat buruk, kelak keburukan akan berbalik menimpa diri sendiri.
Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Tanpa sepengetahuan mereka,
ada beberapa pasang mata yang mengamati mereka, yaitu Pangeran Empang Kuala dan para
pengawalnya. Pangeran terpesona dengan kecantikan Putri Mayang Sari dan ia jatuh cinta kepada sang
putri. Bahkan, Pangeran Empang Kuala sering bergumam lirih, "Gadis cantik di lubuk Umai.. cantik di
Umai. Ya, ya... dumai... dumai." Dari peristiwa inilah konon nama kota Dumai berasal.
Beberapa hari kemudian, sang pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu. Pinangan itu pun
disambut baik oleh Ratu Cik Sima. Namun, berdasarkan adat kerajaan, putri tertualah yang berhak
menerima pinangan terlebih dahulu.
Mengetahui pinangannya ditolak, Pangeram Empang Kuala naik pitam karena rasa malu. Sang pangeran
pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga
Tanjung. Ratu Cik Sima yang mengetahui hal itu segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan
membekali mereka makanan yang cukup untuk tiga bulan.
Setelah itu, sang ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran
Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, tetapi pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai.
Pada suatu senja pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai berlindung di bawah
pohon-pohon Bakau. Namun, menjelang malam tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang
jatuh dan menusuk ke badan.
Saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datang utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran
Empang Kuala. Ia meminta Pangeran untuk menghentikan peperangan karena telah membuat alam
negeri Seri Bunga Tanjung marah. Seketika itu, Pangeran Empang Kuala menyadari kesalahannya dan
segera menghentikan peperangan.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita ini adalah permusuhan akan menimbulkan kerugian dan
penyesalan. Selain itu, jangan terlalu cepat mengambil keputusan di saat hati sedang penuh dengan
amarah.
Putri itu bersedia menjadi istri Toba. Namun dengan syarat, Toba tak boleh menceritakan asal-usulnya.
Mereka akhirnya menikah dan memiliki anak yang dinamai Samosir. Samosir tumbuh menjadi anak laki-
laki yang aktif tapi sayangnya sedikit nakal.
Suatu ketika, Samosir diminta membawakan bekal makanan untuk ayahnya. Di tengah jalan, Samosir
malah memakannnya hingga bekalnya sedikit. Sampai pada ayahnya, Toba terkejut bekal yang
dibawakan sedikit. Merasa kecewa, Toba malah memarahi Samosir.
Ia melanggar janjinya sampai menyebut Samosir adalah anak ikan yang tidak tahu diuntung. Samosir
sontak kaget dan sedih. Ia langsung pulang dan mengadu pada ibunda. Janji yang telah dilanggar
akhirnya berbuah pahit. Sang istri dan Samosir tiba-tiba hilang.
Kemudian hilangnya mereka malah berganti menjadi semburan air yang dahsyat dekat tempat
tinggalnya. Alhasil, semburan tersebut menjadi danau yang kemudian dinamakan Danau Toba.
Sementara, pulau di tengahnya diberi nama Samosir.
Pesan moral yang dapat diambil dari kisah legenda Danau Toba adalah jangan sekali-sekali melanggar
janji yang sudah disepakati.
Suatu saat, gadis itu diajak ibunda pergi ke pasar yang jaraknya jauh dari rumah. Mereka harus melewati
desa-desa untuk mencapainya. Lagi-lagi, gadis itu sibuk memamerkan kecantikannya di depan
masyarakat desa.
Parahnya, ia berlagak seperti majikan, sementara ia menganggap ibunda seperti pembantunya. Setiap
kali ditanya warga, ia hanya membalas bahwa ibunda adalah pembantunya. Sekali, dua kali, ibunda
masih tegar.
Tapi, begitu gadisnya berbohong berkali-kali, hatinya sakit. Kerja keras dan keberadaannya seolah tak
dianggap. Sampai akhirnya, ibunda berhenti dan berdoa agar gadisnya diberi pelajaran.
Gadis itu kemudian merasa aneh, kakinya kaku dan terkejut melihat kakinya berubah jadi batu. Rupanya
ibunda mengutuknya. Baru separuh badan menjadi batu, gadis itu memohon ampun. Tapi, sudah
terlambat. Sampai ia menangi-nangis, kutukan itu berlanjut. Hingga jadi batu pun, air mata sang gadis
masih berlinang.
Begitu lah legenda Batu Menangis. Pesan moral yang dapat dipetik adalah jangan durhaka pada orang
tua. Berbaktilah pada orang tua.
Mendengar kabar tersebut, raja muda yang tampan itu berniat untuk melamar sang putri. Keesokan
harinya rombongan utusan raja muda datang ke tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka
segera menyampaikan pinangan dari rajanya dan dengan sukacita diterima oleh ayah sang putri. Raja
muda sangat gembira mengetahui pinangannya diterima.
Malamnya, sang raja memberitahukan pada putrinya bahwa ada seorang raja muda yang meminangnya.
Dengan malu-malu, putri mengangguk bersedia. Sang raja mengingatkan putrinya untuk menjaga diri
baik-baik agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahan.
Suatu hari, sang putri pergi mandi ditemani beberapa orang dayang-nya di sebuah kolam yang berada di
belakang istana. Setelah beberapa saat berendam, sang putri duduk di atas batu di tepi kolam sambil
membayangkan betapa bahagianya saat pernikahan nanti. Saat sang putri asyik mengkhayal, tiba-tiba
angin bertiup kencang dan sebuah ranting pohon yang ujungnya tajam mendadak jatuh tepat mengenai
hidungnya dan menjadi luka.
Sang putri panik membayangkan pernikahannya dengan raja muda akan gagal. Pikiran itu terus
berkecamuk di kepalanya hingga sang putri pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia berdoa minta
dihukum atas perbuatannya tersebut. Tidak lama kemudian, petir menyambar dan seketika kaki sang
putri mengeluarkan sisik.
Sisik tersebut semakin merambat ke atas. Dayang-dayangnya kaget dan segera memanggil kedua orang
tua putri. Sesampainya di kolam pemandian, mereka sudah tidak melihat sang putri. Yang tampak hanya
seekor ular besar yang bergelung di atas batu.
Ular besar penjelmaan sang putri pun segera pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak
belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayangnya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun
menyesali nasib malang sang putri.
Pesan moral dari kisah ini adalah berhati-hati dengan permohonan. Hal apapun yang membuat kalian
sedih, jangan sampai bermohon untuk sesuatu yang buruk.
Takut jatuh miskin, Nyai Bagendit terkenal kikir dan tak ramah pada warga sekitarnya. Kalau pun ada
yang meminjam uang, Nyai Bagendit memberikan bunga yang tinggi. Bahkan, ia pun tega meminta
suruhannya untuk perlakukan peminjam dengan kasar kalau utangnya tak kunjung dibayar.
Suatu hari, datang lah kakek-kakek misterius membawa tongkat. Ia merasa haus dan meminta minum
pada Nyai Bagendit. Sudah tertebak reaksi Nyai Bagendit, ia menolaknya. Ia pun masuk ke dalam
rumahnya, tanpa sadar bahwa sang kakek menancapkan tongkat di pekarangan rumahnya.
Kakek tersebut kecewa dan akhirnya memutuskan pulang. Ia kemudian menarik tongkatnya dan muncul
lah air dari tanah yang keluar sangat deras. Air tersebut lama-kelamaan menjadi genangan dan banjir. Di
situ, Nyai Bagendit tak lagi memikirkan nyawa. Ia malah sibuk menyelamatkan harta hingga akhirnya
tenggelam sia-sia bersama hartanya.
Pesan moral yang dapat diambil cerita legenda Situ Bagendit adalah jangan kikir dan seringlah
bersedekah. Harta yang dibawa sampai mati adalah harta yang sia-sia.
Dayang Sumbi kemudian tanpa sadar melontarkan pernyataan, siapa saja yang dapat mengambilkan
gulungan benang tersebut jika dia perempuan, akan dijadikannya saudara. Namun, jika laki-laki maka
akan dijadikan suami.
Di luar dugaan, si Tumang anjing peliharaannya yang mengambilkan gulungan tersebut. Dan karena
sudah berjanji, akhirnya Dayang Sumbi menikah dengan si Tumang. Tumang sebenarnya adalah adalah
titisan dewa yang menjelma menjadi anjing. Dari pernikahan itu, lahir anak yang diberi nama
Sangkuriang.
Suatu hari ketika Sangkuriang hendak berburu bersama Tumang, disuruhnya Tumang untuk mengejar
babi betina Wayung, yang tak lain adalah ibunya Dayang Sumbi. Karena tidak menuruti perintah
Sangkuriang, dibunuhlah si Tumang oleh Sangkuriang. Hati si Tumang diambil oleh Sangkuriang dan
diberikan kepada ibunya, Dayang Sumbi untuk dimasak dan disantap.
Baca artikel detikbali, "15+ Contoh Cerita Legenda Singkat Paling Populer di Indonesia"
selengkapnya https://www.detik.com/bali/berita/d-6570177/15-contoh-cerita-legenda-singkat-paling-
populer-di-indonesia.