Anda di halaman 1dari 3

CERITA RAKYAT DUMAI - 1

KISAH ASAL MULA


KERAJAAN SRI BUNGA TANJUNG

Tiga purnama lancang dibina


Bersyarat pula saat hendak diturunkan
Perempuan hamil jolong sebagai syaratnya
Siti Laut sanggup jadi taruhan

Alkisah kerajaan bermula


Galang lancing taruhan nyawa
Menyusuri pantai sampai di kuala
Berpuak bekawan satukan jiwa

Kami mencoba mengungkapkan


Dari cerita seorang yang dapat dipercaya
Memang banyak yang meragukan
Antara percaya dan tidak percaya

Nama diberi kerajaan Sri Bunga Tanjung


Bertahta pula di hulu sungai Dumai
Rajanya Bakhrum Alam Syah jadi tersanjung
Karena negerinya makmur aman dan damai

Di sebuah negeri kecil bernama “Durian Bertakuk Raja” dekat muara takus (Sekarang termasuk kecamatan
XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar), tersebutlah sebuah kerajaan kecil  yang disebut-sebut punya
hubungan yang disebut-sebut punya hubungan yang erat dengan munculnya kerajaan Sri Bunga Tanjung di
hulu sungai Dumai.

Alkisah Raja kerajaan Muara Takus berniat membuat perahu atau Lancang dengan mengerahkan seluruh
rakyat mempersiapkannya, tiga purnama lamanya lancang dibuat tetapi pada waktu akan diturunkan dari
galangannya, selama tiga hari tidak dapat dilaksanakan, sseluruh kekuatan rakyat dikerahkan untuk
menurunkan lancang ini, akan tetapi tidak ada tanda-tanda lancang bergerak dari galangannya, orang-orang
yang bekerja menurunkan lancang inipun memberitahukan kepada raja akan kejadian ini, rasa gundah sang
raja melihat kejadian ini bertanya-tanya di dalam hati ada apa sebenarnya gerangan dengan lancang ini
sehingga tidak dapat diturunkan, kemudian perdana menteri memberikan usul kepada raja “ Paduka raja,
mohon maaf beribu maaf jika hamba boleh mengajukan usul, bagaimana kalau kita panggil ahli nujum handal
untuk membantu kita”, sang raja mengangguk seraya berkata “Hai perdana menteri usulanmu cukup bagus
dan dapat diterima, maka kuperintahkan engkau mengumpulkan para ahli nujum di negeri kita ini”.

Dengan titah ini prerdana menteri mengumumkan ke sesluruh negeri di Muara Takus, agar para ahli nujum
berkumpul ke balai atas titah baginda raja, satu persatu ahli nujum berkumpul di balai, segala perlengkapan 
upacara yang diminta oleh para ahli nujum dipersiapkan, antara lain, mangkuk berbara api (dupa), beras
kunyit, beras basuh, bereteh dan ternang Sembilan buah. Upacara dimulai dengan diawali oleh masing-
masing ahli nujum melempar beras basuh kedalam ternang, setelah itu satu persatu ahli nujum
memberitahukan kepada raja bahwa lancang itu dapat diturunkan dengan syarat digalangi orang yang hamil
jolong (hamil untuk pertama kali), begitulah pendapat Sembilan ahli nujum itu, walaupun syarat itu sangat
berat namun sang raja mengumumkan juga kepada semua orang dikerajaannya “ Bahwa siapa saja yang
mau menjadi galang Lancang Kuning tersebut, maka raja akan memberikan lancang  kuning tersebut kepada
orang yang sanggup menjadi galang itu”,

Berselang beberapa hari kemudian bermimpilah anak pemangku adat kerajaan ini yang  bernama Siti Laut,
saat itu ia sedang hamil tujuh bulan anak pertamanya bersama suaminya Bakhrum Alam Syah atau lebih
dikenal dengan nama Lembang Jagal, dalam mimpinya ia di datangi oleh orang tua dengan pesan” Hai Siti
Laut, jadilah engkau sebagai galang Lancang Kuning itu, caranya suruh orang menggali tanah di bawah
lancang, buatla parit untuk kamu berbaring, setelah itu kamu berbaring perintahkan orang menolak lancang
tersebut, Insya Allah lancang tersebut akan meluncur ke air, dengan syarat jika Lancang sudah jatuh ke air,
diserahkan lancang ini oleh raja kepadamu, kamu harus pergi bersama lancang terserbut meninggalkan
negeri ini, pergilah kamu merantau ke tempat lain, jangan tidak engkau lakukan, jika tidak engkau akan
menyesal nanti”, demikianlah mimpinya berturut-turut sampai tiga malam.

Setelah tiga malam mimpinya berulang-ulang akhirnya diceritakanlah kepada suaminya, “Kakanda, tiga
malam aku bermimpi bertutut-turut, agar aku menjadi galang lancang yang sedang bermasalah di negeri kita
ini, bagaimana pendapat kakanda”, setelah secara rinci mimpi itu di ceritakan kepada suaminya Lembang
Jagal dan suaminya pun menyatakan “ Jika benar engkau bermimpi demikian, terselah engkaulah “, Siti Laut
bersama suaminya menghadap raja dengan memberitahukan perihal mimpinya yang di terima selama tiga
malam berturut-turut .

Keesokan harinya raja mengumpulkan seluruh rakyat negerinya dib alai pertemuan, dan mengumumkan
perihal mimpi yang di alami anak pemangku adat negeri ini yaitu Siti Laut, bahwa beliau bermimpi untuk
menjadi galang lancang kuning yang bermasalah itu, dalam mimpinya Siti Laut di datangi orang tua yang
memintanya menjadi galang, untuk itu raja memerintahkan perdana menteri agar menyuruh orang agar
menggali parit di bawah lancang itu untuk tempat berbaring Siti Laut, kemudian raja pun berjanji, jika
lancang ini dapat di luncurkan dari galangnya ke air dan yang menjadi galangnya Siti Laut, maka lancang
inipun akan  menjadi milik Siti Laut, setelah persiapan untuk meluncurkan lancang di persiapkan, maka
upacara penurunan lancang pun di mulai dan di saksikan oleh seluruh rakyat negeri Muara Takus.

Dilain pihak sebelum upacara menurunkan lancang itu dimulai, Siti Laut bermufakat dengan suaminya,
“setelah kita turun nanti bersama lancang, kita tidak boleh pulang kerumah lagi, jika kita keluar dari rumah
ini kita harus menyiapkan perbekalan makan beserta perlengkapan lainnya” demikian kesepakatan kedua
suami istri itu, berkat keyakinan yang luar biasa dari sang istri akhirnya Lembang Jagal sebagai suami
menuruti permintaan sang istri tercinta. Ternyata memang benar lancang yang digalangi Siti Laut setelah
mendapat komando darinya.

“ Ayo doronglah lancang ini” seketika para petugas segera mendorong lancang ke air dengan mudahnya
tanpa aral melintang, dan berdirilah Siti Laut dari parit pembaringannya seraya memandang suaminya,
diawali suaminya dan Siti Laut diantaranya Siti Zaleha, Siti Petah, Ahmad dan Ali Iqbal dan beberapa kerabat
dekat sebagai awak lancang.

Pelayaran menyusuri lautan pun di mulai dan ia lalui berhari-hari dengan suatu maksud sampailah di suatu
tempat impian, karena awak lancang merasa keletihan karena sejak berangkat tidak beristirahat selama dua
hari, kemudian dilanjutkan pelayaran dengan membentang layar dari arah timur laut menuju barat dan
akhirnya sampailah disuatu perkampungan bernama Teluk Binjai, dan kemudian rombongan ini menetap
disiniselama tiga tahun, disini mereka berladang dan tinggal, akan tetapi karena dikampung ini kurang
sesuai untuk berladang kemudian mereka memutuskan untuk berpindah ke sungai Dumai tepatnya di
kampong Lubuk Kuali (sekarang lokasi kampong Lubuk Kuali diperkirakan antara Jalan Benteng Pangkalan
Sesai dengan Masjid Baiturrahman sungai Dumai), di Lubuk Kuali ia tinggal bersama rombongannya selama
dua tahun, kemudian akhirnya berpindah ke hulu sungai Dumai juga diikuti oleh kepindahan saudara-
saudaranya ketempat lain diantaranya Siti Zaleha pindah ke Pangkalan Sesai, Siti Petah pindah ke
Batupanjang Pulau Rupat, Ahmad pindah ke Pulau Payung dan Ali Iqbal pindah ke Tanjung Penyebal,
kepindahan saudaranya ini setelah sekian lama bersama dalam satu rombongan bukanlah berpisah tanpa
hubungan yang dekat, diantara mereka tetap saling mengunjungi, keempat bersaudara ini nantinya disebut
“Empat Pencipta Sakti”di Dumai.

Kepindahan Siti Laut dan suaminya Lembang Jagal dan anak-anaknya ke hulu Sungai Dumai tepatnya di
kampong Bunga Tanjung diikuti pula oleh para pengikut setianya diantaranya para awak lancang yang
membawanya dulu, suaminya membuka Kampung ini menjadi Kampung maju dan berpengaruh, iapun
dijadikan tempat bertanya bagi orang kampong, banyak persoalan kemasyarakatan ia selesaikan dengan
bijaksana, akhirnya Lembang Jagal di nobatkan oleh masyarakat Dumai pada waktu itu terutama masyarakat
Pangkalan Sesai dan Teluk Pauh menjadi raja kecil di kampong Bunga Tanjung diubah menjadi Kerajaan Sri
Bunga Tanjung. Jika diruntut asal mula Lembang Jagal dari kampung halamannya Durian Bertakuk Raja di
Muara Takus ia juga sebenarnya seorang keturunan raja.

Suatu seketika Siti Laut berpesan kepada suami dan anak-anaknya dan para dayang-dayang atau pengasuh
para putrinya jika ia wafat nanti agar dimakamkan ditanahnya di Lubuk Kuali, amanah ini akhirnya
dilaksanakan oleh suaminya setelah ia wafat maka dimakamkanlah jenazah istrinya di Lubuk Kuali, dan
untuk memberi tanda makam istri tercinta Lembang Jagal memancung dahan kayu bgesar dan menanamkan
diatas makam itu, akhirnya tumbuhlah kayu itu menjadi besar dan kita kenal sebagai kayu cengal (tempat ini
sekarang di bangun keramat oleh orang keturunan cina dari Bantan Bengkalis dan diberi nama puteri cangal)
tepatnya diujung jalan Cengal Sakti kelurahan Pangkal Sesai.

Putri-putri dari Siti Laut dan Lembang Jagal yang pertama adalah Putri Lindung Bulan yang diasuh oleh
seorang pengasuh atau dayang bernama Putri Awan Panjang, kedua bernama Puteri Mayang Mengurai
diasuh oleh pengasuh bernama Puteri Awan Senja dan putri yang ketiga bernama Puteri Ketimbung Raya
diasuh oleh dua orang dayang bernama Puteri Perdah Patah dan Mustika Kencana, tiga puteri dari Siti Laut
dan Lembang Jagal serta keempat pengsuh dayang inilah yang akhirnya disebut sebagai Puteri Tujuh.

Kesimpulan

Kisah ini menggambarkan kesetiaan dan demokrasinya suami istri yang rela mengarungi suka duka
kehidupan, bak kata orang tua-tua “ Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian”, itulah gambaran suami istri Siti Laut dan Lembang Jagal.
Rasa setia kawan dan persaudaraan ditunjukkan pula dalam perjalanan pelayaran rombongan Siti Laut dari
negeri asalnya hingga sampai ke Dumai, ditambah sikap bertindak bijaksana sang suami dalam segala
keputusannya, inilah kiranya dapat dijadikan pelajaran dan renungan kita semua.

http://sasanakreatif.blogspot.com/2015/02/cerita-rakyat-dumai-1.html#comment-form

Anda mungkin juga menyukai