Anda di halaman 1dari 1

RAGAM

Ahad, 25 Desember 2022


=====================================================================

Ibrahim Sattah

Ibrahim Sattah lahir di Tarempa, sebuah kota kecil di kawasan Pulau Tujuh, Laut Cina
Selatan, Provinsi Kepulauan Riau tahun 1943 dan meninggal pada usia 43 tahun di Pekanbaru,
19 Januari 1988. Sejak sekolah dasar, Ibrahim Sattah sudah suka puisi. Saat SD, ia sudah
menulis sajak. Dan sajaknya yang pertama berjudul Ayam Jantan. Ibrahim Sattah mulai dikenal
ketika puisi-puisinya dimuat di majalah sastra Horison pada tahun 70-an. Ibrahim Sattah bersama
Sutardji Calzoum Bachri disebut pembaharu dalam dunia kepenyairan Indonesia angkatan 1970-
an.
Ibrahim Sattah dari segi kuantitas, bukan penyair produktif. Puisinya hanya 50 puisi.
Karyanya terangkum dalam tiga kumpulan puisi. Dandandid adalah kumpulan puisinya yang
pertama (1975), diantaranya telah diterjemahkan oleh Jan Eijkelboom kedalam bahasa Belanda
dan oleh Sapardi Djoko Damono bersama McGlinn kedalam bahasa Inggris. Kumpulan puisinya
yang berjudul Ibrahim terbit tahun 1980. Kumpulan puisi ini disiapkan dalam perjalanannya ke
Semarang, Yogyakarta, Singapura, Malaysia. Kemudian Haiti, kumpulan puisinya yang terakhir
terbit pada tahun 1983. Statusnya sebagai penyair diakui dalam dunia kepenyairan tanah air
setelah puisi-puisinya dimuat di Majalah Sastra Horison.

Selain mengarang sajak, Ibrahim Sattah juga bergerak dan bekerja di bidang teater dan
bekerja di penerbitan buku-buku sastra. Sajak Ibrahim Sattah dikategorikan sebagai puisi murni
yang diekspresikan dengan kesahajaan dari kata-kata yang sederhana, seperti tentang daun,
tentang duka, tentang batu, tentang air, tentang manusia, tentang Tuhan, dan tentang alam raya.
Puisi-puisi Ibrahim Sattah kebanyakan berbicara konteks manusia secara utuh atau total. Dan
hampir semua puisi-puisinya adalah religius, keterpesonaan, ketidakberdayaan, dan memandang
tuhan sebagai sosok yang unik.

Anda mungkin juga menyukai